Sabtu, 08 Oktober 2011
Hakekat Tasawuf2
Hakikat Tasawuf (2) - Tingkat
pembahasan: Lanjutan Penulis:
Ustadz Abdullah Taslim Prinsip-
Prinsip Dasar Ajaran Tasawuf
yang Menyimpang dari
Petunjuk Al Quran dan As
Sunnah (*) Ringkasan dari satu
pembahasan yang ditulis oleh
Syaikh Shalih Al Fauzan dalam
kitabnya "Haqiqat At
Tashawwuf", pembahasan:
Mauqif Ash Shufiyyah Min Al
'Ibadah wa Ad Din (hal. 17-38)
dengan sedikit perubahan.
Orang-orang ahli tasawuf -
khususnya yang ada di zaman
sekarang- mempunyai prinsip
dasar dan metode khusus dalam
memahami dan menjalankan
agama ini, yang sangat
bertentangan dengan prinsip
dan metode Ahlusunnah wal
Jamaah, dan menyimpang
sangat jauh dari Al Quran dan
As Sunnah. Mereka membangun
keyakinan dan tata cara
peribadatan mereka di atas
simbol-simbol dan istilah-istilah
yang mereka ciptakan sendiri,
yang dapat kita simpulkan
sebagai berikut: Pertama,
mereka membatasi ibadah
hanya pada aspek Mahabbah
(kecintaan) saja dan
mengenyampingkan aspek-
aspek yang lainnya, seperti
aspek Khauf (rasa takut) dan
Raja' (harapan), sebagaimana
yang terlihat dalam ucapan
beberapa orang ahli tasawuf,
"Aku beribadah kepada Allah
'azza wa jalla bukan karena aku
mengharapkan masuk surga
dan juga bukan karena takut
masuk neraka!?" Memang benar
bahwa aspek Mahabbah adalah
landasan berdirinya ibadah,
akan tetapi ibadah itu tidak
hanya terbatas pada aspek
Mahabbah saja - sebagaimana
yang disangka oleh orang-
orang ahli tasawuf-, karena
ibadah itu memiliki banyak jenis
dan aspek yang melandasinya
selain aspek Mahabbah, seperti
aspek khauf, raja', dzull
(penghinaan diri),
khudhu' (ketundukkan), doa
dan aspek-aspek lain. Salah
seorang ulama Salaf berkata:
"Barang siapa yang beribadah
kepada Allah 'azza wa jalla
dengan kecintaan semata maka
dia adalah seorang zindiq, dan
barang siapa yang beribadah
kepada Allah dengan
pengharapan semata maka dia
adalah seorang Murji'ah, dan
barang siapa yang beribadah
kepada Allah 'azza wa jalla
dengan ketakutan semata maka
dia adalah seorang Haruriyyah
(Khawarij), dan barang siapa
yang beribadah kepada Allah
'azza wa jalla dengan kecintaan,
ketakutan dan pengharapan
maka dialah seorang mukmin
sejati dan muwahhid (orang
yang bertauhid dengan benar)."
Oleh karena itu Allah 'azza wa
jalla memuji sifat para Nabi dan
Rasul- Nya, yang mereka
senantiasa berdoa kepada-Nya
dengan perasaan takut dan
berharap, dan mereka adalah
orang-orang yang selalu
mengharapkan rahmat-Nya dan
takut akan siksaan-Nya. Berkata
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah:
"Kebanyakan orang- orang
yang menyimpang (dari jalan
Allah), orang-orang yang
mengikuti ajaran-ajaran bid'ah
berupa sikap zuhud dan ibadah-
ibadah yang tidak dilandasi ilmu
dan tidak sesuai dengan
petunjuk dari Al Quran dan As
Sunnah, mereka terjerumus ke
dalam kesesatan seperti yang
terjadi pada orang-orang
Nasrani yang mengaku-ngaku
mencintai Allah, yang
bersamaan dengan itu mereka
menyimpang dari syariat-Nya
dan enggan untuk
bermujahadah (bersungguh-
sungguh) dalam menjalankan
agama-Nya, dan
penyimpangan-penyimpangan
lainnya." (Kitab Al 'Ubudiyyah,
tulisan Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah [hal. 90], cet. Darul
Ifta', Riyadh). Dari uraian di atas
jelaslah bahwa membatasi
ibadah hanya pada aspek
Mahabbah saja tidaklah disebut
ibadah, bahkan ajaran ini bisa
menjerumuskan penganutnya
ke jurang kesesatan bahkan
menyebabkan dia keluar dari
agama islam. Kedua, orang-
orang ahli tasawuf umumnya
dalam menjalankan agama dan
melaksanakan ibadah tidak
berpedoman kepada Al Quran
dan As Sunnah, tapi yang
mereka jadikan pedoman
adalah bisikan jiwa dan
perasaan mereka dan ajaran
yang digariskan oleh pimpinan-
pimpinan mereka, berupa
thariqat-thariqat bid'ah,
berbagai macam zikir dan wirid
yang mereka ciptakan sendiri,
dan tidak jarang mereka
mengambil pedoman dari
cerita- cerita (yang tidak jelas
kebenarannya), mimpi-mimpi,
bahkan hadits-hadits yang
palsu untuk membenarkan
ajaran dan keyakinan mereka.
Inilah landasan ibadah dan
keyakinan ajaran Tasawuf.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
berkata, "Orang-orang ahli
Tasawuf dalam beragama dan
mendekatkan diri kepada Allah
'azza wa jalla berpegang teguh
pada suatu pedoman seperti
pedoman yang dipegang oleh
orang-orang Nasrani, yaitu
ucapan-ucapan yang tidak jelas
maknanya, dan cerita-cerita
yang bersumber dari orang
yang tidak dikenal
kejujurannya, kalaupun
ternyata orang tersebut jujur,
tetap saja dia bukan seorang
(Nabi/Rasul) yang terjaga dari
kesalahan, maka (demikian pula
yang dilakukan orang-orang
ahli Tasawuf) mereka
menjadikan para pemimpin dan
guru mereka sebagai penentu/
pembuat syariat agama bagi
mereka, sebagaimana orang-
orang Nasrani menjadikan para
pendeta dan rahib mereka
sebagai penentu/pembuat
syariat agama bagi mereka."
Ketiga, termasuk doktrin ajaran
Tasawuf adalah keharusan
berpegang teguh dan menetapi
zikir-zikir dan wirid-wirid yang
ditentukan dan diciptakan oleh
guru-guru thariqat mereka,
yang kemudian mereka
menetapi dan mencukupkan diri
dengan zikir-zikir tersebut,
beribadah dan mendekatkan
diri kepada Allah 'azza wa jalla
dengan selalu membacanya,
bahkan tidak jarang mereka
mengklaim bahwa membaca
zikir-zikir tersebut lebih utama
daripada membaca Al Quran,
dan mereka menamakannya
dengan "zikirnya orang-orang
khusus." Adapun zikir-zikir yang
tercantum dalam Al Quran dan
As Sunnah mereka namakan
dengan "zikirnya orang-orang
umum", maka kalimat (Laa Ilaha
Illallah) menurut mereka adalah
"zikirnya orang-orang umum",
adapun "zikirnya orang-orang
khusus" adalah kata tunggal
"Allah" dan "zikirnya orang-
orang khusus yang lebih
khusus" adalah kata (Huwa/Dia).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
berkata: "Barang siapa yang
menyangka bahwa kalimat (Laa
Ilaha Illallah) adalah zikirnya
orang-orang umum, dan
zikirnya orang-orang khusus
adalah kata tunggal "Allah",
serta zikirnya orang-orang
khusus yang lebih khusus
adalah kata ganti (Huwa/Dia),
maka dia adalah orang yang
sesat dan menyesatkan. Di
antara mereka ada yang berdalil
untuk membenarkan hal ini,
dengan firman Allah 'azza wa
jalla: ﻗُﻞِﺍﻟﻠّﻪُﺛُﻢَّﺫَﺭْﻫُﻢْﻓِﻲﺧَﻮْﺿِﻬِﻢْ
ﻳَﻠْﻌَﺒُﻮﻥَ "Katakan: Allah (yang
menurunkannya), kemudian
(sesudah kamu menyampaikan
Al Quran kepada mereka),
biarkanlah mereka bermain-
main dalam kesesatannya." (QS.
