Bagaimana dengan korban bencana yang berserakan, apakah mereka tetap berhak untuk kita mandikan? Dengan kata lain, apakah kita wajib untuk memandikannya? Merawat jenazah adalah wajib atas kita. Tetapi kita tak wajib memandikan jenazah yang berada dalam kondisi yang sudah tidak memungkinkan, baik itu karena terlalu lama tidak diurusi, jasad rusak, dan sebagainya. Sebisanya, memang, harus dimandikan. Namun, ini tak bisa kita paksakan. Yang terakhir ini, tentu, hanya soal fikih saja. "Dan apapun musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, ....". (QS. Asy- Syuaraa : 30)
Musibah demi musibah datang silih berganti. Musibah yang terjadi di tengah- tengah kita, akhir-akhir ini, terjadi dalam "bentuk" yang berbeda. Pertama, musibah kecelakaan, yang berupa kecelakaan pesawat terbang komersial, helikopter militer, kereta api, dan sebagainya. Bentuk yang lain, adalah musibah alam, baik itu gempa bumi, banjir bandang dan sebagainya. Kira-kira, manusia sekarang ini mengidentifikasi "musibah" sebagai [segala hal dahsyat, yang terjadi "di luar" kehendak manusia dan menyebabkan kematian dan kesengsaraan banyak manusia]. Pada saat terjadinya "musibah" itu, manusia baru merasakan keprihatinan yang mendalam. Tidak tahu apa yang harus dilakukan, tetapi kebanyakan menyerahkan kepada Yang Maha Tunggal.
Sayangnya, "penyerahan" kepada Sang Kuasa tersebut lebih bernuansa Su' udz-Dzan atau Negative Thinking kepada-Nya. Sejatinya, makna "musibah" dalam kacamata teologi Islam tidaklah sesederhana dari yang selama ini kita pahami. Kalau kita mau menyisakan perhatian kita kepada pemahaman sekelompok umat Islam, maka kita akan tahu bahwa ada sebagian umat yang merasa bahwa pemberian penghargaan, kenaikan jabatan, bagi mereka, itu pun sebuah "musibah". Sudah tentu, hal tersebut "musibah" bagi yang bersangkutan. Biasanya, orang yang berpedoman demikian akan semakin tunduk kepada Allah Swt ketika mendapatkan penghargaan. Dari sinilah bisa dipahami bahwa sudah sewajarnya jika Nabi Muhammad Saw bersabda bahwa manusia yang paling sering mendapatkan musibah & cobaan berat adalah para nabi, kemudian para wali, dan seterusnya (H.R. Bukhori).
Karena musibah yang di-"uji- coba"-kan kepada para nabi tersebut tentunya bukan saja berupa fisik, melainkan mental dan keimanan. Dari pemahaman ini, Ibnu Taymiyah-seperti dinukil Professor Ibrahim Khalifah dalam salah satu kajian Tafsir-nya-berpendapat bahwa sangat mungkin para nabi itu berkurang imannya bahkan murtad-walaupun pada kenyataannya hal tersebut tidak pernah ada dalam sejarah. Perkembangan kehidupan materialisme mampu menyingkirkan pemahaman- pemahaman "unik" tentang musibah tadi. Akhirnya, manusia sekarang ini pun telah lebih jauh menyederhanakan makna dan "falsafah" atas pengertian "musibah".
Manusia tidak lagi berpengertian bahwa, sebenarnya, musibah tidak sesederhana "segala bencana yang di luar kehendak manusia". Akibatnya, sepertinya ada dua pilihan bagi kita : menerima sepenuhnya sebagai sebuah kecelakaan alam murni, atau mengkaitkannya dengan kehendak Sang Kuasa. Pilihan pertama sudah jelas, ia lebih banyak di-"imani" masyarakat Barat. Pilihan kedua adalah pilihan yang hingga kini masih dipegang umat Islam. Hanya saja, pilihan kedua ini masih berupa pemahaman yang global dan masih banyak umat Islam yang belum dapat memahami penjabaran- penjabaran dari teologi ini. *** Penulis melihat, ketika beberapa musibah menimpa kita akhir- akhir ini, banyak kolomnis dan penceramah yang menukil-nukil surat As-Syu'araa ayat 30 tanpa penjelasan yang memadai
. Realitas ini sangat berbahaya karena dapat menimbulkan mis- understanding seperti yang selama ini terjadi dalam pemahaman teologi Islam, khususnya yang berkenaan dengan Sifat Iraadah. Bagaimana pun, yang utama untuk diyakini oleh umat adalah bahwa Allah Swt tidak akan pernah berkehendak buruk kepada hamba-hamba-Nya. Ada banyak hal yang perlu kita resapi ketika menghadapi kenyataan yang, dalam pandangan kita nan pendek, pahit. Pertama, tidak semua kejadian tersebut "pahit" dalam arti yang sesuai dengan pemahaman kita. Seluruh manusia adalah milik Allah Swt, maka Dia berhak mengambilnya sewaktu-waktu, dengan berbagai jalan, baik itu bencana alam, tertabrak mobil, atau kejatuhan bom seperti yang sedang melanda masyarakat Irak. Semua itu adalah bentuk "pemanggilan" Allah Swt terhadap kita. Bentuk pemanggilan yang bermacam- macam itu sudah tidak penting bagi kita, atau bagi-Nya. Bentuk- bentuk itu hanyalah hal "profan" yang, sudah barang tentu, rasional. Karena rumusannya adalah rasionalitas, maka segala macam manusia akan tunduk dalam hukum ini, yakni hukum alam. Walaupun segala bencana adalah rasional, namun Islam mensyariatkan kepada umatnya untuk ber-istirjaa', yaitu ketika mendapatkan musibah segera mengucapkan Innaa Lillaahi wa Innaa Ilayhi Raaji'uun, yang berarti "Sesungguhnya kami adalah milik Allah Swt, dan hanya kepada-Nya-lah kami kembali". Ucapan ini memang terlihat sederhana, namun ia memiliki makna teologis yang sangat mendalam, yakni mengingatkan kita untuk senantiasa ber-Tauhid, ber-Qadhaa dan ber-Qadar.
