Ini bukan jaman Siti Nurbaya…… begitu kata sebagian orang. Maksudnya, jaman sekarang ini bukan lagi jaman jodoh- jodohan dan paksa-paksaan dalam pernikahan.
Tidak ada orang tua yang ingin menjerumuskan anaknya, sebenarnya. Celoteh sebagian pemuda-pemudi itu memang ada benarnya jika ditilik dari sisi syari’at. Syari’at Islam telah memberikan keluasan bagi seorang wanita untuk menikah dengan orang yang disenanginya. Syari’at tidak mendukung ‘jaman Siti Nurbaya’ yang penuh gambaran feodalistik. Akan tetapi ia mempunyai rambu- rambu yang sempurna yang menjamin keselamatan bagi setiap orang yang memperhatikannya.
Sebagai awal, ada satu kisah menarik yang pernah dialami shahabat besar ‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa sebagai berikut : ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﻳَﻌْﻘُﻮﺏُ ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﺃَﺑِﻲ ﻋَﻦِ ﺍﺑْﻦِ ﺇِﺳْﺤَﺎﻕَ ﺣَﺪَّﺛَﻨِﻲ ﻋُﻤَﺮُ ﺑْﻦُ ﺣُﺴَﻴْﻦِ ﺑْﻦِ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻣَﻮْﻟَﻰ ﺁﻝِ ﺣَﺎﻃِﺐٍ ﻋَﻦْ ﻧَﺎﻓِﻊٍ ﻣَﻮْﻟَﻰ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺑْﻦِ ﻋُﻤَﺮَ ﻋَﻦْ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺑْﻦِ ﻋُﻤَﺮَ ﻗَﺎﻝَ ﺗُﻮُﻓِّﻲَ ﻋُﺜْﻤَﺎﻥُ ﺑْﻦُ ﻣَﻈْﻌُﻮﻥٍ ﻭَﺗَﺮَﻙَ ﺍﺑْﻨَﺔً ﻟَﻪُ ﻣِﻦْ ﺧُﻮَﻳْﻠَﺔَ ﺑِﻨْﺖِ ﺣَﻜِﻴﻢِ ﺑْﻦِ ﺃُﻣَﻴَّﺔَ ﺑْﻦِ ﺣَﺎﺭِﺛَﺔَ ﺑْﻦِ ﺍﻟْﺄَﻭْﻗَﺺِ ﻗَﺎﻝَ ﻭَﺃَﻭْﺻَﻰ ﺇِﻟَﻰ ﺃَﺧِﻴﻪِ ﻗُﺪَﺍﻣَﺔَ ﺑْﻦِ ﻣَﻈْﻌُﻮﻥٍ ﻗَﺎﻝَ ﻋَﺒْﺪُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻭَﻫُﻤَﺎ ﺧَﺎﻟَﺎﻱَ ﻗَﺎﻝَ ﻓَﻤَﻀَﻴْﺖُ ﺇِﻟَﻰ ﻗُﺪَﺍﻣَﺔَ ﺑْﻦِ ﻣَﻈْﻌُﻮﻥٍ ﺃَﺧْﻄُﺐُ ﺍﺑْﻨَﺔَ ﻋُﺜْﻤَﺎﻥَ ﺑْﻦِ ﻣَﻈْﻌُﻮﻥٍ ﻓَﺰَﻭَّﺟَﻨِﻴﻬَﺎ ﻭَﺩَﺧَﻞَ ﺍﻟْﻤُﻐِﻴﺮَﺓُ ﺑْﻦُ ﺷُﻌْﺒَﺔَ ﻳَﻌْﻨِﻲ ﺇِﻟَﻰ ﺃُﻣِّﻬَﺎ ﻓَﺄَﺭْﻏَﺒَﻬَﺎ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻤَﺎﻝِ ﻓَﺤَﻄَّﺖْ ﺇِﻟَﻴْﻪِ ﻭَﺣَﻄَّﺖْ ﺍﻟْﺠَﺎﺭِﻳَﺔُ ﺇِﻟَﻰ ﻫَﻮَﻯ ﺃُﻣِّﻬَﺎ ﻓَﺄَﺑَﻴَﺎ ﺣَﺘَّﻰ ﺍﺭْﺗَﻔَﻊَ ﺃَﻣْﺮُﻫُﻤَﺎ ﺇِﻟَﻰ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﻗُﺪَﺍﻣَﺔُ ﺑْﻦُ ﻣَﻈْﻌُﻮﻥٍ ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺍﺑْﻨَﺔُ ﺃَﺧِﻲ ﺃَﻭْﺻَﻰ ﺑِﻬَﺎ ﺇِﻟَﻲَّ ﻓَﺰَﻭَّﺟْﺘُﻬَﺎ ﺍﺑْﻦَ ﻋَﻤَّﺘِﻬَﺎ ﻋَﺒْﺪَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺑْﻦَ ﻋُﻤَﺮَ ﻓَﻠَﻢْ ﺃُﻗَﺼِّﺮْ ﺑِﻬَﺎ ﻓِﻲ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺡِ ﻭَﻟَﺎ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻜَﻔَﺎﺀَﺓِ ﻭَﻟَﻜِﻨَّﻬَﺎ ﺍﻣْﺮَﺃَﺓٌ ﻭَﺇِﻧَّﻤَﺎ ﺣَﻄَّﺖْ ﺇِﻟَﻰ ﻫَﻮَﻯ ﺃُﻣِّﻬَﺎ ﻗَﺎﻝَ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻫِﻲَ ﻳَﺘِﻴﻤَﺔٌ ﻭَﻟَﺎ ﺗُﻨْﻜَﺢُ ﺇِﻟَّﺎ ﺑِﺈِﺫْﻧِﻬَﺎ ﻗَﺎﻝَ ﻓَﺎﻧْﺘُﺰِﻋَﺖْ ﻭَﺍﻟﻠَّﻪِ ﻣِﻨِّﻲ ﺑَﻌْﺪَ ﺃَﻥْ ﻣَﻠَﻜْﺘُﻬَﺎ ﻓَﺰَﻭَّﺟُﻮﻫَﺎ ﺍﻟْﻤُﻐِﻴﺮَﺓَ ﺑْﻦَ ﺷُﻌْﺒَﺔَ
Telah menceritakan kepada kami Ya’quub
[1] : Telah menceritakan kepada kami ayahku
[2], dari Ibnu Ishaaq
[3] : Telah menceritakan kepadaku ‘Umar bin Husain bin ‘Abdillah maulaa Aali Haathib
[4], dari Naafi’ maulaa ‘Abdillah bin ‘Umar
[5], dari ‘Abdullah bin ‘Umar, ia berkata : “’Utsmaan bin Madh'uun wafat meninggalkan seorang anak perempuan hasil pernikahannya dengan Khuwailah binti Hakiim bin Umayyah bin Haaritsah bin Al- Auqash”.
