Selasa, 06 Desember 2011
Menyikapi sebuah perbedaan
Apabila kita perhatikan kehidupan umat islam dewasa ini, mengalami sebuah kemunduran dalam berbagai lini kehidupan, baik itu dalam penerapan syariat islam, atau dalam segi keagamaannya yang kurang mengakar dalam jiwa- jiwa pemeluknya, akibatnya, semangat keberagamaan, kepekaan sosial antara sesama islam susah kita temukan, padahal jauh sebelumnya Alquran maupun Hadis Nabi Saw., telah mewanti-wantikan hal ini : ”Innamal mu’minuna ikhwatun faaslihu bayna akhwaekum”, dan dalam Hadis Nabi Saw “almu’mini kalbunyani yasyuddu ba’duhum ba’da” bahwasannya orang mu’min itu seperti bangunan yang satu sama lainnya saling menopang.
Atas dasar inilah islam mengalami kemunduran, karena dalam diri islam tidak ada lagi persaudaraan yang menyatukan mereka, padahal apabila kita tengok sejarah, yang membawa islam sampai kepuncak kejayaan adalah Ukhuwah, rasa saling percaya antara umat islam yang masih sangat mengakar sehingga perbedaan bukan menjadi suatu kekhawatiran, seperti yang pernah terjadi pada Muhajirin dan Ansar, yang hakikatnya mereka adalah dua golongan etnis yang berbeda, tapi perbedaan itu dapat ditepis dengan adanya Ukhuwah, hingga diantara mereka ada yang rela berbagi, milik saya adalah milik kamu juga, namun hal ini tidak dibolehkan oleh islam, karena dalam islam kita kenal ada sistem warisan.
Salah satu yang menarik disoroti disini, adalah perbedaan yang membawa kepada perpecahaan. Islam sendiri tidak menafikan adanya perbedaan, bahkan perbedaan ini sudah menjadi suatu simbol. Allah Swt berfirman. ﻭﻟﻮ ﺷﺎﺀ ﺭﺑﻚ ﻟﺠﻌﻞ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺃﻣﺔ ﻭﺍﺣﺪﺓ ﻭﻻ ﻳﺰﺍﻟﻮﻥ ﻣﺨﺘﻠﻔﻴﻦ . ﺇﻻ ﻣﻦ ﺭﺣﻢ ﺭﺑﻚ ﻭﻟﺬﺍﻟﻚ ﺧﻠﻘﻬﻢ ﻭﺗﻤﺖ ﻛﻠﻤﺔ ﺭﺑﻚ ﻷﻣﻸﻥ ﺟﻬﻨﻢ ﻣﻦ ﺍﻟﺠﻨﺔ ﻭﺍﻟﻨﺎﺱ ﺍﺟﻤﻌﻴﻦ . “ Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia jadikan manusia umat yang satu, tapi mereka senantiasa berselisih (pendapat). Kecuali orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka.
Kalimat (keputusan) Tuhanmu telah tetap,” Aku pasti akan memenuhi neraka Jahannam dengan Jin dan Manusia (yang durhaka) semuannya”. ( QS. Hud 118-119) Dalam menafsirkan ayat ini ( ﻭﻟﺬﻟﻚ ﺧﻠﻘﻬﻢ ) terdapat banyak interpretasi di kalangan ulama : Pertama : Diriwayatkan dari Al hasan, yang di maksud dengan ( ﻭﻟﺬﻟﻚ ﺧﻠﻘﻬﻢ ), adalah atas perbedaan itulah mereka diciptakan. Kedua : Yang dimaksud dalam ayat tersebut, ialah mereka diciptakan untuk saling mengasihi. Diriwayatkan dari Tawus, terdapat dua orang yang berselisih dan paling sering berselisih, Tawus berkata pada orang tersebut :”kalian berdua berselisih dan kalian lah yang paling sering berselisih”, salah satu diantaranya menjawab :”karena atas dasar itulah Allah menciptakan kita”.
Maka Tawus berkata :”kamu telah berbohong, tidaklah Allah Swt. berkata: ( ﻭﻻ ﻳﺰﺍﻟﻮﻥ ﻣﺨﺘﻠﻔﻴﻦ . ﺇﻻ ﻣﻦ ﺭﺣﻢ ﺭﺑﻚ ﻭﻟﺬﺍﻟﻚ ﺧﻠﻘﻬﻢ ) lalu berkata: “kalian tidak diciptakan untuk saling berselisih tapi diciptakan untuk saling mengasihi”. Ketiga : Maksud dari ayat ini, atas dasar kasih sayang dan perbedaan mereka diciptakan. Al Hasan berkata: ”Manusia berbeda-beda dalam agama kecuali yang diridhoi Allah, maka barang barang siapa yang diridhoi tidak akan berpecah. Dalil ini menunjukan bahwa perbedaan diantara manusia itu betul terjadi tapi apakah kita akan pasrah begitu saja dengan adanya perbedaan ini ataukah perbedaan ini sudah menjadi takdir yang tidak bisa diganggu gugat ? ya betul, ini sudah menjadi ketentuaan Allah tapi bukan berarti kita tidak bisa lari dari takdir tersebut, kita bisa menghindari takdir Allah yang jelek untuk mendapatkan takdir Allah yang baik. Sebagaimana yang pernah dipraktekkan Sayyidina Umar ra.
