Selasa, 13 Desember 2011

ILMU ALLAH LEBIH LENGKAP DARI PADA KALAMNYA (AL-QUR'AN)


Tanda, petunjuk, isyarat, gejala, pesan, nilai (ayāt) dari hukum alam, hukum sosial, al-Qur’an, al- Sunnah dan lainnya hanya pintu masuk untuk menggapai ilmu Allah swt yang tak terbatas. Ilmu Allah swt lebih luas dari pada kalamnya (al-Qur’an) dan tidak semua ilmu Allah dikalamkan olehNya. Al-Qur’an Al-Qur’an adalah kalam (firman) Allah swt, ia merupakan informasi verbal dari Allah untuk kita manusia. Ia berasal dari ilmu Allah yang tak terhingga dan tak terbatas. Kalam Allah (al-Qur’an) hanya bagian kecil dari ilmuNya, karena ilmuNya lebih luas dari pada kalamNya.

Tidak semua ilmu Allah dikalamkan olehNya kepada utusannya Muhammad saw waktu itu, yaitu pada waktu proses turunnya kalam tersebut sehingga kemudian dikumpulkan dalam bentuk lembaran- lembaran yang kemudian disebut al-Qur’an dan terjilid seperti sekarang. Ilmu Allah swt yang tidak atau belum terkalamkan tentunya lebih banyak lagi, hal itu berupa seluruh hal selain al-Qur’an, misalnya alam semestas, hewan, manusia, makhluk dan benda fisik maupun metafisik dan segala hal yang ada baik yang kita ketahui hari ini maupun yang masih belum diketahui dan lain-lain. Bahkan apa yang disebut di atas juga merupakan bagian kecil dari ilmu Allah karena memang terlalu banyak yang tidak diketahui oleh kita manusia. Kalam Allah (al-Qur’an) tentunya tidak selengkap ilmu Allah swt

. Oleh karena itu isi al-Qur’an hanya menyebutkan sepenggal cerita nabi Adam, Ibrahim, Ismail, Isa, Musa, Firaun (rezim Ramses), Iskandar (Alexander the Great) dan lainnya, atau hanya menyebutkan beberapa hal saja tentang konsep sesuatu, karena al-Qur’an adalah hasil dari proses komunikasi Allah dengan manusia waktu itu, Allah swt sekedar memberitahukan (berkalam) tentang hal-hal yang dianggap diperlukan waktu itu saja, yaitu disesuaikan dengan kesanggupan memahami manusia dan kemampuan melaksanakan ajaran tersebut dengan seluruh kompleksitasnya di bumi. Hal itu dilakukan Allah swt karena kalam bersifat lebih mudah dipahami dan lebih praktis dilaksanakan dari pada manusia harus mencari sendiri tanda atau gejala ilmu Allah dari alam semesta dan lainnya karena pekerjaan itu lebih sulit dan banyak menyita waktu sedangkan manusia-manusia ingkar di zaman nabi Muhammad saw.

berkeinginan dihadirkan bukti-bukti kekuasaan Allah dengan lebih cepat dan praktis. Secara sederhana, tidak semua yang diketahui oleh Allah (ilmu Allah) dinformasikan kepada kita manusia melalui kalamnya (al- Qur’an), tetapi juga menginformasikan ilmunya melalui tanda, gejala yang bisa kita pahami dari alam semesta, binatang, manusia dan lainnya. Kalam (firman/perkataan) membutuhkan bahasa tertentu sebagai alat untuk menyampaikan pesan (nilai-nilai yang mau diajarkan) kepada kita manusia. Sebagaimana umumnya, tidak ada satu bahasa apapun di dunia yang seluruh kata-katanya mampu untuk mencakup dan menghimpun semua pesan yang ingin disampaikan oleh yang bertutur. Bahasa apapun mempunyai keterbatasan karena makna selalu lebih luas dari pada kata. Bahasa hanya berfungsi memberikan penanda pada makna/nilai yang abstrak dan luas.

Ilmu Allah yang mau diajarkan kepada manusia lebih luas dan besar dari pada kata dan kalimat bahasa arab, tentunya bahasa tersebut belum mampu sepenuhnya menangkap dan menghimpun keseluruhan ilmu atau pesan yang ingin disampaikan Allah, oleh karena itu bahasa al-Qur’an lebih banyak metafora, simbol-simbol dan lainnya. Al-Sunnah Al- Sunnah atau hadits adalah perkataan, perilaku, ketetapan, persetujuan dan cita-cita nabi Muhammad saw. Kendati demikian al-Sunnah tidak akan ada tanpa persetujuan Allah swt: 53/3-4 ( ﻭﻣﺎ ﻳﻨﻄﻖ ﻋﻦ ﺍﻟﻬﻮﻯ ﺇﻥ ﻫﻮ ﺇﻻ ﻭﺣﻲ ﻳﻮﺣﻰ ), artinya al-Sunnah sama seperti al-Qur’an yaitu sebagai ilmu Allah yang terkalamkan tetapi lebih bersifat praktis dalam keseharian, atau dalam bahasa lain al-Sunnah adalah contoh praktis. Karena sebuah contoh, jumlahnya hanya satu dan fungsinya adalah memberikan penjelasan pola- pola umum dan hanya untuk mempermudah. Selanjutnya adalah tugas kita sebagai umat nabi Muhammad saw untuk memahami pola umum pada contoh untuk kemudian meegerjakannya secara kreatif atau bahkan menjadi contoh baru yan bisa lebih mudah dipahami oleh yang lain dan manusia berikutnya karena itulah semangat nilai dari al-suunnah. Hal itu sangat diperlukan mengingat setiap individu manusia mempunyai keterbatasan-keterbatasan pemahaman dan zaman terus berubah.