Ibnu ‘Umar berkata : “Dan dia berwasiat kepada saudara lelakinya yang bernama Qudaamah bin Madh'uun. Keduanya adalah paman dari jalur ibuku. Lalu aku mendatangi Qudaamah bin Madh'uun untuk melamar anak perempuan ‘Utsmaan bin Madh'uun, lalu ia pun menikahkanku dengannya. Tiba-tiba Al-Mughiirah bin Syu'bah menemui ibunya, merayunya, dan membuatnya tertarik kepada hartanya sehingga akhirnya ia lebih condong kepadanya. Dan anak perempuannya itu juga lebih condong kepada keinginan ibunya. Keduanya (Ibnu Umar dan Qudaamah bin Madh'uun) tidak menyetujuinya hingga permasalahan ini sampai kepada Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam. Qudaamah bin Madh'uun pun berkata : "Wahai Rasulullah, anak perempuan dari saudara laki-lakiku telah diwasiatkan kepadaku, hingga aku pun menikahkannya dengan anak lelaki dari bibinya (dari jalur ayah) yakni, ‘Abdullah bin ‘Umar. Aku tidak meragukan kebaikan dan kemampuan keponakan perempuanku itu. Akan tetapi, dia adalah seorang wanita yang ternyata lebih condong kepada kemauan ibunya".
Lalu Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : “Dia adalah anak yatim, dan dia tidak boleh dinikahkan kecuali diminta ijinnya/persetujuannya”. Ibnu ‘Umar berkata : “Demi Allah, ia pun akhirnya direbut dariku setelah aku menikahinya, lalu mereka menikahkannya dengan Al-Mughiirah bin Syu'bah" [Diriwayatkan oleh Ahmad 2/130; sanad riwayat ini hasan, namun shahih dengan keseluruhan jalannya. Diriwayatkan pula oleh Al- Baihaqiy 7/113, Al-Haakim 2/167, Ad-Daaruquthniy no. 3545-3549, dan Ibnu Maajah no. 1878. Dishahihkan Al- Albaaniy dalam Irwaaul-Ghaliil no. 1835, dihasankan Al- Arna’uth dalam Takhrij Musnad Al-Imam Ahmad 10/285, dishahihkan Ahmad Syaakir dalam Syarh Musnad Al-Imam Ahmad 5/389, dan dishahihkan Basyar ‘Awwaad dalam Takhriij Sunan Ibnu Maajah 3/325-326].
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah membatalkan pernikahan Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa, seorang shahabat besar, karena wanita yang dinikahinya itu tidak menyukainya. ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﻗُﺘَﻴْﺒَﺔُ ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﻋَﺒْﺪُ ﺍﻟْﻌَﺰِﻳﺰِ ﺑْﻦُ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﻋَﻦْ ﻣُﺤَﻤَّﺪِ ﺑْﻦِ ﻋَﻤْﺮٍﻭ ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲ ﺳَﻠَﻤَﺔَ ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲ ﻫُﺮَﻳْﺮَﺓَ ﻗَﺎﻝَ ﻗَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺍﻟْﻴَﺘِﻴﻤَﺔُ ﺗُﺴْﺘَﺄْﻣَﺮُ ﻓِﻲ ﻧَﻔْﺴِﻬَﺎ ﻓَﺈِﻥْ ﺻَﻤَﺘَﺖْ ﻓَﻬُﻮَ ﺇِﺫْﻧُﻬَﺎ ﻭَﺇِﻥْ ﺃَﺑَﺖْ ﻓَﻠَﺎ ﺟَﻮَﺍﺯَ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ ﻳَﻌْﻨِﻲ ﺇِﺫَﺍ ﺃَﺩْﺭَﻛَﺖْ ﻓَﺮَﺩَّﺕْ Telah menceritakan kepada kami Qutaibah
[6] : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-‘Aziiz bin Muhammad
[7], dari Muhammad ‘Amru
[8], dari Abu Salamah
[9], dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Seorang wanita yatim (jika hendak dinikahkan), harus dimintai persetujuannya. Jika ia diam, maka itulah ijinnya. Jika menolak, maka tidak boleh dipaksa". Maksudnya jika telah baligh dan menolak pernikahannya [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1109, dan ia berkata : “Hasan”. Diriwayatkan pula oleh ‘Abdurrazzaaq no. 10297, Ibnu Abi Syaibah 4/138, Ahmad 2/259 & 384 & 475, Abu Daawud no. 2093-2094, An- Nasaa’iy 4/87, Abu Ya’laa no. 6019 & 7328, Ath-Thahaawiy dalam Syarh Musykilil-Aatsaar no. 5728-5729, Ibnu Hibbaan no. 4079 & 4086, an Al-Baihaqiy 7/120 & 122.