Yang kedua, mengenai hukum alam. Hukum alam adalah hukum yang ditetapkan (Qadhaa) oleh Allah Swt yang berkenaan dengan rumusan-rumusan dan teori- teori tentang alam. Hukum ini akan berlaku bagi siapa saja yang melanggarnya, baik itu kaum theis maupun atheis, orang saleh maupun durhaka, dan sebagainya. Dari hukum inilah seluruh aktifitas alam semesta berlangsung, dari yang terkecil- seperti adanya hukum bahwa air akan mendidih pada suhu 100 derajat celcius, siapapun yang memasaknya, baik atheis maupun theis-atau bahkan yang lebih kecil dari kasus itu, hingga yang peristiwa-peristiwa terbesar yang ada di jagad dunia. Itu semua merupakan Qadhaa-secara etimologis berarti hukum atau ketetapan. Dan ketika manusia telah melewati proses Qadhaa itu maka dia akan mengalami apa yang sering disebut sebagai Qadar atau Takdir. Dengan demikian, Takdir adalah suatu hasil proses dari hukum dan ketetapan Allah Swt- yang berupa hukum alam- dengan realitas kehidupan yang dijalani manusia. *** Hukum alam yang diberlakukan oleh Allah Swt tersebut berbeda dengan hukum Aqidah atau Syariat yang diturunkan oleh- Nya.
Hukum alam yang sedang kita hadapi sekarang adalah hukum yang hanya berlaku di dunia fana. Sedangkan hukum Aqidah & Syariat berlaku di dunia dan (untuk kepentingan) akhirat sekaligus. Dengan demikian, dalam hal tertentu, hukum alam tersebut sama sekali tak memiliki kaitan "erat" dengan hukum Aqidah & Syariat. Artinya, hukum alam akan menerkam siapa saja yang melanggarnya, baik itu manusia-saleh, fasik & ateis- hewan dan lainnya. Namun demikian, perlu diperhatikan, bahwasanya korban keganasan hukum alam tak selamanya adalah pelaku dari pelanggaran atas hukum alam tersebut. Bahkan juga bisa dikatakan bahwa proses yang terjadi dalam hukum tak mesti melibatkan manusia. Sebagai contoh adalah peristiwa- peristiwa yang terjadi di luar angkasa. Demikian pula sebalikya, hukum Aqidah & Syariat tak berkaitan langsung dengan kedatangan hukuman alam.
Lalu, bagaimana dengan adanya hukuman alam yang terjadi pada umat-umat terdahulu, sebagaimana dikisahkan di dalam al-Qur'an? Allah Swt, dalam memberikan kenikmatan, ujian, cobaan atau siksaan tidaklah melampaui nalar kemanusiaan. Artinya, jika Allah Swt menyatakan telah memberikan hukuman melalui hukum-hukum alam, maka hukuman alam itu terproses melalui pelanggaran hukum Aqidah & Syariah yang- tanpa pernah disadari-berakibat (juga) kepada pelanggaran atas hukum alam. Dari sinilah hukuman berlaku, dan secara hakekat ia bukanlah hukuman atas kedurhakaan kepada-Nya, karena semua hukuman (Jazaa', Hisaab) atas kedurhakaan kepada-Nya telah di-setting pada Hari Pembalasan (Yawmul-Jazaa') atau Hari Penghitungan (Yawmul-Hisaab) dimana masing-masing manusia akan menghadapinya. AllAAhu A' lam. *** Bagaimana dengan korban bencana yang berserakan, apakah mereka tetap berhak untuk kita mandikan? Dengan kata lain, apakah kita wajib untuk memandikannya? Merawat jenazah adalah wajib atas kita.
Tetapi kita tak wajib memandikan jenazah yang berada dalam kondisi yang sudah tidak memungkinkan, baik itu karena terlalu lama tidak diurusi, jasad rusak, dan sebagainya. Sebisanya, memang, harus dimandikan. Namun, ini tak bisa kita paksakan. Yang terakhir ini, tentu, hanya soal fikih saja.