Al An'aam: 91) (Berdalil dengan
cara seperti ini) adalah
kesalahan yang paling nyata
yang dilakukan oleh orang-
orang ahli Tasawuf, bahkan ini
termasuk menyelewengkan
ayat Al Quran dari maknanya
yang sebenarnya, karena
sesungguhnya kata "Allah"
dalam ayat ini disebutkan dalam
kalimat perintah untuk
menjawab pertanyaan
sebelumnya, yaitu yang Allah
'azza wa jalla dalam firman-Nya:
ﻭَﻣَﺎﻗَﺪَﺭُﻭﺍْﺍﻟﻠّﻪَﺣَﻖَّﻗَﺪْﺭِﻩِﺇِﺫْ
ﻗَﺎﻟُﻮﺍْﻣَﺎﺃَﻧﺰَﻝَﺍﻟﻠّﻪُﻋَﻠَﻰﺑَﺸَﺮٍﻣِّﻦ
ﺷَﻲْﺀٍﻗُﻞْﻣَﻦْﺃَﻧﺰَﻝَﺍﻟْﻜِﺘَﺎﺏَﺍﻟَّﺬِﻱ
ﺟَﺎﺀﺑِﻪِﻣُﻮﺳَﻰﻧُﻮﺭﺍًﻭَﻫُﺪًﻯﻟِّﻠﻨَّﺎﺱِ
ﺗَﺠْﻌَﻠُﻮﻧَﻪُﻗَﺮَﺍﻃِﻴﺲَﺗُﺒْﺪُﻭﻧَﻬَﺎ
ﻭَﺗُﺨْﻔُﻮﻥَﻛَﺜِﻴﺮﺍًﻭَﻋُﻠِّﻤْﺘُﻢﻣَّﺎﻟَﻢْ
ﺗَﻌْﻠَﻤُﻮﺍْﺃَﻧﺘُﻢْﻭَﻻَﺁﺑَﺎﺅُﻛُﻢْﻗُﻞِﺍﻟﻠّﻪُ
"Katakanlah: Siapakah yang
menurunkan kitab (Taurat)
yang dibawa oleh Musa sebagai
cahaya dan petunjuk bagi
manusia, kamu jadikan kitab itu
lembaran-lembaran kertas yang
terpisah-pisah, kamu
perlihatkan (sebagiannya) dan
kamu sembunyikan sebagian
besarnya, padahal telah
diajarkan kepadamu apa yang
kamu dan bapak-bapakmu tidak
mengetahuinya? Katakanlah:
Allah (yang
menurunkannya) ." (QS. Al
An'aam: 91) Jadi maknanya
yang benar adalah: "Katakanlah:
Allah, Dialah yang menurunkan
kitab (Taurat) yang dibawa oleh
Nabi Musa shallallahu 'alaihi wa
sallam." (Kitab Al 'Ubudiyyah hal.