Ulama islam membagi perbedaan ini dalam dua bagian :
1. Perbedaan Tanawwu ( Komplementer )
2. Perbedaan Tadaad ( Kontradiktif )
Yang pertama : Perbedaan Tanawwu Yaitu, dua hal yang kelihatannya berbeda tapi tidak kontaradiktif semuanya bisa untuk dipakai, dan ini kebanyakan kita temui dalam teks-teks Alquran maupun Sunnah, contohnya: Perbedaan bacaan Alquran, orang yang membaca Alfatiha dengan (ﻣﺎﻟﻚ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﺪﻳﻦ) dengan memanjangkan mim, dan mereka yang memendekkan ( ﻣﻠﻚ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﺪﻳﻦ ) , keduanya mengetahui bahwa bacaan yang pertama benar dan bacaan yang kedua juga benar.
Contoh lain : Apa yang terjadi pada sahabat ketika perang Bani Quraezah Rasulullah Saw. memerintahkan kepada para sahabat untuk untuk berangkat ke Bani Quraedzah dan mengatakan : “ ﻻﻳﺼﻠﻴﻦ ﺃﺣﺪ ﺍﻟﻌﺼﺮ ﺇﻻ ﻓﻰ ﺑﻨﻰ ﻗﺮﻳﻈﺔ “ terjadi kontradiksi dikalangan para sahabat dalam menangkap dan memahami pesan Rasul ini, kelompok yang pertama, tidak mengindahkan pesan Rasulullah, ketika diperjalanan waktu Asar tiba, mereka langsung menghentikan perjalanan dan menunaikan shalat Asar, khawatir waktu Asar akan habis sebelum sampai ketujuan, sedang kelompok yang kedua tetap konsekwen pada pesan Rasul dan memilih untuk tetap melanjutkan perjalanan dan akhirnya mereka melakukan shalat Asar setelah matahari terbenam. Perkara ini ketika dihadapkan kebaginda Rasul, Rasulullah Saw. tidak menyalahkan satu diantara dua kelompok ataupun membenarkan, tapi disini adalah sunnah taqririyah ( ketetapan ) dari Rasul yang menunjukan kedua kelompok ini benar dengan hujjah-hujjah yang mereka argumentasikan, kelompok pertama takut kehilangan shalat sedang kelompok kedua takut menentang perintah Rasul, seandainya diantara mereka ada yang salah tentulah Rasul akan menegurnya atau memberitahukan letak kesalahannya. Pebedaan semacam ini dalam islam dapat ditolerir dan bahkan menjadi suatu kelebihan tersendiri, sehingga kita tidak hanya berkaca atau berkiblat pada satu pendapat saja yang akan membuat kita jumud dan terkungkung tapi disana ada pendapat lain yang juga benar, dan ini sangat sejalan dengan ajaran agama kita, Yusuf Qardawi mengatakan; “ apabila ada dua hal yang bertentangan maka pilihlah yang paling mudah” dengan adanya banyak pendapat yang masing-masing memiliki sandaran dan dalil yang kuat memungkinkan kita untuk berikhtiar dan memilih pendapat tentunya bukan karna landasan hawa nafsu semata tapi sesuai dengan kondisi kita pada saat itu. Mengamalkan salah satu pendapat dari pendapat yang ada sama sekali tidak mengurangi nilai keabsahan ibadah kita. Ulama melihat ini hanyalah pebedaan pariatif.
Yang kedua : Perbedaan Tadadd (Kontradiktif) Dua pendapat yang saling bertentangan yang satu mengatakan boleh yang lain mengatakan tidak.
Ulama dalam hal ini membagi dua :
1. Perbedaan Tadadd yang dibolehkan Yaitu perbedaan yang menyangkut maslah-masalah furuiyah yang tidak menyalahi AlQuran maupun Hadist serta Qiyas dan Ijma. Kebanyakan masalah-masalah furuiyah semacam ini tidak bersandarkan pada dalil yang qat’i sehingga Ulama membolehkan dalam hal ini. Contohnya : perbedaan Ulama dalam menentukan awal bulan, kebanyakan perbedaan dalam menentukan hilal awal jatuhnya puasa Ramadhan ada yang menetapkan awal puasa dengan melalui rukyah dan ada yang mengunakan hisab, kita tidak boleh menyalahkan satu diantaranya, karna masing- masing memiliki dalil yang rajih.
