Tanya :
Apa hukumnya menikah dengan jin ?
Apakah ini diperbolehkan menurut Islam ?
Jawab : Para ulama telah berbeda pendapat mengenai hal ini. Sebagian ulama membolehkannya, namun sebagian yang lain mengharamkannya.
Masing- masing membawakan argumentasinya yang menurut mereka kuat. Akan tetapi, yang raajih dalam permasalahan ini – wallaahu a’lam – adalah pendapat yang mengharamkannya. Di antara dalil yang melandasinya adalah sebagai berikut :
1. Al-Qur’an Allah ta’ala telah berfirman : ﻭَﻣِﻦْ ﺁﻳَﺎﺗِﻪِ ﺃَﻥْ ﺧَﻠَﻖَ ﻟَﻜُﻢْ ﻣِﻦْ ﺃَﻧْﻔُﺴِﻜُﻢْ ﺃَﺯْﻭَﺍﺟًﺎ ﻟِﺘَﺴْﻜُﻨُﻮﺍ ﺇِﻟَﻴْﻬَﺎ ﻭَﺟَﻌَﻞَ ﺑَﻴْﻨَﻜُﻢْ ﻣَﻮَﺩَّﺓً ﻭَﺭَﺣْﻤَﺔً ﺇِﻥَّ ﻓِﻲ ﺫَﻟِﻚَ ﻵﻳَﺎﺕٍ ﻟِﻘَﻮْﻡٍ ﻳَﺘَﻔَﻜَّﺮُﻭﻥَ “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri- istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan- Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” [QS. Ar- Ruum : 21].
ﻓَﺎﻃِﺮُ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﻭَﺍﺕِ ﻭَﺍﻷﺭْﺽِ ﺟَﻌَﻞَ ﻟَﻜُﻢْ ﻣِﻦْ ﺃَﻧْﻔُﺴِﻜُﻢْ ﺃَﺯْﻭَﺍﺟًﺎ ﻭَﻣِﻦَ ﺍﻷﻧْﻌَﺎﻡِ ﺃَﺯْﻭَﺍﺟًﺎ ﻳَﺬْﺭَﺅُﻛُﻢْ ﻓِﻴﻪِ “(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu” [QS. Asy-Syuuraa : 11]. Makna dari kalimat “dari jenis kamu sendiri” adalah dari jenis manusia. Bukan dari jenis jin, apalagi hewan. Berkata Al-Haafidh Ibnu Katsiir rahimahullah saat menjelaskan QS. Ruum : 21 dalam Tafsir-nya (11/20) :
ﻭﻟﻮ ﺃﻧﻪ ﺟﻌﻞ ﺑﻨﻲ ﺁﺩﻡ ﻛﻠﻬﻢ ﺫﻛﻮﺭﺍ ﻭﺟﻌﻞ ﺇﻧﺎﺛﻬﻢ ﻣﻦ ﺟﻨﺲ ﺁﺧﺮ ﺇﻣﺎ ﻣﻦ ﺟﺎﻥ ﺃﻭ ﺣﻴﻮﺍﻥ ﻟﻤﺎ ﺣﺼﻞ ﻫﺬﺍ ﺍﻹﺋﺘﻼﻑ ﺑﻴﻨﻬﻢ ﻭﺑﻴﻦ ﺍﻷﺯﻭﺍﺝ ﺑﻞ ﻛﺎﻧﺖ ﺗﺤﺼﻞ ﻧﻔﺮﺓ ﻟﻮ ﻛﺎﻧﺖ ﺍﻷﺯﻭﺍﺝ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﺍﻟﺠﻨﺲ ﺛﻢ ﻣﻦ ﺗﻤﺎﻡ ﺭﺣﻤﺘﻪ ﺑﺒﻨﻲ ﺁﺩﻡ ﺃﻥ ﺟﻌﻞ ﺃﺯﻭﺍﺟﻬﻢ ﻣﻦ ﺟﻨﺴﻬﻢ “Seandainya saja seluruh Allah ta’ala menjadikan seluruh anak Adam laki-laki, dan menjadikan perempuannya dari jenis yang lain, baik dari jenis jin ataupun hewan, maka tidak akan dapat mewujudkan rasa kasih-sayang antara mereka dan pasangannya. Bahkan yang terjadi keengganan jika saja pasangannya itu bukan berasal dari jenisnya. Termasuk dari kesempurnan rahmat-Nya kepada anak Adam adalah menjadikan pasangannya berasal dari jenis mereka sendiri” [selesai]. Rasa kasih sayang antara suami istri sayang tidak akan terwujud jika dua pihak (yang menikah) berasal dari jenis yang berbeda. Al-Imam Asy- Syaukaaniy rahimahullah berkata :
ﺃﻱ: ﺗﺄﻟﻔﻮﻫﺎ ﻭﺗﻤﻴﻠﻮﺍ ﺇﻟﻴﻬﺎ، ﻓﺈﻥ ﺍﻟﺠﻨﺴﻴﻦ ﺍﻟﻤﺨﺘﻠﻔﻴﻦ ﻻ ﻳﺴﻜﻦ ﺃﺣﺪﻫﻤﺎ ﺇﻟﻰ ﺍﻵﺧﺮ ﻭﻻ ﻳﻤﻴﻞ ﻗﻠﺒﻪ ﺇﻟﻴﻪ “Yaitu, agar kalian berkasih-sayang dan cenderung kepadanya. Apabila pasangan itu berasal dari jenis yang berbeda, maka tidak akan ada kasih-sayang satu dengan yang lainnya dan tidak pula akan condong kepadanya” [Fathul-Qadiir, 4/219]. Allah ta’ala juga berfirman : ﺍﻧْﻜِﺤُﻮﺍ ﻣَﺎ ﻃَﺎﺏَ ﻟَﻜُﻢْ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻨِّﺴَﺎﺀِ..... “Maka kawinilah wanita- wanita (lain) yang kamu senangi....” [QS. An-Nisaa’ : 3]. ﺍﻟﺮِّﺟَﺎﻝُ ﻗَﻮَّﺍﻣُﻮﻥَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻨِّﺴَﺎﺀِ ﺑِﻤَﺎ ﻓَﻀَّﻞَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺑَﻌْﻀَﻬُﻢْ ﻋَﻠَﻰ ﺑَﻌْﺾٍ ”Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki- laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka” [QS. An- Nisaa’ : 34].
Sisi pendalilan dari dua ayat ini adalah bahwa Allah ta’ala memerintahkan seseorang untuk menikahi seorang wanita (an-nisaa’ - ﺍَﻟﻨِّﺴَﺎﺀُ). Lafadh an-nisaa’ dalam bahasa ’Arab hanya dipakai untuk menyebut wanita keturunan anak Adam (manusia). Penguasaan, pengendalian, dan kepemimpinan seorang laki-laki hanya terwujud apabila pasangannya (istri) berasal dari jenisnya (manusia). Ia tidak akan bisa melakukannya jika pasangannya berasal dari jin perempuan yang kadang nampak olehnya, kadang pula tidak nampak olehnya. Karena pada asalnya, jin adalah makhluk yang ghaib. 2. As-Sunnah Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam bersabda : ﺇﻥ ﺑﺎﻟﻤﺪﻳﻨﺔ ﺟﻨﺎ ﻗﺪ ﺃﺳﻠﻤﻮﺍ ﻓﺈﺫﺍ ﺭﺃﻳﺘﻢ ﻣﻨﻬﻢ ﺷﻴﺌﺎ ﻓﺂﺫﻧﻮﻩ ﺛﻼﺛﺔ ﺃﻳﺎﻡ ﻓﺈﻥ ﺑﺪﺍ ﻟﻜﻢ ﺑﻌﺪ ﺫﻟﻚ ﻓﺎﻗﺘﻠﻮﻩ ﻓﺈﻧﻤﺎ ﻫﻮ ﺷﻴﻄﺎﻥ ”Sesungguhnya di Madinah terdapat sekelompok jin yangtelah masuk Islam. Apabila kalian melihat mereka menampakkan diri pada kalian, maka berilah ia peringatan selama tiga hari. Jika mereka masih menampakkan diri kepada kalian setelah (tiga hari) itu, maka bunuhlah, karena ia adalah syaithan” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2236]. Sisi pendalilannya adalah bahwa jika menampakkan diri lebih dari 3 hari saja Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam memerintahkan untuk membunuhnya, lantas bagaimana mereka menjadi pasangan hidup yang mewajibkannya pendampingan sepanjang waktu ?
3. Akal sehat Akal sehat melarang kita untuk menikah dengan bangsa jin. Sebagaimana diketahui bahwa jin tidaklah dapat dinikahi kecuali jika ia menjelma menjadi sosok manusia juga. Jadi, wujud penjelmaan manusia itu bukanlah wujud aslinya, sebab wujud asli jin tidak dapat dilihat oleh manusia. Ini merupakan satu bentuk penipuan. Di lain sisi, bagaimana bisa seorang laki-laki – misalnya – bisa membedakan penjelmaan jin satu dengan yang lainnya, karena barangkali ada jin perempuan lain yang bisa menjelma dalam wujud manusia seperti penjelmaan jin perempuan istrinya; yang dengan itu dua jin perempuan itu bersekutu dalam hubungannya dengan si suami. Jelas ini merupakan perzinahan yang diharankan dalam Islam. Terlarangnya pernikahan antara manusia dengan jin merupakan madzhab jumhur ulama.
