Rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM pertanggal 1 April 2012 telah meresahkan banyak masyarakat. Berbagai respon yang beraneka ragam mereka lakukan dalam menghadapi fenomena ini. Sebagai orang yang beriman, kita tentu yakin bahwa Islam mengajarkan aturan terkait masalah ini. Hanya saja ada yang tahu dan ada yang belum tahu aturan itu. Sebagai orang yang beriman, kita tentu yakin bahwa aturan syariah merupakan aturan yang paripurna. Aturan yang mengantarkan manusia kepada kebahagiaan, meskipun bisa jadi tidak sejalan dengan logika kita. Ini penting untuk kita pahami, karena bisa jadi di antara kita ada yang merasa tidak puas dengan aturan ini. Bisa jadi di antara kita merasa aturan ini tidak sesuai dengan kepentingannya.
Namun apapun itu, Anda perlu yakin bahwa aturan syariat harus dinomor- satukan. Dengan demikian, kita layak untuk disebut telah mendapat hidayah, karena kita mengambil sikap yang berbeda dengan mereka yang tidak sesuai aturan Alquran dan sunnah. ﻟِﻴَﻬْﻠِﻚَ ﻣَﻦْ ﻫَﻠَﻚَ ﻋَﻦْ ﺑَﻴِّﻨَﺔٍ ﻭَﻳَﺤْﻴَﻰ ﻣَﻦْ ﺣَﻲَّ ﻋَﻦْ ﺑَﻴِّﻨَﺔٍ “Sehingga semakin tersesat orang yang tersesat setelah mendapat penjelasan dan hiduplah orang yang hidup (dengan hidayah) setelah mendapat penjelasan.” (QS. Al- Anfal: 41) Pertama, sesungguhnya Allah Dzat yang menakdirkan semua harga Kasus naiknya harga barang, tidak hanya terjadi di akhir zaman.
Fenomena ini bahkan pernah terjadi di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Disebutkan dalam riwayat bahwa di zaman sahabat pernah terjadi kenaikan harga. Mereka pun mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyampaikan masalahnya. Mereka mengatakan, ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﻏﻼ ﺍﻟﺴﻌﺮ ﻓﺴﻌﺮ ﻟﻨﺎ “Wahai Rasulullah, harga-harga barang banyak yang naik, maka tetapkan keputusan yang mengatur harga barang.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ﺇﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻫﻮ ﺍﻟﻤﺴﻌﺮ ﺍﻟﻘﺎﺑﺾ ﺍﻟﺒﺎﺳﻂ ﺍﻟﺮﺍﺯﻕ ﻭﺇﻧﻲ ﻵﺭﺟﻮ ﺃﻥ ﺃﻟﻘﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﻟﻴﺲ ﺃﺣﺪ ﻣﻨﻜﻢ ﻳﻄﻠﺒﻨﻲ ﺑﻤﻈﻠﻤﺔ ﻓﻲ ﺩﻡ ﺃﻭ ﻣﺎﻝ “Sesungguhnya Allah adalah Dzat yang menetapkan harga, yang menyempitkan dan melapangkan rezeki, Sang Pemberi rezeki. Sementara aku berharap bisa berjumpa dengan Allah dalam keadaan tidak ada seorang pun dari kalian yang menuntutku disebabkan kezalimanku dalam urusan darah maupun harta.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Turmudzi, Ibnu Majah, dan dishahihkan Al-Albani) Dengan memahami hal ini, setidaknya kita berusaha mengedepankan sikap tunduk kepada takdir, dalam arti tidak terlalu bingung dalam menghadapi kenaikan harga, apalagi harus stres atau bahkan bunuh diri. Semua sikap ini bukan solusi, tapi justru menambah beban dan memperparah keadaan.
Kedua, sesungguhnya kenaikan harga tidak mempengaruhi rezeki seseorang Bagian penting yang patut kita yakini bahwa rezeki kita telah ditentukan oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Jatah rezeki yang Allah tetapkan tidak akan bertambah maupun berkurang. Meskipun, masyarakat Indonesia diguncang dengan kenaikan harga barang, itu sama sekali tidak akan menggeser jatah rezeki mereka. Allah menyatakan, ﻭَﻟَﻮْ ﺑَﺴَﻂَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺍﻟﺮِّﺯْﻕَ ﻟِﻌِﺒَﺎﺩِﻩِ ﻟَﺒَﻐَﻮْﺍ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺄَﺭْﺽِ ﻭَﻟَﻜِﻦْ ﻳُﻨَﺰِّﻝُ ﺑِﻘَﺪَﺭٍ ﻣَﺎ ﻳَﺸَﺎﺀُ ﺇِﻧَّﻪُ ﺑِﻌِﺒَﺎﺩِﻩِ ﺧَﺒِﻴﺮٌ ﺑَﺼِﻴﺮٌ “Andaikan Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba- Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba- hamba-Nya lagi Maha Melihat.” (QS. As-Syura: 27) Ibnu Katsir mengatakan, ﺃﻱ: ﻭﻟﻜﻦ ﻳﺮﺯﻗﻬﻢ ﻣﻦ ﺍﻟﺮﺯﻕ ﻣﺎ ﻳﺨﺘﺎﺭﻩ ﻣﻤﺎ ﻓﻴﻪ ﺻﻼﺣﻬﻢ، ﻭﻫﻮ ﺃﻋﻠﻢ ﺑﺬﻟﻚ ﻓﻴﻐﻨﻲ ﻣﻦ ﻳﺴﺘﺤﻖ ﺍﻟﻐﻨﻰ، ﻭﻳﻔﻘﺮ ﻣﻦ ﻳﺴﺘﺤﻖ ﺍﻟﻔﻘﺮ. “Maksud ayat, Allah memberi rezeki mereka sesuai dengan apa yang Allah pilihkan, yang mengandung maslahat bagi mereka. Dan Allah Maha Tahu hal itu, sehingga Allah memberikan kekayaan kepada orang yang layak untuk kaya, dan Allah menjadikan miskin sebagian orang yang layak untuk miskin.” (Tafsir Alquran al-Adzim, 7:206) Terkait dengan hal ini, jauh-jauh hari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan umatnya agar jangan sampai mereka merasa rezekinya terlambat atau jatah rezekinya serat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ، ﺇِﻥَّ ﺃَﺣَﺪَﻛُﻢْ ﻟَﻦْ ﻳَﻤُﻮﺕَ ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﺴْﺘَﻜْﻤِﻞَ ﺭِﺯْﻗَﻪُ ، ﻓَﻼ ﺗَﺴْﺘَﺒْﻄِﺌُﻮﺍ ﺍﻟﺮِّﺯْﻕَ ، ﺍﺗَّﻘُﻮﺍ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ، ﻭَﺃَﺟْﻤِﻠُﻮﺍ ﻓِﻲ ﺍﻟﻄَّﻠَﺐِ ، ﺧُﺬُﻭﺍ ﻣَﺎ ﺣَﻞَّ ، ﻭَﺩَﻋُﻮﺍ ﻣَﺎ ﺣَﺮُﻡَ “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian tidak akan mati sampai sempurna jatah rezekinya, karena itu, jangan kalian merasa rezeki kalian terhambat dan bertakwalah kepada Allah, wahai sekalian manusia. Carilah rezeki dengan baik, ambil yang halal dan tinggalkan yang haram.” (HR. Baihaqi, dishahihkan Hakim dalam Al-Mustadrak dan disepakati Ad-Dzahabi)
Setelah memahami hal ini, seharusnya tidak ada lagi yang namanya orang stres berlebihan ketika mengalami ujian ekonomi. Apapun ujian yang dialami manusia, sama sekali tidak akan mengurangi jatah rezekinya. Namun satu hal yang perlu Anda catat tebal-tebal, hadis ini sama sekali bukan untuk memotivasi Anda agar tidak bekerja atau meninggalkan aktivitas mencari rezeki. Bukan demikian maksudnya. Kita tidak tahu seberapa jatah rezeki kita, sehingga tidak ada seorang pun yang mogok kerja, meninggalkan anak istri terlunta- lunta, karena latar belakang keyakinan bahwa rezekinya sudah dipatok harganya. Ini jelas pemahaman yang salah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan demikian, tujuannya agar manusia tidak terlalu ambisius dengan dunia, sampai harus melanggar yang dilarang syariat. Kemudian ketika terjadi musibah, manusia tidak sedih yang berlebihan, apalagi harus stres. Sesungguhnya segala keresahan dan kesedihan yang dialami kaum muslimin adalah ujian dari Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ﻣَﺎ ﻳُﺼِﻴﺐُ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻢَ ﻣِﻦْ ﻧَﺼَﺐٍ ﻭَﻻَ ﻭَﺻَﺐٍ ﻭَﻻَ ﻫَﻢٍّ ﻭَﻻَ ﺣُﺰْﻥٍ ﻭَﻻَ ﺃَﺫًﻯ ﻭَﻻَ ﻏَﻢٍّ ﺣَﺘَّﻰ ﺍﻟﺸَّﻮْﻛَﺔِ ﻳُﺸَﺎﻛُﻬَﺎ ، ﺇِﻻَّ ﻛَﻔَّﺮَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺑِﻬَﺎ ﻣِﻦْ ﺧَﻄَﺎﻳَﺎﻩُ “Jika ada yang menimpa seorang muslim, baik berupa rasa capek, sakit, kebingunan, kesedihan, kezhaliman orang lain, kesempitan hati, sampai duri yang menancap di badannya maka Allah akan jadikan semua itu sebagai penghapus dosa- dosanya.” (HR. Bukhari) Mengingat hadis ini, sikap selanjutnya terkait kenaikan BBM: dilihat dari sudut pAndang takdir, kenaikan BBM adalah musibah yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, untuk menguji kaum muslimin, sekaligus menjadi penghapus dosa mereka. Keresahan yang mereka alami, hakikatnya adalah penghapus dosa yang pernah mereka lakukan. Siapa yang bersabar dan meniti jalan kebenaran maka Allah akan hapuskan dosa-dosanya dan akan Allah berikan jalan keluar terbaik.
Allah berfirman, ﻭَﻣَﻦْ ﻳَﺘَّﻖِ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻳَﺠْﻌَﻞْ ﻟَﻪُ ﻣَﺨْﺮَﺟًﺎ (2) ﻭَﻳَﺮْﺯُﻗْﻪُ ﻣِﻦْ ﺣَﻴْﺚُ ﻟَﺎ ﻳَﺤْﺘَﺴِﺐُ “Siapa yang bertakwa kepada Allah, maka akan Allah berikan jalan keluar. Allah akan berikan rezeki dari jalur yang tidak mereka perhitungkan..” (QS. At- Thalaq: 2–3) Dalam memahami konsep musibah, sikap yang harus kita kedepankan adalah menuduh pribadi kita sebagai sumber masalahnya. Masing-masing individu menuding dirinya bahwa bisa jadi musibah ini disebabkan karena perbuatan maksiat yang pernah kita lakukan. Sebagaimana yang Allah firmankan, ﻭَﻣَﺎ ﺃَﺻَﺎﺑَﻜُﻢْ ﻣِﻦْ ﻣُﺼِﻴﺒَﺔٍ ﻓَﺒِﻤَﺎ ﻛَﺴَﺒَﺖْ ﺃَﻳْﺪِﻳﻜُﻢْ ﻭَﻳَﻌْﻔُﻮ ﻋَﻦْ ﻛَﺜِﻴﺮٍ “Segala bentuk musibah yang menimpa kalian, semuanya disebabkan ulah tangan (maksiat) kalian. Dan Allah telah memberi ampunan untuk banyak dosa.” (QS. As-Syuro: 30) Ibnu katsir mengatakan, ﺃﻱ:ﻣﻬﻤﺎ ﺃﺻﺎﺑﻜﻢ ﺃﻳُّﻬﺎ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺼﺎﺋﺐ ﻓﺈﻧﻤﺎ ﻫﻮ ﻋﻦ ﺳﻴﺌﺎﺕ ﺗﻘﺪﻣﺖ ﻟﻜﻢ “Maksud ayat, musibah apapun yang menimpa kalian – wahai manusia – semuanya disebabkan maksiat yang kalian lakukan.” (Tafsir Ibn Katsir, 2:207) Setelah kita memahami hal ini, sikap selanjutnya yang harus kita lakukan adalah memperbanyak taubat dan memohon ampunan kepada Allah. Sembari berharap agar Allah mengampuni kita dan memberikan penyelesaian terbaik bagi semuanya. Karena alasan inilah, para ulama selalu mengembalikan adanya musibah dengan nasihat taubat. Dikisahkan, dulu ada seorang ulama yang menerima pengaduan dari masyarakat; Harga-harga barang pada naik. Beliau lalu menasihatkan, ﺃﻧﺰﻟﻮﻫﺎ ﺑﺎﻻﺳﻐﻔﺎﺭ “Turunkan harga dengan banyak istighfar.” Nasihat beliau ini didasari firman Allah di surat Nuh, ﺍﺳْﺘَﻐْﻔِﺮُﻭﺍ ﺭَﺑَّﻜُﻢْ ﺇِﻧَّﻪُ ﻛَﺎﻥَ ﻏَﻔَّﺎﺭًﺍ ) ( ﻳُﺮْﺳِﻞِ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﺀَ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﻣِﺪْﺭَﺍﺭًﺍ ) ( ﻭَﻳُﻤْﺪِﺩْﻛُﻢْ ﺑِﺄَﻣْﻮَﺍﻝٍ ﻭَﺑَﻨِﻴﻦَ ﻭَﻳَﺠْﻌَﻞْ ﻟَﻜُﻢْ ﺟَﻨَّﺎﺕٍ ﻭَﻳَﺠْﻌَﻞْ ﻟَﻜُﻢْ ﺃَﻧْﻬَﺎﺭًﺍ “Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, -sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun-, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS. Nuh: 10 – 12) Ayat ini merupakan jaminan, orang yang banyak memohon ampunan, akan Allah lapangkan rezeki dan keturunannya. Tapi perlu Anda catat tebal-tebal, ini hanya bisa dipahami dengan bahasa iman. Selama seseorang masih mengedepankan logika, selama itu pula dia akan kesulitan untuk menerimanya. '
Contoh nyata penerapan adab ini, diterapkan Nabi Yunus, di saat beliau berada dalam kegelapan perut ikan. Nabi Yunus merengek, memohon ampun kepada Allah, ﻓَﻨَﺎﺩَﻯ ﻓِﻲ ﺍﻟﻈُّﻠُﻤَﺎﺕِ ﺃَﻥْ ﻟَﺎ ﺇِﻟَﻪَ ﺇِﻟَّﺎ ﺃَﻧْﺖَ ﺳُﺒْﺤَﺎﻧَﻚَ ﺇِﻧِّﻲ ﻛُﻨْﺖُ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻈَّﺎﻟِﻤِﻴﻦَ “Dia menyeru dalam kegelapan, dengan mengucapkan: Laa ilaaha illaa anta, subhaanak. Innii kuntu minad dzaalimiin. (Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau, Maha Suci Engkau. Sesungguhnya aku termasuk orang yang zhalim).” (QS. Al- Anbiya: 87) Adab selanjutnya, tetap jaga hati untuk husnu-zhan kepada Allah Apapun yang menimpa diri Anda, jangan sampai menggiring Anda untuk berburuk sangka kepada Allah. Karena sekalipun itu musibah, hakikatnya Allah hendak memberikan kebaikan bagi Anda. Dengan musibah ini, Allah hendak menghapuskan dosa Anda, dan dengan musibah ini Allah hendak meninggikan derajat Anda. Jadi, apapun yang Allah berikan kepada Anda, hakikatnya untuk kebaikan Anda. Perhatikan motivasi yang diberikan sahabat Ibnu Mas’ud berikut, ﻭﺍﻟﺬﻱ ﻻ ﺇﻟﻪ ﻏﻴﺮُﻩ، ﻣﺎ ﺃﻋﻄﻲ ﻋﺒﺪٌ ﻣﺆﻣﻦ ﺷﻴﺌﺎً ﺧﻴﺮﺍ ﻣﻦ ﺣﺴﻦ ﺍﻟﻈﻦ ﺑﺎﻟﻠﻪ ﻋﺰ ﻭﺟﻞ. ﻭﺍﻟﺬﻱ ﻻ ﺇﻟﻪ ﻏﻴﺮﻩ، ﻻ ﻳﺤﺴﻦ ﻋﺒﺪ ﺑﺎﻟﻠﻪ ﻋﺰ ﻭﺟﻞ ﺍﻟﻈﻦ ﺇﻻ ﺃﻋﻄﺎﻩ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﺰ ﻭﺟﻞ ﻇﻨﻪ، ﺫﻟﻚ ﺑﺄﻥَّ ﺍﻟﺨﻴﺮ ﻓﻲ ﻳﺪﻩ “Demi Allah, Dzat yang tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Dia. Tidak ada pemberian untuk hamba beriman yang lebih baik dari pada husnu-zhan kepada Allah. Demi Allah, jika seorang hamba berbaik sangka kepada Allah, maka pasti Allah akan memberikan sesuai persangkaannya. Karena semua kebaikan ada di tangan Allah.” (HR. Ibnu Abid Dunya) Bagaimana agar bisa disebut husnu-zhan kepada Allah? Caranya, paksa hati Anda untuk meyakini bahwa ujian yang saat ini sedang menimpa Anda adalah penghapus dosa Anda. Jaga hati dan lisan baik-baik, jangan sampai mengucapkan sesuatu yang mengundang murka Allah. Hindari perasaan, Allah tidak adil, Allah zhalim, Allah mengurangi jatah rezekiku, dimana kemurahan Allah,… dst. Hindari.., '
jangan sampai kita benci ketetapan Allah. Hadis dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “ ﻋِﻈَﻢُ ﺍﻟْﺠَﺰَﺍﺀِ ﻣَﻊَ ﻋِﻈَﻢِ ﺍﻟْﺒَﻠَﺎﺀِ، ﻭَﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﺇِﺫَﺍ ﺃَﺣَﺐَّ ﻗَﻮْﻣًﺎ ﺍﺑْﺘَﻠَﺎﻫُﻢْ، ﻓَﻤَﻦْ ﺭَﺿِﻲَ ﻓَﻠَﻪُ ﺍﻟﺮِّﺿَﺎ، ﻭَﻣَﻦْ ﺳَﺨِﻂَ ﻓَﻠَﻪُ ﺍﻟﺴُّﺨْﻂُ” “Besarnya balasan itu sebanding dengan besarnya ujian. Sesungguhnya, apabila Allah mencintai seseorang maka Dia akan memberikan ujian kepadanya. Siapa yang ridha, dia akan mendapatkan ridha Allah dan siapa yang benci, dia akan mendapatkan kebencian Allah.” (HR. Turmudzi, Ibn Majah, dan dishahihkan Al-Albani) Al-Mubarokfuri menjelaskan, “Siapa yang membenci ujian yang datang dari Allah, tidak rela terhadap ketetapan dari-Nya maka dia akan mendapatkan kemurkaan dari Allah dan siksa yang menyakitkan. Sebagai balasan terhadap sikap dia menentang takdir.” (Tuhfatul Ahwadzi, 7:65) Termasuk bagian dari sikap husnu-zhan kepada Allah adalah memperbanyak berdoa dan berharap, agar Allah memberikan jalan keluar terbaik baginya. Dia tidak bosan-bosan untuk bersimpuh di hadapan Rabnya, meminta dan memohon agar Allah memberikan jalan keluar terbaik baginya. Inilah sikap yang dicontohkan para nabi, ketika mendapatkan ujian dari Allah, disamping berusaha untuk sabar dalam menerima ujian ini. Perhatikan Nabi Ayyub, di saat tumpukan musibah dunia yang menimpanya, beliau mengadu kepada Allah: ﺃَﻧِّﻲ ﻣَﺴَّﻨِﻲَ ﺍﻟﻀُّﺮُّ ﻭَﺃَﻧْﺖَ ﺃَﺭْﺣَﻢُ ﺍﻟﺮَّﺍﺣِﻤِﻴﻦَ “Sesungguhnya aku sedang tertimpa musibah, dan Engkau Dzat yang sangat belas kasihan.” (QS. Al-Anbiya: 83)
Apa doa yang harus kita baca? Kita bisa membaca semua doa yang isinya kebaikan. Setelah kita memohon ampunan kepada Allah, berdoalah memohon kebaikan untuk dunia dan akhirat. Kita bisa berdoa dengan bahasa Indonesia atau bahasa apa pun yang bisa Anda pahami. Adab penting! Hindari, menyebut-nyebut kenaikan harga di depan tamu Anda atau teman Anda. Abul Aina’ menceritakan, “Suatu ketika ada seseorang yang bertamu di rumah temannya. Ketika itu sedang musim paceklik. Si tuan rumah sering sekali menyebut-nyebut kenaikan harga. Mendengar hal ini, si tamu lantas mengangkat tangannya dan mengatakan, ‘Bukan termasuk sikap terhormat, menyebut-nyebut kenaikan harga di depan tamu, ketika sedang menghidangkan makanan!’ Tuan rumah kemudian minta maaf, dan memohon kepada tamu agar memakan hidangannya. Namun si tamu tidak menyentuhnya sama sekali, kemudian dia pergi keesokan harinya.” (Adab Muwakalah, Hal. 7) wallahu a’lam
sumber: http://konsultasisyariah.com/ kenaikan-harga-bbm http://konsultasisyariah.com/ bbm-naik
Jumat, 30 Maret 2012
Riwayat-Riwayat Shahih tentang Wafatnya Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam
Prolog :
Artikel berikut merupakan paparan kisah seputar hari-hari wafatnya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam yang diambil dari riwayat-riwayat yang valid. Seleksi validitas riwayat dinukil dari telaahan Prof. Dr. Akram Dliyaa’ Al-’Umari hafidhahullah dalam bukunya : As-Siirah An- Nabawiyyah Ash-Shahiihah : Muhaawalatun li-Tathbiiqi Qawaaidil-Muhadditsiin fii Naqdi Riwaayaati As-Siirah An- Nabawiyyah.
Di akhir pembahasan kami lengkapi dengan penjelasan Mamduh Farhan Al-Buhairi mengenai syubuhaat Syi’ah yang mengklaim bahwa Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam tidak wafat di pangkuan ’Aisyah, tapi di pangkuan ’Ali bin Abi Thalib. Sekitar tiga bulan sepulang menunaikan haji wada’, beliau shallallaahu ’alaihi wasallam menderita sakit yang cukup serius.
[1] Beliau pertama kali mengeluhkan sakitnya di rumah Ummul-Mukminin Maimunah radliyallaahu ’anhaa
[2]. Beliau sakit selama 10 hari,
[3] dan akhirnya wafat pada hari Senin tanggal 12 Rabi’ul- Awwal
[4] pada usia 63 tahun.
[5] Dan telah shahih (satu riwayat yang menyatakan) bahwa sakit beliau tersebut telah dirasakan semenjak tahun ketujuh pasca penaklukan Khaibar, yaitu setelah beliau mencicipi sepotong daging panggang yang telah dibubuhi racun yang disuguhkan oleh istri Sallaam bin Masykam Al- Yahudiyyah. Walaupun beliau sudah memuntahkannya dan tidak sampai menelannya, namun pengaruh racun tersebut masih tersisa.
[6] Beliau shallallaahu ’alaihi wasallam meminta ijin kepada istri- istrinya agar diperbolehkan untuk dirawat di rumah ’Aisyah Ummul-Mukminiin.
[7] Ia (’Aisyah) mengusap- usapkankan tangan beliau pada badan beliau sambil membacakan surat Al- Mu’awwidzatain (Al-Falaq dan An-Naas).
[8] Ketika beliau shallallaahu ’alaihi wasallam dalam keadaan kritis, beliau berkata kepada para shahabat : ﻫﻠﻤﻮﺍ ﺃﻛﺘﺐ ﻟﻜﻢ ﻛﺘﺎﺑًَﺎ ﻻ ﺗﻀﻠﻮﺍ ﺑﻌﺪﻩ ”Kemarilah, aku ingin menulis untuk kalian yang dengan itu kalian tidak akan tersesat setelahnya”.
Terjadi perselisihan di antara mereka. Sebagian berkeinginan memberikan alat-alat tulis (sebagaimana permintaan beliau), sebagian yang lain tidak setuju karena khawatir hal itu justru akan memberatkan beliau. Belakangan menjadi jelas bahwa perintah untuk menghadirkan alat tulis itu bukan merupakan hal yang wajib, namun merupakan sebuah pilihan. Ketika mendengar ’Umar bin Al- Khaththab radliyallaahu ’anhu mengatakan : ( ﺣﺴﺒﻨﺎ ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻟﻠﻪ ) ”Kami telah cukup dengan Kitabullah”; maka beliau tidak mengulangi permintaannya tersebut.Seandainya hal itu merupakan satu kewajiban, tentu beliau akan menyampaikannya dalam bentuk pesan. Sebagaimana pada saat itu beliau berpesan secara langsung kepada mereka agar mengeluarkan orang- orang musyrik dari Jazirah ’Arab dan agar memuliakan rombongan delegasi yang datang ke Madinah.
[9] Sebuah riwayat shahih menyebutkan bahwa beliau meminta alat tulis tersebut pada hari Kamis, 4 hari sebelum beliau wafat. «Seandainya permintaan tersebut wajib, niscaya beliau shallallaahu ’alaihi wasallam tidak akan meninggalkannya karena adanya perselisihan para shahabat pada waktu waktu itu. Beliau tidak mungkin meninggalkan tabligh (atas risalah) meskipun ada yang menyelisihi. Para shahabat sudah biasa mengkonfirmasi kepada beliau dalam beberapa perkara yang ada perintah secara pasti». Beliau shallallaahu ’alaihi wasallam memanggil Fathimah radliyallaahu ’anhaa yang kemudian membisikinya yang dengan itu kemudian Fathimah menangis. Beliau memanggil kembali dan membisikinya yang dengan itu kemudian Fathimah tersenyum. Setelah wafat, Fathimah menjelaskan bahwa ia menangis karena dibisiki bahwa beliau akan wafat, dan ia tersenyum karena dibisiki bahwa ia merupakan anggota keluarganya yang pertama yang akan menyusul beliau.
[10] Dan salah satu tanda nubuwwah tersebut akhirnya terbukti. Sakit yang beliau derita semakin bertambah berat sehingga beliau tidak sanggup keluar untuk shalat bersama para shahabat. Beliau shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda : ﻣﺮﻭﺍ ﺃﺑﺎ ﺑﻜﺮ ﻓﻠﻴﺼﻞ ﺑﺎﻟﻨﺎﺱ ”Suruhlah Abu Bakr agar shalat mengimami manusia”. ’Aisyah berusaha agar beliau shallallaahu ’alaihi wasallam menunjuk orang lain saja karena khawatir orang-orang akan berprasangka yang bukan-bukan kepada ayahnya (Abu Bakr). ’Aisyah berkata : ﺇﻥ ﺃﺑﺎ ﺑﻜﺮ ﺭﺟﻞ ﺭﻗﻴﻖ ﺿﻌﻴﻒ ﺍﻟﺼﻮﺕ ﻛﺜﻴﺮ ﺍﻟﺒﻜﺎﺀ ﺇﺫﺍ ﻗﺮﺃ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ”Sesungguhnya Abu Bakr itu seorang laki-laki yang fisiknya lemah, suaranya pelan, mudah menangis ketika membaca Al- Qur’an”.
[11] Namun beliau tetap bersikeras dengan perintahnya tersebut. Akhirnya Abu Bakr maju menjadi imam shalat bagi para shahabat.
[12] Pada satu hari, Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam keluar dengan dipapah oleh Ibnu ’Abbas dan ’Ali radliyallaahu ’anhuma untuk shalat bersama para shahabat, dan kemudian beliau berkhutbah. Beliau memuji-muji serta menjelaskan keutamaan Abu Bakr radliyallaahu ’anhu dalam khutbahnya tersebut dimana ia (Abu Bakr) disuruh memilih oleh Allah antara dunia dan kahirat, namun ia memilih akhirat.
[13] Khutbah terakhir yang beliau sampaikan tersebut adalah 5 hari sebelum wafat beliau. Beliau berkata di dalamnya : ﺇﻥ ﻋﺒﺪًﺍ ﻋﺮﺿﺖ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﻭﺯﻳﻨﺘﻬﺎ ﻓﺎﺧﺘﺎﺭ ﺍﻵﺧﺮﺓ ”Sesungguhnya ada seorang hamba yang ditawari dunia dan perhiasannya, namun justru ia memilih akhirat”. Abu Bakr paham bahwa yang dimaksud adalah dirinya. Ia pun menangis. Melihat hal tersebut, orang-orang merasa heran karena mereka tidak paham apa yang dirasakan oleh Abu Bakr.
[14] Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam membuka tabir kamar ’Aisyah pada waktu shalat Shubuh, hari dimana beliau wafat, dan kemudian beliau memandang kepada para shahabat yang sedang berada pada shaf-shaf shalat. Kemudian beliau tersenyum dan tertawa kecil seakan-akan sedang berpamitan kepada mereka. Para shahabat merasa sangat gembira dengan keluar beliau tersebut. Abu Bakr pun mundur karena mengira bahwa Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam ingin shalat bersama mereka. Namun beliau memberikan isyarat kepada mereka dengan tangannya agar menyelesaikan shalat mereka. Beliau kemudian kembali masuk kamar sambil menutup tabir. Fathimah masuk menemui beliau shallallaahu ’alaihi wasallam dan berkata : ”Alangkah berat penderitaan ayah”. Maka beliau menjawab : ﻟﻴﺲ ﻋﻠﻰ ﺃﺑﻴﻚ ﻛﺮﺏ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﻴﻮﻡ ”Setelah hari ini, tidak akan ada lagi penderitaan”.
[15] Usamah bin Zaid masuk, dan beliau memanggilnya dengan isyarat. Beliau sudah tidak sanggup lagi berbicara dikarenakan sakitnya yang semakin berat.
[16] Pada saat-saat menjelang ajal, beliau bersandar di dada ’Aisyah. ’Aisyah mengambil siwak pemberian dari saudaranya yang bernama ’Abdurrahman. Ia lalu menggigit siwak tersebut dengan giginya dan kemudian memberikannya kepada beliau shallallaahu ’alaihi wasallam. Beliaupun lantas bersiwak dengannya.
[17] Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam kemudian memasukkan tangannya ke dalam bejana yang berisi air dan membasuh mukanya. Beliau pun bersabda : ﻻ ﺇﻟﻪ ﺇﻻ ﺍﻟﻠﻪ ﺇﻥ ﻟﻠﻤﻮﺕ ﺳﻜﺮﺍﺕ ”Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah. Sesungguhnya pada setiap kematian itu ada saat-saat sekarat”.
[18] Dan ’Aisyah samar-samar masih sempat mendengar sabda beliau : ﻣﻊ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﺃﻧﻌﻢ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻬﻢ ”Bersama orang-orang yang dikaruniai nikmat oleh Allah”.
[19] Lalu beliau pun berdoa : ﺍﻟﻠﻬﻢ ﻓﻲ ﺍﻟﺮﻓﻴﻖ ﺍﻷﻋﻠﻰ ”Ya Allah, pertemukan aku dengan Ar-Rafiiqul-A’laa (Allah)”. ’Aisyah mengetahui bahwasannya beliau pada saat itu disuruh memilih, dan beliau pun memilih Ar-Rafiiqul-A’laa (Allah).
[20] Akhirnya beliau shallallaahu ’alaihi wasallam pun wafat pada waktu Dluhaa - dan ada yang mengatakan pada waktu tergelincirnya matahari - sedangkan kepala beliau di pangkuan ’Aisyah radliyallaahu ’anhaa. Abu Bakr radliyallaahu ’anhu segera masuk, dimana ketika wafatnya beliau shallallaahu ’alaihi wasallam ia tidak berada di tempat. Ia membuka penutup wajah beliau, dan kemudian ia menutupnya kembali dan menciumnya. Ia pun keluar menemui orang-orang. Pada waktu itu, orang-orang berada dalam keadaan percaya dan tidak percaya atas khabar wafatnya beliau shallallaahu ’alaihi wasallam. '’Umar radliyallaahu ’anhu termasuk orang yang tidak percaya atas berita wafatnya beliau tersebut. Orang-orang pun kemudian berkumpul menemui Abu Bakr. Ia (Abu Bakr) pun kemudian berkata : ﺃﻣﺎ ﺑﻌﺪ، ﻣﻦ ﻛﺎﻥ ﻣﻨﻜﻢ ﻳﻌﺒﺪ ﻣﺤﻤﺪًﺍ ﻓﺈﻥ ﻣﺤﻤﺪًﺍ ﻗﺪ ﻣﺎﺕ، ﻭﻣﻦ ﻛﺎﻥ ﻣﻨﻜﻢ ﻳﻌﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﺈﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﺣﻲ ﻻ ﻳﻤﻮﺕ. ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻠﻪ ) :ﻭَﻣَﺎ ﻣُﺤَﻤَّﺪٌ ﺇِﻟَّﺎ ﺭَﺳُﻮﻝٌ ﻗَﺪْ ﺧَﻠَﺖْ ﻣِﻦْ ﻗَﺒْﻠِﻪِ ﺍﻟﺮُّﺳُﻞُ ﺃَﻓَﺈِﻥْ ﻣَﺎﺕَ ﺃَﻭْ ﻗُﺘِﻞَ ﺍﻧْﻘَﻠَﺒْﺘُﻢْ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﻋْﻘَﺎﺑِﻜُﻢْ ﻭَﻣَﻦْ ﻳَﻨْﻘَﻠِﺐْ ﻋَﻠَﻰ ﻋَﻘِﺒَﻴْﻪِ ﻓَﻠَﻦْ ﻳَﻀُﺮَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﺷَﻴْﺌًﺎ ﻭَﺳَﻴَﺠْﺰِﻱ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺍﻟﺸَّﺎﻛِﺮِﻳﻦَ( ”Amma ba’du, barangsiapa di antara kalian yang menyembah Muhammad, maka sesungguhnya Muhammad saat ini telah mati. Dan barangsiapa di antara kalian yang menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah itu Maha Hidup dan tidak akan pernah mati. Allah telah berfirman : ”Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudarat kepada Allah sedikit pun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur” (QS. Aali ’Imraan : 144)”.
