Assalamu'alaikum Wr Wb
Pak ustadz, kita ketahui bahwa kehidupan kita ini sudah ada taqdirnya. Bahkan saya pernah baca hadits yang kurang lebih bunyinya, ‘pena telah diangkat’ yang artinya semua taqdir makhluk telah selesai dituliskan. Apakah taqdir bisa dirubah atau tidak?Jika tidak bisa, lalu apa gunanya kita berdoa meminta rezeki, panjang umur dll. Kan semuanya sudah diputuskan alias sudah ‘ketuk palu’ ? Burhan - Sangatta
Jawaban:
Penggalan kalimat yang antum maksudkan itu bersumber dari sebuah hadits berikut ini : ﺍﺣْﻔَﻆِ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻳَﺤْﻔَﻈْﻚَ، ﺍﺣْﻔَﻆِ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﺗَﺠِﺪْﻩُ ﺗُﺠَﺎﻫَﻚَ، ﺇِﺫَﺍ ﺳَﺄَﻟْﺖَ ﻓَﺎﺳْﺄَﻝِ ﺍﻟﻠَّﻪَ، ﻭَﺇِﺫَﺍ ﺍﺳْﺘَﻌَﻨْﺖَ ﻓَﺎﺳْﺘَﻌِﻦْ ﺑِﺎﻟﻠَّﻪِ، ﻭَﺍﻋْﻠَﻢْ ﺃَﻥَّ ﺍﻷُﻣَّﺔَ ﻟَﻮْ ﺍﺟْﺘَﻤَﻌَﺖْ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﻥْ ﻳَﻨْﻔَﻌُﻮﻙَ ﺑِﺸَﻲْﺀٍ ﻟَﻢْ ﻳَﻨْﻔَﻌُﻮﻙَ ﺇِﻟَّﺎ ﺑِﺸَﻲْﺀٍ ﻗَﺪْ ﻛَﺘَﺒَﻪُ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻟَﻚَ، ﻭَﻟَﻮْ ﺍﺟْﺘَﻤَﻌُﻮﺍ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﻥْ ﻳَﻀُﺮُّﻭﻙَ ﺑِﺸَﻲْﺀٍ ﻟَﻢْ ﻳَﻀُﺮُّﻭﻙَ ﺇِﻟَّﺎ ﺑِﺸَﻲْﺀٍ ﻗَﺪْ ﻛَﺘَﺒَﻪُ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻚَ، ﺭُﻓِﻌَﺖِ ﺍﻷَﻗْﻠَﺎﻡُ ﻭَﺟَﻔَّﺖْ ﺍﻟﺼُّﺤُﻒُ “Jagalah Allah, niscaya engkau dapati Dia di hadapanmu. Jika engkau meminta, mintalah kepada Allah. Jika engkau meminta pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah. Dan ketahuilah, sesungguhnya seandainya umat ini bersatu untuk memberikan suatu kemanfaatan kepadamu, maka mereka tidak akan dapat memberinya, kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan atasmu.
Dan seandainya mereka bersatu untuk mendatangkan suatu kemudharatan kepadamu, maka mereka tidak dapat mendatangkannya, kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan atasmu. Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah mengering.” (HR. Tirmidzi dan lainnya)
[1] Selain hadits diatas, masih banyak dalil-dalil agama berupa ayat dan hadits yang terkait masalah ini. Yang tentunya, kesemuanya harus dihubungkan satu sama lain untuk mendapatkan satu pemahaman yang utuh tentang masalah takdir. Berikut ini diantara ayat dan haditsnya : Firman-Nya : ﻣَﺎ ﺃَﺻَﺎﺏَ ﻣِﻦْ ﻣُﺼِﻴﺒَﺔٍ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺄَﺭْﺽِ ﻭَﻟَﺎ ﻓِﻲ ﺃَﻧْﻔُﺴِﻜُﻢْ ﺇِﻟَّﺎ ﻓِﻲ ﻛِﺘَﺎﺏٍ ﻣِﻦْ ﻗَﺒْﻞِ ﺃَﻥْ ﻧَﺒْﺮَﺃَﻫَﺎ ﺇِﻥَّ ﺫَﻟِﻚَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻳَﺴِﻴﺮٌ “Tiada suatu bencana pun yang menimpa di Bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya.” (QS Al Hadid 22) ﺇِﻥَّ ﺃَﺣَﺪَﻛُﻢْ ﻳُﺠْﻤَﻊُ ﺧَﻠْﻘُﻪُ ﻓِﻲ ﺑَﻄْﻦِ ﺃُﻣِّﻪِ ﺃَﺭْﺑَﻌِﻴﻦَ ﻳَﻮْﻣًﺎ، ﺛُﻢَّ ﻳَﻜُﻮﻥُ ﻋَﻠَﻘَﺔً ﻣِﺜْﻞَ ﺫَﻟِﻚَ، ﺛُﻢَّ ﻳَﻜُﻮﻥُ ﻣُﻀْﻐَﺔً ﻣِﺜْﻞَ ﺫَﻟِﻚَ، ﺛُﻢَّ ﻳَﺒْﻌَﺚُ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻣَﻠَﻜًﺎ ﻓَﻴُﺆْﻣَﺮُ ﺑِﺄَﺭْﺑَﻊِ ﻛَﻠِﻤَﺎﺕٍ، ﻭَﻳُﻘَﺎﻝُ ﻟَﻪُ: ﺍﻛْﺘُﺐْ ﻋَﻤَﻠَﻪُ، ﻭَﺭِﺯْﻗَﻪُ، ﻭَﺃَﺟَﻠَﻪُ، ﻭَﺷَﻘِﻲٌّ ﺃَﻭْ ﺳَﻌِﻴﺪٌ Rasulullah y bersabda : “Sesungguhnya tiap kalian dikumpulkan ciptaannya dalam rahim ibunya, selama 40 hari berupa nutfah (air mani yang kental), kemudian menjadi ‘alaqah (segumpal darah) selama itu juga, lalu menjadi mudghah (segumpal daging) selama itu, kemudian diutus kepadanya malaikat untuk meniupkannya ruh, dan dia diperintahkan mencatat empat kata yang telah ditentukan: rezekinya, ajalnya, amalnya, kesulitan atau kebahagiannya.
[2] Ulama berbeda pendapat apakah takdir bisa dirubah secara keseluruhan atau tidak. Sebagian mengatakan bahwa takdir bisa dirubah kecuali taqdir ajal, ketetapan ahlu syurga dan neraka. Sedangkan sebagian ulama mengatakan bahwa semua taqdir bisa dirubah. Jumhur ulama berpendapat mengenai bisa dirubahnya sebagian Taqdir Menurut mereka, hadits yang menyatakan bahwa rezeki, ajal, amal, susah dan senangnya dipandang sebagai dalil umum. Namun, dalil mutlak (umum) ini harus dibawa dan diikat oleh dalil lain yang membatasinya. Istilahnya Hamlul muthlaq ilal muqayyad (membawa dalil yang masih umum kepada dalil yang membatasinya).
Syariat memang menginformasikan bahwa ajal dan rezeki adalah sudah ada ketentuannya, ini informasi umum, namun syariat juga menginformasikan bahwa ada faktor yang menyebabkan umur manusia bisa menjadi panjang sesuai izin dan kehendakNya, inilah informasi yang mengecualikan dan membatasinya. Sehingga dengan memahaminya seperti ini, kita tidak memandang adanya pertentangan antara hadits yang menyebut bahwa ajal dan rezeki sudah ada ketentuannya, dengan hadits yang menyebut umur dan rezeki bisa bertambah dengan silaturahim, atau kebaikan lainnya. Dipanjangkan atau tidak, sudah Allah Ta’ala tetapkan sesuai iradahNya. Yang menjadi pembatas keumumannya adalah informasi syara’ bahwa dalam beberapa kondisi taqdir bisa dirubah, diantaranya sabda Rasulullah y sendiri menegaskan: “Tidaklah ketetapan Allah dapat ditolak kecuali dengan doa, dan tidaklah menambahkan usia kecuali berbuat kebaikan.” (Hadits shahih riwayat Tirmidzi) Dan Nabi y pun mengajarkan sebuah doa yang secara tersirat isi doa tersebut meminta dirubahnya takdir, yaitu : ﻻَ ﻳَﺘَﻤَﻨَّﻴَﻦَّ ﺃَﺣَﺪُﻛُﻢُ ﺍﻟﻤَﻮْﺕَ ﻣِﻦْ ﺿُﺮٍّ ﺃَﺻَﺎﺑَﻪُ، ﻓَﺈِﻥْ ﻛَﺎﻥَ ﻻَ ﺑُﺪَّ ﻓَﺎﻋِﻠًﺎ، ﻓَﻠْﻴَﻘُﻞْ: ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺃَﺣْﻴِﻨِﻲ ﻣَﺎ ﻛَﺎﻧَﺖِ ﺍﻟﺤَﻴَﺎﺓُ ﺧَﻴْﺮًﺍ ﻟِﻲ، ﻭَﺗَﻮَﻓَّﻨِﻲ ﺇِﺫَﺍ ﻛَﺎﻧَﺖِ ﺍﻟﻮَﻓَﺎﺓُ ﺧَﻴْﺮًﺍ ﻟِﻲ “Janganlah kalian mengharapkan kematian lantaran buruknya musibah yang menimpa, sekali pun ingin melakukannya, maka berdoalah: Ya Allah, hidupkanlah aku selama kehidupan itu adalah baik bagiku, dan wafatkanlah aku jika memang wafat itu baik bagiku).”
