Kamis, 15 Desember 2011

Waktu-waktu Berdoa yangMustajab


Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya): “Dan Rabbmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenan kan bagimu. Sesungguhn ya orang-oran g yang menyombong kan diri dari menyembah- Ku (berdoa kepada-Ku) akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.” (Al-Mu’min : 60)

pertanyaan nya.. kapan waktu2 yang'mustajab'untuk berdo'
a.

1. Malam (lailatul) Qadar ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah, apa petunjukmu bila aku mendapati malam (laitul) Qadar itu, apa yang harus aku ucapkan?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Ucapkanlah (doa): « ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺇِﻧَّﻚَ ﻋَﻔُﻮٌّ ﺗُﺤِﺐُّ ﺍﻟْﻌَﻔْﻮَ ﻓَﺎﻋْﻒُ ﻋَﻨِّﻲ ». “Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, mencintai perbuatan memberi maaf, maka maafkanlah aku.” (HR. At- Tirmidzi, Ahmad, dan An-Nasa`i dalam Al-Kubra)

2. Di sepertiga malam yang akhir dan di waktu sahur Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan salah satu sifat para hamba-Nya yang beriman dalam firman-Nya (artinya): “Dan pada waktu akhir malam (waktu sahur) mereka memohon ampun.” (Adz-Dzariyat: 1 Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: « ﻳَﻨْﺰِﻝُ ﺭَﺑُّﻨَﺎ ﺗَﺒَﺎﺭَﻙَ ﻭَﺗَﻌَﺎﻟَﻰ ﻛُﻞَّ ﻟَﻴْﻠَﺔٍ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﺀِ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﺣِﻴﻦَ ﻳَﺒْﻘَﻰ ﺛُﻠُﺚُ ﺍﻟﻠَّﻴْﻞِ ﺍﻵﺧِﺮُ ﻳَﻘُﻮﻝُ ﻣَﻦْ ﻳَﺪْﻋُﻮﻧِﻲ ﻓَﺄَﺳْﺘَﺠِﻴﺐَ ﻟَﻪُ ﻣَﻦْ ﻳَﺴْﺄَﻟُﻨِﻲ ﻓَﺄُﻋْﻄِﻴَﻪُ ﻣَﻦْ ﻳَﺴْﺘَﻐْﻔِﺮُﻧِﻲ ﻓَﺄَﻏْﻔِﺮَ ﻟَﻪُ » . “Rabb kita Yang Maha Tinggi turun setiap malam ke langit dunia ketika tersisa sepertiga malam yang akhir seraya berfirman: ‘Siapa yang berdoa kepada-Ku niscaya Aku mengabulkan doanya. Siapa yang meminta kepada-Ku niscaya Aku berikan apa yang dimintanya. Siapa yang minta ampun kepada-Ku maka aku akan mengampuninya’. ” (HR. Ibnu Majah dan Ahmad)

3. Di akhir shalat fardhu Abu Umamah Al-Bahili radhiyallahu ‘anhu berkata: “Pernah ada yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah, doa apakah yang didengarkan (dikabulkan)?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: « ﺟَﻮْﻑُ ﺍﻟﻠَّﻴْﻞِ ﺍﻵﺧِﺮُ ﻭَﺩُﺑُﺮَ ﺍﻟﺼَّﻠَﻮَﺍﺕِ ﺍﻟْﻤَﻜْﺘُﻮﺑَﺎﺕِ » “Doa yang dipanjatkan di tengah malam yang akhir dan di akhir shalat wajib.” (HR. At-Tirmidzi dan An-Nasa`i dalam Al-Kubra) Para ulama berbeda pendapat tentang apa yang dimaksud dengan kata (( ﺩُﺑُﺮَ )) dalam hadits diatas. Apakah maksudnya sebelum salam atau setelah salam dari shalat? Al-Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata dalam kitabnya, Zadul Ma’ad, 1/378: “(( ﻭَﺩُﺑُﺮَ ﺍﻟﺼَّﻠَﻮَﺍﺕِ ﺍﻟْﻤَﻜْﺘُﻮﺑَﺎﺕِ )) bisa jadi maksudnya sebelum salam dan bisa jadi setelahnya. Adapun Syaikh kami (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah) menguatkan pendapat yang menyatakan sebelum salam.” Sedangkan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berpandangan di akhir setiap shalat fardhu adalah sebelum salam, sehingga doa itu dipanjatkan setelah selesai membaca tasyahhud akhir dan shalawat sebelum mengucapkan salam sebagai penutup ibadah shalat. Beliau rahimahullah berkata: “Riwayat yang menyebutkan adanya doa yang dibaca di (( ﺩُﺑُﺮ ﺍﻟﺼَّﻠَﻮَﺍﺕِ ﺍﻟْﻤَﻜْﺘُﻮﺑَﺎﺕ ) ), berarti doa itu dibaca sebelum salam. Sedangkan dzikir yang dinyatakan untuk dibaca di (( ﺩُﺑُﺮَ ﺍﻟﺼَّﻠَﻮَﺍﺕِ ﺍﻟْﻤَﻜْﺘُﻮﺑَﺎﺕِ )), maka maksudnya dzikir itu dibaca setelah selesainya shalat. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya): “Apabila kalian telah selesai dari mengerjakan shalat, berdzikirlah kalian kepada Allah dalam keadaan berdiri, duduk ataupun berbaring diatas lambung- lambung kalian.” (An-Nisa`: 103)

4. Antara adzan dan iqamah Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: « ﻻَ ﻳُﺮَﺩُّ ﺍﻟﺪُّﻋَﺎﺀُ ﺑَﻴْﻦَ ﺍﻷَﺫَﺍﻥِ ﻭَﺍﻹِﻗَﺎﻣَﺔِ ». “Tidak tertolak doa yang dipanjatkan antara adzan dan iqamah.” (HR. Abu Dawud)

5. Satu waktu di malam hari Jabir radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: « ﺇِﻥَّ ﻓِﻰ ﺍﻟﻠَّﻴْﻞِ ﻟَﺴَﺎﻋَﺔً ﻻَ ﻳُﻮَﺍﻓِﻘُﻬَﺎ ﺭَﺟُﻞٌ ﻣُﺴْﻠِﻢٌ ﻳَﺴْﺄَﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﺧَﻴْﺮًﺍ ﻣِﻦْ ﺃَﻣْﺮِ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻭَﺍﻵﺧِﺮَﺓِ ﺇِﻻَّ ﺃَﻋْﻄَﺎﻩُ ﺇِﻳَّﺎﻩُ ﻭَﺫَﻟِﻚَ ﻛُﻞَّ ﻟَﻴْﻠَﺔٍ ». “Sesungguhnya pada malam hari ada satu waktu yang tidaklah bersamaan dengan itu seorang muslim meminta kepada Allah kebaikan dari perkara dunia dan akhirat, melainkan Allah akan mengabulkan permintaan tersebut, dan itu ada di setiap malam.” (HR. Muslim dan Ahmad) Al-Imam An-Nawawi rahimahullah ketika menjelaskan hadits di atas mengatakan: “Pada hadits tersebut terkandung adanya penetapan satu waktu mustajab pada setiap malam, dan anjuran untuk berdoa di waktu-waktu malam dengan harapan bertepatan dengan waktu mustajab tersebut.” (Al-Minhaj, 3/95)

6. Ketika terbangun di waktu malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang terbangun di waktu malam lalu mengucapkan: ﻻَ ﺇِﻟَﻪَ ﺇِﻻَّ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻭَﺣْﺪَﻩُ ﻻَ ﺷَﺮِﻳﻚَ ﻟَﻪُ ، ﻟَﻪُ ﺍﻟْﻤُﻠْﻚُ ، ﻭَﻟَﻪُ ﺍﻟْﺤَﻤْﺪُ ، ﻭَﻫُﻮَ ﻋَﻠَﻰ ﻛُﻞِّ ﺷَﻰْﺀٍ ﻗَﺪِﻳﺮٌ . ﺍﻟْﺤَﻤْﺪُ ﻟِﻠَّﻪِ ، ﻭَﺳُﺒْﺤَﺎﻥَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ، ﻭَﻻَ ﺇِﻟَﻪَ ﺇِﻻَّ ﺍﻟﻠَّﻪُ ، ﻭَﺍﻟﻠَّﻪُ ﺃَﻛْﺒَﺮُ ، ﻭَﻻَ ﺣَﻮْﻝَ ﻭَﻻَ ﻗُﻮَّﺓَ ﺇِﻻَّ ﺑِﺎﻟﻠَّﻪِ Kemudian mengucapkan: ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺍﻏْﻔِﺮْ ﻟِﻲ Atau berdoa, maka dikabulkan (doanya). Dan jika berwudhu’ kemudian melaksanakan shalat maka shalatnya diterima.” (HR. Al-Bukhari) Sebagian ulama mengatakan: “Dalam keadaan seperti ini lebih diharapkan terkabulkannya doa begitu juga diterimanya shalat dibandingkan waktu/keadaan yang lainnya.” (Lihat Tuhfatul Ahwadzi, 8/311)

7. Ketika dikumandangkann ya adzan dan dirapatkannya barisan, berhadapan dengan barisan musuh di medan tempur Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Dua waktu/keadaan yang didalamnya dibukakan pintu-pintu langit dan jarang sekali tertolak doa yang dipanjatkan ketika itu, yaitu saat diserukan panggilan shalat (adzan) dan saat berada dalam barisan di jalan Allah (ketika berhadapan dengan musuh di medan perang, pent).” (HR. Ibnu Hibban dan Al-Baihaqy dalam Al- Kubra)

8. Suatu waktu pada hari Jum’at Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut tentang hari Jum’at, beliau bersabda: « ﺇِﻥَّ ﻓِﻰ ﺍﻟْﺠُﻤُﻌَﺔِ ﻟَﺴَﺎﻋَﺔً ﻻَ ﻳُﻮَﺍﻓِﻘُﻬَﺎ ﻣُﺴْﻠِﻢٌ ﻗَﺎﺋِﻢٌ ﻳُﺼَﻠِّﻰ ﻳَﺴْﺄَﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﺧَﻴْﺮًﺍ ﺇِﻻَّ ﺃَﻋْﻄَﺎﻩُ ﺇِﻳَّﺎﻩُ ﻭَﻗَﺎﻝَ ﺑِﻴَﺪِﻩِ ﻳُﻘَﻠِّﻠُﻬَﺎ ﻳُﺰَﻫِّﺪُﻫَﺎ ». “Sesungguhnya di hari Jum’at itu ada suatu waktu yang tidaklah waktu tersebut bertepatan dengan seorang muslim yang sedang melaksanakan shalat, lalu meminta kepada Allah suatu kebaikan, kecuali pasti Allah akan mengabulkannya. ” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan dengan tangannya untuk menunjukkan singkatnya waktu tersebut. (Muttafaqun ‘alaihi) Ulama berbeda pendapat tentang batasan waktunya. Ada yang mengatakan waktunya adalah saat masuknya khatib ke masjid. Ada yang mengatakan ketika matahari telah tergelincir, ada yang mengatakan setelah shalat ashar, dan ada pula yang mengatakan waktunya dari terbit fajar sampai terbit matahari. (Al-Minhaj, 6/379) Al-Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam Zadul Ma’ad (1/37 , berpendapat bahwa pendapat yang lebih tepat dalam permasalahan ini adalah bahwa waktunya setelah shalat ashar, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya pada hari Jum’at itu ada suatu waktu yang tidaklah seorang hamba muslim memohon suatu kebaikan kepada Allah, kecuali pasti Allah akan mengabulkannya,dan waktunya adalah setelah shalat ashar.” (HR. Ahmad)

9. Ketika sujud Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: « ﺃَﻗْﺮَﺏُ ﻣَﺎ ﻳَﻜُﻮﻥُ ﺍﻟْﻌَﺒْﺪُ ﻣِﻦْ ﺭَﺑِّﻪِ ﻭَﻫُﻮَ ﺳَﺎﺟِﺪٌ ﻓَﺄَﻛْﺜِﺮُﻭﺍ ﺍﻟﺪُّﻋَﺎﺀَ ». “Paling dekatnya seorang hamba dengan Rabbnya adalah ketika ia sedang sujud maka perbanyaklah oleh kalian doa ketika sedang sujud.” (HR. Muslim) 10. Doa pada hari Arafah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: « ﺧَﻴْﺮُ ﺍﻟﺪُّﻋَﺎﺀِ ﺩُﻋَﺎﺀُ ﻳَﻮْﻡِ ﻋَﺮَﻓَﺔَ ». “Sebaik-baik doa adalah doa pada hari Arafah.” (HR. At- Tirmidzi dan Al-Baihaqy)

Rabu, 14 Desember 2011

kalimat ini sering di salah gunakan,namun kedahsyatannya mampu menjebol tembok Ya'jud&Ma'jud


Di antara bangsa-bangsa manusia, tidak ada bangsa yang sekuat ya'juj ma'juj, sekejam ya'juj ma'juj, dan sebanyak ya'juj ma'juj. Namun tidak disangka, bahwa kelak yang membebaskan mereka dari tembok kokoh Dzulqarnain adalah kalimat 'Insya Allah' Nabi Muhammad SAW pernah ditanya oleh An-Nadhar bin Al- Harits dan 'Uqbah bin Ani Mu'ith sebagai utusan kaum kafir Quraisy.

Pertanyaan yang diajukan oleh kedua orang ini adalah bagaimana kisah Ashabul Kahfi?, Bagaimana kisah Dzulqarnain?, dan Apa yang dimaksud dengan Ruh?. Rasulullah SAW bersabda kepada dua orang itu, "Besok akan saya ceritakan dan saya jawab." Akan tetapi Rasulullah SAW lupa mengucapkan "Insya Allah".

Akibatnya wahyu yang datang setiap kali beliau menghadapi masalah pasti terputus selama 15 hari. Sedangkan orang Quraisy setiap hari selalu menagih janji kepada Rasulullah saw dan berkata "Mana ceritanya? besok..besok..besok.." Ketika itu Rasulullah saw sangat bersedih. Akhirnya Allah menurunkan wahyu surat Al-Kahfi yang berisi jawaban kedua pertanyaan pertama, pertanyaan ketiga berada dalam surat Al-Israa ayat 85. Allah berfirman pada akhir surat Al-Kahfii : "Janganlah kamu sekali-kali mengatakan, 'Sesungguhnya saya akan melakukan hal ini besok,' kecuali dengan mengatakan Insya Allah." (QS Al- Kahfi :23-24)

Sebuah kalimat yang sering kita salah artikan tetapi orang yang paling mulia disisiNya, yang telah diampuni dosanya baik yang telah lalu dan yang akan datang pun ditegur oleh Allah SWT karena lupa mengucapkan "Insyaa Allah". Ada rahasia besar apa dibalik kalimat Insya Allah? Perhatikan petikan ayat diatas, di ayat tersebut Allah memerintahkan manusia ketika semua rencana sudah matang dan pasti janganlah mengatakan “Sesungguhnya aku akan mengerjakan besok” tetapi harus diikuti dengan ucapan Insya Allah. Sebab ucapan “Sesungguhnya aku akan mengerjakan besok” adalah sebuah 'ucapan kepastian', keyakinan diri jika hal itu benar-benar akan dilakukannya, bukan keraguan- keraguannya. Benar, Insya Allah adalah penegas ucapan kepastian dan keyakinan. Bukan keragu- raguan.