(Mendengar itu), maka para shahabat pun merasa tenang. Sementara itu, ’Umar radliyallaahu ’anhu duduk di tanah tidak sanggup berdiri. Seakan-akan mereka belum pernah mendengar ayat tersebut melainkan pada saat itu saja.[21] Fathimah radliyallaahu ’anhaa berkata : ﻱﺍ ﺃﺑﺘﺎﻩ ﺃﺟﺎﺏ ﺭﺑًﺎ ﺩﻋﺎﻩ. ﻳﺎ ﺃﺑﺘﺎﻩ ﻣﻦ ﺟﻨﺔ ﺍﻟﻔﺮﺩﻭﺱ ﻣﺄﻭﺍﻩ. ﻳﺎ ﺃﺑﺘﺎﻩ ﺇﻟﻰ ﺟﺒﺮﻳﻞ ﻧﻨﻌﺎﻩ. ”Wahai ayah, Rabb telah memenuhi doamu Wahai ayah, surga Firdaus tempat kembalimu Wahai ayah, kepada Jibril kami mengkhabarkan atas kewafatanmu”.[22] Semoga Allah melimpahkan shalawat, salam, barakah, dan nikmat kepada Nabi-Nya, keluarganya, dan para shahabatnya. Dan akhir seruan/doa kami adalah alhamdulillaahi rabbil-’aalamiin. [selesai – diambil dari kitab As- Siirah An-Nabawiyyah Ash- Shahiihah oleh Prof. Dr. Akram Dliyaa’ Al-’Umariy, 2/553-556; Maktabah Al-’Ulum wal-Hikam, Cet. 6/1415, Madinah Munawarah].
Saya tambahi keterangan Mamduh Farhan Al-Buhairiy[23] tentang bantahan terhadap syubhat Syi’ah yang mengingkari riwayat wafatnya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam di dada ’Aisyah, dimana mereka mendasarkan pengingkaran mereka dengan riwayat-riwayat yang tidak valid.
1. Hadits yang dikeluarkan oleh Ibnu Sa’d dengan sanad sampai ’Ali radliyallaahu ’anhu, ia berkata : ))ﺃُﺩْﻋُﻮﺍ ﻟِﻲ ﺃَﺧِﻲ((، ﻓَﺄَﺗَﻴﺘُﻪُ، ﻓَﻘَﺎﻝَ )) :ﺃَﺩْﻥُ ﻣِﻨِّﻲ((، ﻓَﺪَﻧَﻮْﺕُ ﻣِﻨْﻪُ، ﻓَﺎﺳْﺘَﻨَﺪَ ﺇِﻟَﻲَّ ﻓَﻠَﻢْ ﻳَﺰَﻝْ ﻣُﺴْﺘَﻨِﺪًﺍ ﺇِﻟَﻲَّ، ﻭَﺇِﻧَّﻪُ ﻟَﻴُﻜَﻠِّﻤُﻨِﻲْ ﺣَﺘَّﻰ ﺇِﻥَّ ﺭِﻳْﻘَﻪُ ﻟَﻴُﺼِﻴْﺒُﻨِﻲْ ”Panggilkan untukku saudaraku !”. Maka akupun mendatangi beliau, lalu beliau bersabda : ”Mendekatlah kepadaku !”. Maka akupun mendekat kepada beliau, kemudian beliau bersandar kepadaku dan tidak henti-hentinya beliau bersandar kepadaku, dan beliau berbicara kepadaku hingga air ludah beliau mengenaiku”. Ini adalah hadits haalik (rusak) sangat dla’if, dikarenakan Ibnu Sa’d meriwayatkannya dari Muhammad bin ’Umar Al- Waqidiy. Dia adalah pendusta.
Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata : ”Dia adalah pendusta, dia membolak-balik hadits”. Ibnu Ma’in rahimahullah berkata : ”Dia bukan termasuk orang yang tsiqah, haditsnya tidak ditulis”. Al-Bukhari dan Abu Hatim berkata : ”Matruk (haditsnya ditinggalkan)”. Abu Hatim dan An-Nasa’i juga berkata : ”Haditsnya diletakkan” [Al-Miizaan, 3/662].
2. Juga hadits ’Ali radliyallaahu ’anhu yang lain : ﻋَﻠِّﻤَﻨِﻲ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺃَﻟْﻒَ ﺑَﺎﺏٍ ﻛُﻞُّ ﺑَﺎﺏٍ ﻳَﻔْﺘَﺢُ ﺃَﻟْﻒَ ﺑَﺎﺏٍ. ”Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam mengajari aku seribu bab, setiap bab membuka seribu bab”. Ini adalah hadits maudlu’ (palsu), sebab ’Imran bin Haitsam adalah pendusta. Seandainya saja kita menyerah tidak mendebat keshahihan hadits ini, maka tidak ada di dalamnya hal yang menunjukkan bahwa pengajaran ini pada saat- saat kematian beliau shallallaahu ’alaihi wasallam, bahkan tidak masuk akal semua itu bisa dilakukan pada saat-saat seperti itu.
3. Hadits Jaabir bin ’Abdillah radliyallaahu ’anhu, bahwasannya Ka’b Al-Ahbar bertanya kepada ’Umar radliyallaahu ’anhu seraya berkata : ﻣَﺎ ﺁﺧِﺮُ ﻣَﺎ ﺗَﻜَﻠَّﻢَ ﺑِﻪِ ﺭَﺳُﻮْﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ؟ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﻋُﻤَﺮُ : ﺳَﻞْ ﻋَﻠِﻴًﺎ..... ”Apa yang terakhir kali dibicarakan oleh Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasalam ?”. Maka ’Umar menjawab : ”Tanyalah kepada ’Ali....”. Hadits ini adalah dla’if (lemah) yang tidak boleh ditoleh, karena di dalam sanadnya terdapat Muhammad bin ’Umar Al- Waqidi. Dia dalah matrukul-hadiits (haditsnya ditinggalkan) sebagaimana telah lalu perinciannya [Al-Miizaan, 3/662]. Juga di dalamnya terdapat Haram bin ’Utsman Al-Anshariy, dia juga matruk.
Al-Imam Malik dan Yahya berkata : ”Dia tidak tsiqah”. Al-Imam Ahmad berkata : ”Manusia meninggalkan haditsnya”. Al-Imam Asy-Syafi’iy dan Yahya bin Ma’in berkata : ”Riwayat dari Haram hukumnya haram”.
Ibnu Hibban berkata : ”Dia keterlaluan dalam memihak Syi’ah, membolak-balik sanad, dan membuat yang mursal menjadi marfu’ [Al-Miizaan, 1/468].
4. Hadits : ﻕِﻳْﻞَ ﻟِﺎﺑْﻦِ ﻋَﺒَّﺎﺱٍ : ﺃَﺭَﺃَﻳْﺖَ ﺭَﺳُﻮْﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺗُﻮْﻓِﻲَ ﻭَﺭَﺃْﺳُﻪُ ﻓِﻲ ﺣِﺠْﺮِ ﺃَﺣَﺪٍ؟ ﻗَﺎﻝَ : ﻧَﻌَﻢْ، ﺗُﻮْﻓِﻲَ ﻭَﺇِﻧَّﻪُ ﻟَﻤُﺴْﺘَﻨِﺪٌ ﺇِﻟَﻰ ﺻَﺪْﺭِ ﻋَﻠِﻲّ Dikatakan kepada Ibnu ’Abbas radliyallaahu ’anhuma : ”Apakah engkau melihat Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam wafat dan kepala beliau di pangkuan seseorang ?”. Maka ia menjawab : ”Ya, beliau wafat dan beliau bersandar di dada ’Ali....”. Hadits ini adalah dla’if (lemah). Karena di dalam sanadnya terdapat Muhammad bin ’Umar Al- Waqidiy, dia adalah matrukul-hadits sebagaimana penjelasan sebelumya.
Di dalam sanadnya juga terdapat orang yang bernama Sulaiman bin Dawud bin Al-Hushain, dari Abu Ghatfal, dia majhul tidak diketahui keadaannya.
5.Hadits ’Ali bin Al-Husain : ﻗُﺒِﺾَ ﺭَﺳُﻮْﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻭَﺭَﺃْﺳُﻪُ ﻓِﻲ ﺣِﺠْﺮِ ﻋَﻠِﻲٍّ. ”Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam wafat sementara kepala beliau di pangkuan ’Ali”. Hadits ini dla’if, karena di dalam sanadnya terdapat Muhammad bin ’Umar Al- Waqidiy. Dia matrukul- hadiits. Di samping itu, sanadnya terputus.
6. Hadits yang dikeluarkan oleh Ibnu Sa’d dengan sanadnya kepada Asy’Sya’biy, ia berkata : ﺗُﻮْﻓِﻲَ ﺭَﺳُﻮْﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻭَﺭَﺃْﺳُﻪُ ﻓِﻲ ﺣُﺠْﺮِ ﻋَﻠِﻲٍّ. ”Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam wafat sementara kepala beliau ada di pangkuan ’Ali”. Dalam sanad hadits ini terdapat Muhammad bin ’Umar Al-Waqidiy yang dia ini matruk. Selain itu, dalam sanadnya terdapat Abul-Huwairits yang namanya adalah ’Abdurrahman bin Mu’awiyyah. Ibnu Ma’in dan yang lainnya berkata : ”Tidak bisa dijadikan hujjah”. Al-Imam Malik dan An-Nasa’i berkata : ”Dia tidak tsiqah” [Al-Miizaan, 2/591].
7. Hadits Ummu Salamah radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata : ﻛَﺎﻥَ ﻋَﻠِﻲٌّ ﻟَﺄَﻗْﺮَﺏُ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﻋَﻬﺪًﺍ ﺑِﺮَﺳُﻮْﻝِ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ..... “’Ali adalah benar-benar manusia yang paling dekat masanya dengan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam”. Hadits ini shahih, namun sama sekali tidak menafikkan hadits ‘Aisyah bahwa beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam wafat di dadanya, bahkan hadits ‘Aisyah lebih shahih dari hadits Ummu Salamah. Para ulama ahli hadits telah menggabungkan dan mengkompromikan antara hadits Ummu Salamah dengan hadits ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhuma. Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam Fathul- Baariy (12/255) : “Mungkin bisa dikompromikan bahwa ‘Ali adalah orang yang paling akhir masanya dengan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Dia tidak meninggalkan beliau hingga kepala beliau condong. Saat itu dia menyangka bahwa beliau telah wafat. Maka dia adalah orang yang paling akhir bertemu dengan beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam. Kemudian beliau siuman, dan dia sudah pergi. Setelah itu ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa menyandarkan beliau di dadanya, kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam wafat”.
8. Hadits ‘Abdullah bin ‘Amr dari ‘Ali radliyallaahu ’anhum, ia berkata : “Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kepadaku seribu bab, pada setiap bab dibukakan untuknya seribu bab”. Hadits ini adalah dla’if, di dalam sanadnya terdapat Kaamil bin Thalhah. Para ulama ahli hadits berselisih tentangnya. Al-Imam Ahmad dan Ad-Daruquthni menyatakan tsiqah, namun Yahya bin Ma’in berkata : “Tidak bernilai apa-apa” [Al-Miizaan, 3/400].
Di dalam sanadnya juga terdapat ‘Abdullah bin Lahi’ah. Ibnu Ma’in berkata : “Dia lemah, tidak bisa dijadikan hujjah”. Yahya bin sa’id sama sekali tidak menganggapnya sama sekali. Abu Zur’ah berkata : ”Dia bukan termasuk orang yang bisa dijadikan hujjah dengan haditsnya”. An-Nasa’i berkata : ”Dia lemah”. Al-Jauzajani berkata : ”Tidak ada cahaya pada haditsnya, tidak layak berhujjah dengannya”. Al-Bukhari berkata dalam kitab Adl- Dlu’afaa’ saat menyebut Ibnu Lahi’ah dengan mengomentari hadits yang diriwayatkannya : ”Ini adalah munkar”. Di dalam sanadnya juga terdapat Huyay bin ’Abdillah Al-Maghafiriy. Ibnu ’Adiy berkata : ”Ibnu Lahi’ah memiliki sekian belas hadits yang umumnya munkar. Diantaranya hadits : ”Beliau mengajarkan kepadaku seribu bab, pada setiap bab dibukakan untuknya seribu bab” [Al-Miizaan, 1/623]. Adapun orang yang tanpa ilmu menginginkan untuk menjadikan hadits-hadits lemah lebih kuat sanadnya, maka itu adalah murni disebabkan hawa nafsu. Tentang hadits-hadits tersebut, Al-Haafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata : ”Hadits ’Aisyah radliyallaahu ’anhaa menceritakan bahwa beliau shallallaahu ’alaihi wasallam wafat di antara dada dan lehernya; membantah apa yang diriwayatkan Al-Haakim dan Ibnu Sa’d dari berbagai jalur yang menceritakan bahwa Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam wafat sementara kepala beliau ada di pangkuan ’Ali radliyallaahu ’anhu. Seluruh jalan hadits tersebut tidak luput dari orang Syi’ah. Maka tidak layak dilirik sama sekali” [Fathul-Baariy, 8/139].
Abul-Jauzaa’ – 4 Shaffar 1430, di Ciomas Permai.
[1] Ibnu Katsir berkata bahwa wafatnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam adalah 81 hari setelah pelaksanaan hari haji akbar [Al-Bidaayah wan-Nihaayah, 5/101].
[2] Ibnu Hajar berkata bahwa itu merupakan pendapat yang mu’tamad. Ada beberapa riwayat lain yang bertolak-belakang yang menyatakan bahwa beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam pertama kali mengeluhkan sakitnya di rumah Zainab binti Jahsy atau Raihaanah [Fathul- Baariy, 8/129].
[3] Sulaiman At-Taimiy memastikan pendapat ini. Riwayat ini dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dengan sanad shahih. Dan menurut pendapat kebanyakan ulama, bahwasannya beliau jatuh sakit selama 13 hari [Fathul-Baariy, 8/129].
[4] Al-Haafidh berpegang pada pendapat/perkataan Abu Mikhnaf bahwasannya beliau shallallaahu ’alaihi wasallam wafat pada tanggal 2 Rabi’ul-Awwal. Tambahan angka 1 di depan angka 2 sehingga menjadi 12 merupakan kesalahan [Fathul-Baariy, 8/130].
[5] Shahih Al-Bukhari (Fathul- Baariy, 8/150).
[6] Shahih Al-Bukhari (Fathul- Baariy, 8/131).
[7] Shahih Al-Bukhari (Fathul- Baariy, 8/141) dan Musnad Ahmad (Fathur- Rabbaaniy 21/226) dengan sanad shahih.
[8] Shahih Al-Bukhari (Fathul- Baariy, 8/131).
[9] Shahih Al-Bukhari (Fathul- Baariy, 8/132).
[10] Shahih Al-Bukhari (Fathul- Baariy, 1/208). Lihat makna-makna yang lain dalam A’laamul-Hadiits oleh Al-Khaththaabiy.
[11] Siirah Ibni Hisyaam, 4/330 dengan sanad shahih; dan Al-Bidaayah wan- Nihaayah oleh Ibnu Katsir, 5/233.
[12] Lihat Al-Bidaayah wan- Nihaayah oleh Ibnu Katsir, 5/232-233.
[13] Shahih Al-Bukhari (Fathul- Baariy 8/141). Lihat Musnad Ahmad (Fathur- Rabbaaniy 21/231I; dan Al-Bidayah wan-Nihaayah oleh Ibnu Katsir, 5/229-230.
[14] Musnad Ahmad (Fathur- Rabbaaniy, 21/222 berikut catatan pinggir/ hasyiyah no. 3); dan Tirkatun-Nabiy ( ﻕ.ﺃ.ﺏ ) dengan sanad dimana rijalnya adalah tsiqah, namun mursal.
[15] Shahih Al-Bukhari (Fathul- Baariy, 8/149).
[16] Sirah Ibni Hisyaam, 4/329 dengan sanad shahih.
[17] Shahih Al-Bukhari (Fathul- Baariy, 8/139).
[18] Shahih Al-Bukhari (Fathul- Baariy, 8/144).
[19] Shahih Al-Bukhari (Fathul- Baariy, 8/136).
[20] Shahih Al-Bukhari (Fathul- Baariy, 8/136); dan Siirah Ibni Hisyaam, 4/329 dengan sanad shahih.
[21] Shahih Al-Bukhari (Fathul- Baariy, 8/145).
[22] Shahih Al-Bukhari (Fathul- Baariy, 8/149).
[23] Qiblati, edisi 10, Thn. II – Juli 2007 M/Jumadats- Tsaniyyah 1428 M, hal. 28-30.
Artikel berikut merupakan paparan kisah seputar hari-hari wafatnya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam yang diambil dari riwayat-riwayat yang valid. Seleksi validitas riwayat dinukil dari telaahan Prof. Dr. Akram Dliyaa’ Al-’Umari hafidhahullah dalam bukunya : As-Siirah An- Nabawiyyah Ash-Shahiihah : Muhaawalatun li-Tathbiiqi Qawaaidil-Muhadditsiin fii Naqdi Riwaayaati As-Siirah An- Nabawiyyah.
Di akhir pembahasan kami lengkapi dengan penjelasan Mamduh Farhan Al-Buhairi mengenai syubuhaat Syi’ah yang mengklaim bahwa Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam tidak wafat di pangkuan ’Aisyah, tapi di pangkuan ’Ali bin Abi Thalib. Sekitar tiga bulan sepulang menunaikan haji wada’, beliau shallallaahu ’alaihi wasallam menderita sakit yang cukup serius.
[1] Beliau pertama kali mengeluhkan sakitnya di rumah Ummul-Mukminin Maimunah radliyallaahu ’anhaa
[2]. Beliau sakit selama 10 hari,
[3] dan akhirnya wafat pada hari Senin tanggal 12 Rabi’ul- Awwal
[4] pada usia 63 tahun.
[5] Dan telah shahih (satu riwayat yang menyatakan) bahwa sakit beliau tersebut telah dirasakan semenjak tahun ketujuh pasca penaklukan Khaibar, yaitu setelah beliau mencicipi sepotong daging panggang yang telah dibubuhi racun yang disuguhkan oleh istri Sallaam bin Masykam Al- Yahudiyyah. Walaupun beliau sudah memuntahkannya dan tidak sampai menelannya, namun pengaruh racun tersebut masih tersisa.
[6] Beliau shallallaahu ’alaihi wasallam meminta ijin kepada istri- istrinya agar diperbolehkan untuk dirawat di rumah ’Aisyah Ummul-Mukminiin.
[7] Ia (’Aisyah) mengusap- usapkankan tangan beliau pada badan beliau sambil membacakan surat Al- Mu’awwidzatain (Al-Falaq dan An-Naas).
[8] Ketika beliau shallallaahu ’alaihi wasallam dalam keadaan kritis, beliau berkata kepada para shahabat : ﻫﻠﻤﻮﺍ ﺃﻛﺘﺐ ﻟﻜﻢ ﻛﺘﺎﺑًَﺎ ﻻ ﺗﻀﻠﻮﺍ ﺑﻌﺪﻩ ”Kemarilah, aku ingin menulis untuk kalian yang dengan itu kalian tidak akan tersesat setelahnya”.
Terjadi perselisihan di antara mereka. Sebagian berkeinginan memberikan alat-alat tulis (sebagaimana permintaan beliau), sebagian yang lain tidak setuju karena khawatir hal itu justru akan memberatkan beliau. Belakangan menjadi jelas bahwa perintah untuk menghadirkan alat tulis itu bukan merupakan hal yang wajib, namun merupakan sebuah pilihan. Ketika mendengar ’Umar bin Al- Khaththab radliyallaahu ’anhu mengatakan : ( ﺣﺴﺒﻨﺎ ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻟﻠﻪ ) ”Kami telah cukup dengan Kitabullah”; maka beliau tidak mengulangi permintaannya tersebut.Seandainya hal itu merupakan satu kewajiban, tentu beliau akan menyampaikannya dalam bentuk pesan. Sebagaimana pada saat itu beliau berpesan secara langsung kepada mereka agar mengeluarkan orang- orang musyrik dari Jazirah ’Arab dan agar memuliakan rombongan delegasi yang datang ke Madinah.
[9] Sebuah riwayat shahih menyebutkan bahwa beliau meminta alat tulis tersebut pada hari Kamis, 4 hari sebelum beliau wafat. «Seandainya permintaan tersebut wajib, niscaya beliau shallallaahu ’alaihi wasallam tidak akan meninggalkannya karena adanya perselisihan para shahabat pada waktu waktu itu. Beliau tidak mungkin meninggalkan tabligh (atas risalah) meskipun ada yang menyelisihi. Para shahabat sudah biasa mengkonfirmasi kepada beliau dalam beberapa perkara yang ada perintah secara pasti». Beliau shallallaahu ’alaihi wasallam memanggil Fathimah radliyallaahu ’anhaa yang kemudian membisikinya yang dengan itu kemudian Fathimah menangis. Beliau memanggil kembali dan membisikinya yang dengan itu kemudian Fathimah tersenyum. Setelah wafat, Fathimah menjelaskan bahwa ia menangis karena dibisiki bahwa beliau akan wafat, dan ia tersenyum karena dibisiki bahwa ia merupakan anggota keluarganya yang pertama yang akan menyusul beliau.
[10] Dan salah satu tanda nubuwwah tersebut akhirnya terbukti. Sakit yang beliau derita semakin bertambah berat sehingga beliau tidak sanggup keluar untuk shalat bersama para shahabat. Beliau shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda : ﻣﺮﻭﺍ ﺃﺑﺎ ﺑﻜﺮ ﻓﻠﻴﺼﻞ ﺑﺎﻟﻨﺎﺱ ”Suruhlah Abu Bakr agar shalat mengimami manusia”. ’Aisyah berusaha agar beliau shallallaahu ’alaihi wasallam menunjuk orang lain saja karena khawatir orang-orang akan berprasangka yang bukan-bukan kepada ayahnya (Abu Bakr). ’Aisyah berkata : ﺇﻥ ﺃﺑﺎ ﺑﻜﺮ ﺭﺟﻞ ﺭﻗﻴﻖ ﺿﻌﻴﻒ ﺍﻟﺼﻮﺕ ﻛﺜﻴﺮ ﺍﻟﺒﻜﺎﺀ ﺇﺫﺍ ﻗﺮﺃ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ”Sesungguhnya Abu Bakr itu seorang laki-laki yang fisiknya lemah, suaranya pelan, mudah menangis ketika membaca Al- Qur’an”.
[11] Namun beliau tetap bersikeras dengan perintahnya tersebut. Akhirnya Abu Bakr maju menjadi imam shalat bagi para shahabat.
[12] Pada satu hari, Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam keluar dengan dipapah oleh Ibnu ’Abbas dan ’Ali radliyallaahu ’anhuma untuk shalat bersama para shahabat, dan kemudian beliau berkhutbah. Beliau memuji-muji serta menjelaskan keutamaan Abu Bakr radliyallaahu ’anhu dalam khutbahnya tersebut dimana ia (Abu Bakr) disuruh memilih oleh Allah antara dunia dan kahirat, namun ia memilih akhirat.
[13] Khutbah terakhir yang beliau sampaikan tersebut adalah 5 hari sebelum wafat beliau. Beliau berkata di dalamnya : ﺇﻥ ﻋﺒﺪًﺍ ﻋﺮﺿﺖ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﻭﺯﻳﻨﺘﻬﺎ ﻓﺎﺧﺘﺎﺭ ﺍﻵﺧﺮﺓ ”Sesungguhnya ada seorang hamba yang ditawari dunia dan perhiasannya, namun justru ia memilih akhirat”. Abu Bakr paham bahwa yang dimaksud adalah dirinya. Ia pun menangis. Melihat hal tersebut, orang-orang merasa heran karena mereka tidak paham apa yang dirasakan oleh Abu Bakr.
[14] Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam membuka tabir kamar ’Aisyah pada waktu shalat Shubuh, hari dimana beliau wafat, dan kemudian beliau memandang kepada para shahabat yang sedang berada pada shaf-shaf shalat. Kemudian beliau tersenyum dan tertawa kecil seakan-akan sedang berpamitan kepada mereka. Para shahabat merasa sangat gembira dengan keluar beliau tersebut. Abu Bakr pun mundur karena mengira bahwa Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam ingin shalat bersama mereka. Namun beliau memberikan isyarat kepada mereka dengan tangannya agar menyelesaikan shalat mereka. Beliau kemudian kembali masuk kamar sambil menutup tabir. Fathimah masuk menemui beliau shallallaahu ’alaihi wasallam dan berkata : ”Alangkah berat penderitaan ayah”. Maka beliau menjawab : ﻟﻴﺲ ﻋﻠﻰ ﺃﺑﻴﻚ ﻛﺮﺏ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﻴﻮﻡ ”Setelah hari ini, tidak akan ada lagi penderitaan”.
[15] Usamah bin Zaid masuk, dan beliau memanggilnya dengan isyarat. Beliau sudah tidak sanggup lagi berbicara dikarenakan sakitnya yang semakin berat.
[16] Pada saat-saat menjelang ajal, beliau bersandar di dada ’Aisyah. ’Aisyah mengambil siwak pemberian dari saudaranya yang bernama ’Abdurrahman. Ia lalu menggigit siwak tersebut dengan giginya dan kemudian memberikannya kepada beliau shallallaahu ’alaihi wasallam. Beliaupun lantas bersiwak dengannya.
[17] Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam kemudian memasukkan tangannya ke dalam bejana yang berisi air dan membasuh mukanya. Beliau pun bersabda : ﻻ ﺇﻟﻪ ﺇﻻ ﺍﻟﻠﻪ ﺇﻥ ﻟﻠﻤﻮﺕ ﺳﻜﺮﺍﺕ ”Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah. Sesungguhnya pada setiap kematian itu ada saat-saat sekarat”.
[18] Dan ’Aisyah samar-samar masih sempat mendengar sabda beliau : ﻣﻊ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﺃﻧﻌﻢ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻬﻢ ”Bersama orang-orang yang dikaruniai nikmat oleh Allah”.
[19] Lalu beliau pun berdoa : ﺍﻟﻠﻬﻢ ﻓﻲ ﺍﻟﺮﻓﻴﻖ ﺍﻷﻋﻠﻰ ”Ya Allah, pertemukan aku dengan Ar-Rafiiqul-A’laa (Allah)”. ’Aisyah mengetahui bahwasannya beliau pada saat itu disuruh memilih, dan beliau pun memilih Ar-Rafiiqul-A’laa (Allah).
[20] Akhirnya beliau shallallaahu ’alaihi wasallam pun wafat pada waktu Dluhaa - dan ada yang mengatakan pada waktu tergelincirnya matahari - sedangkan kepala beliau di pangkuan ’Aisyah radliyallaahu ’anhaa. Abu Bakr radliyallaahu ’anhu segera masuk, dimana ketika wafatnya beliau shallallaahu ’alaihi wasallam ia tidak berada di tempat. Ia membuka penutup wajah beliau, dan kemudian ia menutupnya kembali dan menciumnya. Ia pun keluar menemui orang-orang. Pada waktu itu, orang-orang berada dalam keadaan percaya dan tidak percaya atas khabar wafatnya beliau shallallaahu ’alaihi wasallam. '’Umar radliyallaahu ’anhu termasuk orang yang tidak percaya atas berita wafatnya beliau tersebut. Orang-orang pun kemudian berkumpul menemui Abu Bakr. Ia (Abu Bakr) pun kemudian berkata : ﺃﻣﺎ ﺑﻌﺪ، ﻣﻦ ﻛﺎﻥ ﻣﻨﻜﻢ ﻳﻌﺒﺪ ﻣﺤﻤﺪًﺍ ﻓﺈﻥ ﻣﺤﻤﺪًﺍ ﻗﺪ ﻣﺎﺕ، ﻭﻣﻦ ﻛﺎﻥ ﻣﻨﻜﻢ ﻳﻌﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﺈﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﺣﻲ ﻻ ﻳﻤﻮﺕ. ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻠﻪ ) :ﻭَﻣَﺎ ﻣُﺤَﻤَّﺪٌ ﺇِﻟَّﺎ ﺭَﺳُﻮﻝٌ ﻗَﺪْ ﺧَﻠَﺖْ ﻣِﻦْ ﻗَﺒْﻠِﻪِ ﺍﻟﺮُّﺳُﻞُ ﺃَﻓَﺈِﻥْ ﻣَﺎﺕَ ﺃَﻭْ ﻗُﺘِﻞَ ﺍﻧْﻘَﻠَﺒْﺘُﻢْ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﻋْﻘَﺎﺑِﻜُﻢْ ﻭَﻣَﻦْ ﻳَﻨْﻘَﻠِﺐْ ﻋَﻠَﻰ ﻋَﻘِﺒَﻴْﻪِ ﻓَﻠَﻦْ ﻳَﻀُﺮَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﺷَﻴْﺌًﺎ ﻭَﺳَﻴَﺠْﺰِﻱ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺍﻟﺸَّﺎﻛِﺮِﻳﻦَ( ”Amma ba’du, barangsiapa di antara kalian yang menyembah Muhammad, maka sesungguhnya Muhammad saat ini telah mati. Dan barangsiapa di antara kalian yang menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah itu Maha Hidup dan tidak akan pernah mati. Allah telah berfirman : ”Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudarat kepada Allah sedikit pun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur” (QS. Aali ’Imraan : 144)”.
(Mendengar itu), maka para shahabat pun merasa tenang. Sementara itu, ’Umar radliyallaahu ’anhu duduk di tanah tidak sanggup berdiri. Seakan-akan mereka belum pernah mendengar ayat tersebut melainkan pada saat itu saja.[21] Fathimah radliyallaahu ’anhaa berkata : ﻱﺍ ﺃﺑﺘﺎﻩ ﺃﺟﺎﺏ ﺭﺑًﺎ ﺩﻋﺎﻩ. ﻳﺎ ﺃﺑﺘﺎﻩ ﻣﻦ ﺟﻨﺔ ﺍﻟﻔﺮﺩﻭﺱ ﻣﺄﻭﺍﻩ. ﻳﺎ ﺃﺑﺘﺎﻩ ﺇﻟﻰ ﺟﺒﺮﻳﻞ ﻧﻨﻌﺎﻩ. ”Wahai ayah, Rabb telah memenuhi doamu Wahai ayah, surga Firdaus tempat kembalimu Wahai ayah, kepada Jibril kami mengkhabarkan atas kewafatanmu”.[22] Semoga Allah melimpahkan shalawat, salam, barakah, dan nikmat kepada Nabi-Nya, keluarganya, dan para shahabatnya. Dan akhir seruan/doa kami adalah alhamdulillaahi rabbil-’aalamiin. [selesai – diambil dari kitab As- Siirah An-Nabawiyyah Ash- Shahiihah oleh Prof. Dr. Akram Dliyaa’ Al-’Umariy, 2/553-556; Maktabah Al-’Ulum wal-Hikam, Cet. 6/1415, Madinah Munawarah].
Saya tambahi keterangan Mamduh Farhan Al-Buhairiy[23] tentang bantahan terhadap syubhat Syi’ah yang mengingkari riwayat wafatnya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam di dada ’Aisyah, dimana mereka mendasarkan pengingkaran mereka dengan riwayat-riwayat yang tidak valid.
1. Hadits yang dikeluarkan oleh Ibnu Sa’d dengan sanad sampai ’Ali radliyallaahu ’anhu, ia berkata : ))ﺃُﺩْﻋُﻮﺍ ﻟِﻲ ﺃَﺧِﻲ((، ﻓَﺄَﺗَﻴﺘُﻪُ، ﻓَﻘَﺎﻝَ )) :ﺃَﺩْﻥُ ﻣِﻨِّﻲ((، ﻓَﺪَﻧَﻮْﺕُ ﻣِﻨْﻪُ، ﻓَﺎﺳْﺘَﻨَﺪَ ﺇِﻟَﻲَّ ﻓَﻠَﻢْ ﻳَﺰَﻝْ ﻣُﺴْﺘَﻨِﺪًﺍ ﺇِﻟَﻲَّ، ﻭَﺇِﻧَّﻪُ ﻟَﻴُﻜَﻠِّﻤُﻨِﻲْ ﺣَﺘَّﻰ ﺇِﻥَّ ﺭِﻳْﻘَﻪُ ﻟَﻴُﺼِﻴْﺒُﻨِﻲْ ”Panggilkan untukku saudaraku !”. Maka akupun mendatangi beliau, lalu beliau bersabda : ”Mendekatlah kepadaku !”. Maka akupun mendekat kepada beliau, kemudian beliau bersandar kepadaku dan tidak henti-hentinya beliau bersandar kepadaku, dan beliau berbicara kepadaku hingga air ludah beliau mengenaiku”. Ini adalah hadits haalik (rusak) sangat dla’if, dikarenakan Ibnu Sa’d meriwayatkannya dari Muhammad bin ’Umar Al- Waqidiy. Dia adalah pendusta.
Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata : ”Dia adalah pendusta, dia membolak-balik hadits”. Ibnu Ma’in rahimahullah berkata : ”Dia bukan termasuk orang yang tsiqah, haditsnya tidak ditulis”. Al-Bukhari dan Abu Hatim berkata : ”Matruk (haditsnya ditinggalkan)”. Abu Hatim dan An-Nasa’i juga berkata : ”Haditsnya diletakkan” [Al-Miizaan, 3/662].