Dishahihkan Al- Albaaniy dalam Shahih Sunan At-Tirmidziy 1/563 & Irwaaul- Ghaliil no. 1834]. At-Tirmidziy berkata : ﻭﺍﺧﺘﻠﻒ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻓﻲ ﺗﺰﻭﻳﺞ ﺍﻟﻴﺘﻴﻤﺔ ﻓﺮﺃﻯ ﺑﻌﺾ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﺃﻥ ﺍﻟﻴﺘﻴﻤﺔ ﺇﺫﺍ ﺯﻭﺟﺖ ﻓﺎﻟﻨﻜﺎﺡ ﻣﻮﻗﻮﻑ ﺣﺘﻰ ﺗﺒﻠﻎ ﻓﺈﺫﺍ ﺑﻠﻐﺖ ﻓﻠﻬﺎ ﺍﻟﺨﻴﺎﺭ ﻓﻲ ﺇﺟﺎﺯﺓ ﺍﻟﻨﻜﺎﺡ ﺃﻭ ﻓﺴﺨﻪ ﻭﻫﻮ ﻗﻮﻝ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﺘﺎﺑﻌﻴﻦ ﻭﻏﻴﺮﻫﻢ ﻭﻗﺎﻝ ﺑﻌﻀﻬﻢ ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﻧﻜﺎﺡ ﺍﻟﻴﺘﻴﻤﺔ ﺣﺘﻰ ﺗﺒﻠﻎ ﻭﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﺍﻟﺨﻴﺎﺭ ﻓﻲ ﺍﻟﻨﻜﺎﺡ ﻭﻫﻮ ﻗﻮﻝ ﺳﻔﻴﺎﻥ ﺍﻟﺜﻮﺭﻱ ﻭﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﻭﻏﻴﺮﻫﻤﺎ ﻣﻦ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻭﻗﺎﻝ ﺃﺣﻤﺪ ﻭﺇﺳﺤﺎﻕ ﺇﺫﺍ ﺑﻠﻐﺖ ﺍﻟﻴﺘﻴﻤﺔ ﺗﺴﻊ ﺳﻨﻴﻦ ﻓﺰﻭﺟﺖ ﻓﺮﺿﻴﺖ ﻓﺎﻟﻨﻜﺎﺡ ﺟﺎﺋﺰ ﻭﻻ ﺧﻴﺎﺭ ﻟﻬﺎ ﺇﺫﺍ ﺃﺩﺭﻛﺖ ﻭﺍﺣﺘﺠﺎ ﺑﺤﺪﻳﺚ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﺃﻥ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺑﻨﻰ ﺑﻬﺎ ﻭﻫﻲ ﺑﻨﺖ ﺗﺴﻊ ﺳﻨﻴﻦ ﻭﻗﺪ ﻗﺎﻟﺖ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﺇﺫﺍ ﺑﻠﻐﺖ ﺍﻟﺠﺎﺭﻳﺔ ﺗﺴﻊ ﺳﻨﻴﻦ ﻓﻬﻲ ﺍﻣﺮﺃﺓ “Para ulama telah berselisih pendapat tentang perkara menikahkan wanita yatim. Sebagian ulama berpendapat bahwa jika seorang wanita yatim dinikahkan, maka pernikahannya itu digantungkan hingga mencapai usia baligh.
Jika telah mencapai usia baligh, maka ada hak pilih baginya untuk meneruskan atau membatalkan pernikahannya. Ia adalah pendapat sebagian tabi’in dan yang lainnya. Sebagin ulama lagi berkata : Tidak diperbolehkan menikahi wanita yatim hingga ia baligh dan tidak boleh ada hak pilih (untuk meneruskan atau membatalkan) dalam pernikahan. Ia adalah perkataan Sufyaan Ats-Tsauriy, Asy-Syaafi’iy dan yang lainnya dari kalangan ulama. Telah berkata Ahmad dan Ishaaq : Apabila wanita yatim itu mencapai usia sembilan tahun, lalu ia dinikahkan dan ia pun ridla dengannya, maka pernikahannya itu sah dan tidak ada hak pilih baginya jika ia telah mencapai usia baligh.