Dari situlah tubuh kita mengeluarkan semacam kekuatan dan kepasrahan total yang tidak kita sadari sebagai syarat utama tercapainya sebuah keberhasilan. Manusia hanya berencana dan berikhtiar, Allah yang menentukan hasilnya. Manusia terlalu lemah untuk mengucapkan ‘pasti’, karena Allah sebagai sang pemilik tubuh ini dapat berkehendak lain. Ingat baik baik! Jika kalian tidak yakin atau tidak dapat memastikan sebuah rencana, maka jangan pernah mengatakan Insya Allah, cukup katakan saja “Maaf, saya tidak bisa” atau “Maaf, saya tidak dapat menghadiri …” Tetapi bila kalian yakin bisa melakukan rencana itu, maka katakanlah “Insya Allah”, niscaya kalian akan melihat sebuah ketentuan Allah sesuai dengan apa yang telah dijanjikan oleh- Nya. "Mereka (Ya'juj & Ma'juj) berusaha untuk keluar dengan berbagai cara, hingga sampai saat matahari akan terbenam mereka telah dapat membuat sebuah lobang kecil untuk keluar. Lalu pemimpinnya berkata,'Besok kita lanjutkan kembali pekerjaan kita dan besok kita pasti bisa keluar dari sini." "Namun keesokkan harinya lubang kecil itu sudah tertutup kembali seperti sedia kala atas kehendak Allah. Mereka pun bingung tetapi mereka bekerja kembali untuk membuat lubang untuk keluar.

Demikian kejadian tersebuat terjadi berulang- ulang." "Hingga kelak menjelang Kiamat, di akhir sore setelah membuat lubang kecil pemimpin mereka tanpa sengaja berkata, “Insya Allah, Besok kita lanjutkan kembali pekerjaan kita dan besok kita bisa keluar dari sini." "Maka keesokan paginya lubang kecil itu ternyata masih tetap ada, kemudian terbukalah dinding tersebut sekaligus kegaibannya dari penglihatan masyarakat luar sebelumnya." "Dan Kaum Ya’juj dan Ma’juj yang selama ribuan tahun terkurung telah berkembang pesat jumlahnya akan turun bagaikan air bah memuaskan nafsu makan dan minumnya di segala tempat yang dapat mereka jangkau di bumi." Jika kaum perusak sekelas ya'juj dan ma'juj saja bisa berhasil meskipun tanpa sengaja mengucapkan Insya Allah, bagaimanakah halnya dengan kita.

Apalagi jika disertai dengan kesadaran dan penuh kepastian mengucapkannya. Yakinlah, janji Allah SWT selalu benar, dia-lah sebaik baik penepat janji. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Ibnu Harmalah dari bibinya berkata: Rasulullah SAW bersabda: "Kamu mengatakan tidak ada permusuhan, padahal sesungguhnya kamu senantiasa memerangi musuh, sehingga datanglah Ya'juj dan Ma'juj; yang lebar jidatnya, sipit matanya, menyala (merah) rambutnya, mereka turun dengan cepat dari seluruh tempat yang tinggi, wajahnya seperti martil." Ini adalah gambar bangsa Troll dalam cerita-cerita fiksi karangan orang Barat. Mungkinkah orang Barat sudah bisa membayangkan Ya'juj Ma'juj.

Waallahu 'alam

Wujud Malaikat Izrail,SangMalaikat Pencabut Nyawa


Malaikat Izrail diciptakan oleh Allah SWT dalam keadaan yang serupa dengan malaikat Mikail baik wajahnya, ukurannya, kekuatannya, lisannya dan sayapnya. Semuanya tidak kurang dan tidak lebih. Dikatakan dia berwajah empat, satu wajah di muka, satu wajah di kepala, satu dipunggung dan satu lagi di telapak kakinya. Dia mengambil nyawa para nabi dari wajah kepalanya, nyawa orang mukmin dengan wajah mukanya, nyawa orang kafir dengan wajah punggung dan nyawa seluruh jin dengan wajah tapak kakinya. Dari kepala hingga kedua telapak kakinya berbulu Za'faran dan di setiap bulu ada satu juta muka di setiap satu juta muka mempunyai satu juta mata dan satu juta mulut dan tangan.

Ia memiliki 4.000 sayap dan 70.000 kaki, salah satu kakinya di langit ketujuh dan satu lagi di jembatan yang memisahkan Surga dan Neraka. Setiap mulut ada satu juta lidah, setiap lidah boleh berbicara satu juta bahasa. Jika seluruh air di lautan dan sungai di dunia disiramkan di atas kepalanya, niscaya tidak setitikpun akan jatuh melimpah. Kematian Disebutkan, ketika Allah SWT mencipta Al-Maut (kematian) dan menyerahkan kepada malaikat Izrail, maka berkata malaikat Izrail: "Wahai Tuhanku, apakah Al-Maut itu?". Maka Allah SWT menyingkap rahasia Al-Maut itu dan memerintah seluruh malaikat menyaksikannya.

Setelah seluruh malaikat menyaksikannya Al- Maut itu, maka tersungkurlah semuanya dalam keadaan pingsan selama seribu tahun. Setelah para malaikat sadar kembali, bertanyalah mereka: "Ya Tuhan kami, adakah makhluk yang lebih besar dari ini?" Kemudian Allah SWT berfirman: "Akulah yang menciptakannya dan Aku-lah yang lebih Agung dari padanya. Seluruh makhluk akan merasakan Al-Maut itu". Kemudian Allah SWT memerintahkan Izrail mengambil Al-Maut Allah telah menyerahkan kepadanya. Walau bagaimanapun, Malaikat Izrail khawatir jika tidak terdaya untuk mengambilnya sedangkan Al- Maut lebih agung daripadanya. Kemudian Allah SWT memberikannya kekuatan, sehinggalah Al-Maut itu menetap di tangannya. Disebutkan pula, setelah seluruh makhluk hidup sudah dicabut nyawanya pada hari kiamat kelak dan yang tersisa tinggal malaikat Izrail lalu Allah SWT menyuruhnya untuk mencabut nyawanya sendiri, demi melihat dahsyatnya sakarataul maut yang sedang terjadi terhadap dirinya, beliau mengatakan "Ya Allah seandainya saya tahu ternyata pedih sekali sakaratul maut ini, tidak akan tega saya mencabut nyawa seorang mukmin".

Malaikat Izrail diberi kemampuan yang luar biasa oleh Allah hingga barat dan timur dapat dijangkau dengan mudah olehnya seperti seseorang yang sedang menghadap sebuah meja makan yang dipenuhi dengan pelbagai makanan yang siap untuk dimakan. Ia juga sanggup membolak- balikkan dunia sebagaimana kemampuan seseorang sanggup membolak- balikkan uang. Sewaktu malaikat Izrail menjalankan tugasnya mencabut nyawa makhluk- makhluk dunia, ia akan turun ke dunia bersama-sama dengan dua kumpulan malaikat yaitu Malaikat Rahmat dan Malaikat 'Azab. Sedangkan untuk mengetahui dimana seseorang akan menemui ajalnya itu adalah tugas dari Malaikat Arham. Walau bagaimanapun, Izrail bersama Jibril, Israfil dan Mikail pernah ditugaskan ketika Allah menciptakan Nabi Adam. Israil juga adalah antara Malaikat yang sering turun ke bumi untuk bertemu dengan para nabi antaranya ialah Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Idris a.s. Sakaratul Maut dan Kematian Mukmin Sesungguhnya seorang hamba mukmin apabila hendak meninggalkan dunia menuju akhirat, turun kepadanya para malaikat dari langit yang berwajah putih seakan wajah mereka ibarat matahari. Mereka membawa kafan dan parfum dari surga.

Mereka duduk di samping calon mayat sejauh mata memandang. Diriwayatkan bahwa para malaikat ini mulai mencabut nyawa dari kaki sampai ke lututnya, kemudian diteruskan oleh para malaikat lainnya sampai ke perut, kemudian diteruskan lagi oleh para malaikat lainnya sampai ke kerongkongan, kemudian datanglah Malaikat maut Alaihis Salam dan duduklah di samping kepala calon mayat seraya berkata: "Wahai jiwa yang baik, wahai jiwa yang tenang, keluarlah menuju ampunan dan ridha dari Allah". Maka keluarlah rohnya dengan lembut seperti air yang menetes dari bibir tempat air. Malaikat maut-pun mengambilnya, setelah Malaikat mengambil ruh itu maka segera di masukkan dalam kafan yang dari surga tersebut dan diberi parfum yang dari surga itu. Lalu keluarlah dari ruh itu bau yang sangat wangi seperti bau parfum yang paling wangi di muka bumi ini. Ketika telah keluar ruhnya maka para Malaikat diantara langit dan bumi menshalatinya, demikian pula semua Malaikat yang di langit. Dan dibukakan untuknya pintu- pintu langit, semua penjaga pintu tersebut berdoa kepada Allah agar ruh tersebut lewat melalui pintunya. Para Malaikat membawa ruh itu naik ke langit, dan tiap-tiap melalui rombongan Malaikat mereka selalu bertanya: "Ruh siapa yang wangi ini???" Para Malaikat yang membawanya menjawab: "Ini ruhnya Fulan bin Fulan", sambil menyebutkan panggilan- panggilan terbaiknya selama di dunia. Malaikat yang membawanya menyebutkan kebaikan- kebaikannya selama di dunia, Kebaikan- kebaikannya dalam hubungan dengan Allah dan dengan sesama manusia bahkan dengan alam semesta.

Tatkala telah sampai di langit dunia para Malaikat meminta dibukakan pintunya. Malaikat penjaga pintu langit membuka pintu itu, kemudian semua Malaikat yang ada ikut mengiringi ruh itu sampai ke langit berikutnya hingga berakhir di langit ke tujuh. Lalu Allah berfirman: "Tulislah catatan amal hamba-Ku di Illiyyiin! Tahukah kamu apakah Illiyyiin itu? (Yaitu)kitab yang bertulis (untuk mencatat amal orang yang baik)" (QS. Al- Muthaffifiin: 19-20). Ditulislah catatan amalnya di Illiyyiin. Kemudian dikatakan: "Kembalikanlah ia ke bumi, karena Aku telah berjanji kepada mereka bahwa Aku menciptakan mereka darinya (tanah) dan mengembalikan mereka kepadanya serta membangkitkan mereka darinya pula pada kali yang lain". Roh itu- pun dikembalikan ke bumi dan ke jasadnya. Sakaratul Maut dan Kematian Kafir atau Fajir Sesungguhnya seorang hamba yang kafir atau fajir (banyak dosa), apabila hendak meninggalkan dunia menuju akhirat, turun kepadanya para Malaikat dari langit yang sangat keras lagi berwajah hitam sambil membawa kain yang kasar dari neraka.

Para malaikat itu duduk disamping calon mayit sejauh mata memandang. Diriwayatkan bahwa para malaikat ini mulai mencabut nyawa dari kaki sampai ke lututnya, kemudian diteruskan oleh para malaikat lainnya sampai ke perut, kemudian diteruskan lagi oleh para malaikat lainnya sampai ke kerongkongan, kemudian datang Malaikat maut Alaihis Salam dan duduk di samping kepalanya seraya berkata: "Wahai jiwa yang busuk keluarlah menuju murka dan kebencian dari Allah". Roh itupun terkejut...Lalu Malaikat mencabutnya seperti mencabut alat pemanggang yang banyak cabangnya dari kain yang basah sehingga terputuslah urat-urat dan ototnya. Malaikat itupun mengambil rohnya dan langsung memasukkannya kedalam kain kasar (yang dari neraka itu). Keluar dari ruh itu bau yang sangat busuk seperti bau paling busuk yang pernah ada di muka bumi ini. Para Malaikat lalu membawa roh itu naik, tiadalah melalui rombongan Malaikat melainkan mereka selalu bertanya: "Roh siapa yang busuk ini?"...Para Malaikat yang membawanya menjawab: "Ini rohnya Fulan bin Fulan", dengan menyebut panggilan-panggilan buruknya ketika di dunia...Malaikat yang membawanya menyebutkan keburukan-keburukanya selama di dunia...Keburukan- keburukannya dalam hubungan dengan Allah dan dengan sesama manusia bahkan dengan alam semesta. Semua malaikat diantara langit dan bumi melaknatinya (mengutuknya), juga semua malaikat yang di langit.

Ditutup untuknya pintu- pintu langit. Masing-masing penjaga pintu berdoa kepada Allah agar ruh itu tidak lewat melalui pintunya. Tatkala telah sampai di langit dunia mereka meminta agar dibuka pintunya dan ternyata tidak dibukakan. Kemudian Rasulullah shallallaahu alaihi wa ala alihi wa sallam membacakan: "Sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka masuk surga, hingga unta masuk ke lubang jarum." (QS.Al-A?raaf: 40). Lantas Allah berfirman: "Tulislah catatan amalnya di sijjiin, dibumi yang paling bawah", Kemudian dikatakan: "Kembalikan hambaKu ke bumi karena Aku telah berjanji bahwa Aku menciptakan mereka darinya (tanah) dan mengembalikan mereka kepadanya serta mengeluarkan mereka darinya pula pada kali yang lain". Lalu rohnya dilempar dari langit sehingga terjatuh ke bumi, kemudian Rasulullah Shallallaahu Alaihi Wa Ala Alihi Wa Sallam membacakan ayat: "Dan barangsiapa menyekutukan Allah, maka seolah- olah ia jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh." (QS. Al- Hajj: 31).

Perintah mencabut nyawa dari 'Arsy Malaikat Maut tidak mengetahui kapan tiap-tiap makhluk yang akan mati, sampai ada daun dari pohon (Sidrat al- Muntaha) yang terletak di bawah 'Arsy gugur. Didaun tersebut tertulis nama makhluk yang akan di cabut nyawanya, lalu dia akan mencabut nyawa makhluk tersebut tepat setelah 40 hari. Jumlah daun di pohon tersebut sama banyaknya dengan bilangan makhluk yang Allah ciptakan. Kemudian akan jatuh dua titisan dari arah 'Arsy pada daun tersebut, titisan hijau ataupun putih. Hijau menandakan bakal si mayat akan mendapat kecelakaan sementara putih mengambarkan dia akan mendapat kebahagiaan. Bertobatlah dari skrg teman2ku. Saya berharap kita semua termasuk orang mukmin yg sejati.

Selasa, 13 Desember 2011

MACAM MACAM HIDAYAH DANCARA MERAIHNYA


Macam2 Hidayah:
1. Hidayah Wijdan, potensi naluria yang Allah SWT tanamkan pada manusia untuk bisa mempertahankan kehidupannya. Hidayah ini bersifat bawaan (potensi naluria/insting) yang diperoleh manusia sejak dilahirkan.
2. Hidayah Hawas wal Masya'ir, yaitu kemampuan inderawi seperti kemampuan merasakan manis, pahit, panas, dingin dll.
3. Hidayah 'Aqli, yaitu kemampuan berpikir, kemampuan untuk memahami fenomena, memberikan persepsi, memberikan makna pada realita yang tertangkap olej indera (QS. Yunus, 10:100-101 / QS. Al-Mulk, 67:22-23 / QS. Al-Ankabuut, 29:20). Ayat2 tersebut sebagai isyarat, pengamatan dan penglihatan dengan bantuan penalaran yang benar (akal- logika) untuk mendapatkan pengetahuan.
4. Hidayah Ad-Din, yaitu berupa petunjuk2 ajaran agama, fungsinya untuk membantu keterbatasan akal. Agama berfungsi memberikan arahan- arahan yang mampu melampaui keterbatasan akal manusia (QS. Al-Lail, 92:12).