117). Keempat, sikap Ghuluw
(berlebih- lebihan/ekstrem)
orang-orang ahli Tasawuf
terhadap orang- orang yang
mereka anggap wali dan guru-
guru thariqat mereka, yang
bertentangan dengan aqidah
Ahlusunnah wal Jamaah, karena
di antara prinsip aqidah
Ahlusunnah wal Jamaah adalah
berwala (mencintai/berloyalitas)
kepada orang-orang yang
dicintai Allah 'azza wa jalla dan
membenci musuh-musuh Allah
'azza wa jalla. Allah 'azza wa jalla
berfirman: ﺇِﻧَّﻤَﺎﻭَﻟِﻴُّﻜُﻢُﺍﻟﻠّﻪُﻭَﺭَﺳُﻮﻟُﻪُ
ﻭَﺍﻟَّﺬِﻳﻦَﺁﻣَﻨُﻮﺍْﺍﻟَّﺬِﻳﻦَﻳُﻘِﻴﻤُﻮﻥَ
ﺍﻟﺼَّﻼَﺓَﻭَﻳُﺆْﺗُﻮﻥَﺍﻟﺰَّﻛَﺎﺓَﻭَﻫُﻢْ ﺭَﺍﻛِﻌُﻮﻥَ
"Sesungguhnya wali (kekasih/
penolongmu) hanyalah Allah,
Rasul-Nya dan orang-orang
yang beriman, yang mendirikan
shalat dan menunaikan zakat,
seraya mereka tunduk (kepada
Allah)." (QS. Al Maaidah: 55) Dan
Allah 'azza wa jalla berfirman:
ﻳَﺎﺃَﻳُّﻬَﺎﺍﻟَّﺬِﻳﻦَﺁﻣَﻨُﻮﺍﻟَﺎﺗَﺘَّﺨِﺬُﻭﺍ
ﻋَﺪُﻭِّﻱﻭَﻋَﺪُﻭَّﻛُﻢْﺃَﻭْﻟِﻴَﺎﺀﺗُﻠْﻘُﻮﻥَ
ﺇِﻟَﻴْﻬِﻢﺑِﺎﻟْﻤَﻮَﺩَّﺓِ "Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu
mengambil musuh-Ku dan
musuhmu menjadi teman-
teman setia." (QS. Al
Mumtahanah: 1) Wali (kekasih)
Allah 'azza wa jalla adalah
orang-orang yang beriman dan
bertakwa, yang mendirikan
shalat dan menunaikan zakat,
seraya mereka tunduk (kepada
Allah 'azza wa jalla). Dan
merupakan kewajiban kita
untuk mencintai, menghormati
dan meneladani mereka. Dan
perlu ditegaskan di sini bahwa
derajat kewalian itu tidak hanya
dikhususkan pada orang-orang
tertentu, bahkan setiap orang
yang beriman dan bertakwa dia
adalah wali (kekasih) Allah 'azza
wa jalla, akan tetapi kedudukan
sebagai wali Allah 'azza wa jalla
tidaklah menjadikan seseorang
terjaga dari kesalahan dan
kekhilafan. Inilah makna wali
dan kewalian, dan kewajiban
kita terhadap mereka, menurut
pemahaman Ahlusunnah wal
Jamaah. Adapun makna wali
menurut orang-orang ahli
Tasawuf sangat berbeda
dengan pemahaman
Ahlusunnah wal Jama'ah, karena
orang-orang ahli Tasawuf
memiliki beberapa kriteria dan
pertimbangan tertentu (yang
bertentangan dengan petunjuk
Al Quran dan As Sunnah) dalam
masalah ini, sehingga mereka
menobatkan derajat kewalian
hanya kepada orang-orang
tertentu tanpa dilandasi dalil
dari syariat yang menunjukkan
kewalian orang- orang tersebut.
Bahkan tidak jarang mereka
menobatkan derajat kewalian
kepada orang yang tidak
dikenal keimanan dan
ketakwaannya, bahkan kepada
orang yang dikenal punya
penyimpangan dalam
keimanannya, seperti orang
yang melakukan praktek
perdukunan, sihir dan
menghalalkan apa yang
diharamkan oleh Allah 'azza wa
jalla. Dan terkadang mereka
menganggap bahwa
kedudukan orang-orang yang
mereka anggap sebagai "wali"
melebihi kedudukan para Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam,
sebagaimana ucapan salah
seorang dari mereka:
Kedudukan para Nabi di alam
Barzakh Sedikit di atas
Seterusnya Sumber:
muslim.or.id