Keduanya berhujjah dengan hadits ‘Aaisyah : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam membina rumah tangga dengannya (menggaulinya) saat ia berusia sembilan tahun. ‘Aaisyah berkata : ‘Apabila telah mencapai usia sembilan tahun, maka ia seorang wanita dewasa/baligh” [Sunan At- Tirmidziy, 2/402]. Yang benar, bahwasannya seorang wanita yatim boleh dinikahkan sebelum baligh, karena tidak disebut yatim jika ia telah baligh. ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﺃَﺣْﻤَﺪُ ﺑْﻦُ ﺻَﺎﻟِﺢٍ ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﻳَﺤْﻴَﻰ ﺑْﻦُ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﺍﻟْﻤَﺪِﻳﻨِﻲُّ ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﻋَﺒْﺪُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺑْﻦُ ﺧَﺎﻟِﺪِ ﺑْﻦِ ﺳَﻌِﻴﺪِ ﺑْﻦِ ﺃَﺑِﻲ ﻣَﺮْﻳَﻢَ ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻴﻪِ ﻋَﻦْ ﺳَﻌِﻴﺪِ ﺍﺑْﻦِ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟﺮَّﺣْﻤَﻦِ ﺑْﻦِ ﻳَﺰِﻳﺪَ ﺑْﻦِ ﺭُﻗَﻴْﺶٍ ﺃَﻧَّﻪُ ﺳَﻤِﻊَ ﺷُﻴُﻮﺧًﺎ ﻣِﻦْ ﺑَﻨِﻲ ﻋَﻤْﺮِﻭ ﺑْﻦِ ﻋَﻮْﻑٍ ﻭَﻣِﻦْ ﺧَﺎﻟِﻪِ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺑْﻦِ ﺃَﺑِﻲ ﺃَﺣْﻤَﺪَ ﻗَﺎﻝَ ﻗَﺎﻝَ ﻋَﻠِﻲُّ ﺑْﻦُ ﺃَﺑِﻲ ﻃَﺎﻟِﺐٍ ﺣَﻔِﻈْﺖُ ﻋَﻦْ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻟَﺎ ﻳُﺘْﻢَ ﺑَﻌْﺪَ ﺍﺣْﺘِﻠَﺎﻡٍ ﻭَﻟَﺎ ﺻُﻤَﺎﺕَ ﻳَﻮْﻡٍ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﻠَّﻴْﻞِ Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Shaalih
[10] : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Muhammad Al- Madiiniy
[11] : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Khaalid bin Sa’iid bin Abi Maryam
[12], dari ayahnya
[13], dari Sa’iid bin ‘Abdirrahmaan bin Yaziid bin Ruqaisy[
14] : Bahwasannya ia pernah mendengar beberapa orang tua dari Bani ‘Amru bin ‘Auf dan dari pamannya yang bernama ‘Abdullah bin Abi Ahmad[15], ia berkata : Telah berkata ‘Aliy bin Abi Thaalib : Aku menghapal dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Tidak ada yatim setelah ihtilaam (baligh), dan tidak ada sikap diam dalam sehari semalam” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 2873; lemah, akan tetapi ia mempunyai beberapa penguat di jalur lain. Dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Irwaaul-Ghaliil, 5/79-83 no. 1244]. Oleh karena itu, berdasarkan dhahir hadits sebelumnya, boleh hukumnya menikahkan wanita yatim dengan syarat bahwa wanita yatim itu menyetujuinya. Jika tidak, maka ia tidak boleh dipaksa untuk menikah. Adapun jika wanita itu belum baligh dan bukan berstatus yatim, menurut jumhur, ia boleh dinikahkan tanpa diperlukan ijinnya terlebih dahulu.
Bahkan Ibnu Qudaamah – dengan menukil perkataan Ibnul- Mundzir – telah menegaskan adanya ijma’ akan hal ini : ﻗﺎﻝ ﺍﺑﻦ ﺍﻟﻤﻨﺬﺭ : ﺃﺟﻤﻊ ﻛﻞ ﻣﻦ ﻧﺤﻔﻆ ﻋﻨﻪ ﻣﻦ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﺃﻥ ﻧﻜﺎﺡ ﺍﻷﺏ ﺍﺑﻨﺘﻪ ﺍﻟﺒﻜﺮ ﺍﻟﺼﻐﻴﺮﺓ ﺟﺎﺋﺰ ، ﺇﺫﺍ ﺯﻭﺟﻬﺎ ﻣﻦ ﻛﻒﺀ ، ﻭﻳﺠﻮﺯ ﻟﻪ ﺗﺰﻭﻳﺠﻬﺎ ﻣﻊ ﻛﺮﺍﻫﻴﺘﻬﺎ ﻭﺍﻣﺘﻨﺎﻋﻬﺎ “Telah berkata Ibnul-Mundzir : Para ulama yang kami hapal semuanya telah sepakat bahwa seorang ayah yang menikahkan anak perempuannya yang masih kecil diperbolehkan, jika ia menikahkan dengan orang yang sepadan. Dan diperbolehkan pula menikahkan anak perempuannya itu walaupun disertai ketidaksukaan ataupun penolakan” [Al-Mughniy, 9/398]. Ijma’ ini juga dikatakan oleh Ibnu Hazm dalam Al-Muhallaa (9/458), Ibnu ‘Abdil-Barr dalam At-Tamhiid (19/98), dan Ibnu Hajar dalam Fathul-Baariy (9/123). Mereka berdalil dengan perbuatan Abu Bakr yang menikahkan ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhumaa yang saat itu ia masih kecil tanpa meminta persetujuannya terlebih dahulu. Gadis secara umum (yang belum pernah menikah) yang telah mencapai usia baligh, maka para ulama berselisih tajam dalam hal ini.