Ada 2 macam hidayah Ad-Din:
a. Hidayah Dilalah, yaitu petunjuk2 hidup yang termaktub dalam kitab suci Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah saw. Hidayah agama disini berada dalam konteks sebuah ilmu yang bisa diakses oleh siapapun (baik muslim atau kafir) melalui proses belajar, dengan petunjuk2 keilmuan yang melalui akal dan alat indera. Allah SWT akan memberikan hidayah dilalah kepada semua manusia yang mau memperlajari ajaran2Nya yang termaktub dalam kitab suci-Nya. Karena itu, tidak ada alasan bagi kita untuk mengatakan bahwa saya belum mendapat hidayah, padahal Allah SWT telah menyediakan hidayah itu dalam kita suci-Nya.
b. Hidayah Taufiq, yaitu suatu kekuatan yang Allah SWT berikan pada manusia untuk mengamalkan dengan sungguh2 apa yang telah diketahuinya. Dengan kata lain, hidayah taufiq adalah hidayah dilalah yang kita amalkan. Hidayah taufiq merupakan hidayah yang sangat mahal, tetapi Allah berjanji kepada manusia akan memberikan hidayah-Nya kepada orang2 yang sungguh2 berjuang di jalan-Nya, berjuang untuk konsisten taat pada aturan-Nya di dalam mencapai tujuannya (QS. Al-Ankabuut, 29:69).

Hidayah taufiq hanya merupakan hak prerogatif Allah. Dia memberikannya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya (QS. Al-Qashash, 28:56 / QS. Al- Baqarah, 2:272). Upaya Meraih Hidayah Taufiq Hidayah dilalah bisa diraih melalui proses belajar. Lalu bagaimana upaya kita untuk meraih hidayah taufiq?

1. Berdo'a, sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Baqarah, 2:186 dan QS. Al-Mu'min, 40:60. Kandungan do'a ----QS. Ali-Imran, 3:8.
2. Riyadhah Ruhiyyah/latihan spritual, yaitu dengan bersungguh-sungguh dalam menjalankan ibadah kepada Allah dengan mentauhidkan-Nya dan menjauhi syirik. Misalnya qiyamul lail, shaum sunnah, shadaqah, menghadiri majelis ta'lim, shalat2 sunnah, pengendalian nafsu.
3. Bergabung dengan linkungan yang kondusif. Lingkungan memegang peranan penting dalam pembentukan karakter kita (QS. Al-Kahfi, 18:28). Kandungan doa--- QS. Asy_Syu'araa, 26:83.
4. Memperbanyak amal shaleh, setiap amal shaleh yang ikhlas dan sesuai dengan tuntunan adalah sebagai Tazkiyatun Nufus (QS. Maryam, 19:76).
Kita harus berusaha sekuat tenaga untuk dapat melaksanakan empat point di atas supaya hidayah taufiq itu diberikan pada kita. Wallahu a'lam bish shawab.

Hidayah itu Mahal


Pernahkan terpikirkan bahwa kita tengah berada dalam anugerah yang tiada ternilai dari Dzat yang memiliki kerajaan langit dan bumi, sementara begitu banyak orang yang dihalangi untuk memperolehnya? Kita bisa tahu ajaran yang benar dari agama Islam ini. Tahu ini haq, itu batil… Ini tauhid, itu syirik…. Ini sunnah, itu bid’ah… Lalu kita dimudahkan untuk mengikuti yang haq dan meninggalkan yang batil. Sementara, banyak orang tidak mengerti mana yang benar dan mana yang sesat, atau ada yang tahu tapi tidak dimudahkan baginya untuk mengamalkan al- haq, malah ia gampang berbuat kebatilan. Kita dapat berjalan mantap di bawah cahaya yang terang benderang, sementara banyak orang yang tertatih meraba dalam kegelapan. Kita tahu apa tujuan hidup kita dan kemana kita kan menuju. Sementara, ada orang-orang yang tidak tahu untuk apa sebenarnya mereka hidup.

Bahkan kebanyakan mereka menganggap mereka hidup hanya untuk dunia, sekedar makan, minum, dan bersenang- senang di dalamnya. Apa namanya semua yang kita miliki ini, wahai saudaraku, kalau bukan anugerah terbesar, nikmat yang tiada ternilai? Inilah hidayah dan taufik dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada jalan-Nya yang lurus. Dalam Tanzil-Nya, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: ﻭَﺍﻟﻠَّﻪُ ﻳَﻬْﺪِﻱ ﻣَﻦْ ﻳَﺸَﺎﺀُ ﺇِﻟَﻰٰ ﺻِﺮَﺍﻁٍ ﻣُﺴْﺘَﻘِﻴﻢٍ “Allah memberikan hidayah kepada siapa yang dikehendaki- Nya kepada jalan yang lurus.” (Al-Baqarah: 213) Fadhilatusy Syaikh Al-‘Allamah Muhammad ibnu Shalih Al- Utsaimin rahimahullahu menerangkan dalam tafsirnya bahwa hidayah di sini maknanya adalah petunjuk dan taufik.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan hidayah ini kepada orang yang pantas mendapatkannya, karena segala sesuatu yang dikaitkan dengan kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala maka mesti mengikuti hikmah-Nya. Siapa yang beroleh hidayah maka memang ia pantas mendapatkannya. (Tafsir Al- Qur’anil Karim, 3/31) Fadhilatusy Syaikh Shalih ibnu Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah ketika menjelaskan ayat ﻭَﻫُﻮَ ﺃَﻋْﻠَﻢُ ﺑِﺎﻟْﻤُﻬْﺘَﺪِﻳﻦَ beliau berkata, “Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak meletakkan hidayah di dalam hati kecuali kepada orang yang pantas mendapatkannya. Adapun orang yang tidak pantas memperolehnya, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala mengharamkannya beroleh hidayah tersebut. Allah Yang Maha Mengetahui, Maha Memiliki hikmah, Maha Mulia lagi Maha Tinggi, tidak memberikan hidayah hati kepada setiap orang, namun hanya diberikannya kepada orang yang diketahui-Nya berhak mendapatkannya dan dia memang pantas. Sementara orang yang Dia ketahui tidak pantas beroleh hidayah dan tidak cocok, maka diharamkan dari hidayah tersebut.” Asy-Syaikh yang mulia melanjutkan, “Di antara sebab terhalangnya seseorang dari beroleh hidayah adalah fanatik terhadap kebatilan dan semangat kesukuan, partai, golongan, dan semisalnya. Semua ini menjadi sebab seseorang tidak mendapatkan taufik dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Siapa yang kebenaran telah jelas baginya namun tidak menerimanya, ia akan dihukum dengan terhalang dari hidayah.

Ia dihukum dengan penyimpangan dan kesesatan, dan setelah itu ia tidak dapat menerima al-haq lagi. Maka di sini ada hasungan kepada orang yang telah sampai al-haq kepadanya untuk bersegera menerimanya. Jangan sampai ia menundanya atau mau pikir- pikir dahulu, karena kalau ia menundanya maka ia memang pantas diharamkan/dihalangi dari hidayah tersebut. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: ﻓَﻠَﻤَّﺎ ﺯَﺍﻏُﻮﺍ ﺃَﺯَﺍﻍَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻗُﻠُﻮﺑَﻬُﻢْ “Maka tatkala mereka berpaling dari kebenaran, Allah memalingkan hati-hati mereka.” (Ash-Shaf:5) ﻭَﻧُﻘَﻠِّﺐُ ﺃَﻓْﺌِﺪَﺗَﻬُﻢْ ﻭَﺃَﺑْﺼَﺎﺭَﻫُﻢْ ﻛَﻤَﺎ ﻟَﻢْ ﻳُﺆْﻣِﻨُﻮﺍ ﺑِﻪِ ﺃَﻭَّﻝَ ﻣَﺮَّﺓٍ ﻭَﻧَﺬَﺭُﻫُﻢْ ﻓِﻲ ﻃُﻐْﻴَﺎﻧِﻬِﻢْ ﻳَﻌْﻤَﻬُﻮﻥَ “Dan begitu pula Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Al-Qur’an) pada awal kalinya dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat.” (Al- An’am:110) [I’anatul Mustafid bi Syarhi Kitabit Tauhid, 1/357]

Perlu engkau ketahui, hidayah itu ada dua macam:
1. Hidayah yang bisa diberikan oleh makhluk, baik dari kalangan para nabi dan rasul, para da’i atau selain mereka. Ini dinamakan hidayah irsyad (bimbingan), dakwah dan bayan (keterangan). Hidayah inilah yang disebutkan dalam ayat: ﻭَﺇِﻧَّﻚَ ﻟَﺘَﻬْﺪِﻱ ﺇِﻟَﻰٰ ﺻِﺮَﺍﻁٍ ﻣُﺴْﺘَﻘِﻴﻢٍ “Sesungguhnya engkau (ya Muhammad) benar-benar memberi hidayah/petunjuk kepada jalan yang lurus.” (Asy- Syura: 52)
2. Hidayah yang hanya bisa diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak selain-Nya. Ini dinamakan hidayah taufik. Hidayah inilah yang ditiadakan pada diri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, terlebih selain beliau, dalam ayat: ﺇِﻧَّﻚَ ﻟَﺎ ﺗَﻬْﺪِﻱ ﻣَﻦْ ﺃَﺣْﺒَﺒْﺖَ ﻭَﻟَـٰﻜِﻦَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻳَﻬْﺪِﻱ ﻣَﻦْ ﻳَﺸَﺎﺀُ “Sesungguhnya engkau (ya Muhammad) tidak dapat memberi hidayah/petunjuk kepada orang yang engkau cintai, akan tetapi Allah lah yang memberi hidayah kepada siapa yang Dia kehendaki.” (Al- Qashash: 56) Yang namanya manusia, baik ia da’i atau selainnya, hanya dapat membuka jalan di hadapan sesamanya. Ia memberikan penerangan dan bimbingan kepada mereka, mengajari mereka mana yang benar, mana yang salah. Adapun memasukkan orang lain ke dalam hidayah dan memasukkan iman ke dalam hati, maka tak ada seorang pun yang kuasa melakukannya, karena ini hak Allah Subhanahu wa Ta’ala semata. (Al-Qaulul Mufid Syarhu Kitabit Tauhid, Ibnu Utsaimin, sebagaimana dinukil dalam Majmu’ Fatawa wa Rasa’il beliau 9/340-341)

Saudariku, bersyukurlah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika engkau dapati dirimu termasuk orang yang dipilih-Nya untuk mendapatkan dua hidayah yang tersebut di atas. Karena berapa banyak orang yang telah sampai kepadanya hidayah irsyad, telah sampai padanya dakwah, telah sampai padanya al-haq, namun ia tidak dapat mengikutinya karena terhalang dari hidayah taufik. Sementara dirimu, ketika tahu al-haq dari al-batil, segera engkau pegang erat al-haq tersebut dan engkau empaskan kebatilan sejauh mungkin. Berarti hidayah taufik dari Rabbul Izzah menyertaimu. Tinggal sekarang, hidayah itu harus engkau jaga, karena ia sangat bernilai dan sangat penting bagi kehidupan kita. Ia harus menyertai kita bila ingin selamat di dunia, terlebih di akhirat.

Bagaimana tidak? Sementara kita di setiap rakaat dalam shalat diperintah untuk memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala hidayah kepada jalan yang lurus. ﺍﻫْﺪِﻧَﺎ ﺍﻟﺼِّﺮَﺍﻁَ ﺍﻟْﻤُﺴْﺘَﻘِﻴﻢَ “Tunjukilah (berilah hidayah) kami kepada jalan yang lurus” (Al-Fatihah: 6) Bila timbul pertanyaan, bagaimana seorang mukmin meminta hidayah di setiap waktu shalatnya dan di luar shalatnya, sementara mukmin berarti ia telah beroleh hidayah? Bukankah dengan begitu berarti ia telah meminta apa yang sudah ada pada dirinya? Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu memberikan jawabannya: Allah Subhanahu wa Ta’ala membimbing hamba- hamba-Nya untuk meminta hidayah, karena setiap insan membutuhkannya siang dan malam. Seorang hamba butuh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala setiap saat untuk mengokohkannya di atas hidayah, agar hidayah itu bertambah dan terus-menerus dimilikinya. Karena seorang hamba tidak dapat memberikan kemanfaatan dan tidak dapat menolak kemudharatan dari dirinya, kecuali apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala kehendaki.

Allah ‘Azza wa Jalla pun membimbing si hamba agar di setiap waktu memohon kepada- Nya pertolongan, kekokohan, dan taufik. Orang yang berbahagia adalah orang yang diberi taufik oleh Allah ‘Azza wa Jalla untuk memohon hidayah, karena Allah ‘Azza wa Jalla telah memberikan jaminan untuk mengabulkan permintaan orang yang berdoa kepada-Nya di sepanjang malam dan di penghujung siang. Terlebih lagi bila si hamba dalam kondisi terjepit dan sangat membutuhkan bantuan-Nya. Ini sebanding dengan firman-Nya: ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﺁﻣِﻨُﻮﺍ ﺑِﺎﻟﻠَّﻪِ ﻭَﺭَﺳُﻮﻟِﻪِ ﻭَﺍﻟْﻜِﺘَﺎﺏِ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﻧَﺰَّﻝَ ﻋَﻠَﻰٰ ﺭَﺳُﻮﻟِﻪِ ﻭَﺍﻟْﻜِﺘَﺎﺏِ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﺃَﻧْﺰَﻝَ ﻣِﻦْ ﻗَﺒْﻞُ “Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya…” (An-Nisa’: 136) Dalam ayat ini, Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan orang- orang yang telah beriman agar tetap beriman. Ini bukanlah perintah untuk melakukan sesuatu yang belum ada, karena yang dimaukan dengan perintah beriman di sini adalah hasungan agar tetap tsabat (kokoh), terus menerus dan tidak berhenti melakukan amalan-amalan yang dapat membantu seseorang agar terus di atas keimanan. Wallahu a’lam.

(Tafsir Al-Qur’anil ‘Azhim, 1/38) Berbahagialah dengan hidayah yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepadamu dan jangan biarkan hidayah itu berlalu darimu. Mintalah selalu kekokohan dan keistiqamahan di atas iman kepada Dzat Yang Maha Mengabulkan doa. Teruslah mempelajari ilmu agama. Hadirilah selalu majelis ilmu. Dekatlah dengan ulama, cintai mereka karena Allah ‘Azza wa Jalla. Bergaullah dengan orang- orang shalih dan jauhi orang- orang yang jahat yang dapat merancukan pemahaman agamamu serta membuatmu terpikat dengan dunia. Semua ini sepantasnya engkau lakukan dalam upaya menjaga hidayah yang Allah ‘Azza wa Jalla anugerahkan kepadamu.

Satu lagi yang penting, jangan engkau menjual agamamu karena menginginkan dunia, karena ingin harta, tahta, dan karena cinta kepada lawan jenis. Sekali-kali janganlah engkau kembali ke belakang. Kembali kepada masa lalu yang suram karena jauh dari hidayah dan bimbingan agama. Ingatlah: ﻓَﻤَﺎﺫَﺍ ﺑَﻌْﺪَ ﺍﻟْﺤَﻖِّ ﺇِﻟَّﺎ ﺍﻟﻀَّﻠَﺎﻝُ “Maka tidak ada sesudah kebenaran itu melainkan kesesatan.” (Yunus: 32) Kata Al-Imam Al-‘Allamah Muhammad Jamaluddin Al-Qasimi rahimahullahu, “Kebenaran dan kesesatan itu tidak ada perantara antara keduanya. Maka, siapa yang luput dari kebenaran mesti ia jatuh dalam kesesatan.” (Mahasinut Ta’wil, 6/24) Lalu apa prasangkamu dengan orang yang tahu kebenaran dari kebatilan, semula ia berjalan di atas kebenaran tersebut, berada di atas hidayah, namun kemudian ia futur (patah semangat, tidak menetapi kebenaran lagi, red.) dan lisan halnya mengatakan ‘selamat tinggal kebenaran’? Wallahul Musta’an. Sungguh setan telah berhasil menipu dan mengempaskannya ke jurang yang sangat dalam. Ya Allah, wahai Dzat Yang Membolak-balikkan hati tetapkanlah hati kami di atas agama-Mu, di atas ketaatan kepada-Mu.