Semakin banyak contoh maka semakin lebih mudah di mengerti tentang sebuah pesan karena pesan lebih luas dari pada kata maka harus ditangkap dengan berbagai cara. Jika cara-cara semacam ini banyak dilakukan maka pada akhirnya referensi umat muslim lebih banyak dan lebih kaya dalam memahami ilmu Allah swt yang tak terbatas dan tak terhingga. Contoh hanya merupakan hasil dari kompromi-kompromi antara tingkat pemahaman audien dan situasi yang melingkupinya dan tujuannya hanya satu, yaitu hanya memberikan kemudahan dalam cara memahami. Sebuah contoh diberikan untuk memberikan pemahaman “ini contoh praktisnya” bukan ingin memberikan pemahaman “ini yang harus dilakukan dan hasilnya wajib ditiru dan dilaksanakan”.

Sekali lagi hanya contoh. Suatu hari disaat Muadz bin Jabal akan pergi ke Yamandalam rangka memerangi para penghalang kebenaran dan keadilan yang diserukan Islam terjadi dialog berikut ini: ﺃﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺑﻌﺚ ﻣﻌﺎﺫﺍ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻴﻤﻦ ﻓﻘﺎﻝ ﻛﻴﻒ ﺗﻘﻀﻲ ﻓﻘﺎﻝ ﺃﻗﻀﻲ ﺑﻤﺎ ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻟﻠﻪ ﻗﺎﻝ ﻓﺈﻥ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻟﻠﻪ ﻗﺎﻝ ﻓﺒﺴﻨﺔ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ ﻓﺈﻥ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻓﻲ ﺳﻨﺔ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ ﺃﺟﺘﻬﺪ ﺭﺃﻳﻲ ) ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺘﺮﻣﻴﺬﻱ ) Artinya: Bahwasannya Rasulullah saw. mengutus Mu’adz ke Yaman. Maka beliau bersabda : “Bagaimana engkau menghukum (sesuatu) ?”. Mu’adz menjawab : “Saya akan menghukum dengan apa yang terdapat dalam Kitabullah”. Beliau bersabda : “Apabila tidak terdapat dalam Kitabullah ?”. Mu’adz menjawab : “Maka (saya akan menghukuminya) dengan Sunnah Rasulullah saw”. Beliau bersabda kembali : “Apabila tidak terdapat dalam Sunnah Rasulullah saw. ?”. Mu’adz menjawab : “Saya akan berijtihad dengan pikiran saya..”. Dari uraian di atas ada isyarat bahwa ilmu Allah swt yang terkalamkan (al-Qur’an dan al- Sunnah) tidak selengkap ilmunya yang belum terkalamkan

. Ilmu Allah lebih luas dan tak terhingga dari pada ilmunya yang sudah terkalamkan. Maka berdasarkan ulasan di atas adalah keliru jika menjadikan al- Qur’an dan hadits sebagai paradigma, dalam artian ajarannya dijadikan landasan dalam menyusun anggapan dasar untuk berfikir dan memahami sesuatu, justru al- Qur’an harus diposisikan sebagai objek ilmu pengetahuan karena al-Qur’an bagian kecil dari ilmu Allah yang harus diketahui oleh kita manusia. Hal yang keliru pula jika al-Qur’an dan hadits dijadikan satu- satunya sumber ilmu pengetahuan atau satu-satunya sumber dasar dalam mengembangkan ilmu pengetahuan karena al-Qur’an memang tidak selengkap ilmuNya. Jadi keliru jika semua perkembangan ilmu pengetahuan dan segala peradaban manusia dicarikan landasannya dalam al-Qur’an. Konsep integrasi (menyatukan ilmu agama dan umum) bukanlah memaksakan temuan sebuah penelitian ilmu pengetahuan yang objeknya adalah ilmu Allah yang belum terkalamkan (manusia dan alam semesta dll.) untuk selalu dicari- cari landasannya dalam ilmunya yang terkalamkan (al-Qur’an) karena al-Qur’an memang tidak selengkap ilmu Allah.