2. Juga hadits ’Ali radliyallaahu ’anhu yang lain : ﻋَﻠِّﻤَﻨِﻲ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺃَﻟْﻒَ ﺑَﺎﺏٍ ﻛُﻞُّ ﺑَﺎﺏٍ ﻳَﻔْﺘَﺢُ ﺃَﻟْﻒَ ﺑَﺎﺏٍ. ”Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam mengajari aku seribu bab, setiap bab membuka seribu bab”. Ini adalah hadits maudlu’ (palsu), sebab ’Imran bin Haitsam adalah pendusta. Seandainya saja kita menyerah tidak mendebat keshahihan hadits ini, maka tidak ada di dalamnya hal yang menunjukkan bahwa pengajaran ini pada saat- saat kematian beliau shallallaahu ’alaihi wasallam, bahkan tidak masuk akal semua itu bisa dilakukan pada saat-saat seperti itu.
3. Hadits Jaabir bin ’Abdillah radliyallaahu ’anhu, bahwasannya Ka’b Al-Ahbar bertanya kepada ’Umar radliyallaahu ’anhu seraya berkata : ﻣَﺎ ﺁﺧِﺮُ ﻣَﺎ ﺗَﻜَﻠَّﻢَ ﺑِﻪِ ﺭَﺳُﻮْﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ؟ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﻋُﻤَﺮُ : ﺳَﻞْ ﻋَﻠِﻴًﺎ..... ”Apa yang terakhir kali dibicarakan oleh Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasalam ?”. Maka ’Umar menjawab : ”Tanyalah kepada ’Ali....”. Hadits ini adalah dla’if (lemah) yang tidak boleh ditoleh, karena di dalam sanadnya terdapat Muhammad bin ’Umar Al- Waqidi. Dia dalah matrukul-hadiits (haditsnya ditinggalkan) sebagaimana telah lalu perinciannya [Al-Miizaan, 3/662]. Juga di dalamnya terdapat Haram bin ’Utsman Al-Anshariy, dia juga matruk.
Al-Imam Malik dan Yahya berkata : ”Dia tidak tsiqah”. Al-Imam Ahmad berkata : ”Manusia meninggalkan haditsnya”. Al-Imam Asy-Syafi’iy dan Yahya bin Ma’in berkata : ”Riwayat dari Haram hukumnya haram”.
Ibnu Hibban berkata : ”Dia keterlaluan dalam memihak Syi’ah, membolak-balik sanad, dan membuat yang mursal menjadi marfu’ [Al-Miizaan, 1/468].
4. Hadits : ﻕِﻳْﻞَ ﻟِﺎﺑْﻦِ ﻋَﺒَّﺎﺱٍ : ﺃَﺭَﺃَﻳْﺖَ ﺭَﺳُﻮْﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺗُﻮْﻓِﻲَ ﻭَﺭَﺃْﺳُﻪُ ﻓِﻲ ﺣِﺠْﺮِ ﺃَﺣَﺪٍ؟ ﻗَﺎﻝَ : ﻧَﻌَﻢْ، ﺗُﻮْﻓِﻲَ ﻭَﺇِﻧَّﻪُ ﻟَﻤُﺴْﺘَﻨِﺪٌ ﺇِﻟَﻰ ﺻَﺪْﺭِ ﻋَﻠِﻲّ Dikatakan kepada Ibnu ’Abbas radliyallaahu ’anhuma : ”Apakah engkau melihat Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam wafat dan kepala beliau di pangkuan seseorang ?”. Maka ia menjawab : ”Ya, beliau wafat dan beliau bersandar di dada ’Ali....”. Hadits ini adalah dla’if (lemah). Karena di dalam sanadnya terdapat Muhammad bin ’Umar Al- Waqidiy, dia adalah matrukul-hadits sebagaimana penjelasan sebelumya.
Di dalam sanadnya juga terdapat orang yang bernama Sulaiman bin Dawud bin Al-Hushain, dari Abu Ghatfal, dia majhul tidak diketahui keadaannya.
5.Hadits ’Ali bin Al-Husain : ﻗُﺒِﺾَ ﺭَﺳُﻮْﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻭَﺭَﺃْﺳُﻪُ ﻓِﻲ ﺣِﺠْﺮِ ﻋَﻠِﻲٍّ. ”Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam wafat sementara kepala beliau di pangkuan ’Ali”. Hadits ini dla’if, karena di dalam sanadnya terdapat Muhammad bin ’Umar Al- Waqidiy. Dia matrukul- hadiits. Di samping itu, sanadnya terputus.
6. Hadits yang dikeluarkan oleh Ibnu Sa’d dengan sanadnya kepada Asy’Sya’biy, ia berkata : ﺗُﻮْﻓِﻲَ ﺭَﺳُﻮْﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻭَﺭَﺃْﺳُﻪُ ﻓِﻲ ﺣُﺠْﺮِ ﻋَﻠِﻲٍّ. ”Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam wafat sementara kepala beliau ada di pangkuan ’Ali”. Dalam sanad hadits ini terdapat Muhammad bin ’Umar Al-Waqidiy yang dia ini matruk. Selain itu, dalam sanadnya terdapat Abul-Huwairits yang namanya adalah ’Abdurrahman bin Mu’awiyyah. Ibnu Ma’in dan yang lainnya berkata : ”Tidak bisa dijadikan hujjah”. Al-Imam Malik dan An-Nasa’i berkata : ”Dia tidak tsiqah” [Al-Miizaan, 2/591].
7. Hadits Ummu Salamah radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata : ﻛَﺎﻥَ ﻋَﻠِﻲٌّ ﻟَﺄَﻗْﺮَﺏُ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﻋَﻬﺪًﺍ ﺑِﺮَﺳُﻮْﻝِ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ..... “’Ali adalah benar-benar manusia yang paling dekat masanya dengan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam”. Hadits ini shahih, namun sama sekali tidak menafikkan hadits ‘Aisyah bahwa beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam wafat di dadanya, bahkan hadits ‘Aisyah lebih shahih dari hadits Ummu Salamah. Para ulama ahli hadits telah menggabungkan dan mengkompromikan antara hadits Ummu Salamah dengan hadits ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhuma. Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam Fathul- Baariy (12/255) : “Mungkin bisa dikompromikan bahwa ‘Ali adalah orang yang paling akhir masanya dengan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Dia tidak meninggalkan beliau hingga kepala beliau condong. Saat itu dia menyangka bahwa beliau telah wafat. Maka dia adalah orang yang paling akhir bertemu dengan beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam. Kemudian beliau siuman, dan dia sudah pergi. Setelah itu ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa menyandarkan beliau di dadanya, kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam wafat”.
8. Hadits ‘Abdullah bin ‘Amr dari ‘Ali radliyallaahu ’anhum, ia berkata : “Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kepadaku seribu bab, pada setiap bab dibukakan untuknya seribu bab”. Hadits ini adalah dla’if, di dalam sanadnya terdapat Kaamil bin Thalhah. Para ulama ahli hadits berselisih tentangnya. Al-Imam Ahmad dan Ad-Daruquthni menyatakan tsiqah, namun Yahya bin Ma’in berkata : “Tidak bernilai apa-apa” [Al-Miizaan, 3/400].
Di dalam sanadnya juga terdapat ‘Abdullah bin Lahi’ah. Ibnu Ma’in berkata : “Dia lemah, tidak bisa dijadikan hujjah”. Yahya bin sa’id sama sekali tidak menganggapnya sama sekali. Abu Zur’ah berkata : ”Dia bukan termasuk orang yang bisa dijadikan hujjah dengan haditsnya”. An-Nasa’i berkata : ”Dia lemah”. Al-Jauzajani berkata : ”Tidak ada cahaya pada haditsnya, tidak layak berhujjah dengannya”. Al-Bukhari berkata dalam kitab Adl- Dlu’afaa’ saat menyebut Ibnu Lahi’ah dengan mengomentari hadits yang diriwayatkannya : ”Ini adalah munkar”. Di dalam sanadnya juga terdapat Huyay bin ’Abdillah Al-Maghafiriy. Ibnu ’Adiy berkata : ”Ibnu Lahi’ah memiliki sekian belas hadits yang umumnya munkar. Diantaranya hadits : ”Beliau mengajarkan kepadaku seribu bab, pada setiap bab dibukakan untuknya seribu bab” [Al-Miizaan, 1/623]. Adapun orang yang tanpa ilmu menginginkan untuk menjadikan hadits-hadits lemah lebih kuat sanadnya, maka itu adalah murni disebabkan hawa nafsu. Tentang hadits-hadits tersebut, Al-Haafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata : ”Hadits ’Aisyah radliyallaahu ’anhaa menceritakan bahwa beliau shallallaahu ’alaihi wasallam wafat di antara dada dan lehernya; membantah apa yang diriwayatkan Al-Haakim dan Ibnu Sa’d dari berbagai jalur yang menceritakan bahwa Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam wafat sementara kepala beliau ada di pangkuan ’Ali radliyallaahu ’anhu. Seluruh jalan hadits tersebut tidak luput dari orang Syi’ah. Maka tidak layak dilirik sama sekali” [Fathul-Baariy, 8/139].
Abul-Jauzaa’ – 4 Shaffar 1430, di Ciomas Permai.
[1] Ibnu Katsir berkata bahwa wafatnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam adalah 81 hari setelah pelaksanaan hari haji akbar [Al-Bidaayah wan-Nihaayah, 5/101].
[2] Ibnu Hajar berkata bahwa itu merupakan pendapat yang mu’tamad. Ada beberapa riwayat lain yang bertolak-belakang yang menyatakan bahwa beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam pertama kali mengeluhkan sakitnya di rumah Zainab binti Jahsy atau Raihaanah [Fathul- Baariy, 8/129].
[3] Sulaiman At-Taimiy memastikan pendapat ini. Riwayat ini dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dengan sanad shahih. Dan menurut pendapat kebanyakan ulama, bahwasannya beliau jatuh sakit selama 13 hari [Fathul-Baariy, 8/129].
[4] Al-Haafidh berpegang pada pendapat/perkataan Abu Mikhnaf bahwasannya beliau shallallaahu ’alaihi wasallam wafat pada tanggal 2 Rabi’ul-Awwal. Tambahan angka 1 di depan angka 2 sehingga menjadi 12 merupakan kesalahan [Fathul-Baariy, 8/130].
[5] Shahih Al-Bukhari (Fathul- Baariy, 8/150).
[6] Shahih Al-Bukhari (Fathul- Baariy, 8/131).
[7] Shahih Al-Bukhari (Fathul- Baariy, 8/141) dan Musnad Ahmad (Fathur- Rabbaaniy 21/226) dengan sanad shahih.
[8] Shahih Al-Bukhari (Fathul- Baariy, 8/131).
[9] Shahih Al-Bukhari (Fathul- Baariy, 8/132).
[10] Shahih Al-Bukhari (Fathul- Baariy, 1/208). Lihat makna-makna yang lain dalam A’laamul-Hadiits oleh Al-Khaththaabiy.
[11] Siirah Ibni Hisyaam, 4/330 dengan sanad shahih; dan Al-Bidaayah wan- Nihaayah oleh Ibnu Katsir, 5/233.
[12] Lihat Al-Bidaayah wan- Nihaayah oleh Ibnu Katsir, 5/232-233.
[13] Shahih Al-Bukhari (Fathul- Baariy 8/141). Lihat Musnad Ahmad (Fathur- Rabbaaniy 21/231I; dan Al-Bidayah wan-Nihaayah oleh Ibnu Katsir, 5/229-230.
[14] Musnad Ahmad (Fathur- Rabbaaniy, 21/222 berikut catatan pinggir/ hasyiyah no. 3); dan Tirkatun-Nabiy ( ﻕ.ﺃ.ﺏ ) dengan sanad dimana rijalnya adalah tsiqah, namun mursal.
[15] Shahih Al-Bukhari (Fathul- Baariy, 8/149).
[16] Sirah Ibni Hisyaam, 4/329 dengan sanad shahih.
[17] Shahih Al-Bukhari (Fathul- Baariy, 8/139).
[18] Shahih Al-Bukhari (Fathul- Baariy, 8/144).
[19] Shahih Al-Bukhari (Fathul- Baariy, 8/136).
[20] Shahih Al-Bukhari (Fathul- Baariy, 8/136); dan Siirah Ibni Hisyaam, 4/329 dengan sanad shahih.
[21] Shahih Al-Bukhari (Fathul- Baariy, 8/145).
[22] Shahih Al-Bukhari (Fathul- Baariy, 8/149).
[23] Qiblati, edisi 10, Thn. II – Juli 2007 M/Jumadats- Tsaniyyah 1428 M, hal. 28-30.
Bolehkah Seorang Wanita Mengusap Kerudungnya Ketika Berwudlu?
Pembahasan ini merupakan cabang pembahasan dari hukum boleh tidaknya mengusap ‘imaamah. Adapun masalah kerudung, para ulama berbeda pendapat :
1. Tidak memperbolehkannya. Ini pendapat jumhur ulama
[1], dan salah satu riwayat dari Ahmad
[2]. Para ulama yang memegang pendapat ini beralasan tidak ada satu pun dalil yang menyatakan kebolehannya. Beda halnya dengan ‘imaamah yang memang disebutkan kebolehannya dalam dalil. Akan tetapi alasan ini perlu ditinjau kembali, sebab dalam hadits disebutkan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengusap kedua khuff dan khimaar. ﻭﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﺃَﺑُﻮ ﺑَﻜْﺮِ ﺑْﻦُ ﺃَﺑِﻲ ﺷَﻴْﺒَﺔَ، ﻭَﻣُﺤَﻤَّﺪُ ﺑْﻦُ ﺍﻟْﻌَﻠَﺎﺀِ، ﻗَﺎﻟَﺎ: ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﺃَﺑُﻮ ﻣُﻌَﺎﻭِﻳَﺔَ. ﺡ ﻭﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﺇِﺳْﺤَﺎﻕ، ﺃَﺧْﺒَﺮَﻧَﺎ ﻋِﻴﺴَﻰ ﺑْﻦُ ﻳُﻮﻧُﺲَ ﻛِﻠَﺎﻫُﻤَﺎ، ﻋَﻦِ ﺍﻷَﻋْﻤَﺶِ، ﻋَﻦِ ﺍﻟْﺤَﻜَﻢِ، ﻋَﻦْ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟﺮَّﺣْﻤَﻦِ ﺑْﻦِ ﺃَﺑِﻲ ﻟَﻴْﻠَﻰ، ﻋَﻦْ ﻛَﻌْﺐِ ﺑْﻦِ ﻋُﺠْﺮَﺓَ، ﻋَﻦْ ﺑِﻠَﺎﻝٍ، " ﺃَﻥَّ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻣَﺴَﺢَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﺨُﻔَّﻴْﻦِ، ﻭَﺍﻟْﺨِﻤَﺎﺭِ " Dan telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah dan Muhammad bin Al-‘Alaa’, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Mu’aawiyyah (ﺡ).
Dan telah menceritakan kepada kami Ishaaq : telah mengkhabarkan kepada kami ‘Iisaa bin Yuunus; keduanya (Abu Mu’aawiyyah dan ‘Iisaa bin Yuunus) dari Al-A’masy, dari Al-Hakam, dari ‘Abdurrahmaan bin Abi Lailaa, dari Ka’b bin ‘Ujrah, dari Bilaal : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengusap kedua khuff dan khimaar” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 275 (84)]. Khimaar dalam hadits itu maksudnya ‘imaamah. Jika ‘imaamah dinamakan dengan khimaar, maka khimaar wanita (kerudung) masuk dalam keumuman lafadh dari hadits iniTidak ada halangan menamakan khimaar dengan ‘imaamah, hanya saja khimaar itu ‘imaamah khusus bagi wanita. Ulama yang tidak memperbolehkan mengusap kerudung juga berdalil dengan riwayat dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa : ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﻳَﺤْﻴَﻰ ﺑْﻦُ ﺇِﺑْﺮَﺍﻫِﻴﻢَ ﺑْﻦِ ﻣُﺤَﻤَّﺪِ ﺑْﻦِ ﻳَﺤْﻴَﻰ، ﺛﻨﺎ ﺃَﺑُﻮ ﺍﻟْﻌَﺒَّﺎﺱِ ﻣُﺤَﻤَّﺪُ ﺑْﻦُ ﻳَﻌْﻘُﻮﺏَ، ﺃﻧﺎ ﻣُﺤَﻤَّﺪُ ﺑْﻦُ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺑْﻦِ ﻭَﻫْﺐٍ، ﻗَﺎﻝَ: ﻭَﺛﻨﺎ ﺑَﺤْﺮٌ، ﻗَﺎﻝَ: ﻗُﺮِﺉَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﺑْﻦِ ﻭَﻫْﺐٍ، ﺃَﺧْﺒَﺮَﻙَ ﺍﺑْﻦُ ﻟَﻬِﻴﻌَﺔَ، ﻭَﻋَﻤْﺮُﻭ ﺑْﻦُ ﺍﻟْﺤَﺎﺭِﺙِ، ﻋَﻦْ ﺑُﻜَﻴْﺮِ ﺑْﻦِ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟﻠَّﻪِ، ﻋَﻦْ ﺃُﻡِّ ﻋَﻠْﻘَﻤَﺔَ ﻣَﻮْﻻﺓِ ﻋَﺎﺋِﺸَﺔَ ﺯَﻭْﺝِ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻋَﻦْ ﻋَﺎﺋِﺸَﺔَ: " ﺃَﻧَّﻬَﺎ ﻛَﺎﻧَﺖْ ﺇِﺫَﺍ ﺗَﻮَﺿَّﺄَﺕْ ﺗُﺪْﺧِﻞُ ﻳَﺪَﻫَﺎ ﻣِﻦْ ﺗَﺤْﺖِ ﺍﻟﺮِّﺩَﺍﺀِ ﺗَﻤْﺴَﺢُ ﺑِﺮَﺃْﺳِﻬَﺎ ﻛُﻠِّﻪِ " Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Ibraahiim bin Muhammad bin Yahyaa : Telah menceritakan kepada kami Abul-‘Abbaas Muhammad bin Ya’quub : Telah memberitakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdillah bin Wahb, ia berkata : Dan telah menceritakan kepada kami Mahr, ia berkata : Dibacakan kepada Ibnu Wahb : Telah mengkhabarkan kepadamu Ibnu Lahii’ah dan ‘Amru bin Al-Haarits, dari Bukair bin ‘Abdillah, dari Ummu ‘Alqamah maulaa ‘Aaisyah istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dari ‘Aaisyah : Bahwasannya ia jika berwudlu, memasukkan tangannya dari bawah pakaiannya, mengusap seluruh kepalanya” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy, 1/61]. Akan tetapi riwayat ini lemahMuhammad bin ‘Abdillah bin Wahb, Abul- Bakhtariy Al-Asadiy adalah perawi majhuul
[3]. Adapun Ummu ‘Alqamah, Ibnu Hajar mengatakan maqbuul, yaitu jika ada mutaba’ah – jika tidak, maka dla’iif
[4]. ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﻭَﻛِﻴﻊٌ، ﻋَﻦْ ﻣَﺎﻟِﻚِ ﺑْﻦِ ﺃَﻧَﺲٍ، ﻋَﻦْ ﻧَﺎﻓِﻊٍ، ﻗَﺎﻝَ: ﺭَﺃَﻳْﺖُ ﺻَﻔِﻴَّﺔَ ﺑِﻨْﺖَ ﺃَﺑِﻲ ﻋُﺒَﻴْﺪٍ " ﺗَﻮَﺿَّﺄَﺕْ ﻓَﺄَﺩْﺧَﻠَﺖْ ﻳَﺪَﻳْﻬَﺎ ﺗَﺤْﺖَ ﺧِﻤَﺎﺭِﻫَﺎ ﻓَﻤَﺴَﺤَﺖْ ﺑِﻨَﺎﺻِﻴَﺘِﻬَﺎ " Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Maalik bin Anas, dari Naafi’, ia berkata : “Aku pernah melihat Shafiyyah bintu Abi ‘Ubaid berwudlu, lalu ia memasukkan tangannya di bawah kerudungnya dan mengusap jambulnya/ rambut bagian depannya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 1/30]. Sanadnya shahih. Pendalilan dengan atsar ini, menurut pendapat yang membolehkannya, kurang dapat diterima. Sebab, atsar ini tidak menunjukkan pelarangannya. Mengusap kerudung/khimaar adalah boleh. Artinya, ia boleh dilakukan, boleh pula ditinggalkan – merupakan pilihan.2. Membolehkannya. Ini merupakan pendapat masyhur madzhab Hanaabilah
[5], dan yang dikuatkan oleh Ibnu Hazm
[6]. Para ulama yang berpendapat kebolehannya berpendapat dengan qiyas jaliy terhadap ‘imaamah. Tidak ada perbedaan antara keduanya. Dalilnya telah disebutkan di atas. Selain itu, para ulama yang memegang pendapat ini juga berdalil dengan riwayat : ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﻋَﺒْﺪُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺑْﻦُ ﻧُﻤَﻴْﺮٍ، ﻋَﻦْ ﺳُﻔْﻴَﺎﻥَ، ﻋَﻦْ ﺳِﻤَﺎﻙٍ، ﻋَﻦِ ﺍﻟْﺤَﺴَﻦِ، ﻋَﻦْ ﺃُﻣِّﻪِ، ﻋَﻦْ ﺃُﻡِّ ﺳَﻠَﻤَﺔَ، ﺇِﻧَّﻬَﺎ " ﻛَﺎﻧَﺖْ ﺗَﻤْﺴَﺢُ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﺨِﻤَﺎﺭِ " Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Numair, dari Sufyaan, dari Simaak bin Harb, dari Al-Hasan, dari ibunya, dari Ummu Salamah : Bahwasannya ia mengusap kerudungnya (ketika berwudlu) [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 1/29, dan darinya Ibnul-Mundzir dalam Al- Ausath no. 498]. Riwayat ini hasan. Simaak bin Harb adalah seorang yang shaduuq, namun berubah hapalannya di akhir usianya. Akan tetapi Sufyaan mendengar hadits dari Simaak sebelum berubah hapalannya sebagaimana dikatakan oleh Ya’quub [Al-Mukhtalithiin oleh Al-‘Alaaiy hal. 49 no. 20 beserta catatan kakinya oleh pentahqiq]. 3. Seandainya khawatir karena sebab dingin atau yang semisalnya, maka boleh. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Taimiyyah
[7]. Tarjih : Melihat dalil dan alasan yang disampaikan oleh masing- masing pihak, maka yang raajih – wallaahu a’lam – adalah pendapat kedua yang menyatakan kebolehannya.
Ini saja yang dapat dituliskan secara ringkas.
Semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – sardonoharjo, ngaglik, sleman, Yogyakarta – 1432 H].
[1] Untuk madzhab Hanafiyyah, lihat Ahkaamul-Qur’aan oleh Al- Jashshaash (1/495), Al- Mabsuuth (1/101), dan Badaai’ush-Shanaai’ (1/5). Untuk madzhab Maalikiyyah, dalam Al- Mudawwanah (1/124), Maalik berkata tentang wanita yang mengusap kerudungnya : “Ia harus mengulang shalat dan wudlunya”. Al-Baajiy dalam Al-Muntaqaa (1/75) berkata : “Maalik pernah ditanya tentang mengusap ‘imaamah dan kerudung, maka ia menjawab : ‘Tidak boleh bagi seorang laki-laki dan wanita mengusap ‘imaamah dan kerudung. Hendaklah mereka mengusap kepala mereka”. Untuk madzhab Syaafi’iyyah, lihat Haasyiyah Al-Jamal (1/128) dan Al-Majmu’ (1/439).
[2] Al-Furuu’ (1/164).
[3] Biografinya ada dalam Taariikh Dimasyq oleh Ibnu ‘Asaakir, 54/56.
[4] Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat. Al-‘Ijliy berkata : “Tsiqah”. Keduanya dikenal sebagai ulama yang tasaahul dalam memberikan tautsiq kepada perawi majhuul, sebagaimana dikatakan oleh Al-Mu’allimiy Al- Yamaaniy. Hanya dua orang perawi yang meriwayatkan darinya, yaitu ‘Alqamah bin Abi ‘Alqamah dan Bukair bin ‘Abdillah. Akan tetapi, Basyaar ‘Awwaad dan Al-Arna’uth menyanggah penghukuman ini, karena Al-Bukhaariy telah membawakan riwayatnya secara mu’allaq dalam Shahih-nya dengan shighah jazm, sehingga di sini statusnya shaduuq hasanul-hadiits. Wallaahu a’lam
[5] Lihat : Masaail Ibni Haani’ (1/19). Shahabat- shahabat Ahmad merajihkan kebolehannya jika kerudung melingkar di bawah lehernya; lihat : Al- Furuu’ (1/164), Kasysyaaful-Qinaa’ (1/112, 113), Syarh Ghaayatil- Muntahaa (1/124), dan Ar- Raudlatul-Murbi’ (1/283).
[6] Al-Muhallaa (1/303).
[7] Ibnu Taimiyyah berkata : “Seandainya seorang wanita khawatir karena dingin atau yang semisalnya, maka boleh ia mengusap kerudungnya. Karena Ummu Salamah pernah mengusap kerudungnya. Dan hendaknya ketika ia mengusap kerudungnya, ia juga mengusap sebagian rambutnya. Apabila hal itu dilakukan tanpa adanya kebutuhan/hajat, para ulama berselisih pendapat tentangnya” [Al-Majmuu’, 21/218]
Tidak Boleh SeorangAyah Menikahkan AnakWanitanya KecualiSetelah DimintaPersetujuannya
Ini bukan jaman Siti Nurbaya…… begitu kata sebagian orang. Maksudnya, jaman sekarang ini bukan lagi jaman jodoh- jodohan dan paksa-paksaan dalam pernikahan.
Tidak ada orang tua yang ingin menjerumuskan anaknya, sebenarnya. Celoteh sebagian pemuda-pemudi itu memang ada benarnya jika ditilik dari sisi syari’at. Syari’at Islam telah memberikan keluasan bagi seorang wanita untuk menikah dengan orang yang disenanginya. Syari’at tidak mendukung ‘jaman Siti Nurbaya’ yang penuh gambaran feodalistik. Akan tetapi ia mempunyai rambu- rambu yang sempurna yang menjamin keselamatan bagi setiap orang yang memperhatikannya.
Sebagai awal, ada satu kisah menarik yang pernah dialami shahabat besar ‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa sebagai berikut : ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﻳَﻌْﻘُﻮﺏُ ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﺃَﺑِﻲ ﻋَﻦِ ﺍﺑْﻦِ ﺇِﺳْﺤَﺎﻕَ ﺣَﺪَّﺛَﻨِﻲ ﻋُﻤَﺮُ ﺑْﻦُ ﺣُﺴَﻴْﻦِ ﺑْﻦِ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻣَﻮْﻟَﻰ ﺁﻝِ ﺣَﺎﻃِﺐٍ ﻋَﻦْ ﻧَﺎﻓِﻊٍ ﻣَﻮْﻟَﻰ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺑْﻦِ ﻋُﻤَﺮَ ﻋَﻦْ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺑْﻦِ ﻋُﻤَﺮَ ﻗَﺎﻝَ ﺗُﻮُﻓِّﻲَ ﻋُﺜْﻤَﺎﻥُ ﺑْﻦُ ﻣَﻈْﻌُﻮﻥٍ ﻭَﺗَﺮَﻙَ ﺍﺑْﻨَﺔً ﻟَﻪُ ﻣِﻦْ ﺧُﻮَﻳْﻠَﺔَ ﺑِﻨْﺖِ ﺣَﻜِﻴﻢِ ﺑْﻦِ ﺃُﻣَﻴَّﺔَ ﺑْﻦِ ﺣَﺎﺭِﺛَﺔَ ﺑْﻦِ ﺍﻟْﺄَﻭْﻗَﺺِ ﻗَﺎﻝَ ﻭَﺃَﻭْﺻَﻰ ﺇِﻟَﻰ ﺃَﺧِﻴﻪِ ﻗُﺪَﺍﻣَﺔَ ﺑْﻦِ ﻣَﻈْﻌُﻮﻥٍ ﻗَﺎﻝَ ﻋَﺒْﺪُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻭَﻫُﻤَﺎ ﺧَﺎﻟَﺎﻱَ ﻗَﺎﻝَ ﻓَﻤَﻀَﻴْﺖُ ﺇِﻟَﻰ ﻗُﺪَﺍﻣَﺔَ ﺑْﻦِ ﻣَﻈْﻌُﻮﻥٍ ﺃَﺧْﻄُﺐُ ﺍﺑْﻨَﺔَ ﻋُﺜْﻤَﺎﻥَ ﺑْﻦِ ﻣَﻈْﻌُﻮﻥٍ ﻓَﺰَﻭَّﺟَﻨِﻴﻬَﺎ ﻭَﺩَﺧَﻞَ ﺍﻟْﻤُﻐِﻴﺮَﺓُ ﺑْﻦُ ﺷُﻌْﺒَﺔَ ﻳَﻌْﻨِﻲ ﺇِﻟَﻰ ﺃُﻣِّﻬَﺎ ﻓَﺄَﺭْﻏَﺒَﻬَﺎ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻤَﺎﻝِ ﻓَﺤَﻄَّﺖْ ﺇِﻟَﻴْﻪِ ﻭَﺣَﻄَّﺖْ ﺍﻟْﺠَﺎﺭِﻳَﺔُ ﺇِﻟَﻰ ﻫَﻮَﻯ ﺃُﻣِّﻬَﺎ ﻓَﺄَﺑَﻴَﺎ ﺣَﺘَّﻰ ﺍﺭْﺗَﻔَﻊَ ﺃَﻣْﺮُﻫُﻤَﺎ ﺇِﻟَﻰ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﻗُﺪَﺍﻣَﺔُ ﺑْﻦُ ﻣَﻈْﻌُﻮﻥٍ ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺍﺑْﻨَﺔُ ﺃَﺧِﻲ ﺃَﻭْﺻَﻰ ﺑِﻬَﺎ ﺇِﻟَﻲَّ ﻓَﺰَﻭَّﺟْﺘُﻬَﺎ ﺍﺑْﻦَ ﻋَﻤَّﺘِﻬَﺎ ﻋَﺒْﺪَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺑْﻦَ ﻋُﻤَﺮَ ﻓَﻠَﻢْ ﺃُﻗَﺼِّﺮْ ﺑِﻬَﺎ ﻓِﻲ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺡِ ﻭَﻟَﺎ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻜَﻔَﺎﺀَﺓِ ﻭَﻟَﻜِﻨَّﻬَﺎ ﺍﻣْﺮَﺃَﺓٌ ﻭَﺇِﻧَّﻤَﺎ ﺣَﻄَّﺖْ ﺇِﻟَﻰ ﻫَﻮَﻯ ﺃُﻣِّﻬَﺎ ﻗَﺎﻝَ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻫِﻲَ ﻳَﺘِﻴﻤَﺔٌ ﻭَﻟَﺎ ﺗُﻨْﻜَﺢُ ﺇِﻟَّﺎ ﺑِﺈِﺫْﻧِﻬَﺎ ﻗَﺎﻝَ ﻓَﺎﻧْﺘُﺰِﻋَﺖْ ﻭَﺍﻟﻠَّﻪِ ﻣِﻨِّﻲ ﺑَﻌْﺪَ ﺃَﻥْ ﻣَﻠَﻜْﺘُﻬَﺎ ﻓَﺰَﻭَّﺟُﻮﻫَﺎ ﺍﻟْﻤُﻐِﻴﺮَﺓَ ﺑْﻦَ ﺷُﻌْﺒَﺔَ
Telah menceritakan kepada kami Ya’quub
[1] : Telah menceritakan kepada kami ayahku
[2], dari Ibnu Ishaaq
[3] : Telah menceritakan kepadaku ‘Umar bin Husain bin ‘Abdillah maulaa Aali Haathib
[4], dari Naafi’ maulaa ‘Abdillah bin ‘Umar
[5], dari ‘Abdullah bin ‘Umar, ia berkata : “’Utsmaan bin Madh'uun wafat meninggalkan seorang anak perempuan hasil pernikahannya dengan Khuwailah binti Hakiim bin Umayyah bin Haaritsah bin Al- Auqash”.
Ibnu ‘Umar berkata : “Dan dia berwasiat kepada saudara lelakinya yang bernama Qudaamah bin Madh'uun. Keduanya adalah paman dari jalur ibuku. Lalu aku mendatangi Qudaamah bin Madh'uun untuk melamar anak perempuan ‘Utsmaan bin Madh'uun, lalu ia pun menikahkanku dengannya. Tiba-tiba Al-Mughiirah bin Syu'bah menemui ibunya, merayunya, dan membuatnya tertarik kepada hartanya sehingga akhirnya ia lebih condong kepadanya. Dan anak perempuannya itu juga lebih condong kepada keinginan ibunya. Keduanya (Ibnu Umar dan Qudaamah bin Madh'uun) tidak menyetujuinya hingga permasalahan ini sampai kepada Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam. Qudaamah bin Madh'uun pun berkata : "Wahai Rasulullah, anak perempuan dari saudara laki-lakiku telah diwasiatkan kepadaku, hingga aku pun menikahkannya dengan anak lelaki dari bibinya (dari jalur ayah) yakni, ‘Abdullah bin ‘Umar. Aku tidak meragukan kebaikan dan kemampuan keponakan perempuanku itu. Akan tetapi, dia adalah seorang wanita yang ternyata lebih condong kepada kemauan ibunya".