Amin ya Rabbal ‘alamin …. Wallahu a’lam bish-shawab.

Apakah hakikat ilmu yangbermamfaat itu?


Ada sebait do'a yang pernah diajarkan Rasulullah SAW dan disunnahkan untuk dipanjatkan kepada Allah Azza wa Jalla sebelum seseorang hendak belajar. do'a tersebut berbunyi : Allaahummanfa'nii bimaa allamtanii wa'allimnii maa yanfa'uni wa zidnii ilman maa yanfa'unii. Dengan do'a ini seorang hamba berharap dikaruniai oleh-Nya ilmu yang bermamfaat. Apakah hakikat ilmu yang bermamfaat itu? Secara syariat, suatu ilmu disebut bermamfaat apabila mengandung mashlahat - memiliki nilai-nilai kebaikan bagi sesama manusia ataupun alam. Akan tetapi, mamfaat tersebut menjadi kecil artinya bila ternyata tidak membuat pemiliknya semakin merasakan kedekatan kepada Dzat Maha Pemberi Ilmu, Allah Azza wa Jalla. Dengan ilmunya ia mungkin meningkat derajat kemuliaannya di mata manusia, tetapi belum tentu meningkat pula di hadapan-Nya.

Oleh karena itu, dalam kacamata ma'rifat, gambaran ilmu yang bermamfaat itu sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh seorang ahli hikmah. "Ilmu yang berguna," ungkapnya, "ialah yang meluas di dalam dada sinar cahayanya dan membuka penutup hati." Seakan memperjelas ungkapan ahli hikmah tersebut, Imam Malik bin Anas r.a. berkata, "Yang bernama ilmu itu bukanlah kepandaian atau banyak meriwayatkan (sesuatu), melainkan hanyalah nuur yang diturunkan Allah ke dalam hati manusia. Adapun bergunanya ilmu itu adalah untuk mendekatkan manusia kepada Allah dan menjauhkannya dari kesombongan diri." Ilmu itu hakikatnya adalah kalimat-kalimat Allah Azza wa Jalla. Terhadap ilmunya sungguh tidak akan pernah ada satu pun makhluk di jagat raya ini yang bisa mengukur Kemahaluasan- Nya. sesuai dengan firman-Nya, "Katakanlah : Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menuliskan) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (dituliskan) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)." (QS. Al Kahfi [18] : 109).

Adapun ilmu yang dititipkan kepada manusia mungkin tidak lebih dari setitik air di tengah samudera luas. Kendatipun demikian, barangsiapa yang dikaruniai ilmu oleh Allah, yang dengan ilmu tersebut semakin bertambah dekat dan kian takutlah ia kepada-Nya, niscaya "Allah akan meninggikan orang- orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat." (QS. Al Mujadilah [58] : 11). Sungguh janji Allah itu tidak akan pernah meleset sedikit pun! Akan tetapi, walaupun hanya "setetes" ilmu Allah yang dititipkan kepada mnusia, namun sangat banyak ragamnya. ilmu itu baik kita kaji sepanjang membuat kita semakin takut kepada Allah. Inilah ilmu yang paling berkah yang harus kita cari. sepanjang kita menuntut ilmu itu jelas (benar) niat maupun caranya, niscaya kita akan mendapatkan mamfaat darinya. Hal lain yang hendaknya kita kaji dengan seksama adalah bagaimana caranya agar kita dapat memperoleh ilmu yang sinar cahayanya dapat meluas di dalam dada serta dapat membuka penutup hati? Imam Syafii ketika masih menuntut ilmu, pernah mengeluh kepada gurunya. "Wahai, Guru. Mengapa ilmu yang sedang kukaji ini susah sekali memahaminya dan bahkan cepat lupa?" Sang guru menjawab, "Ilmu itu ibarat cahaya.

Ia hanya dapat menerangi gelas yang bening dan bersih." Artinya, ilmu itu tidak akan menerangi hati yang keruh dan banyak maksiatnya. Karenanya, jangan heran kalau kita dapati ada orang yang rajin mendatangi majelis-majelis ta'lim dan pengajian, tetapi akhlak dan perilakunya tetap buruk. Mengapa demikian? itu dikarenakan hatinya tidak dapat terterangi oleh ilmu. Laksana air kopi yang kental dalam gelas yang kotor. Kendati diterangi dengan cahaya sekuat apapun, sinarnya tidak akan bisa menembus dan menerangi isi gelas. Begitulah kalau kita sudah tamak dan rakus kepada dunia serta gemar maksiat, maka sang ilmu tidak akan pernah menerangi hati. Padahal kalau hati kita bersih, ia ibarat gelas yang bersih diisi dengan air yang bening. Setitik cahaya pun akan mampu menerangi seisi gelas. Walhasil, bila kita menginginkan ilmu yang bisa menjadi ladang amal shalih, maka usahakanlah ketika menimbanya, hati kita selalu dalam keadaan bersih. Hati yang bersih adalah hati yang terbebas dari ketamakan terhadap urusan dunia dan tidak pernah digunakan untuk menzhalimi sesama. Semakin hati bersih, kita akan semakin dipekakan oleh Allah untuk bisa mendapatkan ilmu yang bermamfaat.

darimana pun ilmu itu datangnya. Disamping itu, kita pun akan diberi kesanggupan untuk menolak segala sesuatu yang akan membawa mudharat. Sebaik-baik ilmu adalah yang bisa membuat hati kita bercahaya. Karenanya, kita wajib menuntut ilmu sekuat- kuatnya yang membuat hati kita menjadi bersih, sehingga ilmu- ilmu yang lain (yang telah ada dalam diri kita) menjadi bermamfaat. Bila mendapat air yang kita timba dari sumur tampak keruh, kita akan mencari tawas (kaporit) untuk menjernihkannya. Demikian pun dalam mencari ilmu. Kita harus mencari ilmu yang bisa menjadi "tawas"-nya supaya kalau hati sudah bening, ilmu-ilmu lain yang kita kaji bisa diserap seraya membawa mamfaat. Mengapa demikian? Sebab dalam mengkaji ilmu apapun kalau kita sebagai penampungnya dalam keadaan kotor dan keruh, maka tidak bisa tidak ilmu yang didapatkan hanya akan menjadi alat pemuas nafsu belaka. Sibuk mengkaji ilmu fikih, hanya akan membuat kita ingin menang sendiri, gemar menyalahkan pendapat orang lain, sekaligus aniaya dan suka menyakiti hati sesama. Demikian juga bila mendalami ilmu ma'rifat.

Sekiranya dalam keadan hati busuk, jangan heran kalau hanya membuat diri kita takabur, merasa diri paling shalih, dan menganggap orang lain sesat. Oleh karena itu, tampaknya menjadi fardhu ain hukumnya untuk mengkaji ilmu kesucian hati dalam rangka ma'rifat, mengenal Allah. Datangilah majelis pengajian yang di dalamnya kita dibimbing untuk riyadhah, berlatih mengenal dan berdekat-dekat dengan Allah Azza wa Jalla. Kita selalu dibimbing untuk banyak berdzikir, mengingat Allah dan mengenal kebesaran-Nya, sehingga sadar betapa teramat kecilnya kita ini di hadapan-Nya. Kita lahir ke dunia tidak membawa apa-apa dan bila datang saat ajal pun pastilah tidak membawa apa-apa. Mengapa harus ujub, riya, takabur, dan sum'ah. Merasa diri besar, sedangkan yang lain kecil. Merasa diri lebih pintar sedangkan yang lain bodoh. Itu semua hanya karena sepersekian dari setetes ilmu yang kita miliki? Padahal, bukankah ilmu yang kita miliki pada hakikatnya adalah titipan Allah jua, yang sama sekali tidak sulit bagi-Nya untuk mengambilnya kembali dari kita? Subhanallaah! Mudah-mudahan kita dimudahkan oleh-Nya untuk mendapatkan ilmu yang bisa menjadi penerang dalam kegelapan dan menjadi jalan untuk dapat lebih bertaqarub kepada-Nya.

Wallahu a'lam bishshawab

Mutiara Hikmah DariKalam Sayyidina Ali BinAbi Thalib



* Permulaan kebaikan dipandang ringan, tetapi akhirnya dipandang berat. Hampir-hampir saja pada permulaannya dianggap sekadar menuruti khayalan, bukan pikiran; tetapi pada akhirnya dianggap sebagai buah pikiran, bukan khayalan. Oleh karena itu, dikatakan bahwa memelihara pekerjaan lebih berat dari pada memulainya

* Memulai pekerjaan adalah sunnah, sedangkan memeliharanya adalah wajib

* Jika engkau ingin mengetahui watak seseorang, maka ajaklah dia bertukar pikiran dengan mu. Sebab, dengan bertukar pikiran itu, engkau akan mengetahui kadar keadilan dan ketidakadilannya, kebaikan dan keburukannya

* Duduklah bersama orang- orang bijak, baik mereka itu musuh atau kawan. Sebab, akal bertemu dengan akal

* Sebaik-baik kehidupan adalah yang tidak menguasaimu dan tidak pula mengalihkan perhatiaanmu (dari mengingat Allah SWT)

* Tanyailah hati tentang segala perkara karena sesungguhnya ia adalah saksi yang tidak akan menerima suap

* Kecemburuan seorang wanita adalah kekufuran, sedangkan kecemburuan seorang laki-laki adalah keimanan.

* Berbicaralah, niscaya kalian akan dikenal karena sesungguhnya seseorang tersembunyi dibawah lidahnya

* Sesungguhnya hati memiliki keinginan, kepedulian, dan keengganan. Maka, datangilah ia dari arah kesenangan dan kepeduliaannya. Sebab, jika hati itu dipaksakan, ia akan buta * Tidak ada kenikmatan di dunia ini yang lebih besar dari pada panjang umur dan badan yang sehat

* Sesungguhnya wanita (sanggup) menyembunyikan cinta selama empat puluh tahun, namun tidak (sangup) menyembunyikan kebenciaan walau hanya sesaat.

* Tiga hal yang menyelamatkan, yaitu; takut kepada Allah, baik secara diam-diam maupun terang-terangan; hidup sederhana, baik di waktu miskin maupun kaya; dan berlaku adil, baik diwaktu marah maupun ridha

* Tiga macam orang yang tidak diketahui kecuali dalam tiga situasi; (pertama) tidak diketahui orang pemberani kecuali dalam situasi perang. (kedua) tidak diketahui orang yang penyabar kecuali ketika sedang marah. (ketiga) tidak diketahui sebagai teman kecuali ketika (temannya) sedang butuh. Barang siapa yang dalam urusannya berada pada posisi tidak memikirkan akibatnya, maka dia telah menghadapkan dirinya pada musibah yang besar

* Diantara taufik adalah berhenti ketika ragu

* Diantara amal kebajikan yang paling utama adalah; berderma di saat susah, bertindak benar ketika sedang marah, dan memberi maaf ketika mampu untuk menghukum

* Kebajikan adalah apa yang dirimu merasa tenang padanya dan hatimu merasa tentram karenanya. Sedangkan dosa adalah yang jiwamu merasa resah karenanya dan hatimu menjadi bimbang

* Jika perkataan keluar dari hati, maka ia akan berpengaruh terhadap hati, dan jika ia keluar dari lidah, maka ia tidak akan mencapai telinga

* Janganlah engkau merendahkan seseorang karena kejelekan rupanya dan pakaiannya yang usang, karena sesungguhnya Allah ta’ala hanya memandang apa yang ada dalam hati dan membalas segala perbuatan

* anganlah engkau teregsa-gesa mencela seseorang karena dosanya. Sebab barangkali dosanya telah diampuni. Dan janganlah engkau merasa aman akan dirimu karena suatu dosa kecil. Sebab, barangkali engkau akan diazab karena dosa kecilmu itu

* Jauhilah olehmu posisi mengemukakan alasan. Sebab, ada kalanya alasan justru menetapkan kesalahan terhadap orang yang berdalih itu, meskipun dia bersih dari dosa itu

* Barangsiapa yang telah kehilangan keutamaan kejujuran dalam pembicaraannya, maka dia telah kehilangan akhlaknya yang termulia

* Buruk sangka melayukan hati, mencurigai orang yang terpercaya, menjadikan asing kawan yang ramah, dan merusak kecintaan saudara

* Janganlah engkau merasa senang dengan banyaknya teman, selama mereka bukan orang yang baik-baik. Sebab, kedudukan teman seperti api, sedikitnya adalah kenikmatan, sedangkan banyaknya adalah kebinasaan

* Sebaik-baik teman, jika engkau tidak membutuhkannya, dia akan bertambah dalam kecintaannya kepadamu, dan jika engkau membutuhkannya, dia tidak akan berkurang sedikitpun kecintaannya kepadamu

* Ada kalanya perang terjadi karena satu kalimat, dan ada kalanya pula cinta tertanam karena pandangan sekilas * Perbuatan buruk yang menjadikanmu bersedih karenanya lebih baik di sisi Allah dari pada perbutan baik yang membuatmu bangga Siapa yang memandang dirinya buruk maka dia adalah orang yang baik. Dan siapa yang memandang dirinya baik, dia adalah orang yang buruk.

Disadur dari:
1. “Tanyalah Aku Sebelum Kau Kehilangan Aku: Kata-Kata Mutiara ‘Ali bin Abi Thalib” . -
2. Nahjul balaghah, min kalaami sayyidina ‘ali kw.

ILMU ALLAH LEBIH LENGKAP DARI PADA KALAMNYA (AL-QUR'AN)


Tanda, petunjuk, isyarat, gejala, pesan, nilai (ayāt) dari hukum alam, hukum sosial, al-Qur’an, al- Sunnah dan lainnya hanya pintu masuk untuk menggapai ilmu Allah swt yang tak terbatas. Ilmu Allah swt lebih luas dari pada kalamnya (al-Qur’an) dan tidak semua ilmu Allah dikalamkan olehNya. Al-Qur’an Al-Qur’an adalah kalam (firman) Allah swt, ia merupakan informasi verbal dari Allah untuk kita manusia. Ia berasal dari ilmu Allah yang tak terhingga dan tak terbatas. Kalam Allah (al-Qur’an) hanya bagian kecil dari ilmuNya, karena ilmuNya lebih luas dari pada kalamNya.

Tidak semua ilmu Allah dikalamkan olehNya kepada utusannya Muhammad saw waktu itu, yaitu pada waktu proses turunnya kalam tersebut sehingga kemudian dikumpulkan dalam bentuk lembaran- lembaran yang kemudian disebut al-Qur’an dan terjilid seperti sekarang. Ilmu Allah swt yang tidak atau belum terkalamkan tentunya lebih banyak lagi, hal itu berupa seluruh hal selain al-Qur’an, misalnya alam semestas, hewan, manusia, makhluk dan benda fisik maupun metafisik dan segala hal yang ada baik yang kita ketahui hari ini maupun yang masih belum diketahui dan lain-lain. Bahkan apa yang disebut di atas juga merupakan bagian kecil dari ilmu Allah karena memang terlalu banyak yang tidak diketahui oleh kita manusia. Kalam Allah (al-Qur’an) tentunya tidak selengkap ilmu Allah swt

. Oleh karena itu isi al-Qur’an hanya menyebutkan sepenggal cerita nabi Adam, Ibrahim, Ismail, Isa, Musa, Firaun (rezim Ramses), Iskandar (Alexander the Great) dan lainnya, atau hanya menyebutkan beberapa hal saja tentang konsep sesuatu, karena al-Qur’an adalah hasil dari proses komunikasi Allah dengan manusia waktu itu, Allah swt sekedar memberitahukan (berkalam) tentang hal-hal yang dianggap diperlukan waktu itu saja, yaitu disesuaikan dengan kesanggupan memahami manusia dan kemampuan melaksanakan ajaran tersebut dengan seluruh kompleksitasnya di bumi. Hal itu dilakukan Allah swt karena kalam bersifat lebih mudah dipahami dan lebih praktis dilaksanakan dari pada manusia harus mencari sendiri tanda atau gejala ilmu Allah dari alam semesta dan lainnya karena pekerjaan itu lebih sulit dan banyak menyita waktu sedangkan manusia-manusia ingkar di zaman nabi Muhammad saw.

berkeinginan dihadirkan bukti-bukti kekuasaan Allah dengan lebih cepat dan praktis. Secara sederhana, tidak semua yang diketahui oleh Allah (ilmu Allah) dinformasikan kepada kita manusia melalui kalamnya (al- Qur’an), tetapi juga menginformasikan ilmunya melalui tanda, gejala yang bisa kita pahami dari alam semesta, binatang, manusia dan lainnya. Kalam (firman/perkataan) membutuhkan bahasa tertentu sebagai alat untuk menyampaikan pesan (nilai-nilai yang mau diajarkan) kepada kita manusia. Sebagaimana umumnya, tidak ada satu bahasa apapun di dunia yang seluruh kata-katanya mampu untuk mencakup dan menghimpun semua pesan yang ingin disampaikan oleh yang bertutur. Bahasa apapun mempunyai keterbatasan karena makna selalu lebih luas dari pada kata. Bahasa hanya berfungsi memberikan penanda pada makna/nilai yang abstrak dan luas.

