Posting dengan judul tentang ikhlas diawali dengan membuka Surat Shaad (QS, 38) ayat 71 S.D 83, yang terjemahannya ayat per ayat sebagai berikut : Ayat 71:(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: “Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah”.
Ayat 72:Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan) Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya”.
Ayat 73:Lalu seluruh malaikat itu bersujud semuanya.
Ayat 74:kecuali iblis; dia menyombongkan diri dan adalah dia termasuk orang-orang yang kafir. Ayat 75:Allah berfirman: “Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang- orang yang (lebih) tinggi?”.
Ayat 76:Allah berfirman: “Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang- orang yang (lebih) tinggi?”.
Ayat 77:Allah berfirman: “Maka keluarlah kamu dari surga; sesungguhnya kamu adalah orang yang terkutuk, Ayat
78:Allah berfirman: “Maka keluarlah kamu dari surga; sesungguhnya kamu adalah orang yang terkutuk, Ayat
79:Iblis berkata: “Ya Tuhanku, beri tangguhlah aku sampai hari mereka dibangkitkan”. Ayat 80:Allah berfirman: “Sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang diberi tangguh,
Ayat 81:sampai kepada hari yang telah ditentukan waktunya (hari kiamat)”.
Ayat 82:Iblis menjawab: “Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya, Ayat 83:kecuali hamba-hamba- Mu yang mukhlis di antara mereka. Ayat-ayat dalam Surat Shaad tersebut di atas, adalah merupakan fragmentasi dialog antara Allah SWT dengan Iblis pertama (Izazil) intinya antara lain, tentang penciptaan manusia, penolakan Iblis untuk bersujud kepada manusia karena merasa dirinya lebih baik (penolakan perintah Allah), pengusiran dari surga, penangguhan hingga hari kiamat, dan komitmen Iblis yang akan menyesatkan manusia kecuali hamba Allah yang mukhlis (ikhlas).
Khusus yang berkaitan dengan ikhlas (mukhlis) tercermin pada ayat 83 Surat Shaad (QS, 38) yang intinya antara lain komitmen Iblis, yang menyatakan bahwa ia btidak akan menyesatkan (menggoda) hamba-hamba Allah yang mukhlis (ikhlas), atas dasar ayat tersebut timbul suatu pertanyaan, “Apa arti ikhlas sesungguhnya sehingga iblis pun tidak berani menyesatkan (menggoda) hamba-hamba Allah yang ikhlas?”. Berkaitan dengan kata ikhlas, orang-orang terkadang seringkali mencari definisi atau pengertian tentang ikhlas dengan logika yang terbatas, dan memaksakan agar dirinya seakan-akan telah paham tentang ikhlas tersebut. Padahal kita tahu dengan logika, akal, akal dan rasio, adalah sama seperti mata kita terbentur kepada keterbatasan, sebagai contoh kita memandang laut dan langit, sejauh mata memandang seolah- olah keduanya bersatu, akan tetapi kenyataannya tidak begitu, inilah dikarenakan oleh keterbatasan panca indera kita. Dari berbagai macam fenomena yang ada terlihat, bahwa masyarakat kita selalu mencari persamaan-persamaan tentang arti ikhlas secara sembarangan tanpa bersandar pada dalil-dalil yang telah ada, padahal kita percaya bahwa Al Qur’an merupakan suatu standar baku buat pedoman orang-orang yang beriman.
Oleh karenanya, kita seringkali terjebak pada norma- norma umum yang menjadi tradisi, atau kebiasaan walaupun terkadang sangat jauh dari kebenaran yang hakiki. Dalam Al Qur’an Allah SWT telah menetapkan definisi atau pengertian yang nyata tentang apa arti ikhlas, sebagaimana dalam Surat Al Ikhlas (QS, 112 :1 s.d 4) sebagai berikut: Ayat 1: ﻗﻞ ﻫﻮ ﺍﻟﻠﻪ ﺃﺣﺪ Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa, Ayat 2: ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﺼﻤﺪ Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Ayat 3: ﻟﻢ ﻳﻠﺪ ﻭﻟﻢ ﻳﻮﻟﺪ Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Ayat 4: ﻭﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻟﻪ ﻛﻔﻮﺍ ﺃﺣﺪ dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia”. Pengertian kata ikhlas yang terkandung dalam ayat-ayat Surat Al Ikhlas (QS, 112) tersebut di atas, secara definitif dan konprehensif serta spektrumnya sangat luas, yaitu dimana ikhlas disitu secara esensial mengandung pengertian bebas dari syirik, yang artinya seseorang yang hendak melakukan sesuatu perbuatan atau ibadah tidak ada rekayasa, tendensi, intrik-intrik, motivasi, atau niat yang lain kecuali semata-mata hanya mengharapkan keridhaan Allah SWT.