Tetapi yang perlu dilakukan adalah mendialogkan keduanya, saling merivisi, saling melengkapi sehingga dapat tercapai kesimpulan yang paling mendekati kebenaran sejati yang jumlahnya hanya satu (tauhid), itulah integrasi. Ayatisasi hanya penting sebagai langkah awal dalam melakukan proses integrasi, karena ayatisasi adalah langkah pertama untuk mendiskripsikan semangat melakukan saling uji, saling dialog, saling merevisi, saling melengkapi antar hasil pemahaman kita terhadap ilmu Allah yang terkalamkan (al- Qur’an) maupun yang tidak terkalamkan (alam semesta dll.) sehingga ditemukan kesimpulan yang paling mendekati kebenaran. Jika ada kesimpulan yang dihasilkan dari mengkaji ilmu Allah yang verbal dan ilmu Allah yang non verbal yang pada awalnya benar kemudian karena perkembangan pemahaman manusia menjadi salah maka bukan ilmu Allah (objek kajian) yang harus dirubah atau disalahkan tetapi cara kita mengkaji itulah yang harus direvisi. Ilmu Allah pasti benar tetapi tidak akan pernah ada hasil pemahaman manusia siapapun yang mampu menangkap secara keseluruhan hakikat ilmu Allah dengan sebenar-benarnya karena manusia memiliki kecenderungan-kecenderungan yang bersifat membatasi.

Artinya tidak ada metodologi baku apalagi contoh dan hasil baku. Dalam al-Qur’an ada kebenaran maka diperlukan alat bantu berupa ilmu bahasa dan lainnya untuk menggapainya (epistemologi bayani). Dalam alam semesta, binatang, manusia ada kebenaran, untuk menggapainya maka diperlukan alat bantu berupa ilmu alam, sosial, humaniora, dan lainnya (epistemologi burhani). Dalam diri manusia yang bersifat membatin terdapat kebenaran maka diperlukan alat bantu pengungkapan yaitu tarikat, ma’rifat, hakikat bahkan wahdatul wujud (epistemologi irfani). Kebenaran yang ada di masing objek ilmu pengetahuan di atas bukanlah kebenaran sejati, ia hanya tanda atau gejala dari kebenaran sejati. Kebenaran sejati itu adalah Allah swt. Kita manusia selama masih hidup atau tinggal di dunia ini tidak mungkin menggapaiNya, kita bisa menggapainya jika kita telah meninggalkan dunia ini atau roh sudah tidak tinggal di badan kita. Kebenaran sejati (Allah) hanya bisa dijumpai di akhirat nanti, di dunia ini kita hanya memahami tanda dan gejala dari kebenaran sejati yang kemudian kita sebut kebenaran, kebenaran sejati (Allah) dengan kebenaran adalah hal yang sangat berbeda. Jadi di dunia ini jangan berdebat mana yang paling benar?, karena itu mustahil terjawab, tentang yang paling benar kita buktikan saja nanti di akhirat yang penting kita yakin atau percaya bahwa kebenaran sejati (Allah) itu ada dan bersifat tunggal (ahad).

Karena tunggal itulah, merupakan kebodohan jika kita masih saling mengkafirkan atau saling mneyesatkan tentang cara untuk menggapai kebenaran sejati yang tunggal. Di sisi lain yang kita dapat pahami hari ini hanyalah tanda dan gejala kebenaran saja dari kebenaran sejati. Karena tunggal itu pula pasti kita akan akan menuju kepadanya miskipun kita berbeda, jika masih belum percaya kita buktikan nanti setelah kita mati saja (di akhirat), mana diantara kita yang paling benar dengan meminta penghakiman langsung kepada Allah swt saat kita semua nanti bisa menemuinya: ﻳﺎ ﺃﻳﻬﺎ ﺍﻷﻧﺴﻦ ﺇﻧﻚ ﻛﺎﺩﺡ ﺇﻟﻰ ﺭﺑﻚ ﻛﺪﺣﺎ ﻓﻤﻠﻘﻴﻪ Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, Maka pasti kamu akan menemui-Nya. (84:6) ﻛﻼ ﺑﻞ ﺗﺤﺒﻮﻥ ﺍﻟﻌﺎﺟﻠﺔ ﻭﺗﺬﺭﻭﻥ ﺍﻷﺧﺮﺓ ﻭﺟﻮﻩ ﻳﻮﻣﺌﺬ ﻧﺎﺿﺮﺓ ﺇﻟﻰ ﺭﺑﻬﺎ ﻧﺎﻇﺮﺓ ﻭﺟﻮﻩ ﻳﻮﻣﺌﺬ ﺑﺎﺳﺮﺓ ﺗﻈﻦ ﺃﻥ ﻳﻔﻌﻞ ﺑﻬﺎ ﻓﺎﻗﺮﺓ Artinya: Janganlah demikian, sebenarnya kamu (hai manusia) lebih mencintai kehidupan dunia dan meninggalkan (kehidupan) akhirat.Wajah-wajah mereka pada hari itu berseri-seri karena dapat melihat Tuhan mereka. dan Wajah-wajah (lainnya) pada hari itu muram, karena mereka meresa bahwa akan ditimpakan kepadanya malapetaka yang amat dahsyat. (75: 20-25)

Template by:
Free Blog Templates