Ilmu Allah yang mau diajarkan kepada manusia lebih luas dan besar dari pada kata dan kalimat bahasa arab, tentunya bahasa tersebut belum mampu sepenuhnya menangkap dan menghimpun keseluruhan ilmu atau pesan yang ingin disampaikan Allah, oleh karena itu bahasa al-Qur’an lebih banyak metafora, simbol-simbol dan lainnya. Al-Sunnah Al- Sunnah atau hadits adalah perkataan, perilaku, ketetapan, persetujuan dan cita-cita nabi Muhammad saw. Kendati demikian al-Sunnah tidak akan ada tanpa persetujuan Allah swt: 53/3-4 ( ﻭﻣﺎ ﻳﻨﻄﻖ ﻋﻦ ﺍﻟﻬﻮﻯ ﺇﻥ ﻫﻮ ﺇﻻ ﻭﺣﻲ ﻳﻮﺣﻰ ), artinya al-Sunnah sama seperti al-Qur’an yaitu sebagai ilmu Allah yang terkalamkan tetapi lebih bersifat praktis dalam keseharian, atau dalam bahasa lain al-Sunnah adalah contoh praktis. Karena sebuah contoh, jumlahnya hanya satu dan fungsinya adalah memberikan penjelasan pola- pola umum dan hanya untuk mempermudah. Selanjutnya adalah tugas kita sebagai umat nabi Muhammad saw untuk memahami pola umum pada contoh untuk kemudian meegerjakannya secara kreatif atau bahkan menjadi contoh baru yan bisa lebih mudah dipahami oleh yang lain dan manusia berikutnya karena itulah semangat nilai dari al-suunnah. Hal itu sangat diperlukan mengingat setiap individu manusia mempunyai keterbatasan-keterbatasan pemahaman dan zaman terus berubah.

Semakin banyak contoh maka semakin lebih mudah di mengerti tentang sebuah pesan karena pesan lebih luas dari pada kata maka harus ditangkap dengan berbagai cara. Jika cara-cara semacam ini banyak dilakukan maka pada akhirnya referensi umat muslim lebih banyak dan lebih kaya dalam memahami ilmu Allah swt yang tak terbatas dan tak terhingga. Contoh hanya merupakan hasil dari kompromi-kompromi antara tingkat pemahaman audien dan situasi yang melingkupinya dan tujuannya hanya satu, yaitu hanya memberikan kemudahan dalam cara memahami. Sebuah contoh diberikan untuk memberikan pemahaman “ini contoh praktisnya” bukan ingin memberikan pemahaman “ini yang harus dilakukan dan hasilnya wajib ditiru dan dilaksanakan”.

Sekali lagi hanya contoh. Suatu hari disaat Muadz bin Jabal akan pergi ke Yamandalam rangka memerangi para penghalang kebenaran dan keadilan yang diserukan Islam terjadi dialog berikut ini: ﺃﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺑﻌﺚ ﻣﻌﺎﺫﺍ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻴﻤﻦ ﻓﻘﺎﻝ ﻛﻴﻒ ﺗﻘﻀﻲ ﻓﻘﺎﻝ ﺃﻗﻀﻲ ﺑﻤﺎ ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻟﻠﻪ ﻗﺎﻝ ﻓﺈﻥ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻟﻠﻪ ﻗﺎﻝ ﻓﺒﺴﻨﺔ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ ﻓﺈﻥ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻓﻲ ﺳﻨﺔ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ ﺃﺟﺘﻬﺪ ﺭﺃﻳﻲ ) ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺘﺮﻣﻴﺬﻱ ) Artinya: Bahwasannya Rasulullah saw. mengutus Mu’adz ke Yaman. Maka beliau bersabda : “Bagaimana engkau menghukum (sesuatu) ?”. Mu’adz menjawab : “Saya akan menghukum dengan apa yang terdapat dalam Kitabullah”. Beliau bersabda : “Apabila tidak terdapat dalam Kitabullah ?”. Mu’adz menjawab : “Maka (saya akan menghukuminya) dengan Sunnah Rasulullah saw”. Beliau bersabda kembali : “Apabila tidak terdapat dalam Sunnah Rasulullah saw. ?”. Mu’adz menjawab : “Saya akan berijtihad dengan pikiran saya..”. Dari uraian di atas ada isyarat bahwa ilmu Allah swt yang terkalamkan (al-Qur’an dan al- Sunnah) tidak selengkap ilmunya yang belum terkalamkan

. Ilmu Allah lebih luas dan tak terhingga dari pada ilmunya yang sudah terkalamkan. Maka berdasarkan ulasan di atas adalah keliru jika menjadikan al- Qur’an dan hadits sebagai paradigma, dalam artian ajarannya dijadikan landasan dalam menyusun anggapan dasar untuk berfikir dan memahami sesuatu, justru al- Qur’an harus diposisikan sebagai objek ilmu pengetahuan karena al-Qur’an bagian kecil dari ilmu Allah yang harus diketahui oleh kita manusia. Hal yang keliru pula jika al-Qur’an dan hadits dijadikan satu- satunya sumber ilmu pengetahuan atau satu-satunya sumber dasar dalam mengembangkan ilmu pengetahuan karena al-Qur’an memang tidak selengkap ilmuNya. Jadi keliru jika semua perkembangan ilmu pengetahuan dan segala peradaban manusia dicarikan landasannya dalam al-Qur’an. Konsep integrasi (menyatukan ilmu agama dan umum) bukanlah memaksakan temuan sebuah penelitian ilmu pengetahuan yang objeknya adalah ilmu Allah yang belum terkalamkan (manusia dan alam semesta dll.) untuk selalu dicari- cari landasannya dalam ilmunya yang terkalamkan (al-Qur’an) karena al-Qur’an memang tidak selengkap ilmu Allah.

Tetapi yang perlu dilakukan adalah mendialogkan keduanya, saling merivisi, saling melengkapi sehingga dapat tercapai kesimpulan yang paling mendekati kebenaran sejati yang jumlahnya hanya satu (tauhid), itulah integrasi. Ayatisasi hanya penting sebagai langkah awal dalam melakukan proses integrasi, karena ayatisasi adalah langkah pertama untuk mendiskripsikan semangat melakukan saling uji, saling dialog, saling merevisi, saling melengkapi antar hasil pemahaman kita terhadap ilmu Allah yang terkalamkan (al- Qur’an) maupun yang tidak terkalamkan (alam semesta dll.) sehingga ditemukan kesimpulan yang paling mendekati kebenaran. Jika ada kesimpulan yang dihasilkan dari mengkaji ilmu Allah yang verbal dan ilmu Allah yang non verbal yang pada awalnya benar kemudian karena perkembangan pemahaman manusia menjadi salah maka bukan ilmu Allah (objek kajian) yang harus dirubah atau disalahkan tetapi cara kita mengkaji itulah yang harus direvisi. Ilmu Allah pasti benar tetapi tidak akan pernah ada hasil pemahaman manusia siapapun yang mampu menangkap secara keseluruhan hakikat ilmu Allah dengan sebenar-benarnya karena manusia memiliki kecenderungan-kecenderungan yang bersifat membatasi.

Artinya tidak ada metodologi baku apalagi contoh dan hasil baku. Dalam al-Qur’an ada kebenaran maka diperlukan alat bantu berupa ilmu bahasa dan lainnya untuk menggapainya (epistemologi bayani). Dalam alam semesta, binatang, manusia ada kebenaran, untuk menggapainya maka diperlukan alat bantu berupa ilmu alam, sosial, humaniora, dan lainnya (epistemologi burhani). Dalam diri manusia yang bersifat membatin terdapat kebenaran maka diperlukan alat bantu pengungkapan yaitu tarikat, ma’rifat, hakikat bahkan wahdatul wujud (epistemologi irfani). Kebenaran yang ada di masing objek ilmu pengetahuan di atas bukanlah kebenaran sejati, ia hanya tanda atau gejala dari kebenaran sejati. Kebenaran sejati itu adalah Allah swt. Kita manusia selama masih hidup atau tinggal di dunia ini tidak mungkin menggapaiNya, kita bisa menggapainya jika kita telah meninggalkan dunia ini atau roh sudah tidak tinggal di badan kita. Kebenaran sejati (Allah) hanya bisa dijumpai di akhirat nanti, di dunia ini kita hanya memahami tanda dan gejala dari kebenaran sejati yang kemudian kita sebut kebenaran, kebenaran sejati (Allah) dengan kebenaran adalah hal yang sangat berbeda. Jadi di dunia ini jangan berdebat mana yang paling benar?, karena itu mustahil terjawab, tentang yang paling benar kita buktikan saja nanti di akhirat yang penting kita yakin atau percaya bahwa kebenaran sejati (Allah) itu ada dan bersifat tunggal (ahad).

Karena tunggal itulah, merupakan kebodohan jika kita masih saling mengkafirkan atau saling mneyesatkan tentang cara untuk menggapai kebenaran sejati yang tunggal. Di sisi lain yang kita dapat pahami hari ini hanyalah tanda dan gejala kebenaran saja dari kebenaran sejati. Karena tunggal itu pula pasti kita akan akan menuju kepadanya miskipun kita berbeda, jika masih belum percaya kita buktikan nanti setelah kita mati saja (di akhirat), mana diantara kita yang paling benar dengan meminta penghakiman langsung kepada Allah swt saat kita semua nanti bisa menemuinya: ﻳﺎ ﺃﻳﻬﺎ ﺍﻷﻧﺴﻦ ﺇﻧﻚ ﻛﺎﺩﺡ ﺇﻟﻰ ﺭﺑﻚ ﻛﺪﺣﺎ ﻓﻤﻠﻘﻴﻪ Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, Maka pasti kamu akan menemui-Nya. (84:6) ﻛﻼ ﺑﻞ ﺗﺤﺒﻮﻥ ﺍﻟﻌﺎﺟﻠﺔ ﻭﺗﺬﺭﻭﻥ ﺍﻷﺧﺮﺓ ﻭﺟﻮﻩ ﻳﻮﻣﺌﺬ ﻧﺎﺿﺮﺓ ﺇﻟﻰ ﺭﺑﻬﺎ ﻧﺎﻇﺮﺓ ﻭﺟﻮﻩ ﻳﻮﻣﺌﺬ ﺑﺎﺳﺮﺓ ﺗﻈﻦ ﺃﻥ ﻳﻔﻌﻞ ﺑﻬﺎ ﻓﺎﻗﺮﺓ Artinya: Janganlah demikian, sebenarnya kamu (hai manusia) lebih mencintai kehidupan dunia dan meninggalkan (kehidupan) akhirat.Wajah-wajah mereka pada hari itu berseri-seri karena dapat melihat Tuhan mereka. dan Wajah-wajah (lainnya) pada hari itu muram, karena mereka meresa bahwa akan ditimpakan kepadanya malapetaka yang amat dahsyat. (75: 20-25)

BAHAYA BICARA AGAMA TANPA ILMU


Memahami ilmu agama merupakan kewajiban atas setiap muslim dan muslimah. Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassallam bersabda: ﻃَﻠَﺐُ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢِ ﻓَﺮِﻳﻀَﺔٌ ﻋَﻠَﻰ ﻛُﻞِّ ﻣُﺴْﻠِﻢٍ Menuntut ilmu merupakan kewajiban atas setiap muslim. [HR. Ibnu Majah no:224, dan lainnya dari Anas bin Malik. Dishahihkan oleh Syeikh Al- Albani] Dan agama adalah apa yang telah difirmankan oleh Alloh di dalam kitabNya, Al-Qur’anul Karim, dan disabdakan oleh RosulNya di dalam Sunnahnya. Oleh karena itulah termasuk kesalahan yang sangat berbahaya adalah berbicara masalah agama tanpa ilmu dari Alloh dan RosulNya.

Sebagai nasehat sesama umat Islam, di sini kami sampaikan di antara bahaya berbicara masalah agama tanpa ilmu: 1.Hal itu merupakan perkara tertinggi yang diharamkan oleh Allah. Alloh Ta’ala berfirman: ﻗُﻞْ ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﺣَﺮَّﻡَ ﺭَﺑِّﻲَ ﺍﻟْﻔَﻮَﺍﺣِﺶَ ﻣَﺎ ﻇَﻬَﺮَ ﻣِﻨْﻬَﺎ ﻭَﻣَﺎ ﺑَﻄَﻦَ ﻭَﺍْﻹِﺛْﻢَ ﻭَﺍﻟْﺒَﻐْﻰَ ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﺍﻟْﺤَﻖِّ ﻭَﺃَﻥ ﺗُﺸْﺮِﻛُﻮﺍ ﺑِﺎﻟﻠﻪِ ﻣَﺎ ﻟَﻢْ ﻳُﻨَﺰِّﻝْ ﺑِﻪِ ﺳُﻠْﻄَﺎﻧًﺎ ﻭَﺃَﻥْ ﺗَﻘُﻮﻟُﻮﺍ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻠﻪِ ﻣَﺎ ﻻَ ﺗَﻌْﻠَﻤُﻮﻥَ Katakanlah: “Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada- adakan terhadap Allah apa saja yang tidak kamu ketahui (berbicara tentang Allah tanpa ilmu)” (Al-A’raf:33)

Syeikh Abdul Aziz bin Abdulloh bin Baaz rohimahulloh berkata: “Berbicara tentang Allah tanpa ilmu termasuk perkara terbesar yang diharamkan oleh Allah, bahkan hal itu disebutkan lebih tinggi daripada kedudukan syirik. Karena di dalam ayat tersebut Alloh mengurutkan perkara-perkara yang diharamkan mulai yang paling rendah sampai yang paling tinggi.

