Sabtu, 08 Oktober 2011
Waktu Adalah Pedang - Kalam Habib Abu Bakar bin Abdullahal-Attas
Nun di Huraidah. Di pedalaman lembah Hadramaut yang gersang namun penuh kesejukan itu, dua abad silam, seorang wali besar sedang khidmat menggoreskan penanya. Ia adalah al-Quthb Habib Abu Bakar bin Abdullah bin Thalib al-Attas, guru al-Imam Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi.
Ia menulis surat untuk Sejawatnya, al-’Arif Billah Habib Aqil bin Idrus bin Aqil yang tinggal di kota Inat. Surat yang memendarkan cahaya. Bertabur nasehat-nasehat yang menyentakkan kesadaran. Terangkai dalam kalimat-kalimat liris nan sejuk di jiwa. Alhamdulillah. Forsan Salaf berhasil menelisik manuskrip bersejarah itu. Dan kini kami ketengahkan petilan-petilan surat itu dalam bentuk terjemahan.
“Hadapkanlah jiwa dan ragamu kepada Allah SWT, sepenuhnya. Kerahkan segenap upaya dan niat. Niscaya, Ia akan menggamitmu ‘tuk menjadi salah seorang wali-Nya. Lalu, Ia akan mengucurkan karunia demi karunia yang bakal mendamaikan kedua pelupuk mata dan kepundan hatimu.”
Demikianlah nasehat pertama yang terajut dalam surat itu. Suatu motivasi yang sangat menggugah. Untuk Habib Aqil khususnya, untuk kita umumnya. Habib Abu Bakar kemudian meneruskan, “Engkau pernah mewartakan, bahwa kini Engkau telah menertibkan mejelis telaah kitab dan belajar mengajar. Aduhai, sungguh kabar yang memercikkan bahagia. Andai aku berada di tengah-tengah kalian sana, tentu, aku kan beroleh limpahan keberuntungan.”
“Keutamaan ilmu, wahai sayid, tak ada yang bisa menandinginya. Allah SWT menfirmankan,
شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan dia (yang berhak disembah), yang menegakkan keadilan. para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Dalam firman lain, Allah SWT memuji manusia yang berilmu,
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ
Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.”
Sekaitan hal itu, Rasulullah SAW memaklumatkan, “Barangsiapa dikehendaki Allah untuk menjadi orang baik, maka, ia akan diberi pemahaman dalam ilmu agama.”
“Peliharalah waktu. Waktu laksana sebilah pedang. Jika Engkau tidak menebaskannya, ia yang akan menebasmu. Sejatinya, segala cita dapat digapai dengan memanfaatkan waktu sebaik mungkin.”
“Camkan sungguh-sungguh. Manfaatkanlah waktu. Sebab dengan itu, limpahan berkah bisa kau raih. Dan berkat keberkahan waktu, Engkau bisa menyaksikan ihwal-ihwal luar bisa yang begitu banyak, yang tak mungkin terdedah dalam tulisan ini. Sebenarnya, cukup dengan isyarat, orang-orang berhati bijak pasti memahaminya.”
Kalimat demi kalimat terus mengalir di matras kertas itu. Penulis nampaknya menekankan paragraf yang mengulik rahasia waktu tersebut. Alangkah benar sang habib. Waktu sangatlah berharga. Teramat berharga untuk disia-siakan. Begitu dilewatkan, ia akan sirna untuk selama-lamanya.
Baris berikutnya, beliau sedikit menyentil masalah pentingnya perhatian terhadap anak-anak. “Curahkan perhatian kepada anak-anakmu. Awasilah segala tindak-tanduk mereka. Agar kelak mereka bisa membahagiakan hatimu.”
IHYA ULUMIDDIN
“Tekunlah menelaahi kitab-kitab bermanfaat, terutama karya para sadah Alawiyin. Ketahuilah, karya-karya mereka adalah anggur yang sangat lezat.”
Sebuah Wasiat tentang pentingnya melestarikan ilmu salaf. Kemudian Habib Abu Bakar menuangkan apresiasinya yang mendalam terhadap kitab ihya ulumiddin karya Imam al-Ghozali.
“Menelaahi kitab ihya ulumiddin dan mendalami semesta hikmahnya sangat dianjurkan para salaf. Konon, ruh penulis Ihya senantiasa hadir di setiap majelis pembacaan kitab itu. Rahasia ini kusingkap dari guru-guruku. Telaahi lebih jauh pada pasal mahabbah dan syauq, maka, Engkau akan mendapati inti dan rahasia besar yang terpendam. “
“Syukurilah curahan nikmat-nikmat-Nya padamu berupa rasa cinta kepada orang-orang baik dan fiil-fiil baik. Manakala kau bersyukur, Ia akan menambah kenikmatan padamu. Tambahan nikmat itu bisa berupa nikmat bathin dan dhahir. Pemberian-Nya tidaklah sama dengan pemberian kita. Pemberian kita terbatas dalam angka-angka. Sedang pemberiannya tak terbatas.”
“Berprasangka baiklah terhadap hamba-hamba Allah. Sebab rahasia-rahasia-Nya senantiasa terpendam dalam diri mereka. Sudut-sudut bumi takkan pernah kosong dari hamba-hamba pilihan yang memanggul rahasia itu. Sepotong syair mengalun syahdu,
“Andai bukan karena mereka di tengah-tengah manusia, niscaya bumi dan gunung-gunung itu kan luluh lantak oleh terpaan dosa-dosa”
Kemudian Habib Abu Bakar menutup suratnya dengan muhasabah (intropeksi). Ia mengajak shohibnya itu untuk merenungi sisa-sisa umur.
“Ketahuilah wahai kekasihku. Umur kita telah dekat. Saat ini kita telah menapaki usia tujuh puluhan. Hati ini telah terkunci rapat untuk dunia. Dunia, bagi diri kita, hanyalah untuk mengenyangkan perut yang kelaparan, menyukupkan orang-orang yang kekurangan, meringankan beban fakir miskin, dan berbagai amal kebaikan. Adapun untuk selain itu, tak terbetik minat sedikit pun pada dunia.”
Surat di atas tertulis pada 20 Sya’ban 1280 Hijriyah. Tertandai nama Habib Abu Bakar bin Abdullah al-Attas. Yang menerima surat, Habib Aqil bin Idrus bin Aqil, belakangan mesanggrah di kota Surabaya dan meninggal di kota itu pada bulan Ramadhan 1316 Hijriyah. Ia di makamkan di sebelah timur makam Habib Syeh bin Ahmad Bafaqih. Sayang, ketika Cahaya Nabawiy berziarah, hanya mendapatkan makam-makam kuno tanpa nama. Rupanya, Habib Aqil adalah seorang mastur, yang tak mau dikenali kebesarannya.