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata : ﻭﻛﺮﻩ ﺃﻛﺜﺮ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﻣﻨﺎﻛﺤﺔ ﺍﻟﺠﻦ ”Kebanyakan ulama membenci pernikahan dengan jin” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 19/39-40]. Al-Haafidh Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata : ﻭﻗﺪ ﺗﻜﻠﻢ ﻓﻲ ﻧﻜﺎﺡ ﺍﻟﺠﻦ ﻟﻺﻧﺲ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺃﺣﻤﺪ ﻭﻏﻴﺮﻩ، ﻭﺍﻟﻜﻼﻡ ﻓﻴﻪ ﻓﻲ ﺃﻣﺮﻳﻦ: ﻓﻲ ﻭﻗﻮﻋﻪ ﻭﺣﻜﻤﻪ. ﻓﺄﻣﺎ ﺣﻜﻤﻪ ﻓﻤﻨﻊ ﻣﻨﻪ ﺃﺣﻤﺪ، ﺫﻛﺮﻩ ﺍﻟﻘﺎﺿﻲ ﺃﺑﻮ ﻳﻌﻠﻰ ”Al-Imam Ahmad dan yang lainnya telah membicarakan/ membahas pernikahan manusia dengan jin. Pembicaraan itu ada dua perkara, yaitu (1) kemungkinan terjadinya, dan (2) hukumnya. Adapun hukum pernikahan tersebut, maka Ahmad telah melarangnya, sebagaimana disebutkan oleh Al-Qaadliy Abu Ya’laa” [Tahdziibus-Sunan, 10/14]. Dan Al-Haafidh As-Suyuthiy rahimahullah mempunyai perkataan menarik tentang hal ini : ﻭﻳﻘﻮﻳﻪ ﺃﻳﻀﺎ ﺃﻧﻪ ﻧﻬﻰ ﻋﻦ ﺇﻧﺰﺍﺀ ﺍﻟﺤﻤﺮ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺨﻴﻞ، ﻭﻋﻠﺔ ﺫﻟﻚ ﺍﺧﺘﻼﻑ ﺍﻟﺠﻨﺲ، ﻭﻛﻮﻥ ﺍﻟﻤﺘﻮﻟﺪ ﻣﻨﻬﺎ ﻳﺨﺮﺝ ﻋﻦ ﺟﻨﺲ ﺍﻟﺨﻴﻞ، ﻓﻴﻠﺰﻡ ﻣﻨﻪ ﻗﻠﺘﻬﺎ... ﻭﺇﺫﺍ ﺗﻘﺮﺭ ﺍﻟﻤﻨﻊ ﻓﺎﻟﻤﻨﻊ ﻣﻦ ﻧﻜﺎﺡ ﺍﻟﺠﻨﻲ ﺍﻹﻧﺴﻴﺔ ﺃﻭﻟﻰ ﻭﺃﺣﺮﻯ ”(Larangan pernikahan antara manusia dengan jin) dikuatkan juga bahwasannya beliau shallallaahu ’alaihi wa sallam melarang mengawinkan keledai dengan kuda.[1] Alasannya adalah perbedaan jenis. Juga karena akan yang dilahirkan nanti bukan dari jenis kuda, sehingga berkonsekuensi menurunkan populasi kuda..... Jika larangan ini berlaku, maka larangan menikahnya jin dengan manusia lebih kuat dan lebih pantas” [Al-Asybah wan- Nadhaair, hal. 257]. Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah berkata : ﻭﻟﻜﻦ ﺃﻳﻦ ﺍﻟﺪﻟﻴﻞ ﺍﻟﺸﺮﻋﻲ ﻭﺍﻟﻌﻘﻠﻲ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺘﻮﺍﻟﺪ ﺃﻭﻻ، ﻭﻋﻠﻰ ﺍﻟﺘﺰﺍﻭﺝ ﺍﻟﺸﺮﻋﻲ ﺛﺎﻧﻴﺎً؟ ﻫﻴﻬﺎﺕ ﻫﻴﻬﺎﺕ ”Akan tetapi, mana dalil syar’iy dan ’aqliy yang melandasi akan dihasilkannya keturunan (dari pernikahan antara manusia dengan jin), dan (dalil disebutkannya pernikahan tersebut adalah) pernikahan yang syar’iy? Sungguh sangat jauh...” [Silsilah Adl-Dla’iifah, 12/608].