Dan berbicara tentang Alloh tanpa ilmu meliputi:

1. berbicara (tanpa ilmu) tentang hukum- hukumNya, syari’atNya, dan agamaNya. Termasuk berbicara tentang nama-namaNya dan sifat-sifatNya, yang hal ini lebih besar daripada berbicara (tanpa ilmu) tentang syari’atNya, dan agamaNya.” [Catatan kaki kitab At-Tanbihat Al-Lathifah ‘Ala Ma Ihtawat ‘alaihi Al-‘aqidah Al- Wasithiyah, hal: 34, tahqiq Syeikh Ali bin Hasan, penerbit:Dar Ibnil Qayyim]

2. Berbicara tentang Allah tanpa ilmu termasuk dusta atas (nama) Allah. Allah Ta’ala berfirman: ﻭَﻻَ ﺗَﻘُﻮﻟُﻮﺍ ﻟِﻤَﺎ ﺗَﺼِﻒُ ﺃَﻟْﺴِﻨَﺘُﻜُﻢُ ﺍﻟْﻜَﺬِﺏَ ﻫَﺬَﺍ ﺣَﻼَﻝٌ ﻭَﻫَﺬَﺍ ﺣَﺮَﺍﻡٌ ﻟِّﺘَﻔْﺘَﺮُﻭﺍ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻠﻪِ ﺍﻟْﻜَﺬِﺏَ ﺇِﻥَّ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳَﻔْﺘَﺮُﻭﻥَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻠﻪِ ﺍﻟْﻜَﺬِﺏَ ﻻَ ﻳُﻔْﻠِﺤُﻮﻥَ Dan janganlah kamu mengatakan terhadapa apa yang disebut- sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (QS. An-Nahl (16): 116)

3.Berbicara tentang Allah tanpa ilmu merupakan kesesatan dan menyesatkan orang lain. Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassallam bersabda: ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻟَﺎ ﻳَﻘْﺒِﺾُ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢَ ﺍﻧْﺘِﺰَﺍﻋًﺎ ﻳَﻨْﺘَﺰِﻋُﻪُ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻌِﺒَﺎﺩِ ﻭَﻟَﻜِﻦْ ﻳَﻘْﺒِﺾُ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢَ ﺑِﻘَﺒْﺾِ ﺍﻟْﻌُﻠَﻤَﺎﺀِ ﺣَﺘَّﻰ ﺇِﺫَﺍ ﻟَﻢْ ﻳُﺒْﻖِ ﻋَﺎﻟِﻤًﺎ ﺍﺗَّﺨَﺬَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﺭُﺀُﻭﺳًﺎ ﺟُﻬَّﺎﻻً ﻓَﺴُﺌِﻠُﻮﺍ ﻓَﺄَﻓْﺘَﻮْﺍ ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﻋِﻠْﻢٍ ﻓَﻀَﻠُّﻮﺍ ﻭَﺃَﺿَﻠُّﻮﺍ Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dari hamba- hambaNya sekaligus, tetapi Dia akan mencabut ilmu dengan mematikan para ulama’. Sehingga ketika Allah tidak menyisakan seorang ‘alim-pun, orang-orang-pun mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh. Lalu para pemimpin itu ditanya, kemudian mereka berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka menjadi sesat dan menyesatkan orang lain. (HSR. Bukhari no:100, Muslim, dan lainnya) Hadits ini menunjukkan bahwa “Barangsiapa tidak berilmu dan menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya dengan tanpa ilmu, dan mengqias (membandingkan) dengan akalnya, sehingga mengharamkan apa yang Alloh halalkan dengan kebodohan, dan menghalalkan apa yang Allah haramkan dengan tanpa dia ketahui, maka inilah orang yang mengqias dengan akalnya, sehingga dia sesat dan menyesatkan. (Shahih Jami’il Ilmi Wa Fadhlihi, hal: 415, karya Al- Hafizh Ibnu Abdil Barr, diringkas oleh Syeikh Abul Asybal Az- Zuhairi) 4.Berbicara tentang Allah tanpa ilmu merupakan sikap mengikuti hawa-nafsu.

Imam Ali bin Abil ‘Izzi Al-Hanafi rohimahulloh berkata: “Barangsiapa berbicara tanpa ilmu, maka sesungguhnya dia hanyalah mengikuti hawa- nafsunya, dan Allah telah berfirman: ﻭَﻣَﻦْ ﺃَﺿَﻞُّ ﻣِﻤَّﻦِ ﺍﺗَّﺒَﻊَ ﻫَﻮَﺍﻩُ ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﻫُﺪًﻯ ﻣِّﻦَ ﺍﻟﻠﻪِ Dan siapakah yang lebih sesat dari pada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun (Al- Qashshash:50)” (Kitab Minhah Ilahiyah Fii Tahdzib Syarh Ath- Thahawiyah, hal: 393) 5.Berbicara tentang Allah tanpa ilmu merupakan sikap mendahului Allah dan RasulNya. Allah berfirman: ﻳَﺎﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺀَﺍﻣَﻨُﻮﺍ ﻻَ ﺗُﻘَﺪِّﻣُﻮﺍ ﺑَﻴْﻦَ ﻳَﺪَﻱِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﺭَﺳُﻮﻟِﻪِ ﻭَﺍﺗَّﻘُﻮﺍ ﺍﻟﻠﻪَ ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﺳَﻤِﻴﻊٌ ﻋَﻠِﻴﻢُُ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Hujuraat: 1)

Syeikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rohimahulloh berkata: “Ayat ini memuat adab terhadap Alloh dan RosulNya, juga pengagungan, penghormatan, dan pemuliaan kepadanya. Alloh telah memerintahkan kepada para hambaNya yang beriman, dengan konsekwensi keimanan terhadap Alloh dan RosulNya, yaitu: menjalankan perintah- perintah Alloh dan menjauhi larangan-laranganNya. Dan agar mereka selalu berjalan mengikuti perintah Alloh dan Sunnah RosulNya di dalam seluruh perkara mereka. Dan agar mereka tidak mendahului Alloh dan RosulNya, sehingga janganlah mereka berkata, sampai Alloh berkata, dan janganlah mereka memerintah, sampai Alloh memerintah”. (Taisir Karimir Rahman, surat Al- Hujurat:1) 6.Orang yang berbicara tentang Allah tanpa ilmu menanggung dosa-dosa orang-orang yang dia sesatkan. Orang yang berbicara tentang Allah tanpa ilmu adalah orang sesat dan mengajak kepada kesesatan, oleh karena itu dia menanggung dosa-dosa orang- orang yang telah dia sesatkan. Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassallam: ﻣَﻦْ ﺩَﻋَﺎ ﺇِﻟَﻰ ﻫُﺪًﻯ ﻛَﺎﻥَ ﻟَﻪُ ﻣِﻦَ ﺍْﻷَﺟْﺮِ ﻣِﺜْﻞُ ﺃُﺟُﻮﺭِ ﻣَﻦْ ﺗَﺒِﻌَﻪُ ﻻَ ﻳَﻨْﻘُﺺُ ﺫَﻟِﻚَ ﻣِﻦْ ﺃُﺟُﻮﺭِﻫِﻢْ ﺷَﻴْﺌًﺎ ﻭَﻣَﻦْ ﺩَﻋَﺎ ﺇِﻟَﻰ ﺿَﻼَﻟَﺔٍ ﻛَﺎﻥَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻣِﻦَ ﺍْﻹِﺛْﻢِ ﻣِﺜْﻞُ ﺁﺛَﺎﻡِ ﻣَﻦْ ﺗَﺒِﻌَﻪُ ﻻَ ﻳَﻨْﻘُﺺُ ﺫَﻟِﻚَ ﻣِﻦْ ﺁﺛَﺎﻣِﻬِﻢْ ﺷَﻴْﺌًﺎ Barangsiapa menyeru kepada petunjuk, maka dia mendapatkan pahala sebagaimana pahala- pahala orang yang mengikutinya, hal itu tidak mengurangi pahala mereka sedikitpun.

Dan barangsiapa menyeru kepada kesesatan, maka dia mendapatkan dosa sebagaimana dosa-dosa orang yang mengikutinya, hal itu tidak mengurangi dosa mereka sedikitpun. (HSR. Muslim no:2674, dari Abu Hurairah) 7.Berbicara tentang Allah tanpa ilmu akan dimintai tanggung- jawab. Alloh Ta’ala berfirman: ﻭَﻻَ ﺗَﻘْﻒُ ﻣَﺎ ﻟَﻴْﺲَ ﻟَﻚَ ﺑِﻪِ ﻋِﻠْﻢٌ ﺇِﻥَّ ﺍﻟﺴَّﻤْﻊَ ﻭَﺍﻟْﺒَﺼَﺮَ ﻭَﺍﻟْﻔُﺆَﺍﺩَ ﻛُﻞُّ ﺃُﻭْﻻَﺋِﻚَ ﻛَﺎﻥَ ﻋَﻨْﻪُ ﻣَﺴْﺌُﻮﻻً Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya. (QS. Al- Isra’ : 36) Setelah menyebutkan pendapat para Salaf tentang ayat ini, imam Ibnu Katsir rohimahulloh berkata: “Kesimpulan penjelasan yang mereka sebutkan adalah: bahwa Alloh Ta’ala melarang berbicara tanpa ilmu, yaitu (berbicara) hanya dengan persangkaan yang merupakan perkiraan dan khayalan.” (Tafsir Al-Qur’anul Azhim, surat Al- Isra’:36) 8.Orang yang berbicara tentang Allah tanpa ilmu termasuk tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan.

Syeikh Hafizh bin Ahmad Al- Hakami t menyatakan: “Fashal: Tentang Haramnya berbicara tentang Allah tanpa ilmu, dan haramnya berfatwa tentang agama Allah dengan apa yang menyelisihi nash-nash”. Kemudian beliau membawakan sejumlah ayat Al-Qur’an, di antaranya adalah firman Allah di bawah ini: ﻭَﻣَﻦ ﻟَّﻢْ ﻳَﺤْﻜُﻢ ﺑِﻤَﺂ ﺃَﻧﺰَﻝَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻓَﺄُﻭْﻻَﺋِﻚَ ﻫُﻢُ ﺍﻟْﻜَﺎﻓِﺮُﻭﻥَ Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. 5:44) 9.Berbicara agama tanpa ilmu menyelisihi jalan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rohimahulloh menyatakan di dalam aqidah Thahawiyahnya yang masyhur: “Dan kami berkata: “Wallahu A’lam (Allah Yang Mengetahui)”, terhadap perkara-perkara yang ilmunya samar bagi kami”. [Minhah Ilahiyah Fii Tahdzib Syarh Ath- Thahawiyah, hal: 393] 10.Berbicara agama tanpa ilmu merupakan perintah syaithan. Allah berfirman: ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﻳَﺄْﻣُﺮُﻛُﻢ ﺑِﺎﻟﺴُّﻮﺀِ ﻭَﺍﻟْﻔَﺤْﺸَﺂﺀِ ﻭَﺃَﻥ ﺗَﻘُﻮﻟُﻮﺍ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻠﻪِ ﻣَﺎ ﻻَ ﺗَﻌْﻠَﻤُﻮﻥَ Sesungguhnya syaithan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan kepada Allah apa yang tidak kamu ketahui. (QS. 2:169) Keterangan ini kami akhiri dengan nasehat: barangsiapa yang ingin bebicara masalah agama hendaklah dia belajar lebih dahulu. Kemudian hendaklah dia hanya berbicara berdasarkan ilmu.

Wallohu a’lam bish showwab. Al-hamdulillah Rabbil ‘alamin.

Penulis: Ustadz Abu Isma’il Muslim Al-Atsari Artikel: www.ustadzmuslim.com

Sabtu, 10 Desember 2011

Aqidah Imam Empat Adalah Satu


Pembahasan Pertama Aqidah Imam Empat iaitu Imam Abu Hanifah , Imam Malik , Imam Syafi’i dan Imam Ahmad Ibnu Hanbal adalah satu iaitu aqidah sebagaimana yang dinyatakan oleh Al-Quran dan Sunnah Nabi s.a.w dan sebagaimana aqidah para sahabat dan golongan yang mengikuti jejak langkah mereka dengan baik. Al Hamdulillah, di antara mereka tidak terdapat percanggahan dalam Ushuluddin atau Asas-asas agama, malahan kesemua mereka bersepakat tentang iman terhadap sifat-sifat Allah, Al- Quran adalah Kalam dan bukan makhluk, Iman mestilah bersesuaian antara ucapan lisan dan keyakinan hati, bahkan mereka bersepakat mengingkari Golongan Ahli Kalam seperti seperti Jahmiyah dan seumpamanya yang sudah terpengaruh dengan falsafah Yunani dan Mazhab-Mazhab Kalamiyah.

Imam Ibnu Taimiyah berkata : (….namun berkat rahmat Allah kepada hamba-hamba-Nya bahawa Imam-Imam yang menjadi ikutan umat seperti Imam-Imam yang empat dan lain-lain, semua mereka mengingkari Ahli Kalam seperti Jahmiyah; tentang keyakinan mereka terhadap Al-Quran, Iman dan Sifat-sifat Allah. Kesemua mereka mempunyai satu pendirian dan keyakinan sebagaimana pendirian dan keyakinan Salafus Soleh bahawa Allah S.W.T.dapat dilihat di akhirat, dan Al-Quran itu Kalamullah bukan makhluk, Iman pula mestilah gabungan daripada ucapan lisan dan keyakinan hati………). Imam Ibnu Taimiyah ditanya tentang I’tiqad Imam Syafi’I, jawabnya: “ I’tikad Syafi’i r.a dan I’tikad Salaf Al Ummah seperti Malik, Al Thaury, Al Auza’i, Ibnu Al Mubarak, Ahmad Ibnu Hanbal, Ishak Bin Ruhawaih adalah sebagaimana I’tikad Masyaikh Al Muqtadaa (Syeikh-syeikh yang menjadi teladan umat) seperti Al Fudhail Bin ‘Iyadh, Abu Sulaiman Al Daraany, Sahl Bin Abdullah Al Tustury dan lain-lain. Tidak terdapat perbezaan pandangan di antara mereka dalam hal yang bersangkutan dengan Ushuludin. Demikian juga Imam Abu Hanifah Rahimahullah kerana i’tikad yang thabit daripada beliau tentang Tauhid dan Qadar dan yang seumpamanya adalah bersesuaian dengan I’tikad mereka.

Manakala I’tikad mereka adalah sebagaimana I’tikad Para Sahabat dan Tabi’iin iaitu apa yang dinyatakan oleh Al-Quran dan Sunnah Nabi s.a.w.” Pandangan ini telah dipilih oleh Al’Allaamah Shadiq Hasan Khaan, katanya: “Maka mazhab kami adalah sebagaimana mazhab Salaf iaitu Ithbat tanpa Tasybih, Tanzih tanpa ta’thil. Inilah mazhab Imam-Imam Utama Umat Islam seperti Malik Syafi’I, Al Thaury, Ibnu Al Mubarak dan Imam Ahmad …….dan lain-lain lagi. Tidak terdapat di antara mereka sedikitpun percanggahan dalam hal Ushuluddin. Demikian juga dengan Imam Abu Hanifah r.a. kerana I’tikad yang thabit daripada beliau ialah sebagaimana I’tikad Imam-Imam yang lain iaitu sebagaimana yang dinyatakan oleh Al-Quran dan Sunnah Nabi s.a.w. Berikut ini akan kami dedahkan nukilan kata-kata Imam-Imam Yang Empat yang menjadi ikutan ramai umat Islam iaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Al syafi’I dan Imam Ahmad Ibnu Hanbal tentang apa yang mereka I’tikadkan dalam masalah- masalah Ushuluddin serta penjelasan tentang sikap mereka masing-masing terhadap Ilmu Kalam. Pembahasan Kedua Aqidah Imam Abu Hanifah Tentang Tauhid Imam Abu Hanifah berkata: Tidak wajar seseorang berdoa kepada Allah kecuali dengan-Nya dan doa yang diizinkan serta disuruh Allah adalah sebagaimana yang tertera dalam firman Allah, mafhumnya, Hanya milik Allah Asma-ul husna maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang daripada kebenaran dalam menyebut nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan (Al A’raf: 180) Abu Hanifah berkata: Adalah dibenci jika seseorang berdoa dengan mengatakan: Aku memohon kepada-Mu dengan hak si pulan atau hak Nabi-Nabi- Mu dan hak Rasul-Rasul-Mu atau hak Al Bait Al Haram dan Al Masy’ar Al Haram. Abu Hanifah berkata: Allah tidak boleh disifati dengan sifat-sifat makhluk; MurkaNya dan RedhaNya adalah dua sifat di antara sifat-sifatNya tanpa takyiif. Inilah keyakinan Ahlus Sunnah Wal Jamaah iaitu Dia Murka dan Dia Redha; Dan tidak boleh dikatakan MurkaNya itu adalah seksa-Nya, dan Redha- Nya itu Ganjaran-Nya. Kita mestilah mensifati-Nya sebagaimana Dia sendiri yang mensifati diri-Nya; Al Ahad, Al- Shamad, Lam Yalid Wa Lam Yuulad, Wa lam yakun Lahuu Kufuan Ahad. Dia Maha Hidup, Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Mengetahui, Tangan Allah di atas tangan mereka, Tangan- Nya tidak sebagaimana tangan- tangan makhluk-Nya, dan Wajah- Nya tidak sebagaimana wajah- wajah makhluk-Nya. Abu Hanifah berkata: Allah mempunyai tangan dan wajah sebagaimana Allah menyebutnya di dalam Al Quran. Maka apa yang disebutkan oleh Allah di dalam Al Quran seperti menyebut tangan dan wajah, itu adalah sifat bagi-Nya tanpa takyiif (mempertikaikan tentang bagaimana).