Lalu Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : “Dia adalah anak yatim, dan dia tidak boleh dinikahkan kecuali diminta ijinnya/persetujuannya”. Ibnu ‘Umar berkata : “Demi Allah, ia pun akhirnya direbut dariku setelah aku menikahinya, lalu mereka menikahkannya dengan Al-Mughiirah bin Syu'bah" [Diriwayatkan oleh Ahmad 2/130; sanad riwayat ini hasan, namun shahih dengan keseluruhan jalannya. Diriwayatkan pula oleh Al- Baihaqiy 7/113, Al-Haakim 2/167, Ad-Daaruquthniy no. 3545-3549, dan Ibnu Maajah no. 1878. Dishahihkan Al- Albaaniy dalam Irwaaul-Ghaliil no. 1835, dihasankan Al- Arna’uth dalam Takhrij Musnad Al-Imam Ahmad 10/285, dishahihkan Ahmad Syaakir dalam Syarh Musnad Al-Imam Ahmad 5/389, dan dishahihkan Basyar ‘Awwaad dalam Takhriij Sunan Ibnu Maajah 3/325-326].
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah membatalkan pernikahan Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa, seorang shahabat besar, karena wanita yang dinikahinya itu tidak menyukainya. ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﻗُﺘَﻴْﺒَﺔُ ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﻋَﺒْﺪُ ﺍﻟْﻌَﺰِﻳﺰِ ﺑْﻦُ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﻋَﻦْ ﻣُﺤَﻤَّﺪِ ﺑْﻦِ ﻋَﻤْﺮٍﻭ ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲ ﺳَﻠَﻤَﺔَ ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲ ﻫُﺮَﻳْﺮَﺓَ ﻗَﺎﻝَ ﻗَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺍﻟْﻴَﺘِﻴﻤَﺔُ ﺗُﺴْﺘَﺄْﻣَﺮُ ﻓِﻲ ﻧَﻔْﺴِﻬَﺎ ﻓَﺈِﻥْ ﺻَﻤَﺘَﺖْ ﻓَﻬُﻮَ ﺇِﺫْﻧُﻬَﺎ ﻭَﺇِﻥْ ﺃَﺑَﺖْ ﻓَﻠَﺎ ﺟَﻮَﺍﺯَ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ ﻳَﻌْﻨِﻲ ﺇِﺫَﺍ ﺃَﺩْﺭَﻛَﺖْ ﻓَﺮَﺩَّﺕْ Telah menceritakan kepada kami Qutaibah
[6] : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-‘Aziiz bin Muhammad
[7], dari Muhammad ‘Amru
[8], dari Abu Salamah
[9], dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Seorang wanita yatim (jika hendak dinikahkan), harus dimintai persetujuannya. Jika ia diam, maka itulah ijinnya. Jika menolak, maka tidak boleh dipaksa". Maksudnya jika telah baligh dan menolak pernikahannya [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1109, dan ia berkata : “Hasan”. Diriwayatkan pula oleh ‘Abdurrazzaaq no. 10297, Ibnu Abi Syaibah 4/138, Ahmad 2/259 & 384 & 475, Abu Daawud no. 2093-2094, An- Nasaa’iy 4/87, Abu Ya’laa no. 6019 & 7328, Ath-Thahaawiy dalam Syarh Musykilil-Aatsaar no. 5728-5729, Ibnu Hibbaan no. 4079 & 4086, an Al-Baihaqiy 7/120 & 122.
Dishahihkan Al- Albaaniy dalam Shahih Sunan At-Tirmidziy 1/563 & Irwaaul- Ghaliil no. 1834]. At-Tirmidziy berkata : ﻭﺍﺧﺘﻠﻒ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻓﻲ ﺗﺰﻭﻳﺞ ﺍﻟﻴﺘﻴﻤﺔ ﻓﺮﺃﻯ ﺑﻌﺾ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﺃﻥ ﺍﻟﻴﺘﻴﻤﺔ ﺇﺫﺍ ﺯﻭﺟﺖ ﻓﺎﻟﻨﻜﺎﺡ ﻣﻮﻗﻮﻑ ﺣﺘﻰ ﺗﺒﻠﻎ ﻓﺈﺫﺍ ﺑﻠﻐﺖ ﻓﻠﻬﺎ ﺍﻟﺨﻴﺎﺭ ﻓﻲ ﺇﺟﺎﺯﺓ ﺍﻟﻨﻜﺎﺡ ﺃﻭ ﻓﺴﺨﻪ ﻭﻫﻮ ﻗﻮﻝ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﺘﺎﺑﻌﻴﻦ ﻭﻏﻴﺮﻫﻢ ﻭﻗﺎﻝ ﺑﻌﻀﻬﻢ ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﻧﻜﺎﺡ ﺍﻟﻴﺘﻴﻤﺔ ﺣﺘﻰ ﺗﺒﻠﻎ ﻭﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﺍﻟﺨﻴﺎﺭ ﻓﻲ ﺍﻟﻨﻜﺎﺡ ﻭﻫﻮ ﻗﻮﻝ ﺳﻔﻴﺎﻥ ﺍﻟﺜﻮﺭﻱ ﻭﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﻭﻏﻴﺮﻫﻤﺎ ﻣﻦ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻭﻗﺎﻝ ﺃﺣﻤﺪ ﻭﺇﺳﺤﺎﻕ ﺇﺫﺍ ﺑﻠﻐﺖ ﺍﻟﻴﺘﻴﻤﺔ ﺗﺴﻊ ﺳﻨﻴﻦ ﻓﺰﻭﺟﺖ ﻓﺮﺿﻴﺖ ﻓﺎﻟﻨﻜﺎﺡ ﺟﺎﺋﺰ ﻭﻻ ﺧﻴﺎﺭ ﻟﻬﺎ ﺇﺫﺍ ﺃﺩﺭﻛﺖ ﻭﺍﺣﺘﺠﺎ ﺑﺤﺪﻳﺚ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﺃﻥ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺑﻨﻰ ﺑﻬﺎ ﻭﻫﻲ ﺑﻨﺖ ﺗﺴﻊ ﺳﻨﻴﻦ ﻭﻗﺪ ﻗﺎﻟﺖ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﺇﺫﺍ ﺑﻠﻐﺖ ﺍﻟﺠﺎﺭﻳﺔ ﺗﺴﻊ ﺳﻨﻴﻦ ﻓﻬﻲ ﺍﻣﺮﺃﺓ “Para ulama telah berselisih pendapat tentang perkara menikahkan wanita yatim. Sebagian ulama berpendapat bahwa jika seorang wanita yatim dinikahkan, maka pernikahannya itu digantungkan hingga mencapai usia baligh.
Jika telah mencapai usia baligh, maka ada hak pilih baginya untuk meneruskan atau membatalkan pernikahannya. Ia adalah pendapat sebagian tabi’in dan yang lainnya. Sebagin ulama lagi berkata : Tidak diperbolehkan menikahi wanita yatim hingga ia baligh dan tidak boleh ada hak pilih (untuk meneruskan atau membatalkan) dalam pernikahan. Ia adalah perkataan Sufyaan Ats-Tsauriy, Asy-Syaafi’iy dan yang lainnya dari kalangan ulama. Telah berkata Ahmad dan Ishaaq : Apabila wanita yatim itu mencapai usia sembilan tahun, lalu ia dinikahkan dan ia pun ridla dengannya, maka pernikahannya itu sah dan tidak ada hak pilih baginya jika ia telah mencapai usia baligh.
Keduanya berhujjah dengan hadits ‘Aaisyah : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam membina rumah tangga dengannya (menggaulinya) saat ia berusia sembilan tahun. ‘Aaisyah berkata : ‘Apabila telah mencapai usia sembilan tahun, maka ia seorang wanita dewasa/baligh” [Sunan At- Tirmidziy, 2/402]. Yang benar, bahwasannya seorang wanita yatim boleh dinikahkan sebelum baligh, karena tidak disebut yatim jika ia telah baligh. ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﺃَﺣْﻤَﺪُ ﺑْﻦُ ﺻَﺎﻟِﺢٍ ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﻳَﺤْﻴَﻰ ﺑْﻦُ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﺍﻟْﻤَﺪِﻳﻨِﻲُّ ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﻋَﺒْﺪُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺑْﻦُ ﺧَﺎﻟِﺪِ ﺑْﻦِ ﺳَﻌِﻴﺪِ ﺑْﻦِ ﺃَﺑِﻲ ﻣَﺮْﻳَﻢَ ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻴﻪِ ﻋَﻦْ ﺳَﻌِﻴﺪِ ﺍﺑْﻦِ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟﺮَّﺣْﻤَﻦِ ﺑْﻦِ ﻳَﺰِﻳﺪَ ﺑْﻦِ ﺭُﻗَﻴْﺶٍ ﺃَﻧَّﻪُ ﺳَﻤِﻊَ ﺷُﻴُﻮﺧًﺎ ﻣِﻦْ ﺑَﻨِﻲ ﻋَﻤْﺮِﻭ ﺑْﻦِ ﻋَﻮْﻑٍ ﻭَﻣِﻦْ ﺧَﺎﻟِﻪِ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺑْﻦِ ﺃَﺑِﻲ ﺃَﺣْﻤَﺪَ ﻗَﺎﻝَ ﻗَﺎﻝَ ﻋَﻠِﻲُّ ﺑْﻦُ ﺃَﺑِﻲ ﻃَﺎﻟِﺐٍ ﺣَﻔِﻈْﺖُ ﻋَﻦْ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻟَﺎ ﻳُﺘْﻢَ ﺑَﻌْﺪَ ﺍﺣْﺘِﻠَﺎﻡٍ ﻭَﻟَﺎ ﺻُﻤَﺎﺕَ ﻳَﻮْﻡٍ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﻠَّﻴْﻞِ Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Shaalih
[10] : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Muhammad Al- Madiiniy
[11] : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Khaalid bin Sa’iid bin Abi Maryam
[12], dari ayahnya
[13], dari Sa’iid bin ‘Abdirrahmaan bin Yaziid bin Ruqaisy[
14] : Bahwasannya ia pernah mendengar beberapa orang tua dari Bani ‘Amru bin ‘Auf dan dari pamannya yang bernama ‘Abdullah bin Abi Ahmad[15], ia berkata : Telah berkata ‘Aliy bin Abi Thaalib : Aku menghapal dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Tidak ada yatim setelah ihtilaam (baligh), dan tidak ada sikap diam dalam sehari semalam” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 2873; lemah, akan tetapi ia mempunyai beberapa penguat di jalur lain. Dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Irwaaul-Ghaliil, 5/79-83 no. 1244]. Oleh karena itu, berdasarkan dhahir hadits sebelumnya, boleh hukumnya menikahkan wanita yatim dengan syarat bahwa wanita yatim itu menyetujuinya. Jika tidak, maka ia tidak boleh dipaksa untuk menikah. Adapun jika wanita itu belum baligh dan bukan berstatus yatim, menurut jumhur, ia boleh dinikahkan tanpa diperlukan ijinnya terlebih dahulu.
Bahkan Ibnu Qudaamah – dengan menukil perkataan Ibnul- Mundzir – telah menegaskan adanya ijma’ akan hal ini : ﻗﺎﻝ ﺍﺑﻦ ﺍﻟﻤﻨﺬﺭ : ﺃﺟﻤﻊ ﻛﻞ ﻣﻦ ﻧﺤﻔﻆ ﻋﻨﻪ ﻣﻦ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﺃﻥ ﻧﻜﺎﺡ ﺍﻷﺏ ﺍﺑﻨﺘﻪ ﺍﻟﺒﻜﺮ ﺍﻟﺼﻐﻴﺮﺓ ﺟﺎﺋﺰ ، ﺇﺫﺍ ﺯﻭﺟﻬﺎ ﻣﻦ ﻛﻒﺀ ، ﻭﻳﺠﻮﺯ ﻟﻪ ﺗﺰﻭﻳﺠﻬﺎ ﻣﻊ ﻛﺮﺍﻫﻴﺘﻬﺎ ﻭﺍﻣﺘﻨﺎﻋﻬﺎ “Telah berkata Ibnul-Mundzir : Para ulama yang kami hapal semuanya telah sepakat bahwa seorang ayah yang menikahkan anak perempuannya yang masih kecil diperbolehkan, jika ia menikahkan dengan orang yang sepadan. Dan diperbolehkan pula menikahkan anak perempuannya itu walaupun disertai ketidaksukaan ataupun penolakan” [Al-Mughniy, 9/398]. Ijma’ ini juga dikatakan oleh Ibnu Hazm dalam Al-Muhallaa (9/458), Ibnu ‘Abdil-Barr dalam At-Tamhiid (19/98), dan Ibnu Hajar dalam Fathul-Baariy (9/123). Mereka berdalil dengan perbuatan Abu Bakr yang menikahkan ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhumaa yang saat itu ia masih kecil tanpa meminta persetujuannya terlebih dahulu. Gadis secara umum (yang belum pernah menikah) yang telah mencapai usia baligh, maka para ulama berselisih tajam dalam hal ini.
Sebagian ulama ada yang membolehkan menikahkan tanpa melalui prosedur ijin atau persetujuan dari anaknya. Berjajar dalam barisan ini adalah Maalik, Asy- Syaafi’iy, dan Ahmad dalam satu riwayat. Sedangkan para ulama yang kontra dengan pendapat ini di antaranya Ahmad dalam satu riwayat, Ahnaaf (Hanafiyyah), dan Dhahiriyyah. Namun menurut pendapat yang raajih, wallaahu a’lam, ia pun tetap harus diminta persetujuannya jika hendak dinikahkan. ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﻋُﺜْﻤَﺎﻥُ ﺑْﻦُ ﺃَﺑِﻲ ﺷَﻴْﺒَﺔَ ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﺣُﺴَﻴْﻦُ ﺑْﻦُ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﺟَﺮِﻳﺮُ ﺑْﻦُ ﺣَﺎﺯِﻡٍ ﻋَﻦْ ﺃَﻳُّﻮﺏَ ﻋَﻦْ ﻋِﻜْﺮِﻣَﺔَ ﻋَﻦْ ﺍﺑْﻦِ ﻋَﺒَّﺎﺱٍ ﺃَﻥَّ ﺟَﺎﺭِﻳَﺔً ﺑِﻜْﺮًﺍ ﺃَﺗَﺖْ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲَّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻓَﺬَﻛَﺮَﺕْ ﺃَﻥَّ ﺃَﺑَﺎﻫَﺎ ﺯَﻭَّﺟَﻬَﺎ ﻭَﻫِﻲَ ﻛَﺎﺭِﻫَﺔٌ ﻓَﺨَﻴَّﺮَﻫَﺎ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ Telah menceritakan kepada kami ‘Utsmaan bin Abi Syaibah
[16] : Telah menceritakan kepada kami Husain bin Muhammad
[17] : Telah menceritakan kepada kami Jariir bin Haazim
[18], dari Ayyuub
[19], dari ‘Ikrimah[20], dari Ibnu ‘Abbaas : Bahwasanya ada seorang gadis mendatangi Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam dan menyebutkan ayahnya telah menikahkannya sementara ia tidak senang. Kemudian beliau memberikan pilihan (apakah ia ingin meneruskan pernikahannya atau tidak)” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 2096; shahih. Diriwayatkan juga oleh Ibnu Maajah no. 1875, Ahmad 1/273, An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa no. 5387, Abu Ya’laa no. 2526, Ath- Thahaawiy 4/365, dan Al- Baihaqiy 7/119.
Dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahih Sunan Abi Daawud, 1/586]. Inilah pendapat yang dipilih Al- Imaam Al-Bukhaariy dimana ia membuat satu bab khusus dalam kitab Shahih-nya dengan judul : ﺇﺫﺍ ﺯﻭّﺝ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﺍﺑﻨﺘﻪ ﻭﻫﻲ ﻛﺎﺭﻫﺔ، ﻓﻨﻜﺎﺣﻪ ﻣﺮﺩﻭﺩ. “Apabila seorang laki-laki menikahkan anak perempuannya sedangkan ia tidak suka, maka pernikahannya itu tertolak (batal)”. Adapun janda, para ulama sepakat bahwa ia tidak boleh dinikahkan kecuali dengan ijinnya/persetujuannya. ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺳﻌﻴﺪ ﺑﻦ ﻣﻨﺼﻮﺭ ﻭﻗﺘﻴﺒﺔ ﺑﻦ ﺳﻌﻴﺪ. ﻗﺎﻻ: ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻣﺎﻟﻚ. ﺡ ﻭﺣﺪﺛﻨﺎ ﻳﺤﻴﻰ ﺑﻦ ﻳﺤﻴﻰ )ﻭﺍﻟﻠﻔﻆ ﻟﻪ( ﻗﺎﻝ: ﻗﻠﺖ ﻟﻤﺎﻟﻚ ﺣﺪﺛﻚ ﻋﺒﺪﺍﻟﻠﻪ ﺑﻦ ﺍﻟﻔﻀﻞ ﻋﻦ ﻧﺎﻓﻊ ﺑﻦ ﺟﺒﻴﺮ، ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ ؛ ﺃﻥ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ : "ﺍﻷﻳﻢ ﺃﺣﻖ ﺑﻨﻔﺴﻬﺎ ﻣﻦ ﻭﻟﻴﻬﺎ. ﻭﺍﻟﺒﻜﺮ ﺗﺴﺘﺄﺫﻥ ﻓﻲ ﻧﻔﺴﻬﺎ. ﻭﺇﺫﻧﻬﺎ ﺻﻤﺎﺗﻬﺎ ؟" ﻗﺎﻝ: ﻧﻌﻢ.
Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Manshuur dan Qutaibah bin Sa’iid, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Maalik. Dan telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Yahyaa – dan lafadh ini miliknya - , ia berkata : Aku berkata kepada Maalik : Apakah ‘Abdullah bin Al-Fadhl pernah berkata kepadamu, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Abbaas : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan anak gadis harus dimintai ijin/persetujuan darinya. Sedangkan ijinnya adalah diamnya ?”. Ia (Maalik) menjawab : “Ya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1421]
. ﺣﺪﺛﻨﻲ ﻋﺒﻴﺪﺍﻟﻠﻪ ﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﺑﻦ
ﻣﻴﺴﺮﺓ ﺍﻟﻘﻮﺍﺭﻳﺮﻱ. ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺧﺎﻟﺪ ﺑﻦ ﺍﻟﺤﺎﺭﺙ. ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻫﺸﺎﻡ ﻋﻦ ﻳﺤﻴﻰ ﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﻛﺜﻴﺮ. ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺃﺑﻮ ﺳﻠﻤﺔ. ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺃﺑﻮ ﻫﺮﻳﺮﺓ ؛ ﺃﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ " :ﻻ ﺗﻨﻜﺢ ﺍﻷﻳﻢ ﺣﺘﻰ ﺗﺴﺘﺄﻣﺮ. ﻭﻻ ﺗﻨﻜﺢ ﺍﻟﺒﻜﺮ ﺣﺘﻰ ﺗﺴﺘﺄﺫﻥ" ﻗﺎﻟﻮﺍ: ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ! ﻭﻛﻴﻒ ﺇﺫﻧﻬﺎ ؟ ﻗﺎﻝ " ﺃﻥ ﺗﺴﻜﺖ." Telah menceritakan kepadaku ‘Ubaidullah bin ‘Umar bin Maisarah Al-Qawaariiriy : Telah menceritakan kepada kami Khaalid bin Al-Haarits : Telah menceritakan kepada kami Hisyaam, dari Yahyaa bin Abi Katsiir : Telah menceritakan kepada kami Abu Salamah : telah menceritakan kepada kami Abu Hurairah :Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “Seorang janda tidak boleh dinikahkan hingga dimintai persetujuannya. Dan seorang gadis tidak boleh dinikahkan hingga dimintai ijinnya”. Para shahabat bertanya : “Wahai Rasulullah, bagaimana itu ijinnya ?”. Beliau menjawab : “Diamnya” [Diriwayatkan Muslim no. 1419].
Al-Haafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata : ﺃﺻﻞ ﺍﻻﺳﺘﺌﻤﺎﺭ : ﻃﻠﺐُ ﺍﻷﻣﺮ؛ ﻓﺎﻟﻤﻌﻨﻰ : ﻻ ﻳﻌﺘﻘﺪ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﺣﺘﻰ ﻳﻄﻠﺐ ﺍﻷﻣﺮ ﻣﻨﻬﺎ. ﻭﻳﺆﺧﺬ ﻣﻦ ﻗﻮﻟﻪ : ﻻ ﺗﺴﺘﺄﻣﺮ؛ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﻌﺘﻘﺪ ﺇﻻ ﺑﻌﺪ ﺃﻥ ﺗﺄﻣﺮ ﺑﺬﻟﻚ. “Asal makna kata al-isti’maar adalah : mencari perintah. Maka artinya adalah : Ia tidak boleh dinikahkan hingga dimintakan perintah darinya. Oleh karena itu, diambil pengertian dari sabda beliau : ‘laa tusta’mara’ , yaitu bahwasannya akad pernikahan tidak boleh dilangsungkan hingga janda tersebut dimintai persetujuannya atas hal tersebut” [selesai]. Telah berkata Asy-Syaukaaniy rahimahullah : ﻭﺍﻷﺣﺎﺩﻳﺚ ﻓﻲ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺒﺎﺏ ﻛﺜﻴﺮﺓ، ﻭﻫﻲ ﺗﻔﻴﺪ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﺼﺢ ﻧﻜﺎﺡ ﻣﻦ ﻟﻢ ﺗﺮْﺽَ؛ ﺑﻜﺮﺍ ﻛﺎﻧﺖ ﺃﻭ ﺛﻴﺒﺎ. “Dan hadits-hadits dalam bab ini adalah banyak. Dan ia memberikan faedah bahwasannya tidak sah pernikahan bagi orang yang tidak menyukainya, baik gadis ataupun janda” [Sailul-Jaraar, 1/364]. Itu saja yang dapat disajikan di siang hari Jum’at ini…. Masih dalam suasana Ramadlaan 1431.
Semoga yang ditulis di sela-sela aktifitas kantor ini ada manfaatnya.
[abu al-jauzaa’ – senayan, akhir agustus 2010].
[1] Ya’quub bin Ibraahiim bin Sa’d bin Ibraahiim bin ‘Abdirrahmaan bin ‘Auf Az- Zuhriy Abu Yuusuf Al- Madaniy; seorang yang tsiqah lagi faadlil (w. 208 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih- nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1087 no. 7865 dan Mu’jamu Syuyuukh Al- Imam Ahmad, hal. 397 no. 284].
[2] Ibraahiim bin Sa’d bin Ibraahiim bin ‘Abdirrahmaan bin ‘Auf Al- Qurasyiy Az-Zuhriy Abu Ishaaq Al-Madaniy; seorang yang tsiqah lagi hujjah (108-182/183/184/185 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih- nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 108 no. 179].
[3] Muhammad bin Ishaaq bin Yasaar Al-Madaniy Abu Bakr/Abu ‘Abdillah Al- Qurasyiy Al-Mathlabiy; seorang yang shaduuq, namun melakukan tadlis (w. 150 H). Dipakai Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 825 no. 5762].
[4] ‘Umar bin Husain bin ‘Abdillah Al-Jumahiy Abu Qudaamah Al-Makkiy maula ‘Aaisyah binti Qudaamah bin Madh’uun Al-Jumahiy; seorang yang tsiqah. Dipakai Muslim dalam Shahih-nya [idem, 715 no. 4910].
[5] Naafi’ Abu ‘Abdillah Al- Madaniy maula Ibni ‘Umar; seorang yang tsiqah, tsabat, faqiih, lagi masyhuur (w. 117 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 996 no. 7136].
[6] Qutaibah bin Sa’iid bin Jamiil bin Thariif bin ‘Abdillah Ats-Tsaqafiy Abu Rajaa’ Al-Balkhiy Al- Baghlaaniy; seorang yang tsiqah lagi tsabat (w. 240 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih- nya [idem, hal. 799 no. 5557].
[7] ‘Abdul-‘Aziiz bin Muhammad bin ‘Ubaid Ad- Daraawardiy Abu Muhammad Al-Juhhaniy (w. 186/187 H). Dipakai Al- Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya. Ada beberapa komentar ulama tentangnya : Mush’ab bin ‘Abdillah bin Az-Zubair berkata : “Maalik bin Anas mentsiqahkan Ad-Daraawardiy”.
Ahmad berkata : “Ia seorang yang ma’ruuf sebagai seorang pencari hadits. Apabila ia meriwayatkan dari kitabnya, maka shahih. Namun bila ia meriwayatkan dari kitab- kitab milik orang lain, ada keraguan. Ia membaca kitab-kitab mereka, lalu keliru. Kadang ia membalikkan hadits ‘Abdullah bin ‘Umar, dimana ia meriwayatkannya (menjadi) dari ‘Ubaidullah bin ‘Umar”. Yahyaa bin Ma’iin berkata : “Ad- Daraawardiy lebih tsabt daripada Fulaih bin Sulaimaan, Ibnu Abiz- Zinaad, dan Abu Aus. Ad- Daraawardiy kemudian Ibnu Abi Haazim”. Di lain riwayat ia berkata : “Tidak mengapa dengannya”.Di lain riwayat ia berkata : “Tsiqah hujjah”. Abu Zur’ah berkata : “Jelek hapalan. Kadang meriwayatkan dari hapalannya, ada sesuatu padanya, lalu ia keliru”. Abu Haatim berkata : “Muhaddits”. An-Nasaa’iy berkata : “Tidak kuat”. Di lain riwayat ia berkata : “Tidak mengapa dengannya. Adapun haditsnya yang berasal dari ‘Ubaidullah bin ‘Umar adalah munkar”. Ibnu Sa’d berkata : “Tsiqah, banyak mempunyai hadits, melakukan beberapa kekeliruan” [Lihat : Tahdziibul-Kamaal, 18/187-195 no. 3470]. Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat, dan berkata : “Sering keliru (yukhthi’)”. Al-‘Ijliy berkata : “Tsiqah”. As-Saajiy berkata : “Ia termasuk orang-orang yang jujur dan amanah, akan tetapi ia mempunyai banyak keraguan” [lihat : Tahdziibut-Tahdziib, 6/353-355 no. 680]. Al-Bardza’iy pernah berkata : Aku pernah bertanya lepada Abu Zur’ah : “Fulaih bin Sulaimaan, ‘Abdurrahmaan bin Abiz-Zinaad, Abu Aus, Ad-Daraawardiy, dan Ibnu Abi Haazim, mana di antara mereka yang lebih engkau senangi ?”. Ia menjawab : “Ad- Daraawardiy dan Ibnu Abi Haazim lebih aku senangi daripada mereka semua” [Suaalaat Al- Bardza’iy lembar 424-425]. Ya’quub bin Sufyaan berkata : “’Abdul-‘Aziiz di sisi penduduk Madiinah adalah seorang imam yang tsiqah” [Al-Ma’rifatu wat-Taariikh, 1/349]. Ibnu Hajar berkata : “Shaduuq, namun ia meriwayatkan dari kitab- kitab orang lain lalu keliru” [Taqriibut-Tahdziib, hal. 615 no. 4147].
Basyar ‘Awwaad dan Al-Arna’uth berkata : “Tsiqah” [Tahriirut-Taqriib, 2/371 no. 4119]. Abu Ishaaq Al-Huwainiy berkata : “Tsiqah” [Natslun-Nabaal bi-Mu’jamir-Rijaal, hal. 801-802 no. 1852]. Al- Albaaniy berkata : “Tsiqah” [Al-Irwaa’, 1/295]. Kesimpulannya : Ia seorang yang tsiqah yang sedikit mendapat kritikan di jurusan hapalannya. Khusus riwayatnya dari ‘Ubaidullah bin ‘Umar mendapat pengingkaran sehingga dilemahkan sebagian ulama.
[8] Muhammad bin ‘Amru bin ‘Alqamah bin Waqqaash Al-Laitsiy Abu ‘Abdillah/Abul-Hasan Al- Madaniy; seorang yang jujur, namun mempunyai beberapa keraguan (w. 144/145 H). Dipakai Al- Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 884 no. 6228]. [
9] Abu Salamah bin ‘Abdirrahmaan bin ‘Auf Al- Qurasyiy Az-Zuhriy; seorang yang tsiqah banyak haditsnya (22- 94 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih- nya [idem, hal. 1155 no. 8203].
[10] Ahmad bin Shaalih Al- Mishriy Abu Ja’far bin Ath- Thabariy; seorang yang tsiqah lagi haafidh (170-248 H). Dipakai Al- Bukhaariy dalam Shahih- nya [idem, hal. 91 no. 48].
[11] Yahyaa bin Muhammad bin ‘Abdillah bin Mihraan Al-Jaariy Al-Hijaaziy Al- Madiniy. Para ulama berbeda pendapat tentangnya. Al-‘Ijliy berkata : “Tsiqah”. Al- Bukhariy berkata : “Orang- orang memperbincangkannya”. Ibnu Hibbaan menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat dan berkata : “Banyak meriwayatkan hadits gharib (yughrib)”. Yahyaa Az-Zammiy berkata : “Tsiqah”. Ibnu ‘Adiy : “Haditsnya tidak mengapa” [Tahdziibul- Kamaal, 31/522-524 no. 9613]. Namun Ibnu Hibbaan juga memasukkannya dalam Al- Majruuhiin, dan berkata : “Ia termasuk orang yang sering bersendirian dalam periwayatan tanpa ada mutaba’ah-nya karena sedikitnya riwayat yang ia miliki. Seakan-akan ia banyak mengalami keraguan. Maka dari sini, terdapat beberapa hal yang diingkari dalam riwayatnya sehingga wajib menyingkirkan jika ia bersendirian dalam riwayat-riwayatnya. Jika ingin berhujjah dengannya, maka ia dijadikan hujjah terhadap riwayat-riwayat yang menyepakati riwayat para perawi tsiqaat, dan aku berpendapat tidak mengapa dengannya”. Ibnu Hajar berkata : “Shaduuq, banyak kelirunya (yukhthi’)” [Taqriibut- Tahdziib, hal. 1066 no. 7688].
[12] ‘Abdullah bin Khaalid bin Sa’iid bin Abi Maryam Al-Qurasyiy At-Taimiy. Para ulama berbeda pendapat tentangnya. Ibnu Syaahiin menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat. Ahmad bn Shaalih Al-Mishriy berkata : “Tsiqah”. Al-Azdiy berkata : “Tidak ditulis haditsnya”. Ibnul- Qaththaan berkata : “Majhuul haal” [Tahdziibut-Tahdziib, 5/196 no. 336]. Kesimpulannya : “Shaduuq, hasanul- hadiits”. Pentsiqahan Ahmad bin Shaalih dan Ibnu Syaahiin membatalkan klaim Ibnul- Qaththaan bahwa ia seorang yang majhuul haal. Adapun kritik Al- Azdiy, maka tidaklah itu membuat derajat ‘Abdullah bin Khaalid menjadi lemah, mengingat ia seorang yang sering berlebih- lebihan dalam mengkritik perawi.
[13] Khaalid bin Sa’iid bin Abi Maryam Al-Qurasyiy At-Taimiy. Ibnu Hibbaan memasukkanya dalam Ats- Tsiqaat. Ibnu Madiiniy berkata : “Kami tidak mengetahui/ mengenalnya”. Al-‘Uqailiy membawakan satu hadits miliknya yang ia ingkari. Ibnul-Qaththaan memajhulkannya [Tahdziibut-Tahdziib, 3/95]. Ada tiga orang perawi tsiqah meriwayatkan darinya : ‘Abdullah bin Khaalid (shaduuq), ‘Athaaf bin Khaalid (tsiqah), dan Muhammad bin Ma’n Al- Ghiffaariy (tsiqah). Ibnu Hajar berkata : ‘Maqbuul” [Taqriibut- Tahdziib, hal. 287 no. 1650]. Adz-Dzahabiy berkata : “Tsiqah” [Al- Kaasyif, 1/365 no. 1326]. Kesimpulannya adalah sebagaimana Ibnu Hajar. Riwayatnya diterima apabila mutaba’ah-nya. [14] Sa’iid bin ‘Abdirrahmaan bin Yaziid bin Ruqaisy Al-Asadiy Al- Madaniy; seorang yang tsiqah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 383 no. 2368].
[15] ‘Abdullah bin Abi Ahmad bin Jahsy Al- Asadiy; disebutkan oleh jama’ah dalam jajaran tabi’iin yang tsiqah [idem, hal. 491 no. 3223].
[16] ‘Utsmaan bin Muhammad bin Ibraahiim bin ‘Utsmaan Al-‘Absiy Abul-Hasan bin Abi SyaibahAl-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi haafidh (156-239 H). Dipakai Al- Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Tahdziibut-Tahdziib, 7/151].
[17] Al-Husain bin Muhammad bin Bahraam At-Taimiy Abu Ahmad/Abu ‘Aliy Al-Muaddib Al- Marwadziy; seorang yang tsiqah (w. 213/214 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 250 no. 1354].
[18] Jariir bin Haazim bin Zaid bin ‘Abdillah Al-Azdiy Al-‘Atakiy Abun-Nadlr Al- Bashriy; seorang yang tsiqah [idem, hal. 196 no. 919 dan tahriir At-Taqriib 1/212 no. 911].
[19] Ayyuub bin Abi Tamiimah As-Sikhtiyaaniy Abu Bakr Al-Bashriy; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi hujjah (w. 131 H).Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih- nya [idem, hal. 158 no. 610].
[20] ‘Ikrimah Al-Qurasyiy Al- Haasyimiy maulaa Ibni ‘Abbaas; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi ‘aalim (w. 107 H). Dipakai Al- Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 687-688 no. 4707]
Tidak ada orang tua yang ingin menjerumuskan anaknya, sebenarnya. Celoteh sebagian pemuda-pemudi itu memang ada benarnya jika ditilik dari sisi syari’at. Syari’at Islam telah memberikan keluasan bagi seorang wanita untuk menikah dengan orang yang disenanginya. Syari’at tidak mendukung ‘jaman Siti Nurbaya’ yang penuh gambaran feodalistik. Akan tetapi ia mempunyai rambu- rambu yang sempurna yang menjamin keselamatan bagi setiap orang yang memperhatikannya.