Sebagian ulama ada yang membolehkan menikahkan tanpa melalui prosedur ijin atau persetujuan dari anaknya. Berjajar dalam barisan ini adalah Maalik, Asy- Syaafi’iy, dan Ahmad dalam satu riwayat. Sedangkan para ulama yang kontra dengan pendapat ini di antaranya Ahmad dalam satu riwayat, Ahnaaf (Hanafiyyah), dan Dhahiriyyah. Namun menurut pendapat yang raajih, wallaahu a’lam, ia pun tetap harus diminta persetujuannya jika hendak dinikahkan. ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﻋُﺜْﻤَﺎﻥُ ﺑْﻦُ ﺃَﺑِﻲ ﺷَﻴْﺒَﺔَ ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﺣُﺴَﻴْﻦُ ﺑْﻦُ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﺟَﺮِﻳﺮُ ﺑْﻦُ ﺣَﺎﺯِﻡٍ ﻋَﻦْ ﺃَﻳُّﻮﺏَ ﻋَﻦْ ﻋِﻜْﺮِﻣَﺔَ ﻋَﻦْ ﺍﺑْﻦِ ﻋَﺒَّﺎﺱٍ ﺃَﻥَّ ﺟَﺎﺭِﻳَﺔً ﺑِﻜْﺮًﺍ ﺃَﺗَﺖْ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲَّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻓَﺬَﻛَﺮَﺕْ ﺃَﻥَّ ﺃَﺑَﺎﻫَﺎ ﺯَﻭَّﺟَﻬَﺎ ﻭَﻫِﻲَ ﻛَﺎﺭِﻫَﺔٌ ﻓَﺨَﻴَّﺮَﻫَﺎ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ Telah menceritakan kepada kami ‘Utsmaan bin Abi Syaibah
[16] : Telah menceritakan kepada kami Husain bin Muhammad
[17] : Telah menceritakan kepada kami Jariir bin Haazim
[18], dari Ayyuub
[19], dari ‘Ikrimah[20], dari Ibnu ‘Abbaas : Bahwasanya ada seorang gadis mendatangi Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam dan menyebutkan ayahnya telah menikahkannya sementara ia tidak senang. Kemudian beliau memberikan pilihan (apakah ia ingin meneruskan pernikahannya atau tidak)” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 2096; shahih. Diriwayatkan juga oleh Ibnu Maajah no. 1875, Ahmad 1/273, An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa no. 5387, Abu Ya’laa no. 2526, Ath- Thahaawiy 4/365, dan Al- Baihaqiy 7/119.
Dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahih Sunan Abi Daawud, 1/586]. Inilah pendapat yang dipilih Al- Imaam Al-Bukhaariy dimana ia membuat satu bab khusus dalam kitab Shahih-nya dengan judul : ﺇﺫﺍ ﺯﻭّﺝ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﺍﺑﻨﺘﻪ ﻭﻫﻲ ﻛﺎﺭﻫﺔ، ﻓﻨﻜﺎﺣﻪ ﻣﺮﺩﻭﺩ. “Apabila seorang laki-laki menikahkan anak perempuannya sedangkan ia tidak suka, maka pernikahannya itu tertolak (batal)”. Adapun janda, para ulama sepakat bahwa ia tidak boleh dinikahkan kecuali dengan ijinnya/persetujuannya. ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺳﻌﻴﺪ ﺑﻦ ﻣﻨﺼﻮﺭ ﻭﻗﺘﻴﺒﺔ ﺑﻦ ﺳﻌﻴﺪ. ﻗﺎﻻ: ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻣﺎﻟﻚ. ﺡ ﻭﺣﺪﺛﻨﺎ ﻳﺤﻴﻰ ﺑﻦ ﻳﺤﻴﻰ )ﻭﺍﻟﻠﻔﻆ ﻟﻪ( ﻗﺎﻝ: ﻗﻠﺖ ﻟﻤﺎﻟﻚ ﺣﺪﺛﻚ ﻋﺒﺪﺍﻟﻠﻪ ﺑﻦ ﺍﻟﻔﻀﻞ ﻋﻦ ﻧﺎﻓﻊ ﺑﻦ ﺟﺒﻴﺮ، ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ ؛ ﺃﻥ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ : "ﺍﻷﻳﻢ ﺃﺣﻖ ﺑﻨﻔﺴﻬﺎ ﻣﻦ ﻭﻟﻴﻬﺎ. ﻭﺍﻟﺒﻜﺮ ﺗﺴﺘﺄﺫﻥ ﻓﻲ ﻧﻔﺴﻬﺎ. ﻭﺇﺫﻧﻬﺎ ﺻﻤﺎﺗﻬﺎ ؟" ﻗﺎﻝ: ﻧﻌﻢ.
Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Manshuur dan Qutaibah bin Sa’iid, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Maalik. Dan telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Yahyaa – dan lafadh ini miliknya - , ia berkata : Aku berkata kepada Maalik : Apakah ‘Abdullah bin Al-Fadhl pernah berkata kepadamu, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Abbaas : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan anak gadis harus dimintai ijin/persetujuan darinya. Sedangkan ijinnya adalah diamnya ?”. Ia (Maalik) menjawab : “Ya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1421]
. ﺣﺪﺛﻨﻲ ﻋﺒﻴﺪﺍﻟﻠﻪ ﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﺑﻦ
ﻣﻴﺴﺮﺓ ﺍﻟﻘﻮﺍﺭﻳﺮﻱ. ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺧﺎﻟﺪ ﺑﻦ ﺍﻟﺤﺎﺭﺙ. ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻫﺸﺎﻡ ﻋﻦ ﻳﺤﻴﻰ ﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﻛﺜﻴﺮ. ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺃﺑﻮ ﺳﻠﻤﺔ. ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺃﺑﻮ ﻫﺮﻳﺮﺓ ؛ ﺃﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ " :ﻻ ﺗﻨﻜﺢ ﺍﻷﻳﻢ ﺣﺘﻰ ﺗﺴﺘﺄﻣﺮ. ﻭﻻ ﺗﻨﻜﺢ ﺍﻟﺒﻜﺮ ﺣﺘﻰ ﺗﺴﺘﺄﺫﻥ" ﻗﺎﻟﻮﺍ: ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ! ﻭﻛﻴﻒ ﺇﺫﻧﻬﺎ ؟ ﻗﺎﻝ " ﺃﻥ ﺗﺴﻜﺖ." Telah menceritakan kepadaku ‘Ubaidullah bin ‘Umar bin Maisarah Al-Qawaariiriy : Telah menceritakan kepada kami Khaalid bin Al-Haarits : Telah menceritakan kepada kami Hisyaam, dari Yahyaa bin Abi Katsiir : Telah menceritakan kepada kami Abu Salamah : telah menceritakan kepada kami Abu Hurairah :Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “Seorang janda tidak boleh dinikahkan hingga dimintai persetujuannya. Dan seorang gadis tidak boleh dinikahkan hingga dimintai ijinnya”. Para shahabat bertanya : “Wahai Rasulullah, bagaimana itu ijinnya ?”. Beliau menjawab : “Diamnya” [Diriwayatkan Muslim no. 1419].
Al-Haafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata : ﺃﺻﻞ ﺍﻻﺳﺘﺌﻤﺎﺭ : ﻃﻠﺐُ ﺍﻷﻣﺮ؛ ﻓﺎﻟﻤﻌﻨﻰ : ﻻ ﻳﻌﺘﻘﺪ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﺣﺘﻰ ﻳﻄﻠﺐ ﺍﻷﻣﺮ ﻣﻨﻬﺎ. ﻭﻳﺆﺧﺬ ﻣﻦ ﻗﻮﻟﻪ : ﻻ ﺗﺴﺘﺄﻣﺮ؛ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﻌﺘﻘﺪ ﺇﻻ ﺑﻌﺪ ﺃﻥ ﺗﺄﻣﺮ ﺑﺬﻟﻚ. “Asal makna kata al-isti’maar adalah : mencari perintah. Maka artinya adalah : Ia tidak boleh dinikahkan hingga dimintakan perintah darinya. Oleh karena itu, diambil pengertian dari sabda beliau : ‘laa tusta’mara’ , yaitu bahwasannya akad pernikahan tidak boleh dilangsungkan hingga janda tersebut dimintai persetujuannya atas hal tersebut” [selesai]. Telah berkata Asy-Syaukaaniy rahimahullah : ﻭﺍﻷﺣﺎﺩﻳﺚ ﻓﻲ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺒﺎﺏ ﻛﺜﻴﺮﺓ، ﻭﻫﻲ ﺗﻔﻴﺪ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﺼﺢ ﻧﻜﺎﺡ ﻣﻦ ﻟﻢ ﺗﺮْﺽَ؛ ﺑﻜﺮﺍ ﻛﺎﻧﺖ ﺃﻭ ﺛﻴﺒﺎ. “Dan hadits-hadits dalam bab ini adalah banyak. Dan ia memberikan faedah bahwasannya tidak sah pernikahan bagi orang yang tidak menyukainya, baik gadis ataupun janda” [Sailul-Jaraar, 1/364]. Itu saja yang dapat disajikan di siang hari Jum’at ini…. Masih dalam suasana Ramadlaan 1431.
Semoga yang ditulis di sela-sela aktifitas kantor ini ada manfaatnya.
[abu al-jauzaa’ – senayan, akhir agustus 2010].
[1] Ya’quub bin Ibraahiim bin Sa’d bin Ibraahiim bin ‘Abdirrahmaan bin ‘Auf Az- Zuhriy Abu Yuusuf Al- Madaniy; seorang yang tsiqah lagi faadlil (w. 208 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih- nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1087 no. 7865 dan Mu’jamu Syuyuukh Al- Imam Ahmad, hal. 397 no. 284].
[2] Ibraahiim bin Sa’d bin Ibraahiim bin ‘Abdirrahmaan bin ‘Auf Al- Qurasyiy Az-Zuhriy Abu Ishaaq Al-Madaniy; seorang yang tsiqah lagi hujjah (108-182/183/184/185 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih- nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 108 no. 179].
[3] Muhammad bin Ishaaq bin Yasaar Al-Madaniy Abu Bakr/Abu ‘Abdillah Al- Qurasyiy Al-Mathlabiy; seorang yang shaduuq, namun melakukan tadlis (w. 150 H). Dipakai Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 825 no. 5762].
[4] ‘Umar bin Husain bin ‘Abdillah Al-Jumahiy Abu Qudaamah Al-Makkiy maula ‘Aaisyah binti Qudaamah bin Madh’uun Al-Jumahiy; seorang yang tsiqah. Dipakai Muslim dalam Shahih-nya [idem, 715 no. 4910].