Kita tidak boleh mengatakan tangan-Nya adalah kuasa-Nya atau ni’mat-Nya kerana yang demikian itu bererti kita telah membatalkan sifat Allah (Ibthaalus Sifat), dan pandangan seperti inilah sebenarnya pandangan Qadariyah dan Mu’tazilah. Abu Hanifah berkata: Tidak wajar bagi seseorang memperkatakan sesuatu tentang Dzat Allah, bahkan dia sepatutnya mensifati Allah dengan apa yang telah Allah sifatkan kepada diri-Nya. Kita tidak sepatutnya memperkatakan sesuatu tentangnya berdasarkan akal semata, Maha Suci Allah Tuhan sekalian alam. Abu Hanifah berkata: Sesiapa yang berkata, “Saya tidak tahu, adakah Allah itu di langit atau di bumi” maka dia kafir, demikian juga orang yang berkata: Sesungguhnya Dia di atas Arasy tetapi saya tidak tahu adakah `Arasy itu di langit atau di bumi. Abu Hanifah berkata: Al-Quran adalah Kalamullah, di dalam mashhaf dia ditulis dan di dalam hati dia dihafaz dan pada lidah dia dibaca, dan ke atas Nabi s.a.w. diturunkan.

Tentang Qadar Dia berkata: Adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu sejak azali sebelum sesuatu itu wujud lagi. Dia berkata: Allah Maha Mengetahui tentang sesuatu yang tiada (ma’dum) dalam hal ketiadaannya, dan Dia Maha mengetahui bagaimana keadaannya jika Dia mewujudkannya, dan Allah Maha Mengetahui bagaimana kelak yang wujud itu akan musnah. Dia berkata: Kami menyakini bahawa Allah menyuruh Qalam supaya menulis, lalu Qalam berkata: Apakah yang akan aku tulis, wahai Tuhan? Maka Allah berfirman kepadanya: Tulislah olehmu apa yang akan terjadi hingga ke Hari Kiamat. Ini berdasarkan firman Allah : Dan segala sesuatu yang telah mereka perbuat tercatat dalam buku-buku catatan. Dan segala (urusan) yang kecil mahu pun yang besar adalah tertulis (Al Qamar: 52-53). Dia berkata: Kami menyakini bahawa hamba (manusia) bersama amalannya dan ikrarnya dan ma’rifatnya adalah makhluk. Sebab jika orang yang melakukan perbuatan (Faa’il) itu adalah makhluk maka adalah lebih utama perbuatan- perbuatannya (Afaal) itu adalah makhluk. Dia berkata: Segala perbuatan hamba, sama ada pergerakannya ataupun diamnya adalah usaha atau ikhtiar mereka. Dan Allah Yang Menciptanya. Semuanya adalah dengan kehendak-Nya, Ilmu-Nya, Qadha-Nya dan Qadar- Nya. Dia berkata: Semua perbuatan hamba, sama ada pergerakan; ataupun diamnya adalah usahanya secara hakiki (sebenarnya) dan Allah menciptakannya. Semuanya adalah dengan kehendak-Nya dan ilmu-Nya dan Qadha-Nya dan Qadar-Nya. Semua ketaatan adalah wajib dengan perintah Allah dan dengan Kesukaan-Nya dan Redha-Nya, Ilmu-Nya, Kehendak-Nya, Qadha-Nya dan Qadar-Nya. Sedangkan maksiat pula semuanya adalah dengan ilmu Allah, Qadha-Nya, Taqdir- Nya dan Kehendak-Nya, bukan dengan Kesukaan-Nya, bukan dengan Keredhaan-Nya dan bukan pula dengan Perintah-Nya. Tentang Iman Iman adalah ikrar dan tashdiq.

Iman adalah ikrar dengan lisan dan tashdiq dengan hati. Ikrar dengan lisan sahaja belum lagi dikatakan iman. Iman tidak bertambah dan tidak berkurang. Pandangan Abu Hanifah bahawa Iman tidak bertambah dan tidak berkurang, dan juga pandangan beliau tentang Iman adalah kirar dengan lisan dan tashdiq dengan hati sedangkan amal pula terkeluar daripada hakikat iman. Pandangan inilah yang menjadi pembeza utama antara I’tikad Imam Abu Hanifah dengan I’tikad semua Imam-Imam Islam lainnya seperti Imam Malik, Imam Syafi’I, Imam Ahmad, Ishak, Al- Bukhari dan lain-lain lagi. Dalam hal ini yang benar ialah pandangan imam-imam tersebut sedangkan pandangan Abu Hanifah tidak menepati kebenaran. Namun demikian beliau akan diberi ganjaran dalam kedua-dua keadaan (Ijtihad). Dan Imam Abdul Barr dan Imam Ibnu Abi Al ‘Izz menyebut bahawa dapat dirasakan bahawa Imam Abu Hanifah telah kembali atau menarik balik dari perkataannya itu, Wallahu A’lam. Tentang Sahabat Kami tidak mengatakan tentang seorang sahabat pun daripada sahabat-sahabat Rasul s.a.w. kecuali yang baik-baik sahaja. Kami tidak berlepas diri daripada seorang pun daripada sahabat- sahabat Rasul s.a.w. sebagaimana kami tidak menjadikan salah seorang mereka sahaja sebagai pemimpin kami tanpa yang lain. Kedudukan salah seorang mereka bersama Rasulullah s.a.w. satu saat adalah lebih baik daripada amal soleh seorang di antara kita sepanjang umurnya walaupun lanjut usianya. Kami berikrar bahawa manusia yang paling mulia daripada umat ini sesudah Nabi Muhammad s.a.w. ialah Abu Bakar Al-Siddiq kemudian Umar Ibnu Al Khattab kemudian Othman Ibnu ‘Affan kemudian Ali bin Abi Thalib Ridhwaanullahi’Alaihim Ajma’iin.

Tentang Ilmu Kalam Abu Hanifah berkata: Mudah- mudahan Allah menurunkan laknat-Nya ke atas Amr Bin ‘Ubiad kerana dialah orang pertama yang membuka jalan kepada manusia ramai tentang Ilmu Kalam yang sama sekali tidak mendatangkan manfaat kepada mereka. (25) Berkata Abu Hanifah kepada Abu Yusuf: Janganlah kamu katakan kepada orang ramai tentang Ushuluddin secara pendekatan Ilmu Kalam, kerana kelak mereka akan bertaklid kepada kamu dan akhirnya mereka hanya akan menyibukkan diri mereka dengan perkara itu sahaja.(26) Pembahasan Ketiga Aqidah Imam Malik Bin Anas Tentang Tauhid Imam Syafi’i berkata: Imam Malik ditanya tentang Kalam dan Tauhid, lalu Imam Malik menjawab: Adalah mustahil jika kita menyangka Nabi Muhammad s.a.w. mengajar umatnya istinjak tetapi tidak mengajar mereka Tauhid. Dan Tauhid adalah sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah s.a.w. Aku disuruh memerangi manusia sehingga mereka berkata Tidak ada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah (HR Imam Bukhari) Hakikat Tauhid adalah segala yang dengannya terpelihara harta dan darah. Daripada Ja’far Bin Abdullah katanya: Kami pernah duduk berdekatan dengan Imam Malik lalu seorang lelaki bertanya kepada beliau: Wahai Abu Abdillah, Allah Yang Maha Pengasih bersemayam di atas `Arasy, bagaimana Dia bersemayam? Imam Malik menjawab: Tentang bagaimana Dia bersemayam tidak boleh diakali (ghair ma’qul), dan bersemayam-Nya bukan suatu yang dijahili (ghair majhul), beriman kepadanya (bersemayam) adalah wajib, dan bertanya tentangnya adalah bid’ah.

Daripada Yahya Bin Al Rabi’ katanya: Aku pernah duduk bersama Imam Malik lalu beliau ditanya oleh seorang lelaki: Wahai Aba Abdillah, apakah pandangan tuan tentang orang yang mengatakan bahawa Al- Quran itu makhluk? Imam Malik menjawab: Dia adalah Zindiq dan bunuhlah dia (29). Daripada Abdullah Bin Nafi’ katanya: Telah berkata Imam Malik: Allah adalah di langit dan Ilmu-Nya pada semua tempat. (30) Tentang Imam Daripada Abdul Razzak Bin Hammam katanya: Aku mendengar Ibnu Juraij dan Sofyan Al Thauri dan Ma’ mar Bin Rasyid dan Sofyan Bin `Uyainah dan Malik Bin Anas; mereka berkata: Iman adalah ucapan dan amalan, boleh bertambah dan boleh berkurang. Daripada Abdullah bin Nafi’ katanya: Imam Malik berkata: Iman adalah ucapan dan perbuatan. Daripada Asyhab Bin Abdul Aziz katanya: Imam Malik berkata: Manusia melakukan solat selama 16 bulan menghadap ke arah Bailtil Maqdis, kemudian mereka diperintahkan supaya menghadap ke arah Masjid Al Haram, lalu Allah SWT berfirman,mafhumnya: Dan Allah tidak akan menyia- nyiakan imanmu. (Al Baqarah: 143) Maksudnya: Allah tidak akan menyia-nyiakan solatmu kearah Baitil Maqdis. Imam Malik berkata: Sesungguhnya ayat ini mengingatkan aku kepada perkataan golongan Murjiah: Sesungguhnya solat bukanlah sebahagian daripada iman. Tentang Sahabat Daripada Abdullah Al’Anbary katanya: Imam Malik Bin Anas telah berkata: Siapa yang memperlecehkan atau memperkecil-kecilkan salah seorang sahabat Rasulullah s.a.w. atau di dalam hatinya terdapat perasaan dengki kepada sahabat, maka ia tidak berhak mendapat bahagian di dalam harta rampasan perang kaum muslimin. Kemudian beliau membaca ayat, mafhumnya: Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: Ya Tuhan kami beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu daripada kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang- orang yang beriman (AL Hasyr: 10) . Daripada Abdullah bin Nafi’ katanya: Ketika kami sedang duduk-duduk memperkatakan tentang seorang lelaki yang memperkecil-kecilkan sahabat- sahabat Rasulullah s.a.w. lalu Imam Malik membaca ayat ini, mafhumnya: Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka; sehingga tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya kerana Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin) (Al Fath: 29) Kemudian Imam Malik berkata: Sesiapa yang terdapat di dalam hatinya perasaan jengkel (sakit hati) terhadap salah seorang sahabat Rasulullah s.a.w.

maka ia termasuk ke dalam ancaman ayat ini. Daripada Asyhab Bin Abdul Aziz katanya: Seorang `Alawy (fanatik kepada Saidina Ali) bertanya kepada Imam Malik: Siapakah manusia yang paling mulia sesudah Rasulullah s.a.w. ? Imam Malik menjawab: Abu Bakar. `Alawy bertanya lagi: Kemudian siapa? Malik menjawab: Umar Ibnu Al Khattab. `Alawy bertanya lagi: Kemudian siapa lagi? Malik menjawab: Khalifah yang dibunuh secara zalim iaitu Uthman. Lalu `Alawy berkata: Demi Allah, aku tidak akan berguru kepadamu lagi untuk selama-lamanya Imam Malik menjawab: Terserahlah kepada kamu. Tentang Ilmu Kalam Daripada Mash’ab Bin Abdullah Al Zubairy katanya: Imam Malik Bin Anas berkata: Aku benci terhadap kalam dalam urusan agama, dan penduduk negeri kami tetap membencinya dan mereka melarang daripadanya, seperti kalam tentang pandangan Jahm dan Qadariah dan yang seumpama itu. Beliau tidak menyukai kalam kecuali dalam perkara yang dapat diamalkan. Adapun kalam dalam agama Allah dan pada Dzat Allah Azza Wa Jalla maka berdiam diri (sukut) adalah lebih aku sukai kerana aku melihat penduduk negeri kami semuanya melarang kalam dalam urusan agama kecuali yang berkaitan dengan amal perbuatan. Daripada Abdullah bin Nafi’ katanya: Aku pernah mendengar Imam Malik berkata: Jika seseorang yang telah melakukan semua dosa-dosa besar selain syirik, kemudian dia berlepas diri daripada mengikuti hawa nafsu dan perbuatan bid’ah (lalu Imam Malik menyebut di antaranya Kalam) maka ia akan masuk syurga. Daripada Ishak Bin Isa katanya: Aku mendengar Imam Malik Bin Anas mencela perbuatan- perbuatan berbantah-bantahan (jidal) dalam urusan agama, beliau berkata: Setiap kali datang kepada kami orang yang gemar berbantahan seolah-olah ia menginginkan agar kami menolak apa yang dibawa oleh Jibrail kepada Nabi Muhammad s.a.w. Daripada Abdul Rahman Bin Mahdy katanya: Seorang lelaki bertanya kepada Imam Malik , lalu Imam Malik berkata: Barangkali engkau salah seorang sahabat daripada ‘ Amr Bin ‘ Ubaid, mudah-mudahan Allah menurunkan laknat-Nya ke atas ‘ Amr Bin ‘ Ubaid kerana dialah orang yang memulai bid’ah kalam ini , kalaulah kalam itu suatu ilmu nescaya perkara ini menjadi percakapan di kalangan para Sahabat dan Tabi’in sebagaimana percakapan dan perbincangan mereka tentang hukum hakam dan syariat . Daripada Asyhab Bin Abdul Aziz katanya : Aku mendengar Imam Malik berkata : Jauhilah bid’ah. Beliau ditanya : Wahai Aba Abdillah , apakah bid’ah itu ? Jawabnya: Ahli Bid’ah ialah orang orang yang memperkatakan ( yatakallamuun ) tentang Nama nama dan Sifat sifat Allah , tentang Kalam-Nya, Ilmu-Nya, Kudrat-Nya.