Sebagai awal, ada satu kisah menarik yang pernah dialami shahabat besar ‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa sebagai berikut : ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﻳَﻌْﻘُﻮﺏُ ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﺃَﺑِﻲ ﻋَﻦِ ﺍﺑْﻦِ ﺇِﺳْﺤَﺎﻕَ ﺣَﺪَّﺛَﻨِﻲ ﻋُﻤَﺮُ ﺑْﻦُ ﺣُﺴَﻴْﻦِ ﺑْﻦِ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻣَﻮْﻟَﻰ ﺁﻝِ ﺣَﺎﻃِﺐٍ ﻋَﻦْ ﻧَﺎﻓِﻊٍ ﻣَﻮْﻟَﻰ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺑْﻦِ ﻋُﻤَﺮَ ﻋَﻦْ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺑْﻦِ ﻋُﻤَﺮَ ﻗَﺎﻝَ ﺗُﻮُﻓِّﻲَ ﻋُﺜْﻤَﺎﻥُ ﺑْﻦُ ﻣَﻈْﻌُﻮﻥٍ ﻭَﺗَﺮَﻙَ ﺍﺑْﻨَﺔً ﻟَﻪُ ﻣِﻦْ ﺧُﻮَﻳْﻠَﺔَ ﺑِﻨْﺖِ ﺣَﻜِﻴﻢِ ﺑْﻦِ ﺃُﻣَﻴَّﺔَ ﺑْﻦِ ﺣَﺎﺭِﺛَﺔَ ﺑْﻦِ ﺍﻟْﺄَﻭْﻗَﺺِ ﻗَﺎﻝَ ﻭَﺃَﻭْﺻَﻰ ﺇِﻟَﻰ ﺃَﺧِﻴﻪِ ﻗُﺪَﺍﻣَﺔَ ﺑْﻦِ ﻣَﻈْﻌُﻮﻥٍ ﻗَﺎﻝَ ﻋَﺒْﺪُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻭَﻫُﻤَﺎ ﺧَﺎﻟَﺎﻱَ ﻗَﺎﻝَ ﻓَﻤَﻀَﻴْﺖُ ﺇِﻟَﻰ ﻗُﺪَﺍﻣَﺔَ ﺑْﻦِ ﻣَﻈْﻌُﻮﻥٍ ﺃَﺧْﻄُﺐُ ﺍﺑْﻨَﺔَ ﻋُﺜْﻤَﺎﻥَ ﺑْﻦِ ﻣَﻈْﻌُﻮﻥٍ ﻓَﺰَﻭَّﺟَﻨِﻴﻬَﺎ ﻭَﺩَﺧَﻞَ ﺍﻟْﻤُﻐِﻴﺮَﺓُ ﺑْﻦُ ﺷُﻌْﺒَﺔَ ﻳَﻌْﻨِﻲ ﺇِﻟَﻰ ﺃُﻣِّﻬَﺎ ﻓَﺄَﺭْﻏَﺒَﻬَﺎ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻤَﺎﻝِ ﻓَﺤَﻄَّﺖْ ﺇِﻟَﻴْﻪِ ﻭَﺣَﻄَّﺖْ ﺍﻟْﺠَﺎﺭِﻳَﺔُ ﺇِﻟَﻰ ﻫَﻮَﻯ ﺃُﻣِّﻬَﺎ ﻓَﺄَﺑَﻴَﺎ ﺣَﺘَّﻰ ﺍﺭْﺗَﻔَﻊَ ﺃَﻣْﺮُﻫُﻤَﺎ ﺇِﻟَﻰ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﻗُﺪَﺍﻣَﺔُ ﺑْﻦُ ﻣَﻈْﻌُﻮﻥٍ ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺍﺑْﻨَﺔُ ﺃَﺧِﻲ ﺃَﻭْﺻَﻰ ﺑِﻬَﺎ ﺇِﻟَﻲَّ ﻓَﺰَﻭَّﺟْﺘُﻬَﺎ ﺍﺑْﻦَ ﻋَﻤَّﺘِﻬَﺎ ﻋَﺒْﺪَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺑْﻦَ ﻋُﻤَﺮَ ﻓَﻠَﻢْ ﺃُﻗَﺼِّﺮْ ﺑِﻬَﺎ ﻓِﻲ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺡِ ﻭَﻟَﺎ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻜَﻔَﺎﺀَﺓِ ﻭَﻟَﻜِﻨَّﻬَﺎ ﺍﻣْﺮَﺃَﺓٌ ﻭَﺇِﻧَّﻤَﺎ ﺣَﻄَّﺖْ ﺇِﻟَﻰ ﻫَﻮَﻯ ﺃُﻣِّﻬَﺎ ﻗَﺎﻝَ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻫِﻲَ ﻳَﺘِﻴﻤَﺔٌ ﻭَﻟَﺎ ﺗُﻨْﻜَﺢُ ﺇِﻟَّﺎ ﺑِﺈِﺫْﻧِﻬَﺎ ﻗَﺎﻝَ ﻓَﺎﻧْﺘُﺰِﻋَﺖْ ﻭَﺍﻟﻠَّﻪِ ﻣِﻨِّﻲ ﺑَﻌْﺪَ ﺃَﻥْ ﻣَﻠَﻜْﺘُﻬَﺎ ﻓَﺰَﻭَّﺟُﻮﻫَﺎ ﺍﻟْﻤُﻐِﻴﺮَﺓَ ﺑْﻦَ ﺷُﻌْﺒَﺔَ
Telah menceritakan kepada kami Ya’quub
[1] : Telah menceritakan kepada kami ayahku
[2], dari Ibnu Ishaaq
[3] : Telah menceritakan kepadaku ‘Umar bin Husain bin ‘Abdillah maulaa Aali Haathib
[4], dari Naafi’ maulaa ‘Abdillah bin ‘Umar
[5], dari ‘Abdullah bin ‘Umar, ia berkata : “’Utsmaan bin Madh'uun wafat meninggalkan seorang anak perempuan hasil pernikahannya dengan Khuwailah binti Hakiim bin Umayyah bin Haaritsah bin Al- Auqash”.
Ibnu ‘Umar berkata : “Dan dia berwasiat kepada saudara lelakinya yang bernama Qudaamah bin Madh'uun. Keduanya adalah paman dari jalur ibuku. Lalu aku mendatangi Qudaamah bin Madh'uun untuk melamar anak perempuan ‘Utsmaan bin Madh'uun, lalu ia pun menikahkanku dengannya. Tiba-tiba Al-Mughiirah bin Syu'bah menemui ibunya, merayunya, dan membuatnya tertarik kepada hartanya sehingga akhirnya ia lebih condong kepadanya. Dan anak perempuannya itu juga lebih condong kepada keinginan ibunya. Keduanya (Ibnu Umar dan Qudaamah bin Madh'uun) tidak menyetujuinya hingga permasalahan ini sampai kepada Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam. Qudaamah bin Madh'uun pun berkata : "Wahai Rasulullah, anak perempuan dari saudara laki-lakiku telah diwasiatkan kepadaku, hingga aku pun menikahkannya dengan anak lelaki dari bibinya (dari jalur ayah) yakni, ‘Abdullah bin ‘Umar. Aku tidak meragukan kebaikan dan kemampuan keponakan perempuanku itu. Akan tetapi, dia adalah seorang wanita yang ternyata lebih condong kepada kemauan ibunya".
Lalu Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : “Dia adalah anak yatim, dan dia tidak boleh dinikahkan kecuali diminta ijinnya/persetujuannya”. Ibnu ‘Umar berkata : “Demi Allah, ia pun akhirnya direbut dariku setelah aku menikahinya, lalu mereka menikahkannya dengan Al-Mughiirah bin Syu'bah" [Diriwayatkan oleh Ahmad 2/130; sanad riwayat ini hasan, namun shahih dengan keseluruhan jalannya. Diriwayatkan pula oleh Al- Baihaqiy 7/113, Al-Haakim 2/167, Ad-Daaruquthniy no. 3545-3549, dan Ibnu Maajah no. 1878. Dishahihkan Al- Albaaniy dalam Irwaaul-Ghaliil no. 1835, dihasankan Al- Arna’uth dalam Takhrij Musnad Al-Imam Ahmad 10/285, dishahihkan Ahmad Syaakir dalam Syarh Musnad Al-Imam Ahmad 5/389, dan dishahihkan Basyar ‘Awwaad dalam Takhriij Sunan Ibnu Maajah 3/325-326].
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah membatalkan pernikahan Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa, seorang shahabat besar, karena wanita yang dinikahinya itu tidak menyukainya. ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﻗُﺘَﻴْﺒَﺔُ ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﻋَﺒْﺪُ ﺍﻟْﻌَﺰِﻳﺰِ ﺑْﻦُ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﻋَﻦْ ﻣُﺤَﻤَّﺪِ ﺑْﻦِ ﻋَﻤْﺮٍﻭ ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲ ﺳَﻠَﻤَﺔَ ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲ ﻫُﺮَﻳْﺮَﺓَ ﻗَﺎﻝَ ﻗَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺍﻟْﻴَﺘِﻴﻤَﺔُ ﺗُﺴْﺘَﺄْﻣَﺮُ ﻓِﻲ ﻧَﻔْﺴِﻬَﺎ ﻓَﺈِﻥْ ﺻَﻤَﺘَﺖْ ﻓَﻬُﻮَ ﺇِﺫْﻧُﻬَﺎ ﻭَﺇِﻥْ ﺃَﺑَﺖْ ﻓَﻠَﺎ ﺟَﻮَﺍﺯَ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ ﻳَﻌْﻨِﻲ ﺇِﺫَﺍ ﺃَﺩْﺭَﻛَﺖْ ﻓَﺮَﺩَّﺕْ Telah menceritakan kepada kami Qutaibah
[6] : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-‘Aziiz bin Muhammad
[7], dari Muhammad ‘Amru
[8], dari Abu Salamah
[9], dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Seorang wanita yatim (jika hendak dinikahkan), harus dimintai persetujuannya. Jika ia diam, maka itulah ijinnya. Jika menolak, maka tidak boleh dipaksa". Maksudnya jika telah baligh dan menolak pernikahannya [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1109, dan ia berkata : “Hasan”. Diriwayatkan pula oleh ‘Abdurrazzaaq no. 10297, Ibnu Abi Syaibah 4/138, Ahmad 2/259 & 384 & 475, Abu Daawud no. 2093-2094, An- Nasaa’iy 4/87, Abu Ya’laa no. 6019 & 7328, Ath-Thahaawiy dalam Syarh Musykilil-Aatsaar no. 5728-5729, Ibnu Hibbaan no. 4079 & 4086, an Al-Baihaqiy 7/120 & 122.
Dishahihkan Al- Albaaniy dalam Shahih Sunan At-Tirmidziy 1/563 & Irwaaul- Ghaliil no. 1834]. At-Tirmidziy berkata : ﻭﺍﺧﺘﻠﻒ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻓﻲ ﺗﺰﻭﻳﺞ ﺍﻟﻴﺘﻴﻤﺔ ﻓﺮﺃﻯ ﺑﻌﺾ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﺃﻥ ﺍﻟﻴﺘﻴﻤﺔ ﺇﺫﺍ ﺯﻭﺟﺖ ﻓﺎﻟﻨﻜﺎﺡ ﻣﻮﻗﻮﻑ ﺣﺘﻰ ﺗﺒﻠﻎ ﻓﺈﺫﺍ ﺑﻠﻐﺖ ﻓﻠﻬﺎ ﺍﻟﺨﻴﺎﺭ ﻓﻲ ﺇﺟﺎﺯﺓ ﺍﻟﻨﻜﺎﺡ ﺃﻭ ﻓﺴﺨﻪ ﻭﻫﻮ ﻗﻮﻝ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﺘﺎﺑﻌﻴﻦ ﻭﻏﻴﺮﻫﻢ ﻭﻗﺎﻝ ﺑﻌﻀﻬﻢ ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﻧﻜﺎﺡ ﺍﻟﻴﺘﻴﻤﺔ ﺣﺘﻰ ﺗﺒﻠﻎ ﻭﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﺍﻟﺨﻴﺎﺭ ﻓﻲ ﺍﻟﻨﻜﺎﺡ ﻭﻫﻮ ﻗﻮﻝ ﺳﻔﻴﺎﻥ ﺍﻟﺜﻮﺭﻱ ﻭﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﻭﻏﻴﺮﻫﻤﺎ ﻣﻦ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻭﻗﺎﻝ ﺃﺣﻤﺪ ﻭﺇﺳﺤﺎﻕ ﺇﺫﺍ ﺑﻠﻐﺖ ﺍﻟﻴﺘﻴﻤﺔ ﺗﺴﻊ ﺳﻨﻴﻦ ﻓﺰﻭﺟﺖ ﻓﺮﺿﻴﺖ ﻓﺎﻟﻨﻜﺎﺡ ﺟﺎﺋﺰ ﻭﻻ ﺧﻴﺎﺭ ﻟﻬﺎ ﺇﺫﺍ ﺃﺩﺭﻛﺖ ﻭﺍﺣﺘﺠﺎ ﺑﺤﺪﻳﺚ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﺃﻥ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺑﻨﻰ ﺑﻬﺎ ﻭﻫﻲ ﺑﻨﺖ ﺗﺴﻊ ﺳﻨﻴﻦ ﻭﻗﺪ ﻗﺎﻟﺖ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﺇﺫﺍ ﺑﻠﻐﺖ ﺍﻟﺠﺎﺭﻳﺔ ﺗﺴﻊ ﺳﻨﻴﻦ ﻓﻬﻲ ﺍﻣﺮﺃﺓ “Para ulama telah berselisih pendapat tentang perkara menikahkan wanita yatim. Sebagian ulama berpendapat bahwa jika seorang wanita yatim dinikahkan, maka pernikahannya itu digantungkan hingga mencapai usia baligh.
Jika telah mencapai usia baligh, maka ada hak pilih baginya untuk meneruskan atau membatalkan pernikahannya. Ia adalah pendapat sebagian tabi’in dan yang lainnya. Sebagin ulama lagi berkata : Tidak diperbolehkan menikahi wanita yatim hingga ia baligh dan tidak boleh ada hak pilih (untuk meneruskan atau membatalkan) dalam pernikahan. Ia adalah perkataan Sufyaan Ats-Tsauriy, Asy-Syaafi’iy dan yang lainnya dari kalangan ulama. Telah berkata Ahmad dan Ishaaq : Apabila wanita yatim itu mencapai usia sembilan tahun, lalu ia dinikahkan dan ia pun ridla dengannya, maka pernikahannya itu sah dan tidak ada hak pilih baginya jika ia telah mencapai usia baligh.
Keduanya berhujjah dengan hadits ‘Aaisyah : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam membina rumah tangga dengannya (menggaulinya) saat ia berusia sembilan tahun. ‘Aaisyah berkata : ‘Apabila telah mencapai usia sembilan tahun, maka ia seorang wanita dewasa/baligh” [Sunan At- Tirmidziy, 2/402]. Yang benar, bahwasannya seorang wanita yatim boleh dinikahkan sebelum baligh, karena tidak disebut yatim jika ia telah baligh. ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﺃَﺣْﻤَﺪُ ﺑْﻦُ ﺻَﺎﻟِﺢٍ ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﻳَﺤْﻴَﻰ ﺑْﻦُ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﺍﻟْﻤَﺪِﻳﻨِﻲُّ ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﻋَﺒْﺪُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺑْﻦُ ﺧَﺎﻟِﺪِ ﺑْﻦِ ﺳَﻌِﻴﺪِ ﺑْﻦِ ﺃَﺑِﻲ ﻣَﺮْﻳَﻢَ ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻴﻪِ ﻋَﻦْ ﺳَﻌِﻴﺪِ ﺍﺑْﻦِ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟﺮَّﺣْﻤَﻦِ ﺑْﻦِ ﻳَﺰِﻳﺪَ ﺑْﻦِ ﺭُﻗَﻴْﺶٍ ﺃَﻧَّﻪُ ﺳَﻤِﻊَ ﺷُﻴُﻮﺧًﺎ ﻣِﻦْ ﺑَﻨِﻲ ﻋَﻤْﺮِﻭ ﺑْﻦِ ﻋَﻮْﻑٍ ﻭَﻣِﻦْ ﺧَﺎﻟِﻪِ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺑْﻦِ ﺃَﺑِﻲ ﺃَﺣْﻤَﺪَ ﻗَﺎﻝَ ﻗَﺎﻝَ ﻋَﻠِﻲُّ ﺑْﻦُ ﺃَﺑِﻲ ﻃَﺎﻟِﺐٍ ﺣَﻔِﻈْﺖُ ﻋَﻦْ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻟَﺎ ﻳُﺘْﻢَ ﺑَﻌْﺪَ ﺍﺣْﺘِﻠَﺎﻡٍ ﻭَﻟَﺎ ﺻُﻤَﺎﺕَ ﻳَﻮْﻡٍ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﻠَّﻴْﻞِ Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Shaalih
[10] : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Muhammad Al- Madiiniy
[11] : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Khaalid bin Sa’iid bin Abi Maryam
[12], dari ayahnya
[13], dari Sa’iid bin ‘Abdirrahmaan bin Yaziid bin Ruqaisy[
14] : Bahwasannya ia pernah mendengar beberapa orang tua dari Bani ‘Amru bin ‘Auf dan dari pamannya yang bernama ‘Abdullah bin Abi Ahmad[15], ia berkata : Telah berkata ‘Aliy bin Abi Thaalib : Aku menghapal dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Tidak ada yatim setelah ihtilaam (baligh), dan tidak ada sikap diam dalam sehari semalam” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 2873; lemah, akan tetapi ia mempunyai beberapa penguat di jalur lain. Dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Irwaaul-Ghaliil, 5/79-83 no. 1244]. Oleh karena itu, berdasarkan dhahir hadits sebelumnya, boleh hukumnya menikahkan wanita yatim dengan syarat bahwa wanita yatim itu menyetujuinya. Jika tidak, maka ia tidak boleh dipaksa untuk menikah. Adapun jika wanita itu belum baligh dan bukan berstatus yatim, menurut jumhur, ia boleh dinikahkan tanpa diperlukan ijinnya terlebih dahulu.
Bahkan Ibnu Qudaamah – dengan menukil perkataan Ibnul- Mundzir – telah menegaskan adanya ijma’ akan hal ini : ﻗﺎﻝ ﺍﺑﻦ ﺍﻟﻤﻨﺬﺭ : ﺃﺟﻤﻊ ﻛﻞ ﻣﻦ ﻧﺤﻔﻆ ﻋﻨﻪ ﻣﻦ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﺃﻥ ﻧﻜﺎﺡ ﺍﻷﺏ ﺍﺑﻨﺘﻪ ﺍﻟﺒﻜﺮ ﺍﻟﺼﻐﻴﺮﺓ ﺟﺎﺋﺰ ، ﺇﺫﺍ ﺯﻭﺟﻬﺎ ﻣﻦ ﻛﻒﺀ ، ﻭﻳﺠﻮﺯ ﻟﻪ ﺗﺰﻭﻳﺠﻬﺎ ﻣﻊ ﻛﺮﺍﻫﻴﺘﻬﺎ ﻭﺍﻣﺘﻨﺎﻋﻬﺎ “Telah berkata Ibnul-Mundzir : Para ulama yang kami hapal semuanya telah sepakat bahwa seorang ayah yang menikahkan anak perempuannya yang masih kecil diperbolehkan, jika ia menikahkan dengan orang yang sepadan. Dan diperbolehkan pula menikahkan anak perempuannya itu walaupun disertai ketidaksukaan ataupun penolakan” [Al-Mughniy, 9/398]. Ijma’ ini juga dikatakan oleh Ibnu Hazm dalam Al-Muhallaa (9/458), Ibnu ‘Abdil-Barr dalam At-Tamhiid (19/98), dan Ibnu Hajar dalam Fathul-Baariy (9/123). Mereka berdalil dengan perbuatan Abu Bakr yang menikahkan ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhumaa yang saat itu ia masih kecil tanpa meminta persetujuannya terlebih dahulu. Gadis secara umum (yang belum pernah menikah) yang telah mencapai usia baligh, maka para ulama berselisih tajam dalam hal ini.
Sebagian ulama ada yang membolehkan menikahkan tanpa melalui prosedur ijin atau persetujuan dari anaknya. Berjajar dalam barisan ini adalah Maalik, Asy- Syaafi’iy, dan Ahmad dalam satu riwayat. Sedangkan para ulama yang kontra dengan pendapat ini di antaranya Ahmad dalam satu riwayat, Ahnaaf (Hanafiyyah), dan Dhahiriyyah. Namun menurut pendapat yang raajih, wallaahu a’lam, ia pun tetap harus diminta persetujuannya jika hendak dinikahkan. ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﻋُﺜْﻤَﺎﻥُ ﺑْﻦُ ﺃَﺑِﻲ ﺷَﻴْﺒَﺔَ ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﺣُﺴَﻴْﻦُ ﺑْﻦُ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﺟَﺮِﻳﺮُ ﺑْﻦُ ﺣَﺎﺯِﻡٍ ﻋَﻦْ ﺃَﻳُّﻮﺏَ ﻋَﻦْ ﻋِﻜْﺮِﻣَﺔَ ﻋَﻦْ ﺍﺑْﻦِ ﻋَﺒَّﺎﺱٍ ﺃَﻥَّ ﺟَﺎﺭِﻳَﺔً ﺑِﻜْﺮًﺍ ﺃَﺗَﺖْ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲَّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻓَﺬَﻛَﺮَﺕْ ﺃَﻥَّ ﺃَﺑَﺎﻫَﺎ ﺯَﻭَّﺟَﻬَﺎ ﻭَﻫِﻲَ ﻛَﺎﺭِﻫَﺔٌ ﻓَﺨَﻴَّﺮَﻫَﺎ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ Telah menceritakan kepada kami ‘Utsmaan bin Abi Syaibah
[16] : Telah menceritakan kepada kami Husain bin Muhammad
[17] : Telah menceritakan kepada kami Jariir bin Haazim
[18], dari Ayyuub
[19], dari ‘Ikrimah[20], dari Ibnu ‘Abbaas : Bahwasanya ada seorang gadis mendatangi Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam dan menyebutkan ayahnya telah menikahkannya sementara ia tidak senang. Kemudian beliau memberikan pilihan (apakah ia ingin meneruskan pernikahannya atau tidak)” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 2096; shahih. Diriwayatkan juga oleh Ibnu Maajah no. 1875, Ahmad 1/273, An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa no. 5387, Abu Ya’laa no. 2526, Ath- Thahaawiy 4/365, dan Al- Baihaqiy 7/119.
Dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahih Sunan Abi Daawud, 1/586]. Inilah pendapat yang dipilih Al- Imaam Al-Bukhaariy dimana ia membuat satu bab khusus dalam kitab Shahih-nya dengan judul : ﺇﺫﺍ ﺯﻭّﺝ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﺍﺑﻨﺘﻪ ﻭﻫﻲ ﻛﺎﺭﻫﺔ، ﻓﻨﻜﺎﺣﻪ ﻣﺮﺩﻭﺩ. “Apabila seorang laki-laki menikahkan anak perempuannya sedangkan ia tidak suka, maka pernikahannya itu tertolak (batal)”. Adapun janda, para ulama sepakat bahwa ia tidak boleh dinikahkan kecuali dengan ijinnya/persetujuannya. ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺳﻌﻴﺪ ﺑﻦ ﻣﻨﺼﻮﺭ ﻭﻗﺘﻴﺒﺔ ﺑﻦ ﺳﻌﻴﺪ. ﻗﺎﻻ: ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻣﺎﻟﻚ. ﺡ ﻭﺣﺪﺛﻨﺎ ﻳﺤﻴﻰ ﺑﻦ ﻳﺤﻴﻰ )ﻭﺍﻟﻠﻔﻆ ﻟﻪ( ﻗﺎﻝ: ﻗﻠﺖ ﻟﻤﺎﻟﻚ ﺣﺪﺛﻚ ﻋﺒﺪﺍﻟﻠﻪ ﺑﻦ ﺍﻟﻔﻀﻞ ﻋﻦ ﻧﺎﻓﻊ ﺑﻦ ﺟﺒﻴﺮ، ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ ؛ ﺃﻥ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ : "ﺍﻷﻳﻢ ﺃﺣﻖ ﺑﻨﻔﺴﻬﺎ ﻣﻦ ﻭﻟﻴﻬﺎ. ﻭﺍﻟﺒﻜﺮ ﺗﺴﺘﺄﺫﻥ ﻓﻲ ﻧﻔﺴﻬﺎ. ﻭﺇﺫﻧﻬﺎ ﺻﻤﺎﺗﻬﺎ ؟" ﻗﺎﻝ: ﻧﻌﻢ.
Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Manshuur dan Qutaibah bin Sa’iid, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Maalik. Dan telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Yahyaa – dan lafadh ini miliknya - , ia berkata : Aku berkata kepada Maalik : Apakah ‘Abdullah bin Al-Fadhl pernah berkata kepadamu, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Abbaas : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan anak gadis harus dimintai ijin/persetujuan darinya. Sedangkan ijinnya adalah diamnya ?”. Ia (Maalik) menjawab : “Ya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1421]
. ﺣﺪﺛﻨﻲ ﻋﺒﻴﺪﺍﻟﻠﻪ ﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﺑﻦ
ﻣﻴﺴﺮﺓ ﺍﻟﻘﻮﺍﺭﻳﺮﻱ. ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺧﺎﻟﺪ ﺑﻦ ﺍﻟﺤﺎﺭﺙ. ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻫﺸﺎﻡ ﻋﻦ ﻳﺤﻴﻰ ﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﻛﺜﻴﺮ. ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺃﺑﻮ ﺳﻠﻤﺔ. ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺃﺑﻮ ﻫﺮﻳﺮﺓ ؛ ﺃﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ " :ﻻ ﺗﻨﻜﺢ ﺍﻷﻳﻢ ﺣﺘﻰ ﺗﺴﺘﺄﻣﺮ. ﻭﻻ ﺗﻨﻜﺢ ﺍﻟﺒﻜﺮ ﺣﺘﻰ ﺗﺴﺘﺄﺫﻥ" ﻗﺎﻟﻮﺍ: ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ! ﻭﻛﻴﻒ ﺇﺫﻧﻬﺎ ؟ ﻗﺎﻝ " ﺃﻥ ﺗﺴﻜﺖ." Telah menceritakan kepadaku ‘Ubaidullah bin ‘Umar bin Maisarah Al-Qawaariiriy : Telah menceritakan kepada kami Khaalid bin Al-Haarits : Telah menceritakan kepada kami Hisyaam, dari Yahyaa bin Abi Katsiir : Telah menceritakan kepada kami Abu Salamah : telah menceritakan kepada kami Abu Hurairah :Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “Seorang janda tidak boleh dinikahkan hingga dimintai persetujuannya. Dan seorang gadis tidak boleh dinikahkan hingga dimintai ijinnya”. Para shahabat bertanya : “Wahai Rasulullah, bagaimana itu ijinnya ?”. Beliau menjawab : “Diamnya” [Diriwayatkan Muslim no. 1419].
Al-Haafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata : ﺃﺻﻞ ﺍﻻﺳﺘﺌﻤﺎﺭ : ﻃﻠﺐُ ﺍﻷﻣﺮ؛ ﻓﺎﻟﻤﻌﻨﻰ : ﻻ ﻳﻌﺘﻘﺪ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﺣﺘﻰ ﻳﻄﻠﺐ ﺍﻷﻣﺮ ﻣﻨﻬﺎ. ﻭﻳﺆﺧﺬ ﻣﻦ ﻗﻮﻟﻪ : ﻻ ﺗﺴﺘﺄﻣﺮ؛ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﻌﺘﻘﺪ ﺇﻻ ﺑﻌﺪ ﺃﻥ ﺗﺄﻣﺮ ﺑﺬﻟﻚ. “Asal makna kata al-isti’maar adalah : mencari perintah. Maka artinya adalah : Ia tidak boleh dinikahkan hingga dimintakan perintah darinya. Oleh karena itu, diambil pengertian dari sabda beliau : ‘laa tusta’mara’ , yaitu bahwasannya akad pernikahan tidak boleh dilangsungkan hingga janda tersebut dimintai persetujuannya atas hal tersebut” [selesai]. Telah berkata Asy-Syaukaaniy rahimahullah : ﻭﺍﻷﺣﺎﺩﻳﺚ ﻓﻲ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺒﺎﺏ ﻛﺜﻴﺮﺓ، ﻭﻫﻲ ﺗﻔﻴﺪ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﺼﺢ ﻧﻜﺎﺡ ﻣﻦ ﻟﻢ ﺗﺮْﺽَ؛ ﺑﻜﺮﺍ ﻛﺎﻧﺖ ﺃﻭ ﺛﻴﺒﺎ. “Dan hadits-hadits dalam bab ini adalah banyak. Dan ia memberikan faedah bahwasannya tidak sah pernikahan bagi orang yang tidak menyukainya, baik gadis ataupun janda” [Sailul-Jaraar, 1/364]. Itu saja yang dapat disajikan di siang hari Jum’at ini…. Masih dalam suasana Ramadlaan 1431.
Semoga yang ditulis di sela-sela aktifitas kantor ini ada manfaatnya.
[abu al-jauzaa’ – senayan, akhir agustus 2010].
[1] Ya’quub bin Ibraahiim bin Sa’d bin Ibraahiim bin ‘Abdirrahmaan bin ‘Auf Az- Zuhriy Abu Yuusuf Al- Madaniy; seorang yang tsiqah lagi faadlil (w. 208 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih- nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1087 no. 7865 dan Mu’jamu Syuyuukh Al- Imam Ahmad, hal. 397 no. 284].
[2] Ibraahiim bin Sa’d bin Ibraahiim bin ‘Abdirrahmaan bin ‘Auf Al- Qurasyiy Az-Zuhriy Abu Ishaaq Al-Madaniy; seorang yang tsiqah lagi hujjah (108-182/183/184/185 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih- nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 108 no. 179].
[3] Muhammad bin Ishaaq bin Yasaar Al-Madaniy Abu Bakr/Abu ‘Abdillah Al- Qurasyiy Al-Mathlabiy; seorang yang shaduuq, namun melakukan tadlis (w. 150 H). Dipakai Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 825 no. 5762].
[4] ‘Umar bin Husain bin ‘Abdillah Al-Jumahiy Abu Qudaamah Al-Makkiy maula ‘Aaisyah binti Qudaamah bin Madh’uun Al-Jumahiy; seorang yang tsiqah. Dipakai Muslim dalam Shahih-nya [idem, 715 no. 4910].
[5] Naafi’ Abu ‘Abdillah Al- Madaniy maula Ibni ‘Umar; seorang yang tsiqah, tsabat, faqiih, lagi masyhuur (w. 117 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 996 no. 7136].
[6] Qutaibah bin Sa’iid bin Jamiil bin Thariif bin ‘Abdillah Ats-Tsaqafiy Abu Rajaa’ Al-Balkhiy Al- Baghlaaniy; seorang yang tsiqah lagi tsabat (w. 240 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih- nya [idem, hal. 799 no. 5557].
[7] ‘Abdul-‘Aziiz bin Muhammad bin ‘Ubaid Ad- Daraawardiy Abu Muhammad Al-Juhhaniy (w. 186/187 H). Dipakai Al- Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya. Ada beberapa komentar ulama tentangnya : Mush’ab bin ‘Abdillah bin Az-Zubair berkata : “Maalik bin Anas mentsiqahkan Ad-Daraawardiy”.
Ahmad berkata : “Ia seorang yang ma’ruuf sebagai seorang pencari hadits. Apabila ia meriwayatkan dari kitabnya, maka shahih. Namun bila ia meriwayatkan dari kitab- kitab milik orang lain, ada keraguan. Ia membaca kitab-kitab mereka, lalu keliru. Kadang ia membalikkan hadits ‘Abdullah bin ‘Umar, dimana ia meriwayatkannya (menjadi) dari ‘Ubaidullah bin ‘Umar”. Yahyaa bin Ma’iin berkata : “Ad- Daraawardiy lebih tsabt daripada Fulaih bin Sulaimaan, Ibnu Abiz- Zinaad, dan Abu Aus. Ad- Daraawardiy kemudian Ibnu Abi Haazim”. Di lain riwayat ia berkata : “Tidak mengapa dengannya”.Di lain riwayat ia berkata : “Tsiqah hujjah”. Abu Zur’ah berkata : “Jelek hapalan. Kadang meriwayatkan dari hapalannya, ada sesuatu padanya, lalu ia keliru”. Abu Haatim berkata : “Muhaddits”. An-Nasaa’iy berkata : “Tidak kuat”. Di lain riwayat ia berkata : “Tidak mengapa dengannya. Adapun haditsnya yang berasal dari ‘Ubaidullah bin ‘Umar adalah munkar”. Ibnu Sa’d berkata : “Tsiqah, banyak mempunyai hadits, melakukan beberapa kekeliruan” [Lihat : Tahdziibul-Kamaal, 18/187-195 no. 3470]. Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat, dan berkata : “Sering keliru (yukhthi’)”. Al-‘Ijliy berkata : “Tsiqah”. As-Saajiy berkata : “Ia termasuk orang-orang yang jujur dan amanah, akan tetapi ia mempunyai banyak keraguan” [lihat : Tahdziibut-Tahdziib, 6/353-355 no. 680]. Al-Bardza’iy pernah berkata : Aku pernah bertanya lepada Abu Zur’ah : “Fulaih bin Sulaimaan, ‘Abdurrahmaan bin Abiz-Zinaad, Abu Aus, Ad-Daraawardiy, dan Ibnu Abi Haazim, mana di antara mereka yang lebih engkau senangi ?”. Ia menjawab : “Ad- Daraawardiy dan Ibnu Abi Haazim lebih aku senangi daripada mereka semua” [Suaalaat Al- Bardza’iy lembar 424-425]. Ya’quub bin Sufyaan berkata : “’Abdul-‘Aziiz di sisi penduduk Madiinah adalah seorang imam yang tsiqah” [Al-Ma’rifatu wat-Taariikh, 1/349]. Ibnu Hajar berkata : “Shaduuq, namun ia meriwayatkan dari kitab- kitab orang lain lalu keliru” [Taqriibut-Tahdziib, hal. 615 no. 4147].