Terakhir, mari kita simak apa yang diceritakan oleh Al-Imam Adz-Dzahabiy rahimahullah : ﻭﻧﻘﻞ ﺭﻓﻴﻘﻨﺎ ﺃﺑﻮ ﺍﻟﻔﺘﺢ ﺍﻟﻴﻌﻤﺮﻱ ﻭﻛﺎﻥ ﻣﺘﺜﺒﺜﺎً ﻗﺎﻝ ﺳﻤﻌﺖ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺗﻘﻲ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺍﺑﻦ ﺩﻗﻴﻖ ﺍﻟﻌﻴﺪ ﻳﻘﻮﻝ: ﺳﻤﻌﺖ ﺷﻴﺨﻨﺎ ﺃﺑﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺴﻼﻡ ﺍﻟﺴﻠﻤﻲ ﻳﻘﻮﻝ: ﻭﺟﺮﻯ ﺫﻛﺮ ﺃﺑﻲ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻦ ﺍﻟﻌﺮﺑﻲ ﺍﻟﻄﺎﺋﻲ ﻓﻘﺎﻝ: ﻫﻮ ﺷﻴﻌﻲ ﺳﻮﺀ ﻛﺬﺍﺏ، ﻓﻘﻠﺖ ﻟﻪ: ﻭﻛﺬﺍﺏ ﺃﻳﻀﺎ؟ ﻗﺎﻝ: ﻧﻌﻢ ﺗﺬﺍﻛﺮﻧﺎ ﺑﺪﻣﺸﻖ ﺍﻟﺘﺰﻭﻳﺞ ﺑﺎﻟﺠﻦ ﻓﻘﺎﻝ: ﻫﺬﺍ ﻣﺤﺎﻝ ﻷﻥ ﺍﻹﻧﺲ ﺟﺴﻢ ﻛﺜﻴﻒ ﻭﺍﻟﺠﻦ ﺭﻭﺡ ﻟﻄﻴﻒ، ﻭﻟﻦ ﻳﻌﻠﻖ ﺍﻟﺠﺴﻢ ﺍﻟﻜﺜﻴﻒ ﺍﻟﺮﻭﺡ ﺍﻟﻠﻄﻴﻒ، ﺛﻢ ﺑﻌﺪ ﻗﻠﻴﻞ ﺭﺃﻳﺘﻪ ﻭﺑﻪ ﺷﺠﺔ ﻓﻘﺎﻝ: ﺗﺰﻭﺟﺖ ﺟﻨﻴﺔ ﻓﺮﺯﻗﺖ ﻣﻨﻬﺎ ﺛﻼﺛﺔ ﺃﻭﻻﺩ ﻓﺎﺗﻔﻖ ﻳﻮﻣﺎ ﺃﻥ ﺃﻏﻀﺒﺘﻬﺎ ﻓﻀﺮﺑﺘﻨﻲ ﺑﻌﻈﻢ ﺣﺼﻠﺖ ﻣﻨﻪ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺸﺠﺔ ﻭﺍﻧﺼﺮﻓﺖ ﻓﻠﻢ ﺃﺭﻫﺎ ﺑﻌﺪ ﻫﺬﺍ، ﺃﻭ ﻣﻌﻨﺎﻩ. ”Teman kami Abul-Fath Al- Ya’muriy – ia seorang yang kuat hapalannya – menukil, ia berkata : Aku mendengar Al- Imam Taqiyyuddin bin Daqiiqil-’Ied berkata : Aku mendengar syaikh kami Abu Muhammad bin ’Abdis-Salaam As-Sulamiy berkata bahwa ia pernah terlibat pembicaraan tentang diri Abu ’Abdillah bin Al-’Arabiy Ath-Thaa’iy, lalu berkata : ’Ia seorang Syi’iy (penganut Syi’ah) yang jelek lagi pendusta’. Aku (Inu Daqiiqil-’Ied) berkata kepadanya : ’Pendusta jugakah ia ?’. Ia menjawab : ’Benar. Kami pernah berdiskusi di Damaskus sekitar permasalahan pernikahan dengan jin. Lalu ia berkata : ’Ini sesuatu yang mustahil, karena manusia adalah jasmani yang padat, sedangkan jin adalah ruh yang halus.