2. Perbedaan Tadadd yang tidak dibolehkan Atau disebut juga khilaf madzmum (yang tercela), yaitu perbedaan pendapat yang berseberangan dengan pokok- pokok ajaran agama kita biasa disebut (tsawabit atau ma'lum minad diin bid dharurah) Contohnya : Teori Hulul dan Ittihad yang mengatakan zat Tuhan dan makhluknya itu satu, dan banyak lagi pendapat- pendapat yang semacam ini, yang mengatas namakan islam untuk mendapat justifikasi padahal aslinya sangat jauh dari ajaran islam yang hanif.
Secara garis besar perbedaan dalam islam muncul disebabkan:
1. Perbedaan bacaan teks Alqur’an (qiro’at). Sebenarnya ini bukanlah suatau perbedaan yang kontra, karna alquran terdiri dari tujuh bahasa, mengutip perkataan DR. Ali Syarif “ alquran turun dengan tujuh bahasa, tapi, sebuah rukhsah untuk umat Muhammad, yang sebenarnya Alquran itu turun dengan bahasa Quraesy”. Tapi menjadi kontardiktif ketika hal itu tidak dipahami sebagai rukhsah lagi atau mereka yang tidak mendalam dalam ilmu Qur’annya akan memahami hal ini adalah paten, sehingga akan patal akibatnya dan dapat merubah hukum, contohnya membasuh kaki ketika berwudhu, para ulama berbeda pendapat, apakah yang diperintahkan ketika berwudhu mencucu kaki atau membasuh kaki.
2. Perbedaan dalam pemahaman nash dan penafsirannya. Tidak jarang pandangan ulama terhadap arti sebuah nash baik dari Alqur’an maupun Hadits saling berbeda. Hal ini merupakan perkara yang wajar, karena kejeniusan ulama tidaklah sama. Faktor kefasihan dan pemahaman terhadap bahasa juga sangat mempengaruhi berbedanya pendapat diantara ulama. Hal ini dapat kita lihat pada perbedaan hukum zakat harta dari dua pemilik yang sudah mencapai batas nishob.
3. Satu kata mempunyai lebih dari satu makna (isytirok al lafzh). Telah terbukti bahwa bahasa Arab adalah bahasa yang mempunyai kosakata paling banyak dibanding dengan bahasa-bahasa lainnya. Meskipun demikian ada juga dalam bahasa Arab satu kata yang mengandung beberapa arti. Hal ini tidak sedikit kita temui dalam Alqur’an, sehingga menimbulkan perbedaan diantara ulama-ulama salaf. Sebagai contoh masalah masa iddah wanita yang dicerai suaminya apabila masih berhaid.
4. Kontradiksi antar dalil. Sebenarnya mustahil terjadi kontradiksi antar dalil, karena semua berasal dari satu sumber yaitu Allah Swt., baik di Alqur’an maupun di Hadits. Tetapi yang dimaksud dengan kontradiksi di sini adalah dalam segi dhahirnya saja. Hal ini mempunyai pengaruh besar dalam perbedaan pendapat. Misalnya perbedaan batas sedikitnya yang boleh dijadikan mahar dalam nikah.
5. Tidak adanya nash dalam suatu masalah. Hal ini merupakan salah satu dari penyebab utama berbedanya pendapat para ulama. Rasul telah wafat, sedangkan masih ada sedikit masalah yang hukumnya belum terbahas oleh Alqur’an maupun Hadits. Kadang di antara masalah yang muncul ada yang hampir sama dengan yang muncul diwaktu Nabi masih hidup, tetapi tidak jarang pula muncul masalah baru yang belum pernah ada sebelumnya bahkan belum pernah ada yang hampir sama hukumnya.
Seperti warisan untuk kakek kalau ada saudara laki-laki. Setelah kita melihat bahwa perbedaan disatu sisi sibolehkan dan disisi lain diharamkan, maka disinilah peran kita sebagai muslim peka dan jeli melihat perbedaan ini kita harus mampu untuk memperlihatkan kedewasaan, toleransi dan objektivitas yang tinggi. Jangan sampai kita jatuh dalam kubangan yang sepeleh, sibuk menyelisihkan hal-hal yang kecil sehingga kita lupa ada yang lebih prioritas dan lebih besar yang harus kita selesaikan. Marilah kita kita memandang hal semacam ini seperti ulama-ulama salaf melihatnya “pendapat saya benar tapi mengandung kesalahan dan pendapat yang lain salah tapi mengandung kebenaran” inilah kalimat yang sering diungkapkan Imam Syafii dalam banyak kitabnya. Mereka tetap mendudukkan pendapat mereka di bawah Alqur'an dan Hadits, tidak memaksakan pendapat, dan selalu siap menerima kebenaran dari siapa pun datangnya. Mereka tidak pernah memposisikan pendapat mereka sebagai yang paling absah sehingga wajib untuk diikuti.
Wallahu a’lam.