Basyar ‘Awwaad dan Al-Arna’uth berkata : “Tsiqah” [Tahriirut-Taqriib, 2/371 no. 4119]. Abu Ishaaq Al-Huwainiy berkata : “Tsiqah” [Natslun-Nabaal bi-Mu’jamir-Rijaal, hal. 801-802 no. 1852]. Al- Albaaniy berkata : “Tsiqah” [Al-Irwaa’, 1/295]. Kesimpulannya : Ia seorang yang tsiqah yang sedikit mendapat kritikan di jurusan hapalannya. Khusus riwayatnya dari ‘Ubaidullah bin ‘Umar mendapat pengingkaran sehingga dilemahkan sebagian ulama.
[8] Muhammad bin ‘Amru bin ‘Alqamah bin Waqqaash Al-Laitsiy Abu ‘Abdillah/Abul-Hasan Al- Madaniy; seorang yang jujur, namun mempunyai beberapa keraguan (w. 144/145 H). Dipakai Al- Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 884 no. 6228]. [
9] Abu Salamah bin ‘Abdirrahmaan bin ‘Auf Al- Qurasyiy Az-Zuhriy; seorang yang tsiqah banyak haditsnya (22- 94 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih- nya [idem, hal. 1155 no. 8203].
[10] Ahmad bin Shaalih Al- Mishriy Abu Ja’far bin Ath- Thabariy; seorang yang tsiqah lagi haafidh (170-248 H). Dipakai Al- Bukhaariy dalam Shahih- nya [idem, hal. 91 no. 48].
[11] Yahyaa bin Muhammad bin ‘Abdillah bin Mihraan Al-Jaariy Al-Hijaaziy Al- Madiniy. Para ulama berbeda pendapat tentangnya. Al-‘Ijliy berkata : “Tsiqah”. Al- Bukhariy berkata : “Orang- orang memperbincangkannya”. Ibnu Hibbaan menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat dan berkata : “Banyak meriwayatkan hadits gharib (yughrib)”. Yahyaa Az-Zammiy berkata : “Tsiqah”. Ibnu ‘Adiy : “Haditsnya tidak mengapa” [Tahdziibul- Kamaal, 31/522-524 no. 9613]. Namun Ibnu Hibbaan juga memasukkannya dalam Al- Majruuhiin, dan berkata : “Ia termasuk orang yang sering bersendirian dalam periwayatan tanpa ada mutaba’ah-nya karena sedikitnya riwayat yang ia miliki. Seakan-akan ia banyak mengalami keraguan. Maka dari sini, terdapat beberapa hal yang diingkari dalam riwayatnya sehingga wajib menyingkirkan jika ia bersendirian dalam riwayat-riwayatnya. Jika ingin berhujjah dengannya, maka ia dijadikan hujjah terhadap riwayat-riwayat yang menyepakati riwayat para perawi tsiqaat, dan aku berpendapat tidak mengapa dengannya”. Ibnu Hajar berkata : “Shaduuq, banyak kelirunya (yukhthi’)” [Taqriibut- Tahdziib, hal. 1066 no. 7688].
[12] ‘Abdullah bin Khaalid bin Sa’iid bin Abi Maryam Al-Qurasyiy At-Taimiy. Para ulama berbeda pendapat tentangnya. Ibnu Syaahiin menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat. Ahmad bn Shaalih Al-Mishriy berkata : “Tsiqah”. Al-Azdiy berkata : “Tidak ditulis haditsnya”. Ibnul- Qaththaan berkata : “Majhuul haal” [Tahdziibut-Tahdziib, 5/196 no. 336]. Kesimpulannya : “Shaduuq, hasanul- hadiits”. Pentsiqahan Ahmad bin Shaalih dan Ibnu Syaahiin membatalkan klaim Ibnul- Qaththaan bahwa ia seorang yang majhuul haal. Adapun kritik Al- Azdiy, maka tidaklah itu membuat derajat ‘Abdullah bin Khaalid menjadi lemah, mengingat ia seorang yang sering berlebih- lebihan dalam mengkritik perawi.
[13] Khaalid bin Sa’iid bin Abi Maryam Al-Qurasyiy At-Taimiy. Ibnu Hibbaan memasukkanya dalam Ats- Tsiqaat. Ibnu Madiiniy berkata : “Kami tidak mengetahui/ mengenalnya”. Al-‘Uqailiy membawakan satu hadits miliknya yang ia ingkari. Ibnul-Qaththaan memajhulkannya [Tahdziibut-Tahdziib, 3/95]. Ada tiga orang perawi tsiqah meriwayatkan darinya : ‘Abdullah bin Khaalid (shaduuq), ‘Athaaf bin Khaalid (tsiqah), dan Muhammad bin Ma’n Al- Ghiffaariy (tsiqah). Ibnu Hajar berkata : ‘Maqbuul” [Taqriibut- Tahdziib, hal. 287 no. 1650]. Adz-Dzahabiy berkata : “Tsiqah” [Al- Kaasyif, 1/365 no. 1326]. Kesimpulannya adalah sebagaimana Ibnu Hajar. Riwayatnya diterima apabila mutaba’ah-nya. [14] Sa’iid bin ‘Abdirrahmaan bin Yaziid bin Ruqaisy Al-Asadiy Al- Madaniy; seorang yang tsiqah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 383 no. 2368].
[15] ‘Abdullah bin Abi Ahmad bin Jahsy Al- Asadiy; disebutkan oleh jama’ah dalam jajaran tabi’iin yang tsiqah [idem, hal. 491 no. 3223].
[16] ‘Utsmaan bin Muhammad bin Ibraahiim bin ‘Utsmaan Al-‘Absiy Abul-Hasan bin Abi SyaibahAl-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi haafidh (156-239 H). Dipakai Al- Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Tahdziibut-Tahdziib, 7/151].
[17] Al-Husain bin Muhammad bin Bahraam At-Taimiy Abu Ahmad/Abu ‘Aliy Al-Muaddib Al- Marwadziy; seorang yang tsiqah (w. 213/214 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 250 no. 1354].
[18] Jariir bin Haazim bin Zaid bin ‘Abdillah Al-Azdiy Al-‘Atakiy Abun-Nadlr Al- Bashriy; seorang yang tsiqah [idem, hal. 196 no. 919 dan tahriir At-Taqriib 1/212 no. 911].
[19] Ayyuub bin Abi Tamiimah As-Sikhtiyaaniy Abu Bakr Al-Bashriy; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi hujjah (w. 131 H).Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih- nya [idem, hal. 158 no. 610].
[20] ‘Ikrimah Al-Qurasyiy Al- Haasyimiy maulaa Ibni ‘Abbaas; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi ‘aalim (w. 107 H). Dipakai Al- Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 687-688 no. 4707]
Tanya :
Apa hukumnya menikah dengan jin ?
Apakah ini diperbolehkan menurut Islam ?
Jawab : Para ulama telah berbeda pendapat mengenai hal ini. Sebagian ulama membolehkannya, namun sebagian yang lain mengharamkannya.
Masing- masing membawakan argumentasinya yang menurut mereka kuat. Akan tetapi, yang raajih dalam permasalahan ini – wallaahu a’lam – adalah pendapat yang mengharamkannya. Di antara dalil yang melandasinya adalah sebagai berikut :
1. Al-Qur’an Allah ta’ala telah berfirman : ﻭَﻣِﻦْ ﺁﻳَﺎﺗِﻪِ ﺃَﻥْ ﺧَﻠَﻖَ ﻟَﻜُﻢْ ﻣِﻦْ ﺃَﻧْﻔُﺴِﻜُﻢْ ﺃَﺯْﻭَﺍﺟًﺎ ﻟِﺘَﺴْﻜُﻨُﻮﺍ ﺇِﻟَﻴْﻬَﺎ ﻭَﺟَﻌَﻞَ ﺑَﻴْﻨَﻜُﻢْ ﻣَﻮَﺩَّﺓً ﻭَﺭَﺣْﻤَﺔً ﺇِﻥَّ ﻓِﻲ ﺫَﻟِﻚَ ﻵﻳَﺎﺕٍ ﻟِﻘَﻮْﻡٍ ﻳَﺘَﻔَﻜَّﺮُﻭﻥَ “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri- istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan- Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” [QS. Ar- Ruum : 21].
ﻓَﺎﻃِﺮُ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﻭَﺍﺕِ ﻭَﺍﻷﺭْﺽِ ﺟَﻌَﻞَ ﻟَﻜُﻢْ ﻣِﻦْ ﺃَﻧْﻔُﺴِﻜُﻢْ ﺃَﺯْﻭَﺍﺟًﺎ ﻭَﻣِﻦَ ﺍﻷﻧْﻌَﺎﻡِ ﺃَﺯْﻭَﺍﺟًﺎ ﻳَﺬْﺭَﺅُﻛُﻢْ ﻓِﻴﻪِ “(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu” [QS. Asy-Syuuraa : 11]. Makna dari kalimat “dari jenis kamu sendiri” adalah dari jenis manusia. Bukan dari jenis jin, apalagi hewan. Berkata Al-Haafidh Ibnu Katsiir rahimahullah saat menjelaskan QS. Ruum : 21 dalam Tafsir-nya (11/20) :
ﻭﻟﻮ ﺃﻧﻪ ﺟﻌﻞ ﺑﻨﻲ ﺁﺩﻡ ﻛﻠﻬﻢ ﺫﻛﻮﺭﺍ ﻭﺟﻌﻞ ﺇﻧﺎﺛﻬﻢ ﻣﻦ ﺟﻨﺲ ﺁﺧﺮ ﺇﻣﺎ ﻣﻦ ﺟﺎﻥ ﺃﻭ ﺣﻴﻮﺍﻥ ﻟﻤﺎ ﺣﺼﻞ ﻫﺬﺍ ﺍﻹﺋﺘﻼﻑ ﺑﻴﻨﻬﻢ ﻭﺑﻴﻦ ﺍﻷﺯﻭﺍﺝ ﺑﻞ ﻛﺎﻧﺖ ﺗﺤﺼﻞ ﻧﻔﺮﺓ ﻟﻮ ﻛﺎﻧﺖ ﺍﻷﺯﻭﺍﺝ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﺍﻟﺠﻨﺲ ﺛﻢ ﻣﻦ ﺗﻤﺎﻡ ﺭﺣﻤﺘﻪ ﺑﺒﻨﻲ ﺁﺩﻡ ﺃﻥ ﺟﻌﻞ ﺃﺯﻭﺍﺟﻬﻢ ﻣﻦ ﺟﻨﺴﻬﻢ “Seandainya saja seluruh Allah ta’ala menjadikan seluruh anak Adam laki-laki, dan menjadikan perempuannya dari jenis yang lain, baik dari jenis jin ataupun hewan, maka tidak akan dapat mewujudkan rasa kasih-sayang antara mereka dan pasangannya. Bahkan yang terjadi keengganan jika saja pasangannya itu bukan berasal dari jenisnya. Termasuk dari kesempurnan rahmat-Nya kepada anak Adam adalah menjadikan pasangannya berasal dari jenis mereka sendiri” [selesai]. Rasa kasih sayang antara suami istri sayang tidak akan terwujud jika dua pihak (yang menikah) berasal dari jenis yang berbeda. Al-Imam Asy- Syaukaaniy rahimahullah berkata :
ﺃﻱ: ﺗﺄﻟﻔﻮﻫﺎ ﻭﺗﻤﻴﻠﻮﺍ ﺇﻟﻴﻬﺎ، ﻓﺈﻥ ﺍﻟﺠﻨﺴﻴﻦ ﺍﻟﻤﺨﺘﻠﻔﻴﻦ ﻻ ﻳﺴﻜﻦ ﺃﺣﺪﻫﻤﺎ ﺇﻟﻰ ﺍﻵﺧﺮ ﻭﻻ ﻳﻤﻴﻞ ﻗﻠﺒﻪ ﺇﻟﻴﻪ “Yaitu, agar kalian berkasih-sayang dan cenderung kepadanya. Apabila pasangan itu berasal dari jenis yang berbeda, maka tidak akan ada kasih-sayang satu dengan yang lainnya dan tidak pula akan condong kepadanya” [Fathul-Qadiir, 4/219]. Allah ta’ala juga berfirman : ﺍﻧْﻜِﺤُﻮﺍ ﻣَﺎ ﻃَﺎﺏَ ﻟَﻜُﻢْ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻨِّﺴَﺎﺀِ..... “Maka kawinilah wanita- wanita (lain) yang kamu senangi....” [QS. An-Nisaa’ : 3]. ﺍﻟﺮِّﺟَﺎﻝُ ﻗَﻮَّﺍﻣُﻮﻥَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻨِّﺴَﺎﺀِ ﺑِﻤَﺎ ﻓَﻀَّﻞَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺑَﻌْﻀَﻬُﻢْ ﻋَﻠَﻰ ﺑَﻌْﺾٍ ”Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki- laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka” [QS. An- Nisaa’ : 34].
Sisi pendalilan dari dua ayat ini adalah bahwa Allah ta’ala memerintahkan seseorang untuk menikahi seorang wanita (an-nisaa’ - ﺍَﻟﻨِّﺴَﺎﺀُ). Lafadh an-nisaa’ dalam bahasa ’Arab hanya dipakai untuk menyebut wanita keturunan anak Adam (manusia). Penguasaan, pengendalian, dan kepemimpinan seorang laki-laki hanya terwujud apabila pasangannya (istri) berasal dari jenisnya (manusia). Ia tidak akan bisa melakukannya jika pasangannya berasal dari jin perempuan yang kadang nampak olehnya, kadang pula tidak nampak olehnya. Karena pada asalnya, jin adalah makhluk yang ghaib. 2. As-Sunnah Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam bersabda : ﺇﻥ ﺑﺎﻟﻤﺪﻳﻨﺔ ﺟﻨﺎ ﻗﺪ ﺃﺳﻠﻤﻮﺍ ﻓﺈﺫﺍ ﺭﺃﻳﺘﻢ ﻣﻨﻬﻢ ﺷﻴﺌﺎ ﻓﺂﺫﻧﻮﻩ ﺛﻼﺛﺔ ﺃﻳﺎﻡ ﻓﺈﻥ ﺑﺪﺍ ﻟﻜﻢ ﺑﻌﺪ ﺫﻟﻚ ﻓﺎﻗﺘﻠﻮﻩ ﻓﺈﻧﻤﺎ ﻫﻮ ﺷﻴﻄﺎﻥ ”Sesungguhnya di Madinah terdapat sekelompok jin yangtelah masuk Islam. Apabila kalian melihat mereka menampakkan diri pada kalian, maka berilah ia peringatan selama tiga hari. Jika mereka masih menampakkan diri kepada kalian setelah (tiga hari) itu, maka bunuhlah, karena ia adalah syaithan” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2236]. Sisi pendalilannya adalah bahwa jika menampakkan diri lebih dari 3 hari saja Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam memerintahkan untuk membunuhnya, lantas bagaimana mereka menjadi pasangan hidup yang mewajibkannya pendampingan sepanjang waktu ?
3. Akal sehat Akal sehat melarang kita untuk menikah dengan bangsa jin. Sebagaimana diketahui bahwa jin tidaklah dapat dinikahi kecuali jika ia menjelma menjadi sosok manusia juga. Jadi, wujud penjelmaan manusia itu bukanlah wujud aslinya, sebab wujud asli jin tidak dapat dilihat oleh manusia. Ini merupakan satu bentuk penipuan. Di lain sisi, bagaimana bisa seorang laki-laki – misalnya – bisa membedakan penjelmaan jin satu dengan yang lainnya, karena barangkali ada jin perempuan lain yang bisa menjelma dalam wujud manusia seperti penjelmaan jin perempuan istrinya; yang dengan itu dua jin perempuan itu bersekutu dalam hubungannya dengan si suami. Jelas ini merupakan perzinahan yang diharankan dalam Islam. Terlarangnya pernikahan antara manusia dengan jin merupakan madzhab jumhur ulama.
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata : ﻭﻛﺮﻩ ﺃﻛﺜﺮ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﻣﻨﺎﻛﺤﺔ ﺍﻟﺠﻦ ”Kebanyakan ulama membenci pernikahan dengan jin” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 19/39-40]. Al-Haafidh Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata : ﻭﻗﺪ ﺗﻜﻠﻢ ﻓﻲ ﻧﻜﺎﺡ ﺍﻟﺠﻦ ﻟﻺﻧﺲ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺃﺣﻤﺪ ﻭﻏﻴﺮﻩ، ﻭﺍﻟﻜﻼﻡ ﻓﻴﻪ ﻓﻲ ﺃﻣﺮﻳﻦ: ﻓﻲ ﻭﻗﻮﻋﻪ ﻭﺣﻜﻤﻪ. ﻓﺄﻣﺎ ﺣﻜﻤﻪ ﻓﻤﻨﻊ ﻣﻨﻪ ﺃﺣﻤﺪ، ﺫﻛﺮﻩ ﺍﻟﻘﺎﺿﻲ ﺃﺑﻮ ﻳﻌﻠﻰ ”Al-Imam Ahmad dan yang lainnya telah membicarakan/ membahas pernikahan manusia dengan jin. Pembicaraan itu ada dua perkara, yaitu (1) kemungkinan terjadinya, dan (2) hukumnya. Adapun hukum pernikahan tersebut, maka Ahmad telah melarangnya, sebagaimana disebutkan oleh Al-Qaadliy Abu Ya’laa” [Tahdziibus-Sunan, 10/14]. Dan Al-Haafidh As-Suyuthiy rahimahullah mempunyai perkataan menarik tentang hal ini : ﻭﻳﻘﻮﻳﻪ ﺃﻳﻀﺎ ﺃﻧﻪ ﻧﻬﻰ ﻋﻦ ﺇﻧﺰﺍﺀ ﺍﻟﺤﻤﺮ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺨﻴﻞ، ﻭﻋﻠﺔ ﺫﻟﻚ ﺍﺧﺘﻼﻑ ﺍﻟﺠﻨﺲ، ﻭﻛﻮﻥ ﺍﻟﻤﺘﻮﻟﺪ ﻣﻨﻬﺎ ﻳﺨﺮﺝ ﻋﻦ ﺟﻨﺲ ﺍﻟﺨﻴﻞ، ﻓﻴﻠﺰﻡ ﻣﻨﻪ ﻗﻠﺘﻬﺎ... ﻭﺇﺫﺍ ﺗﻘﺮﺭ ﺍﻟﻤﻨﻊ ﻓﺎﻟﻤﻨﻊ ﻣﻦ ﻧﻜﺎﺡ ﺍﻟﺠﻨﻲ ﺍﻹﻧﺴﻴﺔ ﺃﻭﻟﻰ ﻭﺃﺣﺮﻯ ”(Larangan pernikahan antara manusia dengan jin) dikuatkan juga bahwasannya beliau shallallaahu ’alaihi wa sallam melarang mengawinkan keledai dengan kuda.[1] Alasannya adalah perbedaan jenis. Juga karena akan yang dilahirkan nanti bukan dari jenis kuda, sehingga berkonsekuensi menurunkan populasi kuda..... Jika larangan ini berlaku, maka larangan menikahnya jin dengan manusia lebih kuat dan lebih pantas” [Al-Asybah wan- Nadhaair, hal. 257]. Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah berkata : ﻭﻟﻜﻦ ﺃﻳﻦ ﺍﻟﺪﻟﻴﻞ ﺍﻟﺸﺮﻋﻲ ﻭﺍﻟﻌﻘﻠﻲ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺘﻮﺍﻟﺪ ﺃﻭﻻ، ﻭﻋﻠﻰ ﺍﻟﺘﺰﺍﻭﺝ ﺍﻟﺸﺮﻋﻲ ﺛﺎﻧﻴﺎً؟ ﻫﻴﻬﺎﺕ ﻫﻴﻬﺎﺕ ”Akan tetapi, mana dalil syar’iy dan ’aqliy yang melandasi akan dihasilkannya keturunan (dari pernikahan antara manusia dengan jin), dan (dalil disebutkannya pernikahan tersebut adalah) pernikahan yang syar’iy? Sungguh sangat jauh...” [Silsilah Adl-Dla’iifah, 12/608].
Terakhir, mari kita simak apa yang diceritakan oleh Al-Imam Adz-Dzahabiy rahimahullah : ﻭﻧﻘﻞ ﺭﻓﻴﻘﻨﺎ ﺃﺑﻮ ﺍﻟﻔﺘﺢ ﺍﻟﻴﻌﻤﺮﻱ ﻭﻛﺎﻥ ﻣﺘﺜﺒﺜﺎً ﻗﺎﻝ ﺳﻤﻌﺖ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺗﻘﻲ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺍﺑﻦ ﺩﻗﻴﻖ ﺍﻟﻌﻴﺪ ﻳﻘﻮﻝ: ﺳﻤﻌﺖ ﺷﻴﺨﻨﺎ ﺃﺑﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺴﻼﻡ ﺍﻟﺴﻠﻤﻲ ﻳﻘﻮﻝ: ﻭﺟﺮﻯ ﺫﻛﺮ ﺃﺑﻲ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻦ ﺍﻟﻌﺮﺑﻲ ﺍﻟﻄﺎﺋﻲ ﻓﻘﺎﻝ: ﻫﻮ ﺷﻴﻌﻲ ﺳﻮﺀ ﻛﺬﺍﺏ، ﻓﻘﻠﺖ ﻟﻪ: ﻭﻛﺬﺍﺏ ﺃﻳﻀﺎ؟ ﻗﺎﻝ: ﻧﻌﻢ ﺗﺬﺍﻛﺮﻧﺎ ﺑﺪﻣﺸﻖ ﺍﻟﺘﺰﻭﻳﺞ ﺑﺎﻟﺠﻦ ﻓﻘﺎﻝ: ﻫﺬﺍ ﻣﺤﺎﻝ ﻷﻥ ﺍﻹﻧﺲ ﺟﺴﻢ ﻛﺜﻴﻒ ﻭﺍﻟﺠﻦ ﺭﻭﺡ ﻟﻄﻴﻒ، ﻭﻟﻦ ﻳﻌﻠﻖ ﺍﻟﺠﺴﻢ ﺍﻟﻜﺜﻴﻒ ﺍﻟﺮﻭﺡ ﺍﻟﻠﻄﻴﻒ، ﺛﻢ ﺑﻌﺪ ﻗﻠﻴﻞ ﺭﺃﻳﺘﻪ ﻭﺑﻪ ﺷﺠﺔ ﻓﻘﺎﻝ: ﺗﺰﻭﺟﺖ ﺟﻨﻴﺔ ﻓﺮﺯﻗﺖ ﻣﻨﻬﺎ ﺛﻼﺛﺔ ﺃﻭﻻﺩ ﻓﺎﺗﻔﻖ ﻳﻮﻣﺎ ﺃﻥ ﺃﻏﻀﺒﺘﻬﺎ ﻓﻀﺮﺑﺘﻨﻲ ﺑﻌﻈﻢ ﺣﺼﻠﺖ ﻣﻨﻪ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺸﺠﺔ ﻭﺍﻧﺼﺮﻓﺖ ﻓﻠﻢ ﺃﺭﻫﺎ ﺑﻌﺪ ﻫﺬﺍ، ﺃﻭ ﻣﻌﻨﺎﻩ. ”Teman kami Abul-Fath Al- Ya’muriy – ia seorang yang kuat hapalannya – menukil, ia berkata : Aku mendengar Al- Imam Taqiyyuddin bin Daqiiqil-’Ied berkata : Aku mendengar syaikh kami Abu Muhammad bin ’Abdis-Salaam As-Sulamiy berkata bahwa ia pernah terlibat pembicaraan tentang diri Abu ’Abdillah bin Al-’Arabiy Ath-Thaa’iy, lalu berkata : ’Ia seorang Syi’iy (penganut Syi’ah) yang jelek lagi pendusta’. Aku (Inu Daqiiqil-’Ied) berkata kepadanya : ’Pendusta jugakah ia ?’. Ia menjawab : ’Benar. Kami pernah berdiskusi di Damaskus sekitar permasalahan pernikahan dengan jin. Lalu ia berkata : ’Ini sesuatu yang mustahil, karena manusia adalah jasmani yang padat, sedangkan jin adalah ruh yang halus.
Jasmani yang padat dengan ruh yang halus tidak dapat berhubungan’. Setelah itu, tiba-tiba aku melihatnya terluka. Ia berkata : ’Aku pernah menikah dengan jin perempuan hingga dikaruniai tiga orang anak. Hingga satu hari aku membuatnya marah, sehingga ia memukulku dengan tulang sampai membekas luka ini. Lalu jin perempuan itu kabur dan aku tidak pernah melihatnya lagi setelah itu’. Atau ucapan yang semakna dengan ini” [Miizaanul-I’tidaal, 3/659]. Dari cerita tersebut dapat kita simak, seandainya pernikahan itu terjadi, maka jin lah yang lebih mengendalikan manusia, hingga ketika ia berbuat aniaya, suaminya tidak bisa berbuat apa-apa. Terakhir, Asy-Syaikh Ibnu Jibriin rahimahullah memberikan nasihat : ﺇﻥ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﺠﻦ ﻳﺘﺼﻮﺭ ﻟﻺﻧﺴﻲ ﻓﻲ ﺻﻮﺭﺓ ﺍﻣﺮﺃﺓ ﺛﻢ ﻳﺠﺎﻣﻌﻬﺎ ﺍﻹﻧﺴﻲ، ﻭﻛﺬﺍ ﻳﺘﺼﻮﺭ ﺍﻟﺠﻨﻲ ﺑﺼﻮﺭﺓ ﺭﺟﻞ ﻭﻳﺠﺎﻣﻊ ﺍﻟﻤﺮﺃﺓ ﻣﻦ ﺍﻹﻧﺲ ﺗﺠﺎﻣﻊ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﻟﻠﻤﺮﺃﺓ ﻭﻋﻼﺝ ﺫﻟﻚ ﺍﻟﺘﺤﻔﻆ ﻣﻨﻬﻢ ﺫﻛﻮﺭﺍً ﻭﺇﻧﺎﺛﺎً ﺑﺎﻷﺩﻋﻴﺔ ﻭﺍﻷﻭﺭﺍﺩ ﺍﻟﻤﺄﺛﻮﺭﺓ ﻭﻗﺮﺍﺀﺓ ﺍﻵﻳﺎﺕ ﺍﻟﺘﻲ ﺗﺸﺘﻤﻞ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺤﻔﻆ ﻭﺍﻟﺤﺮﺍﺳﺔ ﻣﻨﻬﻢ ﺑﺈﺫﻥ ﺍﻟﻠﻪ ”Sebagian jin (perempuan) menjelma di hdapan manusia menjadi seorang wanita, kemudian jin itu digauli oleh manusia. Demikian juga, ada jin yang menjelma menjadi seorang laki-laki yang kemudian menggauli wanita, seperti halnya seorang laki-laki menggauli istrinya. Obat dari hal itu adalah menjaga diri dari mereka – baik laki-laki maupun perempuan – dengan doa-doa dan wirid-wirid yang ma’tsur, serta membaca ayat-ayat (Al- Qur’an) yang mengandung penjagaan dan perlindungan dari mereka, dengan ijin Allah” [Al-Fataawaa Adz- Dzahabiyyah, hal. 196].
Demikianlah jawaban kami, semoga ada manfaatnya. Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abu al-jauzaa’ – banyak mengambil dari buku Al- Burhaan ’alaa Tahriimit- Tanaakuhi bainal-Insi wal-Jaan oleh Fadliilatusy-Syaikh Muhammad bin ’Abdillah Al- Imam – bisa di-download dari mauqi’ beliau – 1431 H].
[1] Berdasarkan hadits : ﻋَﻦْ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺑْﻦِ ﻋَﺒَّﺎﺱٍ ﻗَﺎﻝَ ﻭَﺍﻟﻠَّﻪِ ﻣَﺎ ﺧَﺼَّﻨَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺑِﺸَﻲْﺀٍ ﺩُﻭﻥَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﺇِﻟَّﺎ ﺑِﺜَﻠَﺎﺛَﺔِ ﺃَﺷْﻴَﺎﺀَ ﻓَﺈِﻧَّﻪُ ﺃَﻣَﺮَﻧَﺎ ﺃَﻥْ ﻧُﺴْﺒِﻎَ ﺍﻟْﻮُﺿُﻮﺀَ ﻭَﻟَﺎ ﻧَﺄْﻛُﻞَ ﺍﻟﺼَّﺪَﻗَﺔَ ﻭَﻟَﺎ ﻧُﻨْﺰِﻱَ ﺍﻟْﺤُﻤُﺮَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﺨَﻴْﻞِ Dari ‘Abdullah bin ‘Abbaas, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam tidak mengkhususkan sesuatupun bagi kita (ahlul- bait) kecuali dalam tiga hal, yaitu : Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk menyempurnakan wudlu, tidak makan shadaqah, dan tidak mengawinkan keledai dengan kuda"[Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 141; shahih].
Apa hukumnya menikah dengan jin ?
Apakah ini diperbolehkan menurut Islam ?
Jawab : Para ulama telah berbeda pendapat mengenai hal ini. Sebagian ulama membolehkannya, namun sebagian yang lain mengharamkannya.
Masing- masing membawakan argumentasinya yang menurut mereka kuat. Akan tetapi, yang raajih dalam permasalahan ini – wallaahu a’lam – adalah pendapat yang mengharamkannya. Di antara dalil yang melandasinya adalah sebagai berikut :
1. Al-Qur’an Allah ta’ala telah berfirman : ﻭَﻣِﻦْ ﺁﻳَﺎﺗِﻪِ ﺃَﻥْ ﺧَﻠَﻖَ ﻟَﻜُﻢْ ﻣِﻦْ ﺃَﻧْﻔُﺴِﻜُﻢْ ﺃَﺯْﻭَﺍﺟًﺎ ﻟِﺘَﺴْﻜُﻨُﻮﺍ ﺇِﻟَﻴْﻬَﺎ ﻭَﺟَﻌَﻞَ ﺑَﻴْﻨَﻜُﻢْ ﻣَﻮَﺩَّﺓً ﻭَﺭَﺣْﻤَﺔً ﺇِﻥَّ ﻓِﻲ ﺫَﻟِﻚَ ﻵﻳَﺎﺕٍ ﻟِﻘَﻮْﻡٍ ﻳَﺘَﻔَﻜَّﺮُﻭﻥَ “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri- istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan- Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” [QS. Ar- Ruum : 21].
ﻓَﺎﻃِﺮُ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﻭَﺍﺕِ ﻭَﺍﻷﺭْﺽِ ﺟَﻌَﻞَ ﻟَﻜُﻢْ ﻣِﻦْ ﺃَﻧْﻔُﺴِﻜُﻢْ ﺃَﺯْﻭَﺍﺟًﺎ ﻭَﻣِﻦَ ﺍﻷﻧْﻌَﺎﻡِ ﺃَﺯْﻭَﺍﺟًﺎ ﻳَﺬْﺭَﺅُﻛُﻢْ ﻓِﻴﻪِ “(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu” [QS. Asy-Syuuraa : 11]. Makna dari kalimat “dari jenis kamu sendiri” adalah dari jenis manusia. Bukan dari jenis jin, apalagi hewan. Berkata Al-Haafidh Ibnu Katsiir rahimahullah saat menjelaskan QS. Ruum : 21 dalam Tafsir-nya (11/20) :
ﻭﻟﻮ ﺃﻧﻪ ﺟﻌﻞ ﺑﻨﻲ ﺁﺩﻡ ﻛﻠﻬﻢ ﺫﻛﻮﺭﺍ ﻭﺟﻌﻞ ﺇﻧﺎﺛﻬﻢ ﻣﻦ ﺟﻨﺲ ﺁﺧﺮ ﺇﻣﺎ ﻣﻦ ﺟﺎﻥ ﺃﻭ ﺣﻴﻮﺍﻥ ﻟﻤﺎ ﺣﺼﻞ ﻫﺬﺍ ﺍﻹﺋﺘﻼﻑ ﺑﻴﻨﻬﻢ ﻭﺑﻴﻦ ﺍﻷﺯﻭﺍﺝ ﺑﻞ ﻛﺎﻧﺖ ﺗﺤﺼﻞ ﻧﻔﺮﺓ ﻟﻮ ﻛﺎﻧﺖ ﺍﻷﺯﻭﺍﺝ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﺍﻟﺠﻨﺲ ﺛﻢ ﻣﻦ ﺗﻤﺎﻡ ﺭﺣﻤﺘﻪ ﺑﺒﻨﻲ ﺁﺩﻡ ﺃﻥ ﺟﻌﻞ ﺃﺯﻭﺍﺟﻬﻢ ﻣﻦ ﺟﻨﺴﻬﻢ “Seandainya saja seluruh Allah ta’ala menjadikan seluruh anak Adam laki-laki, dan menjadikan perempuannya dari jenis yang lain, baik dari jenis jin ataupun hewan, maka tidak akan dapat mewujudkan rasa kasih-sayang antara mereka dan pasangannya. Bahkan yang terjadi keengganan jika saja pasangannya itu bukan berasal dari jenisnya. Termasuk dari kesempurnan rahmat-Nya kepada anak Adam adalah menjadikan pasangannya berasal dari jenis mereka sendiri” [selesai]. Rasa kasih sayang antara suami istri sayang tidak akan terwujud jika dua pihak (yang menikah) berasal dari jenis yang berbeda. Al-Imam Asy- Syaukaaniy rahimahullah berkata :
ﺃﻱ: ﺗﺄﻟﻔﻮﻫﺎ ﻭﺗﻤﻴﻠﻮﺍ ﺇﻟﻴﻬﺎ، ﻓﺈﻥ ﺍﻟﺠﻨﺴﻴﻦ ﺍﻟﻤﺨﺘﻠﻔﻴﻦ ﻻ ﻳﺴﻜﻦ ﺃﺣﺪﻫﻤﺎ ﺇﻟﻰ ﺍﻵﺧﺮ ﻭﻻ ﻳﻤﻴﻞ ﻗﻠﺒﻪ ﺇﻟﻴﻪ “Yaitu, agar kalian berkasih-sayang dan cenderung kepadanya. Apabila pasangan itu berasal dari jenis yang berbeda, maka tidak akan ada kasih-sayang satu dengan yang lainnya dan tidak pula akan condong kepadanya” [Fathul-Qadiir, 4/219]. Allah ta’ala juga berfirman : ﺍﻧْﻜِﺤُﻮﺍ ﻣَﺎ ﻃَﺎﺏَ ﻟَﻜُﻢْ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻨِّﺴَﺎﺀِ..... “Maka kawinilah wanita- wanita (lain) yang kamu senangi....” [QS. An-Nisaa’ : 3]. ﺍﻟﺮِّﺟَﺎﻝُ ﻗَﻮَّﺍﻣُﻮﻥَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻨِّﺴَﺎﺀِ ﺑِﻤَﺎ ﻓَﻀَّﻞَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺑَﻌْﻀَﻬُﻢْ ﻋَﻠَﻰ ﺑَﻌْﺾٍ ”Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki- laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka” [QS. An- Nisaa’ : 34].