[5] Naafi’ Abu ‘Abdillah Al- Madaniy maula Ibni ‘Umar; seorang yang tsiqah, tsabat, faqiih, lagi masyhuur (w. 117 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 996 no. 7136].
[6] Qutaibah bin Sa’iid bin Jamiil bin Thariif bin ‘Abdillah Ats-Tsaqafiy Abu Rajaa’ Al-Balkhiy Al- Baghlaaniy; seorang yang tsiqah lagi tsabat (w. 240 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih- nya [idem, hal. 799 no. 5557].
[7] ‘Abdul-‘Aziiz bin Muhammad bin ‘Ubaid Ad- Daraawardiy Abu Muhammad Al-Juhhaniy (w. 186/187 H). Dipakai Al- Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya. Ada beberapa komentar ulama tentangnya : Mush’ab bin ‘Abdillah bin Az-Zubair berkata : “Maalik bin Anas mentsiqahkan Ad-Daraawardiy”.
Ahmad berkata : “Ia seorang yang ma’ruuf sebagai seorang pencari hadits. Apabila ia meriwayatkan dari kitabnya, maka shahih. Namun bila ia meriwayatkan dari kitab- kitab milik orang lain, ada keraguan. Ia membaca kitab-kitab mereka, lalu keliru. Kadang ia membalikkan hadits ‘Abdullah bin ‘Umar, dimana ia meriwayatkannya (menjadi) dari ‘Ubaidullah bin ‘Umar”. Yahyaa bin Ma’iin berkata : “Ad- Daraawardiy lebih tsabt daripada Fulaih bin Sulaimaan, Ibnu Abiz- Zinaad, dan Abu Aus. Ad- Daraawardiy kemudian Ibnu Abi Haazim”. Di lain riwayat ia berkata : “Tidak mengapa dengannya”.Di lain riwayat ia berkata : “Tsiqah hujjah”. Abu Zur’ah berkata : “Jelek hapalan. Kadang meriwayatkan dari hapalannya, ada sesuatu padanya, lalu ia keliru”. Abu Haatim berkata : “Muhaddits”. An-Nasaa’iy berkata : “Tidak kuat”. Di lain riwayat ia berkata : “Tidak mengapa dengannya. Adapun haditsnya yang berasal dari ‘Ubaidullah bin ‘Umar adalah munkar”. Ibnu Sa’d berkata : “Tsiqah, banyak mempunyai hadits, melakukan beberapa kekeliruan” [Lihat : Tahdziibul-Kamaal, 18/187-195 no. 3470]. Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat, dan berkata : “Sering keliru (yukhthi’)”. Al-‘Ijliy berkata : “Tsiqah”. As-Saajiy berkata : “Ia termasuk orang-orang yang jujur dan amanah, akan tetapi ia mempunyai banyak keraguan” [lihat : Tahdziibut-Tahdziib, 6/353-355 no. 680]. Al-Bardza’iy pernah berkata : Aku pernah bertanya lepada Abu Zur’ah : “Fulaih bin Sulaimaan, ‘Abdurrahmaan bin Abiz-Zinaad, Abu Aus, Ad-Daraawardiy, dan Ibnu Abi Haazim, mana di antara mereka yang lebih engkau senangi ?”. Ia menjawab : “Ad- Daraawardiy dan Ibnu Abi Haazim lebih aku senangi daripada mereka semua” [Suaalaat Al- Bardza’iy lembar 424-425]. Ya’quub bin Sufyaan berkata : “’Abdul-‘Aziiz di sisi penduduk Madiinah adalah seorang imam yang tsiqah” [Al-Ma’rifatu wat-Taariikh, 1/349]. Ibnu Hajar berkata : “Shaduuq, namun ia meriwayatkan dari kitab- kitab orang lain lalu keliru” [Taqriibut-Tahdziib, hal. 615 no. 4147].
Basyar ‘Awwaad dan Al-Arna’uth berkata : “Tsiqah” [Tahriirut-Taqriib, 2/371 no. 4119]. Abu Ishaaq Al-Huwainiy berkata : “Tsiqah” [Natslun-Nabaal bi-Mu’jamir-Rijaal, hal. 801-802 no. 1852]. Al- Albaaniy berkata : “Tsiqah” [Al-Irwaa’, 1/295]. Kesimpulannya : Ia seorang yang tsiqah yang sedikit mendapat kritikan di jurusan hapalannya. Khusus riwayatnya dari ‘Ubaidullah bin ‘Umar mendapat pengingkaran sehingga dilemahkan sebagian ulama.
[8] Muhammad bin ‘Amru bin ‘Alqamah bin Waqqaash Al-Laitsiy Abu ‘Abdillah/Abul-Hasan Al- Madaniy; seorang yang jujur, namun mempunyai beberapa keraguan (w. 144/145 H). Dipakai Al- Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 884 no. 6228]. [
9] Abu Salamah bin ‘Abdirrahmaan bin ‘Auf Al- Qurasyiy Az-Zuhriy; seorang yang tsiqah banyak haditsnya (22- 94 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih- nya [idem, hal. 1155 no. 8203].
[10] Ahmad bin Shaalih Al- Mishriy Abu Ja’far bin Ath- Thabariy; seorang yang tsiqah lagi haafidh (170-248 H). Dipakai Al- Bukhaariy dalam Shahih- nya [idem, hal. 91 no. 48].