Jasmani yang padat dengan ruh yang halus tidak dapat berhubungan’. Setelah itu, tiba-tiba aku melihatnya terluka. Ia berkata : ’Aku pernah menikah dengan jin perempuan hingga dikaruniai tiga orang anak. Hingga satu hari aku membuatnya marah, sehingga ia memukulku dengan tulang sampai membekas luka ini. Lalu jin perempuan itu kabur dan aku tidak pernah melihatnya lagi setelah itu’. Atau ucapan yang semakna dengan ini” [Miizaanul-I’tidaal, 3/659]. Dari cerita tersebut dapat kita simak, seandainya pernikahan itu terjadi, maka jin lah yang lebih mengendalikan manusia, hingga ketika ia berbuat aniaya, suaminya tidak bisa berbuat apa-apa. Terakhir, Asy-Syaikh Ibnu Jibriin rahimahullah memberikan nasihat : ﺇﻥ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﺠﻦ ﻳﺘﺼﻮﺭ ﻟﻺﻧﺴﻲ ﻓﻲ ﺻﻮﺭﺓ ﺍﻣﺮﺃﺓ ﺛﻢ ﻳﺠﺎﻣﻌﻬﺎ ﺍﻹﻧﺴﻲ، ﻭﻛﺬﺍ ﻳﺘﺼﻮﺭ ﺍﻟﺠﻨﻲ ﺑﺼﻮﺭﺓ ﺭﺟﻞ ﻭﻳﺠﺎﻣﻊ ﺍﻟﻤﺮﺃﺓ ﻣﻦ ﺍﻹﻧﺲ ﺗﺠﺎﻣﻊ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﻟﻠﻤﺮﺃﺓ ﻭﻋﻼﺝ ﺫﻟﻚ ﺍﻟﺘﺤﻔﻆ ﻣﻨﻬﻢ ﺫﻛﻮﺭﺍً ﻭﺇﻧﺎﺛﺎً ﺑﺎﻷﺩﻋﻴﺔ ﻭﺍﻷﻭﺭﺍﺩ ﺍﻟﻤﺄﺛﻮﺭﺓ ﻭﻗﺮﺍﺀﺓ ﺍﻵﻳﺎﺕ ﺍﻟﺘﻲ ﺗﺸﺘﻤﻞ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺤﻔﻆ ﻭﺍﻟﺤﺮﺍﺳﺔ ﻣﻨﻬﻢ ﺑﺈﺫﻥ ﺍﻟﻠﻪ ”Sebagian jin (perempuan) menjelma di hdapan manusia menjadi seorang wanita, kemudian jin itu digauli oleh manusia. Demikian juga, ada jin yang menjelma menjadi seorang laki-laki yang kemudian menggauli wanita, seperti halnya seorang laki-laki menggauli istrinya. Obat dari hal itu adalah menjaga diri dari mereka – baik laki-laki maupun perempuan – dengan doa-doa dan wirid-wirid yang ma’tsur, serta membaca ayat-ayat (Al- Qur’an) yang mengandung penjagaan dan perlindungan dari mereka, dengan ijin Allah” [Al-Fataawaa Adz- Dzahabiyyah, hal. 196].
Demikianlah jawaban kami, semoga ada manfaatnya. Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abu al-jauzaa’ – banyak mengambil dari buku Al- Burhaan ’alaa Tahriimit- Tanaakuhi bainal-Insi wal-Jaan oleh Fadliilatusy-Syaikh Muhammad bin ’Abdillah Al- Imam – bisa di-download dari mauqi’ beliau – 1431 H].
[1] Berdasarkan hadits : ﻋَﻦْ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺑْﻦِ ﻋَﺒَّﺎﺱٍ ﻗَﺎﻝَ ﻭَﺍﻟﻠَّﻪِ ﻣَﺎ ﺧَﺼَّﻨَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺑِﺸَﻲْﺀٍ ﺩُﻭﻥَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﺇِﻟَّﺎ ﺑِﺜَﻠَﺎﺛَﺔِ ﺃَﺷْﻴَﺎﺀَ ﻓَﺈِﻧَّﻪُ ﺃَﻣَﺮَﻧَﺎ ﺃَﻥْ ﻧُﺴْﺒِﻎَ ﺍﻟْﻮُﺿُﻮﺀَ ﻭَﻟَﺎ ﻧَﺄْﻛُﻞَ ﺍﻟﺼَّﺪَﻗَﺔَ ﻭَﻟَﺎ ﻧُﻨْﺰِﻱَ ﺍﻟْﺤُﻤُﺮَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﺨَﻴْﻞِ Dari ‘Abdullah bin ‘Abbaas, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam tidak mengkhususkan sesuatupun bagi kita (ahlul- bait) kecuali dalam tiga hal, yaitu : Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk menyempurnakan wudlu, tidak makan shadaqah, dan tidak mengawinkan keledai dengan kuda"[Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 141; shahih].