Sisi pendalilan dari dua ayat ini adalah bahwa Allah ta’ala memerintahkan seseorang untuk menikahi seorang wanita (an-nisaa’ - ﺍَﻟﻨِّﺴَﺎﺀُ). Lafadh an-nisaa’ dalam bahasa ’Arab hanya dipakai untuk menyebut wanita keturunan anak Adam (manusia). Penguasaan, pengendalian, dan kepemimpinan seorang laki-laki hanya terwujud apabila pasangannya (istri) berasal dari jenisnya (manusia). Ia tidak akan bisa melakukannya jika pasangannya berasal dari jin perempuan yang kadang nampak olehnya, kadang pula tidak nampak olehnya. Karena pada asalnya, jin adalah makhluk yang ghaib. 2. As-Sunnah Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam bersabda : ﺇﻥ ﺑﺎﻟﻤﺪﻳﻨﺔ ﺟﻨﺎ ﻗﺪ ﺃﺳﻠﻤﻮﺍ ﻓﺈﺫﺍ ﺭﺃﻳﺘﻢ ﻣﻨﻬﻢ ﺷﻴﺌﺎ ﻓﺂﺫﻧﻮﻩ ﺛﻼﺛﺔ ﺃﻳﺎﻡ ﻓﺈﻥ ﺑﺪﺍ ﻟﻜﻢ ﺑﻌﺪ ﺫﻟﻚ ﻓﺎﻗﺘﻠﻮﻩ ﻓﺈﻧﻤﺎ ﻫﻮ ﺷﻴﻄﺎﻥ ”Sesungguhnya di Madinah terdapat sekelompok jin yangtelah masuk Islam. Apabila kalian melihat mereka menampakkan diri pada kalian, maka berilah ia peringatan selama tiga hari. Jika mereka masih menampakkan diri kepada kalian setelah (tiga hari) itu, maka bunuhlah, karena ia adalah syaithan” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2236]. Sisi pendalilannya adalah bahwa jika menampakkan diri lebih dari 3 hari saja Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam memerintahkan untuk membunuhnya, lantas bagaimana mereka menjadi pasangan hidup yang mewajibkannya pendampingan sepanjang waktu ?
3. Akal sehat Akal sehat melarang kita untuk menikah dengan bangsa jin. Sebagaimana diketahui bahwa jin tidaklah dapat dinikahi kecuali jika ia menjelma menjadi sosok manusia juga. Jadi, wujud penjelmaan manusia itu bukanlah wujud aslinya, sebab wujud asli jin tidak dapat dilihat oleh manusia. Ini merupakan satu bentuk penipuan. Di lain sisi, bagaimana bisa seorang laki-laki – misalnya – bisa membedakan penjelmaan jin satu dengan yang lainnya, karena barangkali ada jin perempuan lain yang bisa menjelma dalam wujud manusia seperti penjelmaan jin perempuan istrinya; yang dengan itu dua jin perempuan itu bersekutu dalam hubungannya dengan si suami. Jelas ini merupakan perzinahan yang diharankan dalam Islam. Terlarangnya pernikahan antara manusia dengan jin merupakan madzhab jumhur ulama.
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata : ﻭﻛﺮﻩ ﺃﻛﺜﺮ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﻣﻨﺎﻛﺤﺔ ﺍﻟﺠﻦ ”Kebanyakan ulama membenci pernikahan dengan jin” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 19/39-40]. Al-Haafidh Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata : ﻭﻗﺪ ﺗﻜﻠﻢ ﻓﻲ ﻧﻜﺎﺡ ﺍﻟﺠﻦ ﻟﻺﻧﺲ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺃﺣﻤﺪ ﻭﻏﻴﺮﻩ، ﻭﺍﻟﻜﻼﻡ ﻓﻴﻪ ﻓﻲ ﺃﻣﺮﻳﻦ: ﻓﻲ ﻭﻗﻮﻋﻪ ﻭﺣﻜﻤﻪ. ﻓﺄﻣﺎ ﺣﻜﻤﻪ ﻓﻤﻨﻊ ﻣﻨﻪ ﺃﺣﻤﺪ، ﺫﻛﺮﻩ ﺍﻟﻘﺎﺿﻲ ﺃﺑﻮ ﻳﻌﻠﻰ ”Al-Imam Ahmad dan yang lainnya telah membicarakan/ membahas pernikahan manusia dengan jin. Pembicaraan itu ada dua perkara, yaitu (1) kemungkinan terjadinya, dan (2) hukumnya. Adapun hukum pernikahan tersebut, maka Ahmad telah melarangnya, sebagaimana disebutkan oleh Al-Qaadliy Abu Ya’laa” [Tahdziibus-Sunan, 10/14]. Dan Al-Haafidh As-Suyuthiy rahimahullah mempunyai perkataan menarik tentang hal ini : ﻭﻳﻘﻮﻳﻪ ﺃﻳﻀﺎ ﺃﻧﻪ ﻧﻬﻰ ﻋﻦ ﺇﻧﺰﺍﺀ ﺍﻟﺤﻤﺮ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺨﻴﻞ، ﻭﻋﻠﺔ ﺫﻟﻚ ﺍﺧﺘﻼﻑ ﺍﻟﺠﻨﺲ، ﻭﻛﻮﻥ ﺍﻟﻤﺘﻮﻟﺪ ﻣﻨﻬﺎ ﻳﺨﺮﺝ ﻋﻦ ﺟﻨﺲ ﺍﻟﺨﻴﻞ، ﻓﻴﻠﺰﻡ ﻣﻨﻪ ﻗﻠﺘﻬﺎ... ﻭﺇﺫﺍ ﺗﻘﺮﺭ ﺍﻟﻤﻨﻊ ﻓﺎﻟﻤﻨﻊ ﻣﻦ ﻧﻜﺎﺡ ﺍﻟﺠﻨﻲ ﺍﻹﻧﺴﻴﺔ ﺃﻭﻟﻰ ﻭﺃﺣﺮﻯ ”(Larangan pernikahan antara manusia dengan jin) dikuatkan juga bahwasannya beliau shallallaahu ’alaihi wa sallam melarang mengawinkan keledai dengan kuda.[1] Alasannya adalah perbedaan jenis. Juga karena akan yang dilahirkan nanti bukan dari jenis kuda, sehingga berkonsekuensi menurunkan populasi kuda..... Jika larangan ini berlaku, maka larangan menikahnya jin dengan manusia lebih kuat dan lebih pantas” [Al-Asybah wan- Nadhaair, hal. 257]. Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah berkata : ﻭﻟﻜﻦ ﺃﻳﻦ ﺍﻟﺪﻟﻴﻞ ﺍﻟﺸﺮﻋﻲ ﻭﺍﻟﻌﻘﻠﻲ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺘﻮﺍﻟﺪ ﺃﻭﻻ، ﻭﻋﻠﻰ ﺍﻟﺘﺰﺍﻭﺝ ﺍﻟﺸﺮﻋﻲ ﺛﺎﻧﻴﺎً؟ ﻫﻴﻬﺎﺕ ﻫﻴﻬﺎﺕ ”Akan tetapi, mana dalil syar’iy dan ’aqliy yang melandasi akan dihasilkannya keturunan (dari pernikahan antara manusia dengan jin), dan (dalil disebutkannya pernikahan tersebut adalah) pernikahan yang syar’iy? Sungguh sangat jauh...” [Silsilah Adl-Dla’iifah, 12/608].
Terakhir, mari kita simak apa yang diceritakan oleh Al-Imam Adz-Dzahabiy rahimahullah : ﻭﻧﻘﻞ ﺭﻓﻴﻘﻨﺎ ﺃﺑﻮ ﺍﻟﻔﺘﺢ ﺍﻟﻴﻌﻤﺮﻱ ﻭﻛﺎﻥ ﻣﺘﺜﺒﺜﺎً ﻗﺎﻝ ﺳﻤﻌﺖ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺗﻘﻲ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺍﺑﻦ ﺩﻗﻴﻖ ﺍﻟﻌﻴﺪ ﻳﻘﻮﻝ: ﺳﻤﻌﺖ ﺷﻴﺨﻨﺎ ﺃﺑﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺴﻼﻡ ﺍﻟﺴﻠﻤﻲ ﻳﻘﻮﻝ: ﻭﺟﺮﻯ ﺫﻛﺮ ﺃﺑﻲ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻦ ﺍﻟﻌﺮﺑﻲ ﺍﻟﻄﺎﺋﻲ ﻓﻘﺎﻝ: ﻫﻮ ﺷﻴﻌﻲ ﺳﻮﺀ ﻛﺬﺍﺏ، ﻓﻘﻠﺖ ﻟﻪ: ﻭﻛﺬﺍﺏ ﺃﻳﻀﺎ؟ ﻗﺎﻝ: ﻧﻌﻢ ﺗﺬﺍﻛﺮﻧﺎ ﺑﺪﻣﺸﻖ ﺍﻟﺘﺰﻭﻳﺞ ﺑﺎﻟﺠﻦ ﻓﻘﺎﻝ: ﻫﺬﺍ ﻣﺤﺎﻝ ﻷﻥ ﺍﻹﻧﺲ ﺟﺴﻢ ﻛﺜﻴﻒ ﻭﺍﻟﺠﻦ ﺭﻭﺡ ﻟﻄﻴﻒ، ﻭﻟﻦ ﻳﻌﻠﻖ ﺍﻟﺠﺴﻢ ﺍﻟﻜﺜﻴﻒ ﺍﻟﺮﻭﺡ ﺍﻟﻠﻄﻴﻒ، ﺛﻢ ﺑﻌﺪ ﻗﻠﻴﻞ ﺭﺃﻳﺘﻪ ﻭﺑﻪ ﺷﺠﺔ ﻓﻘﺎﻝ: ﺗﺰﻭﺟﺖ ﺟﻨﻴﺔ ﻓﺮﺯﻗﺖ ﻣﻨﻬﺎ ﺛﻼﺛﺔ ﺃﻭﻻﺩ ﻓﺎﺗﻔﻖ ﻳﻮﻣﺎ ﺃﻥ ﺃﻏﻀﺒﺘﻬﺎ ﻓﻀﺮﺑﺘﻨﻲ ﺑﻌﻈﻢ ﺣﺼﻠﺖ ﻣﻨﻪ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺸﺠﺔ ﻭﺍﻧﺼﺮﻓﺖ ﻓﻠﻢ ﺃﺭﻫﺎ ﺑﻌﺪ ﻫﺬﺍ، ﺃﻭ ﻣﻌﻨﺎﻩ. ”Teman kami Abul-Fath Al- Ya’muriy – ia seorang yang kuat hapalannya – menukil, ia berkata : Aku mendengar Al- Imam Taqiyyuddin bin Daqiiqil-’Ied berkata : Aku mendengar syaikh kami Abu Muhammad bin ’Abdis-Salaam As-Sulamiy berkata bahwa ia pernah terlibat pembicaraan tentang diri Abu ’Abdillah bin Al-’Arabiy Ath-Thaa’iy, lalu berkata : ’Ia seorang Syi’iy (penganut Syi’ah) yang jelek lagi pendusta’. Aku (Inu Daqiiqil-’Ied) berkata kepadanya : ’Pendusta jugakah ia ?’. Ia menjawab : ’Benar. Kami pernah berdiskusi di Damaskus sekitar permasalahan pernikahan dengan jin. Lalu ia berkata : ’Ini sesuatu yang mustahil, karena manusia adalah jasmani yang padat, sedangkan jin adalah ruh yang halus.
Jasmani yang padat dengan ruh yang halus tidak dapat berhubungan’. Setelah itu, tiba-tiba aku melihatnya terluka. Ia berkata : ’Aku pernah menikah dengan jin perempuan hingga dikaruniai tiga orang anak. Hingga satu hari aku membuatnya marah, sehingga ia memukulku dengan tulang sampai membekas luka ini. Lalu jin perempuan itu kabur dan aku tidak pernah melihatnya lagi setelah itu’. Atau ucapan yang semakna dengan ini” [Miizaanul-I’tidaal, 3/659]. Dari cerita tersebut dapat kita simak, seandainya pernikahan itu terjadi, maka jin lah yang lebih mengendalikan manusia, hingga ketika ia berbuat aniaya, suaminya tidak bisa berbuat apa-apa. Terakhir, Asy-Syaikh Ibnu Jibriin rahimahullah memberikan nasihat : ﺇﻥ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﺠﻦ ﻳﺘﺼﻮﺭ ﻟﻺﻧﺴﻲ ﻓﻲ ﺻﻮﺭﺓ ﺍﻣﺮﺃﺓ ﺛﻢ ﻳﺠﺎﻣﻌﻬﺎ ﺍﻹﻧﺴﻲ، ﻭﻛﺬﺍ ﻳﺘﺼﻮﺭ ﺍﻟﺠﻨﻲ ﺑﺼﻮﺭﺓ ﺭﺟﻞ ﻭﻳﺠﺎﻣﻊ ﺍﻟﻤﺮﺃﺓ ﻣﻦ ﺍﻹﻧﺲ ﺗﺠﺎﻣﻊ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﻟﻠﻤﺮﺃﺓ ﻭﻋﻼﺝ ﺫﻟﻚ ﺍﻟﺘﺤﻔﻆ ﻣﻨﻬﻢ ﺫﻛﻮﺭﺍً ﻭﺇﻧﺎﺛﺎً ﺑﺎﻷﺩﻋﻴﺔ ﻭﺍﻷﻭﺭﺍﺩ ﺍﻟﻤﺄﺛﻮﺭﺓ ﻭﻗﺮﺍﺀﺓ ﺍﻵﻳﺎﺕ ﺍﻟﺘﻲ ﺗﺸﺘﻤﻞ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺤﻔﻆ ﻭﺍﻟﺤﺮﺍﺳﺔ ﻣﻨﻬﻢ ﺑﺈﺫﻥ ﺍﻟﻠﻪ ”Sebagian jin (perempuan) menjelma di hdapan manusia menjadi seorang wanita, kemudian jin itu digauli oleh manusia. Demikian juga, ada jin yang menjelma menjadi seorang laki-laki yang kemudian menggauli wanita, seperti halnya seorang laki-laki menggauli istrinya. Obat dari hal itu adalah menjaga diri dari mereka – baik laki-laki maupun perempuan – dengan doa-doa dan wirid-wirid yang ma’tsur, serta membaca ayat-ayat (Al- Qur’an) yang mengandung penjagaan dan perlindungan dari mereka, dengan ijin Allah” [Al-Fataawaa Adz- Dzahabiyyah, hal. 196].
Demikianlah jawaban kami, semoga ada manfaatnya. Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abu al-jauzaa’ – banyak mengambil dari buku Al- Burhaan ’alaa Tahriimit- Tanaakuhi bainal-Insi wal-Jaan oleh Fadliilatusy-Syaikh Muhammad bin ’Abdillah Al- Imam – bisa di-download dari mauqi’ beliau – 1431 H].
[1] Berdasarkan hadits : ﻋَﻦْ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺑْﻦِ ﻋَﺒَّﺎﺱٍ ﻗَﺎﻝَ ﻭَﺍﻟﻠَّﻪِ ﻣَﺎ ﺧَﺼَّﻨَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺑِﺸَﻲْﺀٍ ﺩُﻭﻥَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﺇِﻟَّﺎ ﺑِﺜَﻠَﺎﺛَﺔِ ﺃَﺷْﻴَﺎﺀَ ﻓَﺈِﻧَّﻪُ ﺃَﻣَﺮَﻧَﺎ ﺃَﻥْ ﻧُﺴْﺒِﻎَ ﺍﻟْﻮُﺿُﻮﺀَ ﻭَﻟَﺎ ﻧَﺄْﻛُﻞَ ﺍﻟﺼَّﺪَﻗَﺔَ ﻭَﻟَﺎ ﻧُﻨْﺰِﻱَ ﺍﻟْﺤُﻤُﺮَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﺨَﻴْﻞِ Dari ‘Abdullah bin ‘Abbaas, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam tidak mengkhususkan sesuatupun bagi kita (ahlul- bait) kecuali dalam tiga hal, yaitu : Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk menyempurnakan wudlu, tidak makan shadaqah, dan tidak mengawinkan keledai dengan kuda"[Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 141; shahih].
Hukum Al-Qur'an yang Dipajang Sebagai Hiasan dan Pengusir Setan
Allah ta’ala telah berfirman tentang Al-Qur’an : ﺇِﻥّ ﻫَـَﺬَﺍ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥَ ﻳِﻬْﺪِﻱ ﻟِﻠّﺘِﻲ ﻫِﻲَ ﺃَﻗْﻮَﻡُ ﻭَﻳُﺒَﺸّﺮُ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨِﻴﻦَ ﺍﻟّﺬِﻳﻦَ ﻳَﻌْﻤَﻠُﻮﻥَ ﺍﻟﺼّﺎﻟِﺤَﺎﺕِ ﺃَﻥّ ﻟَﻬُﻢْ ﺃَﺟْﺮﺍً ﻛَﺒِﻴﺮﺍً “Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar” [QS. Al-Israa’ : 9]. ﻛِﺘَﺎﺏٌ ﺃَﻧﺰَﻟْﻨَﺎﻩُ ﺇِﻟَﻴْﻚَ ﻣُﺒَﺎﺭَﻙٌ ﻟّﻴَﺪّﺑّﺮُﻭَﺍْ ﺁﻳَﺎﺗِﻪِ ﻭَﻟِﻴَﺘَﺬَﻛّﺮَ ﺃُﻭْﻟُﻮ ﺍﻷﻟْﺒَﺎﺏِ “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat- ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran” [QS. Shaad : 29]. ﻭَﻧُﻨَﺰّﻝُ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥِ ﻣَﺎ ﻫُﻮَ ﺷِﻔَﺂﺀٌ ﻭَﺭَﺣْﻤَﺔٌ ﻟّﻠْﻤُﺆْﻣِﻨِﻴﻦَ ﻭَﻻَ ﻳَﺰِﻳﺪُ ﺍﻟﻈّﺎﻟِﻤِﻴﻦَ ﺇَﻻّ ﺧَﺴَﺎﺭﺍً “Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian” [QS. Al-Israa’ : 82].
Masih banyak lagi ayat yang lain yang menjelaskan bahwa Al-Qur’an diturunkan kepada manusia sebagai petunjuk, rahmat, obat penawar, dan jalan selamat bagi mereka baik di dunia maupun di akhirat. Sudah barang tentu bahwa segala hal yang menjadi tujuan diturunkan Al-Qur’an ini akan bermanfaat bagi manusia bila mereka membacanya, men- tadabur-inya (merenungkan/ menghayati), serta mengamalkan segala kandungannya. Al-Qur’an tidak akan banyak bermanfaat jika hanya sekedar dimiliki, dipajang, dijadikan hiasan, atau disimpan di dalam rumah.
Tidak dipungkiri bahwa Al- Qur’an mempunyai fadlilah (keutamaan) yang cukup banyak. Termasuk dalam hal ini adalah dapat melindungi diri serta mengusir gangguan syaithan. Melalui perantaraan (wasilah) apa fadlilah tersebut didapatkan ? Dengan membacanya (dan mengetahui maknanya) atau sekedar memajangnya di dinding dan di atas pintu ? Tentu kita semua memahami bahwa fadlilah tersebut akan kita dapatkan jika kita membacanya. ﻣَﺎ ﻣِﻦْ ﻣُﺴْﻠِﻢٍ ﻳَﺄْﺧُﺬُ ﻣَﻀْﺠَﻌَﻪُ ﻳَﻘْﺮَﺃُ ﺳُﻮْﺭَﺓً ﻣِﻦْ ﻛﺘَﺎﺏِ ﺍﻟﻠﻪِ ﺇِﻻ ﻭَﻛَّﻞَ ﺍﻟﻠﻪُ ﺑِﻪِ ﻣَﻠَﻜﺎً ﻓَﻼَ ﻳَﻘْﺮَﺑَﻪُ ﺷﻲْﺀٌ ﻳُﺆْﺫِﻳْﻪِ ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﻬُﺐَّ ﻣَﺘَﻰ ﻫَﺐَّ ”Tidaklah seorang muslim yang mengambil tempat pembaringannya lalu membaca satu surat dari Kitabullah kecuali Allah mengutus seorang malaikat. Maka tidak ada sesuatu yang mendekatinya dapat menyakitinya hingga ia bangun kapan saja ia terbangun” [HR. Tirmidzi no. 3407. Sanadnya dla’if menurut Asy-Syaikh Al-Albani, akan tetapi dihasankan oleh Al- Hafidh Ibnu Hajar dalam komentarnya terhadap kitab Al- Adzkar].
ﻗُﻞْ ﻫُﻮَ ﺍﻟﻠﻪُ ﺃَﺣَﺪٌُ ﻭَﺍﻟْﻤُﻌَﻮِّﺫَﺗَﻴْﻦِ ﺣِﻴْﻦَ ﺗَﻤْﺴِﻲ ﻭَﺣِﻴْﻦَ ﺗُﺼْﺒِﺢُ ﺛَﻼﺙَ ﻣَﺮَّﺍﺕٍِ ﺗَﻜْﻔِﻴْﻚَ ﻣِﻦْ ﻛُﻞِّ ﺷَﻲْﺀٍِ ”Surat Al-Ikhlash dan Al- Mu’awwidzatain (QS. Al-Falaq dan An-Naas) jika dibaca pada waktu sore dan pagi hari sebanyak tiga kali, akan mencukupimu dari segala sesuatu” [HR. Abu Dawud no. 5082, An-Nasa’i 8/250, At- Tirmidzi no. 3575, dan Ahmad 5/312; hasan shahih]. ﻻ ﺗَﺠْﻌَﻠُﻮْﺍ ﺑُﻴُﻮْﺗَﻜُﻢْ ﻣَﻘَﺎﺑِﺮَ ﺇِﻥَّ ﺍﻟﺸَّﻴْﻄَﺎﻥَ ﻳَﻨْﻔِﺮُ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺒَﻴْﺖِ ﺍﻟَّﺬِﻱْ ﺗُﻘْﺮَﺃُ ﻓِﻴْﻪِ ﺳُﻮْﺭَﺓُ ﺍﻟْﺒَﻘَﺮَﺓِ ”Janganlah kalian jadikan rumah-rumah kalian seperti kuburan. Sesungguhnya syaithan itu akan lari dari rumah yang dibacakan padanya surat Al-Baqarah” [HR. Muslim no. 780]. ﻣﻦ ﻗﺎﻟﻬﺎ ﺣﻴﻦ ﻳﻤﺴﻲ ﺃﺟﻴﺮ ﻣﻨﻬﺎ ﺣﺘﻰ ﻳﺼﺒﺢ ﻭﻣﻦ ﻗﺎﻟﻬﺎ ﺣﻴﻦ ﻳﺼﺒﺢ ﺃﺟﻴﺮ ﻣﻨﻬﺎ ﺣﺘﻰ ﻳﻤﺴﻲ ”Barangsiapa yang membaca ayat Kusi pada waktu sore hari, maka ia dijaga dari gangguan jin hingga pagi hari. Dan barangsiapa yang membacanya di waktu pagi hari, maka ia akan dijaga hingga sore hari” [lihat Shahih At-Targhib juz 1 no. 662]. ﺍﻗْﺮَﺃُﻭْﺍ ﺳُﻮْﺭَﺓَ ﺍﻟْﺒَﻘَﺮَﺓِ ﻓَﺈِﻥَّ ﺃَﺧْﺬَﻫَﺎ ﺑَﺮَﻛَﺔٌ ﻭَﺗَﺮْﻛَﻬَﺎ ﺣَﺴْﺮَﺓٌ ﻭَﻻ ﺗَﺴْﺘَﻄِﻴْﻌُﻬَﺎ ﺍﻟْﺒَﻄَﻠَﺔُ ”
Bacalah surat Al-Baqarah, karena membacanya akan mendatangkan berkah dan meninggalkannya berarti kerugian. Tukang sihir tidak akan bisa berbuat jahat kepada pembacanya” [HR. Muslim no. 804]. ﺍﻟْﺂﻳَﺘَﺎﻥِ ﻣِﻦْ ﺁﺧِﺮِ ﺳُﻮْﺭَﺓِ ﺍﻟْﺒَﻘَﺮَﺓِ ﻣَﻦْ ﻗَﺮَﺃَﻫُﻤَﺎ ﻓِﻲْ ﻟَﻴْﻠَﺔٍِ ﻛَﻔَﺘَﺎﻩُ ”Dua ayat terakhir dari Surat Al- Baqarah, barangsiapa yang membacanya di malam hari maka ia telah mencukupkannya” [HR. Bukhari no. 3786 dan Muslim no. 807].
[1] Semua nash yang shahih menunjukkan bahwa fadlilah ayat-ayat Al-Qur’an hanya dapat diperoleh – minimal – jika kita membacanya. Al-Qur’an bukanlah jimat yang ayat-ayatnya ditulis dan dibungkus dalam kain untuk menolak bala’ dan bahaya. Al- Qur’an pun bukanlah hiasan dan barang penglaris dagangan sehingga manusia bermegah- megahan dengannya. Tidak kita dapatkan contoh dari Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam, para shahabat, atau para ulama terpercaya setelah mereka yang memajang ayat Al-Qur’an di dinding sebagai hiasan dan penolak setan. Abu ’Ubaid meriwayatkan dalam kitab Fadlaailul-Qur’an (1/111) dengan sanad shahih dari Ibrahim An-Nakha’i bahwa ia berkata : ”Mereka (para shahabat radliyallaahu ’anhum) membenci segala macam tamimah (jimat)
[2], baik yang berasal dari ayat-ayat Al-Qur’an atau bukan dari ayat-ayat Al- Qur’an”. Berikut kami nukilkan fatwa dari Al-Lajnah Ad-Daaimah terkait dengan pertanyaan : ﺱ: ﻳﺠﺮﻱ ﺑﻴﻊ ﻟﻮﺣﺎﺕ ﺗﻌﻠﻖ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺤﺎﺋﻂ ﻣﻜﺘﻮﺏ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﺁﻳﺔ ﺍﻟﻜﺮﺳﻲ ﺗﻌﻠﻖ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻐﺮﻑ ﺗﻜﺮﻳﻤﺎ ﻭﺍﻓﺘﺨﺎﺭﺍ ﺑﺎﻟﻘﺮﺁﻥ ﺍﻟﻜﺮﻳﻢ، ﻫﻞ ﻣﺜﻞ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﻠﻮﺣﺎﺕ ﻣﺤﺮﻡ ﺑﻴﻌﻬﺎ ﻓﻲ ﺍﻷﺳﻮﺍﻕ ﻭﺍﺳﺘﻴﺮﺍﺩﻫﺎ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻤﻤﻠﻜﺔ؟ ﺝ: ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻧﺰﻝ ﻟﻴﻜﻮﻥ ﺣﺠﺔ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻌﺎﻟﻤﻴﻦ، ﻭﺩﺳﺘﻮﺭﺍ ﻭﻣﻨﻬﺎﺟﺎ ﻟﺠﻤﻴﻊ ﺃﻓﺮﺍﺩ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ، ﻳﺤﻠﻮﻥ ﺣﻼﻟﻪ ﻭﻳﺤﺮﻣﻮﻥ ﺣﺮﺍﻣﻪ، ﻭﻳﻌﻤﻠﻮﻥ ﺑﻤﺤﻜﻤﻪ، ﻭﻳﺆﻣﻨﻮﻥ ﺑﻤﺘﺸﺎﺑﻬﻪ، ﻳﺤﻔﻆ ﻓﻲ ﺍﻟﺼﺪﻭﺭ، ﻭﻳﻜﺘﺐ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﺼﺎﺣﻒ ﻭﺍﻟﺮﻗﺎﻉ ﻭﺍﻷﻟﻮﺍﺡ ﻭﻧﺤﻮﻫﺎ؛ ﻟﻠﺮﺟﻮﻉ ﺇﻟﻴﻪ ﻭﺗﻼﻭﺗﻪ ﻣﻨﻬﺎ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﺤﺎﺟﺔ، ﻫﺬﺍ ﻫﻮ ﺍﻟﺬﻱ ﻓﻬﻢ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻮﻥ ﺍﻷﻭﺍﺋﻞ ﻭﺩﺭﺝ ﻋﻤﻠﻬﻢ ﻋﻠﻴﻪ، ﺃﻣﺎ ﻣﺎ ﺑﺪﺃ ﻳﻈﻬﺮ ﻓﻲ ﻫﺬﻩ ﺍﻷﺯﻣﻨﺔ ﻣﻦ ﻛﺘﺎﺑﺔ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻋﻠﻰ ﻟﻮﺣﺔ ﺃﻭ ﺭﻗﻌﺔ ﻛﺘﺎﺑﺔ ﻣﺰﺧﺮﻓﺔ ﻭﺗﻌﻠﻴﻘﻬﺎ ﺩﺍﺧﻞ ﻏﺮﻓﺔ ﺃﻭ ﺳﻴﺎﺭﺓ ﺃﻭ ﻧﺤﻮ ﺫﻟﻚ ﻓﻠﻢ ﻳﻜﻦ ﻫﺬﺍ ﻣﻦ ﻋﻤﻞ ﺍﻟﺴﻠﻒ، ﻭﻗﺪ ﻳﻜﻮﻥ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﻔﺎﺳﺪ ﺃﻋﻈﻢ ﻣﻤﺎ ﻗﺼﺪ ﺍﻟﻜﺎﺗﺐ ﺃﻭ ﺍﻟﻤﻌﻠﻖ ﻣﻦ ﺗﻌﻈﻴﻤﻪ ﻭﺍﻻﻓﺘﺨﺎﺭ ﺑﻪ ﻣﻦ ﺷﻐﻞ ﺍﻟﻤﻌﺘﻨﻴﻦ ﺑﺬﻟﻚ ﻋﻦ ﺍﻻﻫﺘﻤﺎﻡ ﺑﺄﻏﺮﺍﺽ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﺍﻟﺘﻲ ﻧﺰﻝ ﻣﻦ ﺃﺟﻠﻬﺎ، ﻓﺎﻷﻭﻟﻰ ﺑﺎﻟﻤﺴﻠﻢ ﺃﻥ ﻳﺘﺮﻙ ﻫﺬﻩ ﺍﻷﺷﻴﺎﺀ ﻭﻳﺒﺘﻌﺪ ﻋﻦ ﺍﻟﺘﻌﺎﻣﻞ ﻓﻴﻬﺎ، ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﺍﻷﺻﻞ ﻓﻴﻬﺎ ﺍﻟﺤﻞ ﺧﺸﻴﺔ ﺃﻥ ﻳﻜﺜﺮ ﺍﺳﺘﻌﻤﺎﻟﻬﺎ ﻭﺍﻟﺘﻌﺎﻣﻞ ﻓﻴﻬﺎ ﻓﺘﺸﻐﻞ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻋﻤﺎ ﻫﻮ ﺍﻟﻤﻘﺼﻮﺩ ﻣﻦ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ.ﻭﺑﺎﻟﻠﻪ ﺍﻟﺘﻮﻓﻴﻖ. ﻭﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻰ ﻧﺒﻴﻨﺎ ﻣﺤﻤﺪ، ﻭﺁﻟﻪ ﻭﺻﺤﺒﻪ ﻭﺳﻠﻢ. ﺍﻟﻠﺠﻨﺔ ﺍﻟﺪﺍﺋﻤﺔ ﻟﻠﺒﺤﻮﺙ ﺍﻟﻌﻠﻤﻴﺔ ﻭﺍﻹﻓﺘﺎﺀ Soal : Seringkali dilakukan penjualan hiasan dinding yang tercantum di dalamnya ayat Kursi. Hal itu biasanya ditempel di ruangan sebagai bentuk penghormatan dan rasa bangga terhadap Al-Qur’an Al- Kariim. Apakah hiasan-hiasan tersebut diharamkan untuk menjualnya di pasar-pasar dan mendatangkannya ke kerajaan/ negeri ini ? Jawab : Al-Qur’an diturunkan supaya menjadi hujjah atas alam ini serta menjadi undang- undang dan manhaj bagi seluruh kaum muslimin. Mereka menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram (di dalam Al-Qur’an), mengamalkan hukumnya, iman terhadap ayat- ayat mutasyabihaat. Al-Qur’an dihafal di dada (kaum muslimin), dan ditulis dalam lembaran-lembaran, dedaunan dan pelepah, serta yang lainnya; untuk dijadikan rujukan dan membacanya (dari lembaran itu) ketika dibutuhkan. Inilah yang dipahami generasi pertama kaum muslimin dan mereka beramal di atasnya. Adapun sesuatu yang baru muncul di jaman belakangan ini, berupa penukilan sebagian (ayat-ayat) Al-Qur’an pada hiasan atau kertas tulisan yang dihiasi serta menempelkannya dalam ruangan; maka itu semua bukan termasuk amalan generasi salaf. Dan bisa saja kerusakan yang timbul dengan sebab itu lebih besar daripada pengagungan dan rasa bangga yang dimaksud oleh orang yang menulis atau menempelkannya. Yaitu efeknya yang berupa membuat para pemerhati barang itu disibukkan dari memperhatikan tujuan pokok diturunkannya Al- Qur’an. Maka sebaiknya seorang muslim meninggalkan hal-hal ini dan menjauhkan (diri) dari berinteraksi (at- ta’aamul) di dalamnya, meskipun pada dasarnya hal tersebut halal. Hal tersebut dilakukan karena khawatir bahwa perbuatan dan interaksi tersebut akan merajalela sehingga menyibukkan manusia dari maksud Al-Qur’an yang sebenar-benarnya. Wabillaahit-taufiq. Wa shallallaahu ’alaa nabiyyinaa Muhammadin wa aalihi wa shahbihi wa sallam. Al-Lajnah Ad-Daaimah lil-Buhuts wal-Iftaa’ – ’Abdul-’Aziz bin Baaz (Ketua), ’Abdurrazzaq Al-’Afifi (Wakil Ketua), ’Abdullah bin Ghudayan (Anggota); dan ’Abdullah bin Qu’ud (anggota).