Seperti yang dikemukakan oleh Sayidina Ali, “Ya Allah aku mengabdi kepadaMu bukan karena aku takut kepada neraka- Mu, bukan pula aku rakus terhadap surga-Mu, melainkan aku mengabdi kepadaMu, karena memang Engkau pantas untuk kuabdi”. Selanjutnya sebagai contoh, ketika Rasulullah SAW mengadakan sayembara, siapa yang paling dulu selesai khotmil Qur’an, ternyata Sayidina Ali ra yang terlebih dahulu menyelesaikan sesingkat- singkatnya, sementara yang lainnya masih tadarus membaca Al Qur’an dengan khusuk. Lalu Ali mengacungkan jari telunjuknya, “Ya Rasulullah aku telah selesai mengkhatamkan Al Qur’an ini” Rasulullah SAW pun bertanya, “Wahai Ali bagaimana mungkin kau menyelesaikannya hanya dalam waktu sesaat?”, Ali pun menjawab, “Bukankah engkau pernah bersabda ya Rasulullah, “Barangsiapa yang membaca Surat Al Ikhlas tiga kali maka sama dengan nilainya khatam Qur’an”, “Ya” jawab Rasulullah SAW membenarkan. Apabila kita perhatikan hadits di atas, maka begitu berartinya Surat Al Ikhlas, yang notabene terdapat kalimat Al Ikhlas, sehingga pada ayat terakhir surat ini dapat diambil kesimpulan, bahwa Allah SWT tidak ingin dibagi-bagi cintanya kepada hambaNya, Allah akan merasa cemburu manakala ciptaanNya dicintai secara berlebihan. Pada penghujung Surat Al Ikhlas terdapat suatu kesimpulan, “Walam Yakullahu Kufuan Ahad”, ayat ini identik dengan sabda Rasulullah SAW, “Laisa Kamitslihi Syaaiiun” yang mengandung pengertian “tidak ada sesuatu yang menyerupai Allah”.
Jadi jangan coba-coba melakukan pengabdian- pengabdian kepadaNya dengan cara membagi kepada makhlukNya. Beberapa contoh menurut akhli tauhid,
a. Apabila seseorang sedang melakukan tawaf lalu terbesit dihatinya ingat kepada orang lain, yaitu anak isteri, harta benda, perusahaan, sawah dan ladang, maka tawafnya dianggap gugur, karena sesungguhnya Allah tidak ingin diduakan (disekutukan) dalam pengabdian atau peribadahan tadi;
b. Apabila seseorang yang mengamalkan hartanya karena ingin mendapat pujian, maka amalannya gugur seperti debu terbang ditiup angin;
c. Imam dalam salat terbesit dihatinya ingin dianggap jamaahnya sebagai sebagai akhli Al Qur’an dengan membaca surat dengan ayat-ayat yang panjang, maka inipun salatnya dianggap gugur;
d. Seseorang yang berdzikir secara masal, kemudian menangis secara bersama-sama agar dianggap orang yang khusuk beribadah atau dianggap akhli dzikir, maka ini bukan saja gugur tetapi sudah mengarah ke riya, sedangkan riya adalah semi syirik dan syirik berlawanan dengan ikhlas. Apabila kita telusuri dari berbagai uraian dan contoh di atas, bahwa ikhlas adalah merupakan sesuatu yang pada hakikatnya kembali kepada Allah bersandar kepada Allah, sehingga Iblis takut kepada hamba-hamba yang muklis yang senantiasa berserah diri dengan bersandar kepada Allah dan Iblis tahu bahwa Allah adalah zat yang Maha Tinggi tiada tara.
Sangat sukar bagi Iblis untuk menyesatkan (menggoda) hamba-hamba Allah yang ikhlas, karena ciri-ciri orang yang ikhlas meliputi, bahwa : - Ia tidak pernah berharap selain kepada Allah; - Ia beribadah dan beramal hanya untuk Allah semata; - Ia tidak mengenal yang namanya pamrih atau upah; - Ia tidak berharap populer atas amal ibadahnya; - Ia tidak pernah ingin merasa dipuji orang; - Ia tidak pernah merasa kecewa terhadap apa-apa yang sekiranya pernah menyakitkan bagi dirinya; dan juga - Ia tidak mudah bangga apabila disanjung atau dipuji. Rasul dan Nabi yang amalannya selalu ikhlas, dan tidak pernah berharap sedikitpun terhadap apa yang dirisalahkannya, sebagai contoh Nabi Ibrahim a.s misalnya, ia yang begitu tegar dalam menghadapi musuh- musuhnya walaupun dibakar api sekalipun, diperintahkan menyembelih putranya yang tercinta (Ismail), Nabi Ibrahim a.s dengan ikhlas patuh terhadap apa yang telah diperintahkan Allah SWT kepadanya, walaupun Iblis sempat menggoda tapi akhirnya Iblis menyerah kalah, dalam percontohan ini jelas bahwa Iblis tidak akan pernah bisa menyesatkan (menggoda) hamba-hamba Allah yang Ikhlas. Dari pengalaman-pengalaman para pembawa risalah yang antara lain telah diuraikan di atas, marilah kita belajar ikhlas dimana saja, kapan saja serta kepada dan bersama siapa saja. Semoga bermanfaat.
Amiiin Ya Rabbal Alamiin, salam .
Sumber:
1. Al Qur’an > Digital Qur’an;
2. Kisah-kisah Al Qur’an, Prof. DR. Abdul Karim Zaidan, Rabbani Press, Jakarta 2001M;
3. Kehidupan dan Perjuangan 25 Nabi dan Rasul, Drs. H.A. Wahyudin, Pustaka Setia, Bandung 2005M;
4. Hakekat Ikhlas dan Indahnya Kesabaran KH. MD. Sirojudin, Vision, Depok 2007M