[3] Dan masalah bisa dirubahnya sebagian takdir ini juga isyaratkan Allah l dalam firmanNya: ﻳَﻤْﺤُﻮ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻣَﺎ ﻳَﺸَﺎﺀُ ﻭَﻳُﺜْﺒِﺖُ ﻭَﻋِﻨْﺪَﻩُ ﺃُﻡُّ ﺍﻟْﻜِﺘَﺎﺏِ “Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul- Kitab (Lauh mahfuzh).” (QS. Ar Ra’du : 39) Meskipun para ulama berbeda pendapat mengenai penafsiran tentang ayat diatas.
[4] Disebutkan dalam hadits Jabir dalam Shahih Muslim, ketika Suraqah bin Malik bin Ju’syum datang kepada Nabi y lalu mengatakan, “Wahai Rasulullah, jelaskanlah kepada kami tentang agama kami, seolah-olah kami baru diciptakan pada hari ini, yaitu mengenai amal perbuatan hari ini, apakah berdasarkan pada apa yang telah tertulis oleh tinta pena (takdir) yang sudah mengering dan takdir-takdir yang telah ditentukan, atau berdasarkan dengan apa yang akan kita hadapi?” Beliau menjawab: “Tidak, bahkan berdasarkan pada tinta pena yang telah kering dan takdir-takdir yang telah ada.” Ia bertanya, “Lalu, untuk apa kita beramal?” Beliau menjawab : “Beramallah! Sebab semuanya telah dimudahkan.” Dalam sebuah riwayat disebutkan : “Setiap orang yang berbuat telah dimudahkan untuk perbuatan- nya.” (HR. Muslim) Khatimah Sebenarnya tidak ada pentingnya mengkaji masalah ini terlalu dalam, termasuk pada tingkat mengetahui apakah taqdir itu bisa dirubah atau tidak. Yang terpenting adalah keimanan kita kepada taqdir. Kita ini hanya diperintahkan oleh syariat untuk mengimani adanya qada’ dan Qadar Allah ta’ala. Disamping adanya perintah agar kita menyempurnakan ikhtiar dan berdoa. Pembahasan yang terlalu dalam masalah ini telah memunculkan dua golongan ekstrim, satu golongan yang menolak taqdir (Qadariyah dan mu’tazilah), satu lagi golongan yang selalu menggantung- gantungkan kepada taqdir (jabariyah). Sudah bisa ditebak – karena sebab kesalahan pemahaman mereka dalam masalah taqdir ini- menimbulkan akibat yang sangat fatal. Satu golongan menjadi kelompok yang congkak, yang seakan- akan tidak ada campur tangan Allah dalam kehidupannnya. Sedangkan kelompok yang lain (jabariyah), meninggalkan usaha dan kewajiban syariat dengan ‘mengkambing hitamkan’ taqdir.
[5] Padahal pemahaman yang benar dari sebuah konsep agama, tentu yang akan lahir adalah hal yang positif, termasuk dalam masalah taqdir ini. Pemahaman yang benar, tentu tidak akan membuat kedua hal yakni taqdir dan kasabt saling bertabrakan. Kemampuan manusia yang terwujud dalam doa dan kasab (usaha) yang terbatas, tentu tetap dalam ilmu Allah yang tidak terbatas. Jadi yang satu meliputi yang lain, bukan saling menafikan.
Wallahu’alam. Wallahu’alam.