[3] [selesai]Kesimpulan : Tidak dibenarkan memasang Al-Qur’an di dinding atau yang lainnya untuk tujuan mengusir setan ataupun sebagai hiasan. Setan hanya akan lari ketika ayat Al-Qur’an dibaca dan diperdengarkan. Bukan dengan dipajang. Al- Qur’an diturunkan juga bukan sebagai hiasan yang justru rentan menimbulkan riya’ bagi pelakunya
[4]. Sudah selayaknya setiap muslim menghindari hal-hal yang demikian. Wallaahu a’lam. Abul-Jauzaa’
MENGIRIMKAN ANAK PEREMPUAN KE PONDOK PESANTREN KHUSUS PUTRI
Oleh : Asy-Syaikh Masyhur bin
Hasan Alu Salman hafidhahullah
Tanya : Bolehkah kita mengirim
putrid-putri kita ke pondok
pesantren Islami yang jauh
(tempatnya) untuk menuntut
ilmu syar’iy dan tinggal di
tempat tersebut tanpa disertai
mahram ?
Jawab : Masalah ini perlu
perincian. Apabila seorang
wanita melakukan safar tanpa
mahram, maka hukumnya
haram berdasarkan hadits
riwayat Al-Bukhari dan Muslim,
bahwa beliau shallallaahu 'alaihi
wasallam bersabda :
ﻻ ﻳﺤﻞ ﻻﻣﺮﺃﺓ ﺗﺆﻣﻦ ﺑﺎﻟﻠﻪ ﻭﺍﻟﻴﻮﻡ
ﺍﻷﺧﺮ ﺃﻥ ﺗﺴﺎﻓﺮ ﻣﺴﻴﺮﺓ ﻳﻮﻡ ﻭﻟﻴﻠﺔ ﺇﻻ
ﻣﻊ ﺫﻱ ﻣﺤﺮﻡ
“Tidak halal bagi wanita yang
beriman kepada Allah dan hari
akhir untuk melakukan safar
sejauh perjalanan sehari
semalam kecuali bersama
mahramnya".
Kata ﺇﻣﺮﺃﺓ dalam hadits ini
adalah nakirah dan jatuh
setelah ﻻ nahiyah (larangan)
yang berarti umum. Maksud
hadits ini adalah setiap wanita
siapapun orangnya,
bagaimanapun keadaannya,
kapanpun, dimanapun, dan
segala jenis safar baik safar
ketaatan, rekreasi, dan safar
mubah.
Hal ini merupakan
pendapat mayoritas ulama
selain Syafi’iyyah, mereka
berpedoman dengan argumen
yang amat rapuh untuk
memperbolehkan wanita safar
tanpa mahram bersama wanita
sesamanya. Seandainya Nabi
shallallaahu ‘alaihi wasallam
membawakan hadits di atas di
hadapan kita semua dan kita
pun mendengarnya dengan
telinga kita, kemudian kita ingin
berkilah, apakah yang akan kita
katakan pada beliau ? Kita tidak
boleh berkilah. Kewajiban kita
hanya mengatakan : “Kami
mendengar dan kami taat”.
Adapun apabila seorang wanita
tadi safar bersama mahramnya,
tinggal di tempatyang aman,
tidak melakukan safar kecuali
bersama mahramnya, tidak
campur-baur dengan laki-laki,
untuk menuntut ilmu syar’iy
dan menjauhi fitnah, maka hal
itu diperbolehkan karena
termasuk kewajiban wanita
adalah menuntut ilmu.
Para
shahabat dulu juga pergi ke
rumah-rumah para istri Nabi
untuk masalah-masalah penting
dan mereka juga belajar kepada
para shahabat wanita. Bahkan
Al-Imam Az-Zarkasyi menulis
sebuah kitab yang tercetak
berjudul ”Al-Ijaabah limaa
Istadrakathu Sayyidah ’Aisyah
’alaa Shahabah" (Beberapa
Kritikan ’Aisyah kepada
Shahabat). Demikian pula kitab
Shahih Al-Bukhari, di kalangan
orang-orang belakangan,
sanadnya bersumber dari
Karimah Al-Marwaziyyah,
dimana para ulama abad
kedelapan, kesembilan, dan
kesepuluh mengambil sanad
Shahih Al-Bukhari dari Karimah.
Nabi shallallaahu ’alaihi
wasallam bersabda :
ﺇﻧﻤﺎ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ ﺷﻘﺎﺋﻖ ﺍﻟﺮﺟﺎﻝ
”Sesungguhnya wanita itu
saudara laki-laki”.
Dan Nabi shallallaahu ’alaihi
wasallam juga bersabda :
ﻃﻠﺐ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻓﺮﻳﻀﺔ ﻋﻠﻰ ﻛﻞ ﻣﺴﻠﻢ
”Menuntut ilmu itu wajib bagi
setiap muslim”.
Hadits ini meliputi muslimah
juga, sekalipun tambahan
lafadh ”muslimah” dalam hadits
di atas tidak ada dari Nabi
shallallaahu ’alaihi wasallam.
Ada kisah menarik juga yang
ingin saya sampaikan pada
kesempatan ini : Ada seorang
wanita pada abad kesebelas
bernama Wiqayah, seorang
wanita pintar dari Maghrib, Para
ulama Maghrib apabila
mengalami kesulitan, mereka
mengatakan : ”Marilah kita
pergi ke Wiqayah karena
sorbannya lebih baik daripada
sorban-sorban kita”.
Akhirnya,
merekapun belajar dan
meminta fatwa padanya.
Dan termasuk keajaiban
sejarah, tidak ada perawi
wanita satupun yang berdusta
pada Rasulullah shallallaahu
’alaihi wasallam. Seluruh ulama
yang menulis tentang para
perawi pendusta, tidak ada
yang menyebutkan
seorangpun dari wanita
pendusta. Adapun kaum laki-
laki, maka betapa banyak kitab-
kitab yang berisi tentang para
pendusta dari kalangan mereka.
Laa haula walaa quwwata illaa
billah.
Maka seorang wanita apabila
Anda membimbingnya ke jalan
yang baik, mereka akan
menjadi baik dan pahalanya
bagi kedua orang tuanya
hingga hari kiamat. Namun bagi
orang tua, hendaknya tetap
menjaga hukum syar’iy. Dan
tempat yang paling baik untuk
menimba ilmu bagi wanita
adalah seorang suami yang
shalih, penuntut ilmu, dan
bertaqwa kepada Allah. Oleh
karena itu, bagi orang tua
hendaknya berupaya
memilihkan suami terbaik bagi
anaknya.
Asy-Syaikh Jamil Zainu
pernah bercerita padaku ketika
beliau ingin menikahkan
puterinya dengan salah satu
saudara kami di Yordania.
Katanya : Ketika saya di masjid,
maka saya duduk di bagian
belakang untuk melihat
shalatnya para pemuda
sehingga saya memusatkan
perhatian kepada seorang
pemuda yang paling baik
shalatnya, paling khusyu’, dan
lama berdirinya. Kemudian saya
mencari lagi pada shalat
Shubuh dan ’Isya’ sehingga
saya menemukan seorang
pemuda yang rajin dan tidak
malas.
Lalu saya mendatangi
pemuda tersebut dan bertanya
kepadanya : ”Apakah Anda
sudah menikah ?”. Jawabnya :
”Belum”. Saya bertanya lagi :
”Maukah engkau saya nikahkan
dengan putriku ?”. Jawabnya :
”Subhaanallah, siapa yang tidak
mau ?”. Akhirnya saya
menikahkannya dengan
putriku.
Demikianlah selayaknya yang
dilakukan oleh para orang tua.
Oleh karenanya, saya sarankan
kepada Bapak Penanya yang
ingin memondokkan putrinya
di atas hendaknya tidak
tergesa-gesa. Masih ada pondok
pesantren yang jauh lebih baik
bagi putrinya daripada pondok
pesantren, yaitu suami yang
shalih. Hendaknya dia berupaya
mencari dan menawarkan
putrinya. Hal ini bukanlah satu
aib, bahkan manhaj para
shahabat.
Kalian semua
mungkin sudah tahu kisah
’Umar bin Khaththab yang
menawarkan putrinya Hafshah
kepada Abu Bakar lalu beliau
diam, lalu kepada ’Utsman lalu
beliaupun diam. Beliau berdua
diam karena pernah
mengetahui bahwa Rasulullah
shallallaahu ’alaihi wasallam
menginginkan Hafshah (HR. Al-
Bukhari 5122). Padahal umur
’Umar bin Khaththab waktu itu
sebanding dengan Nabi
shallallaahu ’alaihi wasallam
atau lebih kecil satu atau dua
tahun dari beliau. Saya tidak
menuntut supaya kita
menawarkan putri-putri kita
pada shahabat dan handai
taulan kita, karena barangkali
hal itu di luar kemampuan kita,
tetapi kita berupaya mencari
pemuda dengan mempermurah
mahar dan kita minta padanya
supatya mengajari dan
membimbing putri kita tentang
Al-Qur’an, fiqh, dan sebagainya.
Dikisahkan bahwa Imam Malik
mempunyai seorang putri,
ketika suaminya hendak
berangkat ke majelis Imam
Malik, istrinya mengatakan :
”Hendak kemana engkau ?”.
Jawab suaminya : ”Hendak ke
majelis ayahmu”. Istrinya :
”Duduklah, karena ilmu ayahku
ada di hatiku”.
Semoga Allah meramati para
wanita salaf. Inilah yang saya
anjurkan kepada Penanya
Hasan Alu Salman hafidhahullah
Tanya : Bolehkah kita mengirim
putrid-putri kita ke pondok
pesantren Islami yang jauh
(tempatnya) untuk menuntut
ilmu syar’iy dan tinggal di
tempat tersebut tanpa disertai
mahram ?
Jawab : Masalah ini perlu
perincian. Apabila seorang
wanita melakukan safar tanpa
mahram, maka hukumnya
haram berdasarkan hadits
riwayat Al-Bukhari dan Muslim,
bahwa beliau shallallaahu 'alaihi
wasallam bersabda :
ﻻ ﻳﺤﻞ ﻻﻣﺮﺃﺓ ﺗﺆﻣﻦ ﺑﺎﻟﻠﻪ ﻭﺍﻟﻴﻮﻡ
ﺍﻷﺧﺮ ﺃﻥ ﺗﺴﺎﻓﺮ ﻣﺴﻴﺮﺓ ﻳﻮﻡ ﻭﻟﻴﻠﺔ ﺇﻻ
ﻣﻊ ﺫﻱ ﻣﺤﺮﻡ
“Tidak halal bagi wanita yang
beriman kepada Allah dan hari
akhir untuk melakukan safar
sejauh perjalanan sehari
semalam kecuali bersama
mahramnya".
Kata ﺇﻣﺮﺃﺓ dalam hadits ini
adalah nakirah dan jatuh
setelah ﻻ nahiyah (larangan)
yang berarti umum. Maksud
hadits ini adalah setiap wanita
siapapun orangnya,
bagaimanapun keadaannya,
kapanpun, dimanapun, dan
segala jenis safar baik safar
ketaatan, rekreasi, dan safar
mubah.
Hal ini merupakan
pendapat mayoritas ulama
selain Syafi’iyyah, mereka
berpedoman dengan argumen
yang amat rapuh untuk
memperbolehkan wanita safar
tanpa mahram bersama wanita
sesamanya. Seandainya Nabi
shallallaahu ‘alaihi wasallam
membawakan hadits di atas di
hadapan kita semua dan kita
pun mendengarnya dengan
telinga kita, kemudian kita ingin
berkilah, apakah yang akan kita
katakan pada beliau ? Kita tidak
boleh berkilah. Kewajiban kita
hanya mengatakan : “Kami
mendengar dan kami taat”.
Adapun apabila seorang wanita
tadi safar bersama mahramnya,
tinggal di tempatyang aman,
tidak melakukan safar kecuali
bersama mahramnya, tidak
campur-baur dengan laki-laki,
untuk menuntut ilmu syar’iy
dan menjauhi fitnah, maka hal
itu diperbolehkan karena
termasuk kewajiban wanita
adalah menuntut ilmu.
Para
shahabat dulu juga pergi ke
rumah-rumah para istri Nabi
untuk masalah-masalah penting
dan mereka juga belajar kepada
para shahabat wanita. Bahkan
Al-Imam Az-Zarkasyi menulis
sebuah kitab yang tercetak
berjudul ”Al-Ijaabah limaa
Istadrakathu Sayyidah ’Aisyah
’alaa Shahabah" (Beberapa
Kritikan ’Aisyah kepada
Shahabat). Demikian pula kitab
Shahih Al-Bukhari, di kalangan
orang-orang belakangan,
sanadnya bersumber dari
Karimah Al-Marwaziyyah,
dimana para ulama abad
kedelapan, kesembilan, dan
kesepuluh mengambil sanad
Shahih Al-Bukhari dari Karimah.
Nabi shallallaahu ’alaihi
wasallam bersabda :
ﺇﻧﻤﺎ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ ﺷﻘﺎﺋﻖ ﺍﻟﺮﺟﺎﻝ
”Sesungguhnya wanita itu
saudara laki-laki”.
Dan Nabi shallallaahu ’alaihi
wasallam juga bersabda :
ﻃﻠﺐ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻓﺮﻳﻀﺔ ﻋﻠﻰ ﻛﻞ ﻣﺴﻠﻢ
”Menuntut ilmu itu wajib bagi
setiap muslim”.
Hadits ini meliputi muslimah
juga, sekalipun tambahan
lafadh ”muslimah” dalam hadits
di atas tidak ada dari Nabi
shallallaahu ’alaihi wasallam.
Ada kisah menarik juga yang
ingin saya sampaikan pada
kesempatan ini : Ada seorang
wanita pada abad kesebelas
bernama Wiqayah, seorang
wanita pintar dari Maghrib, Para
ulama Maghrib apabila
mengalami kesulitan, mereka
mengatakan : ”Marilah kita
pergi ke Wiqayah karena
sorbannya lebih baik daripada
sorban-sorban kita”.
Akhirnya,
merekapun belajar dan
meminta fatwa padanya.
Dan termasuk keajaiban
sejarah, tidak ada perawi
wanita satupun yang berdusta
pada Rasulullah shallallaahu
’alaihi wasallam. Seluruh ulama
yang menulis tentang para
perawi pendusta, tidak ada
yang menyebutkan
seorangpun dari wanita
pendusta. Adapun kaum laki-
laki, maka betapa banyak kitab-
kitab yang berisi tentang para
pendusta dari kalangan mereka.
Laa haula walaa quwwata illaa
billah.
Maka seorang wanita apabila
Anda membimbingnya ke jalan
yang baik, mereka akan
menjadi baik dan pahalanya
bagi kedua orang tuanya
hingga hari kiamat. Namun bagi
orang tua, hendaknya tetap
menjaga hukum syar’iy. Dan
tempat yang paling baik untuk
menimba ilmu bagi wanita
adalah seorang suami yang
shalih, penuntut ilmu, dan
bertaqwa kepada Allah. Oleh
karena itu, bagi orang tua
hendaknya berupaya
memilihkan suami terbaik bagi
anaknya.
Asy-Syaikh Jamil Zainu
pernah bercerita padaku ketika
beliau ingin menikahkan
puterinya dengan salah satu
saudara kami di Yordania.
Katanya : Ketika saya di masjid,
maka saya duduk di bagian
belakang untuk melihat
shalatnya para pemuda
sehingga saya memusatkan
perhatian kepada seorang
pemuda yang paling baik
shalatnya, paling khusyu’, dan
lama berdirinya. Kemudian saya
mencari lagi pada shalat
Shubuh dan ’Isya’ sehingga
saya menemukan seorang
pemuda yang rajin dan tidak
malas.
Lalu saya mendatangi
pemuda tersebut dan bertanya
kepadanya : ”Apakah Anda
sudah menikah ?”. Jawabnya :
”Belum”. Saya bertanya lagi :
”Maukah engkau saya nikahkan
dengan putriku ?”. Jawabnya :
”Subhaanallah, siapa yang tidak
mau ?”. Akhirnya saya
menikahkannya dengan
putriku.
Demikianlah selayaknya yang
dilakukan oleh para orang tua.
Oleh karenanya, saya sarankan
kepada Bapak Penanya yang
ingin memondokkan putrinya
di atas hendaknya tidak
tergesa-gesa. Masih ada pondok
pesantren yang jauh lebih baik
bagi putrinya daripada pondok
pesantren, yaitu suami yang
shalih. Hendaknya dia berupaya
mencari dan menawarkan
putrinya. Hal ini bukanlah satu
aib, bahkan manhaj para
shahabat.
Kalian semua
mungkin sudah tahu kisah
’Umar bin Khaththab yang
menawarkan putrinya Hafshah
kepada Abu Bakar lalu beliau
diam, lalu kepada ’Utsman lalu
beliaupun diam. Beliau berdua
diam karena pernah
mengetahui bahwa Rasulullah
shallallaahu ’alaihi wasallam
menginginkan Hafshah (HR. Al-
Bukhari 5122). Padahal umur
’Umar bin Khaththab waktu itu
sebanding dengan Nabi
shallallaahu ’alaihi wasallam
atau lebih kecil satu atau dua
tahun dari beliau. Saya tidak
menuntut supaya kita
menawarkan putri-putri kita
pada shahabat dan handai
taulan kita, karena barangkali
hal itu di luar kemampuan kita,
tetapi kita berupaya mencari
pemuda dengan mempermurah
mahar dan kita minta padanya
supatya mengajari dan
membimbing putri kita tentang
Al-Qur’an, fiqh, dan sebagainya.
Dikisahkan bahwa Imam Malik
mempunyai seorang putri,
ketika suaminya hendak
berangkat ke majelis Imam
Malik, istrinya mengatakan :
”Hendak kemana engkau ?”.
Jawab suaminya : ”Hendak ke
majelis ayahmu”. Istrinya :
”Duduklah, karena ilmu ayahku
ada di hatiku”.
Semoga Allah meramati para
wanita salaf. Inilah yang saya
anjurkan kepada Penanya
Kamis, 29 Maret 2012
Ikhlas menurut pandangan sufi: “Bila Surga dan Neraka tak pernah ada” Beberapa tokoh sufi mencoba memisahkan makna ibadah antara cinta (mahabbah), harapan (raja’), dan takut (khauf). Menurut mereka ibadah haruslah mengedepankan cinta (mahabbah) saja kepada Allah.
Memiliki harapan akan surga dan takut karena neraka dinilai oleh para tokoh sufi tersebut mengotori dari keikhlasan dalam beribadah. Bahkan sering kita mendengar, bila surga dan neraka tak pernah ada, apakah kita masih melakukan apa yang menjadi perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya? Apakah kita berdosa bila menghendaki surga dan takut akan neraka? Apakah ibadah akan memiliki kecacatan bila kita mengharapkan pahala dari ibadah kita? Ujung-ujungnya adalah apakah kita masih dapat disebut ikhlas bila kita masih mengharapkan surga dan takut akan neraka ? Jawabannya adalah dengan mencontoh junjungan kita Rasulullah SAW dalam berdoa “Ya Allah, Sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari siksaan kubur, siksa neraka Jahanam, fitnah kehidupan dan setelah mati, serta dari kejahatan fitnah Almasih Dajjal.” (HR. Al- Bukhari 2/102 dan Muslim 1/412. Lafazh hadits ini dalam riwayat Muslim.)
“Ya Allah! Aku mohon kepada- Mu. Sesungguhnya bagi-Mu segala pujian, tiada Tuhan (yang hak disembah) kecuali Engkau Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Mu, Maha Pemberi nikmat, Pencipta langit dan bumi tanpa contoh sebelumnya. Wahai Tuhan Yang Maha Agung dan Maha Pemurah, wahai Tuhan Yang Hidup, wahai Tuhan yang mengurusi segala sesuatu, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu agar dimasukkan ke Surga dan aku berlindung kepada-Mu dari siksa neraka.” (HR. Seluruh penyusun As-Sunan.
Lihat Shahih Ibnu Majah 2/329.) Jelaslah bahwa Rasulullah mengajarkan kepada kita dalam beribadah selain mengedepankan cinta (mahabbah) namun tetap mengharapkan (raja’) surga, dan takut (khauf) agar dijauhkan dari siksa api neraka. Ketiganya (cinta, harapan, dan takut) tidak bisa dipisahkan dan dipilah-pilah dalam ibadah. Seseorang yang memiliki rasa cinta yang tinggi kepada Allah akan melakukan seluruh syariat dengan hati yang ringan disertai luapan kalbu sebagai bukti akan kecintaannya kepada Allah. Seorang pecinta akan berhias dan berwangi dalam shalatnya melebihi pertemuan dengan orang yang paling ia cintai.
Ia selalu menanti-nanti waktu shalat selanjutnya. Ia tetap memiliki pengharapan akan surga, karena hanya di surga kelak dia akan dapat memandang wajah Kekasihnya. Ia takut berada di neraka karena tak mungkin ia dapat hidup selama sedetikpun di sana. Neraka adalah tempat bagi umat yang banyak melanggar larangan-Nya, dan bukan tempat bagi umat yang mencintai Rabbnya dan selalu setia menjalankan syariat-Nya. Tokoh sufi perempuan yang sangat dihormati seperti Rabiatul Adawiyah yang mengembangkan konsep cinta kepada Rabb, sering menangis karena Allah.
Saat orang-orang bertanya kepadanya mengapa ia menangis, Rabiatul Adawiyah menjawab, “Aku takut Allah akan berkata kepadaku disaat menghembus nafas terakhir : jauhkan dia dariKu karena dia tak layak berada di majlis-Ku”. Lantas dimanakah tempat yang layak agar kelak kita dapat memandang Dzat-Nya yang indah kalau bukan di Surga-Nya? Dimanakah tempat yang tidak layak bagi Allah untuk menampakkan Dzat-Nya selain di Neraka ? Memisah-misahkan antara cinta (mahabbah), harapan (raja’), dan takut (khauf), terkadang kita perlukan untuk meningkatkan kesadaran rasa cinta kita kepada Allah jalla wa a’la. Terkadang kita membutuhkan syair-syair indah untuk meningkatkan kecintaan kepada Allah. Seperti kalimat: “Bila Surga dan Neraka tak pernah ada, apakah kita masih melakukan apa yang menjadi perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya?” Kalimat-kalimat indah tersebut berfungsi semacam shock terapi cinta kita kepada Tuhan yang wajib kita cintai melebihi apapun.
Kalimat tersebut dapat mengingatkan kita bahwa konsep cinta (mahabah) pun penting dalam ibadah, bukan hanya harapan akan pahala dan rasa takut akan Neraka saja. Namun dalam beribadah yang lengkap dan sempurna, ketiga konsep,
yaitu: cinta (mahabbah), harapan (raja’), dan takut (khauf) tidak dapat dipisahkan. Jadi janganlah merasa ragu apakah amal ibadah kita masih bisa dikatagorikan ikhlas bila masih memiliki harapan akan surga dan rasa takut akan azab-Nya. Lengkapilah ibadah dengan cinta, harapan, dan rasa takut. Beribadah tanpa cinta akan membuat ibadah Anda seperti “ibadahnya pedagang”, hanya mencari untung dan menjauhi kerugian.
Ciri “ibadah pedagang”adalah bila keinginannya tak terpenuhi ia segera kecewa dan menganggap Tuhan tidak adil. Beribadah dengan rasa takut saja (khauf) akan membuat Anda menjadi khawarij, yang beberapa sifatnya adalah: buruk sangka, mencela kaum muslim dengan sebutan kafir, berlebihan dalam ibadah, dan sesat sebagaimana pelaku pengeboman bunuh diri di Indonesia. Beribadah dengan harapan (raja’) saja, akan membuat Anda menjadi murji’ah, yang berpendapat bahwa iman cukup di hati saja bukan perbuatan (shalat, zakat, dan lainnya).
(http:// mutiaradibalikmusibah.blogspot.com)
Memiliki harapan akan surga dan takut karena neraka dinilai oleh para tokoh sufi tersebut mengotori dari keikhlasan dalam beribadah. Bahkan sering kita mendengar, bila surga dan neraka tak pernah ada, apakah kita masih melakukan apa yang menjadi perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya? Apakah kita berdosa bila menghendaki surga dan takut akan neraka? Apakah ibadah akan memiliki kecacatan bila kita mengharapkan pahala dari ibadah kita? Ujung-ujungnya adalah apakah kita masih dapat disebut ikhlas bila kita masih mengharapkan surga dan takut akan neraka ? Jawabannya adalah dengan mencontoh junjungan kita Rasulullah SAW dalam berdoa “Ya Allah, Sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari siksaan kubur, siksa neraka Jahanam, fitnah kehidupan dan setelah mati, serta dari kejahatan fitnah Almasih Dajjal.” (HR. Al- Bukhari 2/102 dan Muslim 1/412. Lafazh hadits ini dalam riwayat Muslim.)
“Ya Allah! Aku mohon kepada- Mu. Sesungguhnya bagi-Mu segala pujian, tiada Tuhan (yang hak disembah) kecuali Engkau Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Mu, Maha Pemberi nikmat, Pencipta langit dan bumi tanpa contoh sebelumnya. Wahai Tuhan Yang Maha Agung dan Maha Pemurah, wahai Tuhan Yang Hidup, wahai Tuhan yang mengurusi segala sesuatu, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu agar dimasukkan ke Surga dan aku berlindung kepada-Mu dari siksa neraka.” (HR. Seluruh penyusun As-Sunan.
Lihat Shahih Ibnu Majah 2/329.) Jelaslah bahwa Rasulullah mengajarkan kepada kita dalam beribadah selain mengedepankan cinta (mahabbah) namun tetap mengharapkan (raja’) surga, dan takut (khauf) agar dijauhkan dari siksa api neraka. Ketiganya (cinta, harapan, dan takut) tidak bisa dipisahkan dan dipilah-pilah dalam ibadah. Seseorang yang memiliki rasa cinta yang tinggi kepada Allah akan melakukan seluruh syariat dengan hati yang ringan disertai luapan kalbu sebagai bukti akan kecintaannya kepada Allah. Seorang pecinta akan berhias dan berwangi dalam shalatnya melebihi pertemuan dengan orang yang paling ia cintai.
Ia selalu menanti-nanti waktu shalat selanjutnya. Ia tetap memiliki pengharapan akan surga, karena hanya di surga kelak dia akan dapat memandang wajah Kekasihnya. Ia takut berada di neraka karena tak mungkin ia dapat hidup selama sedetikpun di sana. Neraka adalah tempat bagi umat yang banyak melanggar larangan-Nya, dan bukan tempat bagi umat yang mencintai Rabbnya dan selalu setia menjalankan syariat-Nya. Tokoh sufi perempuan yang sangat dihormati seperti Rabiatul Adawiyah yang mengembangkan konsep cinta kepada Rabb, sering menangis karena Allah.
Saat orang-orang bertanya kepadanya mengapa ia menangis, Rabiatul Adawiyah menjawab, “Aku takut Allah akan berkata kepadaku disaat menghembus nafas terakhir : jauhkan dia dariKu karena dia tak layak berada di majlis-Ku”. Lantas dimanakah tempat yang layak agar kelak kita dapat memandang Dzat-Nya yang indah kalau bukan di Surga-Nya? Dimanakah tempat yang tidak layak bagi Allah untuk menampakkan Dzat-Nya selain di Neraka ? Memisah-misahkan antara cinta (mahabbah), harapan (raja’), dan takut (khauf), terkadang kita perlukan untuk meningkatkan kesadaran rasa cinta kita kepada Allah jalla wa a’la. Terkadang kita membutuhkan syair-syair indah untuk meningkatkan kecintaan kepada Allah. Seperti kalimat: “Bila Surga dan Neraka tak pernah ada, apakah kita masih melakukan apa yang menjadi perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya?” Kalimat-kalimat indah tersebut berfungsi semacam shock terapi cinta kita kepada Tuhan yang wajib kita cintai melebihi apapun.
Kalimat tersebut dapat mengingatkan kita bahwa konsep cinta (mahabah) pun penting dalam ibadah, bukan hanya harapan akan pahala dan rasa takut akan Neraka saja. Namun dalam beribadah yang lengkap dan sempurna, ketiga konsep,
yaitu: cinta (mahabbah), harapan (raja’), dan takut (khauf) tidak dapat dipisahkan. Jadi janganlah merasa ragu apakah amal ibadah kita masih bisa dikatagorikan ikhlas bila masih memiliki harapan akan surga dan rasa takut akan azab-Nya. Lengkapilah ibadah dengan cinta, harapan, dan rasa takut. Beribadah tanpa cinta akan membuat ibadah Anda seperti “ibadahnya pedagang”, hanya mencari untung dan menjauhi kerugian.
Ciri “ibadah pedagang”adalah bila keinginannya tak terpenuhi ia segera kecewa dan menganggap Tuhan tidak adil. Beribadah dengan rasa takut saja (khauf) akan membuat Anda menjadi khawarij, yang beberapa sifatnya adalah: buruk sangka, mencela kaum muslim dengan sebutan kafir, berlebihan dalam ibadah, dan sesat sebagaimana pelaku pengeboman bunuh diri di Indonesia. Beribadah dengan harapan (raja’) saja, akan membuat Anda menjadi murji’ah, yang berpendapat bahwa iman cukup di hati saja bukan perbuatan (shalat, zakat, dan lainnya).
(http:// mutiaradibalikmusibah.blogspot.com)
KISAH TENTANG ADAB ISLAM DI INGGRIS
SYAIKH MENJELASKAN KEPADA
ORANG INGGRIS
TENTANG ADAB PERGAULAN
WANITA MUSLIMAH
Lelaki inggris bertanya: “Ya
syaikh, Kenapa dalam Islam
wanita tdk boleh jabat tangan
dengan pria?”
Sebelum menjawab, syaikh
bertanya dulu: “Bisakah kamu
berjabat tangan dengan ratu
elizabeth?”
Lelaki inggris menjawab: “Oh
tentu tidak bisa! Hanya orang-
orang tertentu saja yg bisa
berjabat tangan dengan ratu.”
Syaikh tersenyum dan berkata:
“Wanita-wanita Muslimah kami
adalah para Ratu, dan ratu tidak
boleh berjabat tangan dengan
pria sembarangan yg bukan
mahramnya.”
Lalu si inggris bertanya lagi,
“Kenapa perempuan Islam
menutupi tubuh dan rambut
mereka?”
Syaikh tersenyum sembari
mengambil dua bungkus permen
dari sakunya, ia membuka yang
pertama terus yang satu lagi
dibiarkan masih terbungkus. lalu
dia menjatuhkan keduanya
kelantai, lalu syaikh bertanya: ”
Jika saya meminta anda untuk
mengambilsalah satu permen,
mana yang anda pilih?”
S
i inggris menjawab: “Ya.. saya
pilih yang masih tertutup..”
Syeikh berkata: “Itulah cara kami
memperlakukan dan melihat
perempuan kami”
ORANG INGGRIS
TENTANG ADAB PERGAULAN
WANITA MUSLIMAH
Lelaki inggris bertanya: “Ya
syaikh, Kenapa dalam Islam
wanita tdk boleh jabat tangan
dengan pria?”
Sebelum menjawab, syaikh
bertanya dulu: “Bisakah kamu
berjabat tangan dengan ratu
elizabeth?”
Lelaki inggris menjawab: “Oh
tentu tidak bisa! Hanya orang-
orang tertentu saja yg bisa
berjabat tangan dengan ratu.”
Syaikh tersenyum dan berkata:
“Wanita-wanita Muslimah kami
adalah para Ratu, dan ratu tidak
boleh berjabat tangan dengan
pria sembarangan yg bukan
mahramnya.”
Lalu si inggris bertanya lagi,
“Kenapa perempuan Islam
menutupi tubuh dan rambut
mereka?”
Syaikh tersenyum sembari
mengambil dua bungkus permen
dari sakunya, ia membuka yang
pertama terus yang satu lagi
dibiarkan masih terbungkus. lalu
dia menjatuhkan keduanya
kelantai, lalu syaikh bertanya: ”
Jika saya meminta anda untuk
mengambilsalah satu permen,
mana yang anda pilih?”
S
i inggris menjawab: “Ya.. saya
pilih yang masih tertutup..”
Syeikh berkata: “Itulah cara kami
memperlakukan dan melihat
perempuan kami”
Langganan:
Postingan (Atom)