Mereka tidak diam (yaskutuun ) sebagaimana diamnya para sahabat dan pengikut pengikut mereka dengan ihsan. Daripada Imam Syafii’ katanya : Jika datang kepada Imam Malik sebagian daripada Ahli Ahwaa’ ( Orang orang yang gemar mengikuti hawa nafsu seperti ahli kalam), lalu beliau akan berkata kepada mereka : Adapun aku telah berada di dalam keyakinan yang jelas ( bayyinah ) yang datang daripada Tuhanku, sedangkan kamu berada di dalam keraguan ( syak ) , oleh sebab itu pergilah kamu kepada keraguanmu dan musuhilah dia. Pembahasan Keempat Aqidah – Imam Syafi’i Tentang Tauhid Daripada Al Rabi’ Bin Sulaiman katanya: Telah berkata Al- Syafi’i: Siapa yang bersumpah dengan Allah atau dengan salah satu Nama daripada Nama- Nama-Nya, lalu ia langgar sumpah itu maka wajib ke atasnya kaffarat sumpah, sedangkan siapa yang bersumpah dengan sesuatu selain Allah seperti kata seseorang: Demi Ka’bah, demi nenek moyang dan sebagainya, lalu ia melanggar sumpah tersebut maka ia tidak wajib membayar kaffarat sumpah. Namun demikian sumpah dengan selain Allah adalah dibenci dan dilarang berdasarkan sabda Rasulullah s.a.w., maksudnya, Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla melarang kamu bersumpah dengan nenek moyangmu, barangsiapa yang ingin bersumpah maka hendaklah dengan (Nama) Allah atau hendaklah dia diam sahaja (HR Imam Bukhari) Imam Syafi’I berpendapat demikian dengan alasan kerana Nama-Nama Allah adalah bukan makhluk. Oleh itu sesiapa yang bersumpah dengan Nama Allah, lalu ia melanggarnya maka wajib ke atasnya membayar kaffarat. Imam Ibnu Al Qayyim menyebut dalam kitab Ijtima’il Juyuusy Al Islamiah bahawa Imam Al Syaffi’I berkata: Mengikut Sunnah yang aku berada di atas jalannya dan begitu juga aku melihat sahabat- sahabatku daripada kalangan Ahli Hadis yang aku mengambilnya daripada mereka seperti Sofyan dan Imam Malik dan lain-lain lagi, ialah: Ikrar (pengakuan) bahawa sesungguhnya Muhammad adalah pesuruh Allah, dan sesungguhnya Allah adalah di atas `Arasy-Nya dilangit-Nya, Dia mendekati makhluk-Nya sebagaimana Dia kehendaki, dan Allah turun ke langit dunia sebagaimana Dia kehendaki. ) Imam Syafi’i berkata di dalam kitabnya “Al Risaalah” : Al Hamdulillah (segala puji bagi Allah) yang Dia adalah sebagaimana yang Dia telah sifati diri-Nya sendiri dan dia mengatasi apa yang disifati oleh makhluk-Nya”. Imam Al Zahaby menyebut dalam kitab Al Sair daripada Imam Al Syafi’i bahawa beliau pernah berkata: Kami mengithbatkan (menetapkan) semua sifat Allah yang tercantum di dalam Al Quran dan semua sifat Allah yang warid (datang) dari Sunnah, dan kami menafikan (menidakkan) tasybih (penyerupaan) daripada-Nya sebagaimana Dia menafikan daripada diri-Nya kerana firman- Nya, mafhumnya, Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia (Al Syuura: 11) Daripada Al Rabi’ Bin Sulaiman katanya: Aku mendengar Imam Syafi’i berkata tentang firman Allah: Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar- benar terhalang daripada (melihat) Tuhan mereka. (Al Muthaffifin: 15) Ayat ini mengajar kepada kita bahawa di sana ada golongan yang tidak terhalang daripada melihat Allah. Manakala ada golongan yang terhalang daripada melihat-Nya kerana kemurkaan-Nya kepada mereka, demikian jugalah akan ada golongan yang dapat melihat-Nya kerana keredhaan- Nya.

Ketika Imam Syafi’i ditanya oleh Al-Rabi’: Wahai Aba Abdillah, adakah tuan berpendapat demikian? Jawap Syafi’i: Ya, demikianlah keyakinanku. Daripada Ibnu Abi Al Jaarud katanya: Ketika disebut nama Ibrahim Bin Ismail Bin ‘Ulaih (menurut Imam Al Zahaby: Ibrahim ini adalah seorang yang berfahaman Jahmy yang mendakwa bahawa al-Quran itu makhluk) kepada Imam Syafi’i, lalu beliau berkata: Aku bercanggah dengannya dalam semua hal; dan tentang Laa Ilaaha Illallaah, aku tidak mengatakan sebagaimana dia katakan. Aku berkata: Tidak ada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah yang telah berkata-kata kepada Musa ‘Alaihissalam dengan kata-kata yang sebenarnya daripada belakang hijab (tabir). Sedangkan dia berkata: Tidak ada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah yang telah mencipta kata-kata, lalu Dia memperdengarkannya kepada Musa dari belakang hijab. Daripada Al-Rabi’ Bin Sulaiman katanya: Imam Syafi’i berkata: Siapa yang mengatakan Al Quran itu makhluk maka kafirlah dia. Di antara i’tikad yang dinisbahkan (dibangsakan) kepada Imam Syafi’i ialah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Thalib Al’Asyaary, katanya: Imam Syafi’i pernah ditanya tentang sifat-sifat Allah Azza Wa Jalla dan apakah yang sewajarnya kita mengimaninya, lalu Imam Syafi’i pun berkata: Allah Tabaraka Wa Ta’aala memiliki Nama-Nama dan Sifat- Sifat sebagaimana yang tercantum di dalam Kitab-Nya dan sebagaimana yang telah dikhabarkan oleh Rasul-Nya kepada umatnya. Tidak seorangpun boleh membantah hakikat ini.

Sesiapa yang menyalahi yang demikian itu setelah thabit hujjah ke atasnya (setelah ia mengetahuinya) maka dia kafir kepada Allah Azza Wa Jalla. Adapun bagi orang yang belum thabit hujjah ke atasnya kerana belum sampai perkhabaran itu kepadanya maka dia dimaafkan (ma’dzuur) kerana kejahilannya kerana ilmu tentang itu tidak dapat dicapai oleh akal dan tidak pula melalui ilmu pengetahuan dan fikiran. Dan di antara perkhabaran itu ialah bahawa Allah Maha Mendengar (Samii’) dan Dia memiliki dua tangan, kerana Allah berfirman: (Tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka) – (Al Maidah: 64), dan Allah mempunyai tangan kanan, kerana firman-Nya: (dan langit digulung dengan tangan kanan- Nya) – (Az Zumar: 67), dan Allah memiliki wajah, kerana firman- Nya: (Tiap-tiap sesuatu pasti binasa kecuali wajah-Nya)- (AlQashash: 88) dan firman-Nya: (Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan) – (Al-Rahman: 27), dan Allah memiliki kaki, kerana sabda Nabi s.a.w. (Sehingga Tuhan Azza Wa Jalla meletakkan kaki-Nya di dalamnya) – (HR Imam Bukhari) dan Allah SWT ketawa kerana Rasulullah s.a.w. mengkhabarkan tentang ganjaran orang yang mati syahid (Dia akan menemui Allah Azza Wa Jalla, sedangkan Allah ketawa kepadanya) –(HR Imam Bukhari), dan Allah turun ke langit dunia pada tiap-tiap malam, kerana adanya perkhabaran daripada Rasul s.a.w. , dan Allah SWT tidak picak (bermata sebelah) kerana Rasul s.a.w. ketika menceritakan tentang dajjal beliau bersabda: (Sesungguhnya dia (dajjal) itu picak, dan sesungguhnya Tuhanmu tidaklah picak) – (HR Bukhari), dan orang-orang yang beriman akan melihat Tuhan mereka pada Hari Kiamat dengan mata-mata mereka sebagaimana mereka melihat bulan purnama, dan Allah S.W.T. mempunyai jari kerana Rasul s.a.w. bersabda: (Tidak ada satu pun had manusia kecuali dia di antara dua jari dari jari-jemari Allah Azza Wa Jalla Yang Maha Pengasih) Tentang Qadar Imam Al Baihaqy berkata didalam Manaqib Al-Syafi’i bahawa Imam Syafi’i berkata: Sesungguhnya kehendak hamba (masyi-atul ‘ibaad) adalah (kembali) kepada Allah, dan mereka tidak berkehendak kecuali apa yang dikehendaki oleh Allah Tuhan sekalian alam, sesungguhnya manusia tidak mencipta amalan-amalan mereka, malahan amal perbuatan manusia adalah termasuk di antara makhluk Allah, dan sesungguhnya Qadar yang baiknya dan yang buruknya adalah daripada Allah Azza Wa Jalla, dan sesungguhnya seksaan kubur adalah benar (haq), pertanyaan di dalam alam kubur adalah benar, dan kebangkitan (ba’th) adalah benar, dan hisab adalah benar, dan syurga dan neraka adalah benar, dan lain- lain lagi segala yang datang daripada sunnah-sunnah Nabi s.a.w.

Imam Al Baihaqy berkata tentang Imam Syafi’i bahawa beliau pernah berkata: Qadariyah ialah orang-orang yang disebut oleh Rasulullah s.a.w.: Mereka adalah Majusi umat ini – (HR Abu Daud dan Al Hakim) – mereka mengatakan: Sesungguhnya Allah tidak mengetahui maksiat melainkan setelah wujudnya maksiat itu. Al Baihaqy meriwayatkan daripada Al Rabi’ Bin Sulaiman daripada Imam Syafi’i bahawa beliau membenci solat di belakang Qadari. Tentang Iman Al Rabi’ berkata : Aku mendengar Imam Syafi’i berkata: Iman adalah ucapan dan amal serta i’tikad dengan hati; tidakkah kamu melihat firman Allah Azza Wa Jalla: (dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu) – (Al Baqarah: 143). Yang dimaksudkan dengan iman di sini ialah solatnya menghadap kearah Baitul Maqdis. Dan solat dinamakan iman ialah kerana solat terdiri daripada: Ucapan, Amalan dan I’tikad. Al Baihaqy meriwayatkan daripada Al Rabi’ Bin Sulaiman katanya: Aku mendengar Imam Syafi’i berkata: Imam adalah ucapan dan perbuatan, bertambah dan berkurang

Kamis, 08 Desember 2011

Pemimpin dalam Islam


"Setiap kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas apa yang di pimpinnya, Seorang penguasa adalah pemimpin bagi rakyatnya dan bertanggung jawab atas mereka, seorang istri adalah pemimpin di rumah suaminya dan dia bertanggung jawab atasnya. Seorang hamba sahaya adalah penjaga harga tuannya dan dia bertanggung jawab atasnya. (HR Bukhari)

Beberapa kriteria kepemimpinan dalam islam :
1. Menggunakan Hukum Allah Dalam berbagai aspek dan lingkup kepemimpinan, ia senantiasa menggunakan hukum yang telah di tetapkan oleh Allah, hal ini sebagaimana ayat ; "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar- benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya". (Qs : 4:59) Melalui ayat di atas ta'at kepada pemimpin adalah satu hal yang wajib dipenuhi, tetapi dengan catatan, para pemimpin yang di ta'ati, harus menggunakan hukum Allah, hal ini sebagaimana di nyatakan dalam ayat-Nya yang lain : "Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya)". (Qs: 7 :3) "..Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir..." (Qs :5:44) "..Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim..." (Qs: 5 45) "..Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.." (Qs: 5 :47) " Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?". (Qs : 5 :50) Dan bagi kaum muslimin Allah telah dengan jelas melarang untuk mengambil pemimpin sebagaimana ayat; "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim". (Qs : 5 : 51) Dari beberapa ayat diatas, bisa disimpulkan, bahwa pemimpin dalam islam adalah mereka yang senantiasa mengambil dan menempatkan hukum Allah dalam seluruh aspek kepemimpinannya.

2. Tidak meminta jabatan, atau menginginkan jabatan tertentu.. "Sesungguhnya kami tidak akan memberikan jabatan ini kepada seseorang yang memintanya, tidak pula kepada orang yang sangat berambisi untuk mendapatkannya" (HR Muslim). "Sesungguhnya engkau ini lemah (ketika abu dzar meminta jabatan dijawab demikian oleh Rasulullah), sementara jabatan adalah amanah, di hari kiamat dia akan mendatangkan penyesalan dan kerugian, kecuali bagi mereka yang menunaikannya dengan baik dan melaksanakan apa yang menjadi kewajiban atas dirinya". (HR Muslim). Kecuali, jika tidak ada lagi kandidat dan tugas kepemimpinan akan jatuh pada orang yang tidak amanah dan akan lebih banyak membawa modhorot daripada manfaat, hal ini sebagaimana ayat ; "Jadikanlah aku bendaharawan negeri (mesir), karena sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga dan berpengetahuan". (Qs : Yusuf :55)
Dengan catatan bahwa amanah kepemimpinan dilakukan dengan ;
1. Ikhlas.
2. Amanah.
3. Memiliki keunggulan dari para kompetitor lainnya.
4. Menyebabkan terjadinya bencana jika dibiarkan jabatan itu diserahkan kepada orang lain.

3. Kuat dan amanah "Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya." (Qs : 28: 26).

4. Profesional "Sesungguhnya Allah sangat senang pada pekerjaan salah seorang di antara kalian jika dilakukan dengan profesional" (HR : Baihaqi)

5. Tidak aji mumpung karena KKN Rasulullah SAW, "Barang siapa yang menempatkan seseorang karena hubungan kerabat, sedangkan masih ada orang yang lebih Allah ridhoi, maka sesungguhnya dia telah mengkhianati Allah, Rasul-Nya dan orang mukmin". (HR Al Hakim). Umar bin Khatab; "Siapa yang menempatkan seseorang pada jabatan tertentu, karena rasa cinta atau karena hubungan kekerabatan, dia melakukannya hanya atas pertimbangan itu, maka seseungguhnya dia telah mengkhianati Allah, Rasul-Nya dan kaum mukminin".

6. Menempatkan orang yang paling cocok "Rasulullah menjawab; jika sebuah perkara telah diberikan kepada orang yang tidak semestinya (bukan ahlinya), maka tunggulah kiamat (kehancurannya)". (HR Bukhari). Dalam konteks hadits ini, setidaknya ada beberapa hal yang bisa kita cermati,

1. Seorang pemimpin harus bisa melihat potensi seseorang. Setiap manusia tentunya diberikan kelebihan dan kekurangan.Kesalahan terbesar bagi seorang pemimpin adalah ketika dirinya tidak bisa melihat potensi seseorang dan menempatkannya pada tempat yang semestinya. Begitu pentingnya perhatian bagi seorang pemimpin terhadap hal ini, maka Rasulullah saw bersabda sebagaiman hadits pada poin 5 di atas. Ketidakmampuan pemimpin dalam hal ini hanya akan membuat jama'ah atau organisasi yang di pimpinnya menjadi tidak efektif dan efisien, bahkan tidak sedikit kesalahan pemimpin dalam hal ini menimbulkan kekacauan yang membawa kepada kehancuran.

2. Bisa mengasah potensi seseorang. Selain ia bisa melihat potensi pada diri seseorang, seorang pemimpin dengan caranya yang paling baik, ia bisa mengasah potensi mereka yang berada dalam kepemimpinannya. Mengasah potensi seseorang berbeda dengan "memaksa" seseorang untuk menjadi seseorang yang tidak di inginkannya.

3. Menempatkan seseorang sesuai dengan potensi yang ia miliki. "Right man in the right place", adalah ungkapan yang seringkali kita dengar. Bahwa menempatkan seseorang itu harus berada pada tempat yang paling tepat bagi orang tersebut serta penugasannya.

4. Mengatur setiap potensi dari mereka yang di pimpinnya menjadi satu kekuatan yang kokoh. Bangunan yang baik, kokoh dan indah tentunya tidak hanya terdiri dari satu elemen, tetapi terdiri dari berbagai elemen yang ada di dalamnya. Tentunya, penempatan dan penggunaan masing-masing elemen itulah yang sangat mempengaruhi bagaimana sebuah bangunan itu. Perumpamaan sederhana ini bisa kita gunakan untuk memahami tugas seorang pemimpin dalam menempatkan, menggunakan mereka yang berada dalam kepemimpinannya

Template by:
Free Blog Templates