[11] Yahyaa bin Muhammad bin ‘Abdillah bin Mihraan Al-Jaariy Al-Hijaaziy Al- Madiniy. Para ulama berbeda pendapat tentangnya. Al-‘Ijliy berkata : “Tsiqah”. Al- Bukhariy berkata : “Orang- orang memperbincangkannya”. Ibnu Hibbaan menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat dan berkata : “Banyak meriwayatkan hadits gharib (yughrib)”. Yahyaa Az-Zammiy berkata : “Tsiqah”. Ibnu ‘Adiy : “Haditsnya tidak mengapa” [Tahdziibul- Kamaal, 31/522-524 no. 9613]. Namun Ibnu Hibbaan juga memasukkannya dalam Al- Majruuhiin, dan berkata : “Ia termasuk orang yang sering bersendirian dalam periwayatan tanpa ada mutaba’ah-nya karena sedikitnya riwayat yang ia miliki. Seakan-akan ia banyak mengalami keraguan. Maka dari sini, terdapat beberapa hal yang diingkari dalam riwayatnya sehingga wajib menyingkirkan jika ia bersendirian dalam riwayat-riwayatnya. Jika ingin berhujjah dengannya, maka ia dijadikan hujjah terhadap riwayat-riwayat yang menyepakati riwayat para perawi tsiqaat, dan aku berpendapat tidak mengapa dengannya”. Ibnu Hajar berkata : “Shaduuq, banyak kelirunya (yukhthi’)” [Taqriibut- Tahdziib, hal. 1066 no. 7688].
[12] ‘Abdullah bin Khaalid bin Sa’iid bin Abi Maryam Al-Qurasyiy At-Taimiy. Para ulama berbeda pendapat tentangnya. Ibnu Syaahiin menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat. Ahmad bn Shaalih Al-Mishriy berkata : “Tsiqah”. Al-Azdiy berkata : “Tidak ditulis haditsnya”. Ibnul- Qaththaan berkata : “Majhuul haal” [Tahdziibut-Tahdziib, 5/196 no. 336]. Kesimpulannya : “Shaduuq, hasanul- hadiits”. Pentsiqahan Ahmad bin Shaalih dan Ibnu Syaahiin membatalkan klaim Ibnul- Qaththaan bahwa ia seorang yang majhuul haal. Adapun kritik Al- Azdiy, maka tidaklah itu membuat derajat ‘Abdullah bin Khaalid menjadi lemah, mengingat ia seorang yang sering berlebih- lebihan dalam mengkritik perawi.
[13] Khaalid bin Sa’iid bin Abi Maryam Al-Qurasyiy At-Taimiy. Ibnu Hibbaan memasukkanya dalam Ats- Tsiqaat. Ibnu Madiiniy berkata : “Kami tidak mengetahui/ mengenalnya”. Al-‘Uqailiy membawakan satu hadits miliknya yang ia ingkari. Ibnul-Qaththaan memajhulkannya [Tahdziibut-Tahdziib, 3/95]. Ada tiga orang perawi tsiqah meriwayatkan darinya : ‘Abdullah bin Khaalid (shaduuq), ‘Athaaf bin Khaalid (tsiqah), dan Muhammad bin Ma’n Al- Ghiffaariy (tsiqah). Ibnu Hajar berkata : ‘Maqbuul” [Taqriibut- Tahdziib, hal. 287 no. 1650]. Adz-Dzahabiy berkata : “Tsiqah” [Al- Kaasyif, 1/365 no. 1326]. Kesimpulannya adalah sebagaimana Ibnu Hajar. Riwayatnya diterima apabila mutaba’ah-nya. [14] Sa’iid bin ‘Abdirrahmaan bin Yaziid bin Ruqaisy Al-Asadiy Al- Madaniy; seorang yang tsiqah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 383 no. 2368].
[15] ‘Abdullah bin Abi Ahmad bin Jahsy Al- Asadiy; disebutkan oleh jama’ah dalam jajaran tabi’iin yang tsiqah [idem, hal. 491 no. 3223].
[16] ‘Utsmaan bin Muhammad bin Ibraahiim bin ‘Utsmaan Al-‘Absiy Abul-Hasan bin Abi SyaibahAl-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi haafidh (156-239 H). Dipakai Al- Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Tahdziibut-Tahdziib, 7/151].
[17] Al-Husain bin Muhammad bin Bahraam At-Taimiy Abu Ahmad/Abu ‘Aliy Al-Muaddib Al- Marwadziy; seorang yang tsiqah (w. 213/214 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 250 no. 1354].
[18] Jariir bin Haazim bin Zaid bin ‘Abdillah Al-Azdiy Al-‘Atakiy Abun-Nadlr Al- Bashriy; seorang yang tsiqah [idem, hal. 196 no. 919 dan tahriir At-Taqriib 1/212 no. 911].
[19] Ayyuub bin Abi Tamiimah As-Sikhtiyaaniy Abu Bakr Al-Bashriy; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi hujjah (w. 131 H).Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih- nya [idem, hal. 158 no. 610].
[20] ‘Ikrimah Al-Qurasyiy Al- Haasyimiy maulaa Ibni ‘Abbaas; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi ‘aalim (w. 107 H). Dipakai Al- Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 687-688 no. 4707]