I. PENDAHULUAN
Sebagaimana kita ketahui bahwa, Ilmu Tauhid merupakan ilmu yang sangat vital didalam Islam. Sebab Ilmu Tauhid adalah sebagian dari tanda-tanda agama sejati dan murni yang diturunkan oleh Allah yang Maha Kuasa dan Maha Bijaksana. Tanpa mengetahui Ilmu Tauhid, kita tidak akan menemukan tujuan hidup sebenarnya, sebab seorang hamba harus tahu benar, siapa yang disembah dan dimana kita berdiam setelah mati. Apakah akan berdiam ditempat yang menyenangkan, atau ditempat yang menyedihkan. Semuanya tentu tergantung si-hamba sendiri.
Bagaimana ia mempergunakan kesempatan hidup ini, dan hamba yang mengetahui dirinya sebagai hamba Allah tentu tahu benar, bagaimana memanfaatkan kehidupan ini dengan sebaik- baiknya. Sebab ia mengetahui ketika dilahirkan dirinya dalam keadaan fitrah (suci), dan kembalinya pun harus dalam keadaan yang suci agar dapat yang fitrah pula, yakni surga. Agama berjalan menyempurnakan fitrah manusia dalam mencapai kemajuannya dengan cara evaluasi, sehingga hal itu telah menjadi sunnah (ketentuan) umum dalam satu kehidupan manusia. Allah menyempurnakan agama Islam dengan perantara nabi Muhammad yang mengahiri semua nabi dan rasul untuk membawa ummat manusia kepada martabat kemerdekaan yang lebih sempurna.
II. PERMASALAHAN
1. Apakah Pengertian Ilmu Tauhid ? 2. Bagaimana Sejarah Ilmu Tauhid ? 3. Apakah Obyek Kajian Ilmu Tauhid ? 4. Apakah Materi Ilmu Tauhid ? III.
PEMBAHASAN
1. Pengertian Ilmu Tauhid Secara etimoligi tauhid berarti ke-Esaan, maksudnya I’tikat atau keyakinan bahwa Allah SWT adalah tunggal (satu). Pengertian ini sejalan dengan pengertian tauhid yang terdapat dalam kamus besar bahasa indonesia, yaitu ke- Esaan Allah, mentauhidkan berarti mengakui ke-Esaan Allah. Secara terminilogi Ilmu tauhid bermakna ilmu yang menerangkan tentang sifat- sifat Alloh yang wajib diketahui dan dipercayai. Pembahasan dalam ilmu tauhid menyangkut rukun iman dan atau hanya membahas tentang masalah ketuhanan saja. Namun demikian dilihat dari tujuannya yang paling utama, ilmu tauhid mengajarkan akan keesaan Alloh, baik dari dzat, sifat maupun perbuatanNya, tanpa sekutu bagiNya. Menurut arti harfiah, tauhid ialah “mempersatukan”. Berasal dari kata wahid yang berarti “satu”. Menurut Syekh Muhammad Abdullah Ilmu Tauhid adalah suatu ilmu yang membahas tentang ”wujud Allah”, tentang sifat-sifat yang wajib tetap pada-Nya. Sifat yang boleh disifatkan kepada- Nya dan tentang sifat-sifat yang sama sekali wajib dilenyapkan dari pada-Nya. Menurut Syekh Muhammad At- Tamimi ilmu tauhid adalah secara bahasa berasal dari kata ”wahidun, yuwahidun” menjadi sesuatu satu atau tunggal atau esa, menurut istilah ilmu tauhid adalah mengesakan Allah dalam hal mencipta, menguasai, mengatur, dan mengikhlaskan (memurnikan) peribadatan hanya kepada-Nya, meninggalkan penyembahan kepada selain-Nya serta menetapkan Asmaul Khusna (nama-nama yang bagus) dan mensucikan dari kekurangan dan cacat. Berarti dapat disimpulkan bahwa ilmu tauhid adalah suatu ilmu yang membahas tentang sifat-sifat wajib Allah, sifat-sifat mustahil Allah, sifat jaiz Allah serta sifat wajib rasul, sifat mustahil rasul dan yang berhubungan dengan Allah.
Ilmu tauhid dalam islam sama seperti theologi dalam agama kristen katolik dan protestan, yakni mempersoalkan dzat Tuhan. Badanya ialah, kalau ilmu tauhid mengajarkan bahwa Tuhan itu dzat yang satu (esa) yaitu Allah, tetapi kalau theologi mengajarkan bahwa Tuhan itu tiga dalam satu, dan satu dalam tiga oknum (kita mengerti atau tidak, tetapi begitulah ajaran theologi itu). Dalam agama manapun, ajarannya yang terpokok ialah tentang Tuhan. Oleh karena itu, untuk menguji kebenaran suatu agama, kita harus mengkaji ajarannya tentang Tuhan, apakah ajaran ketuhanannya dapat dimengerti oleh akal dan pikitan (logika) atau tidak. Itulah sebabnya, maka nabi besar Muhammad saw bersabda: ﺍﻟﺪﻳﻦ ﻫﻮ ﺍﻟﻌﻘﻞ ﻭﻻﺩﻳﻦ ﻟﻤﻦ ﻻ ﻋﻘﻞ ﻟﻪ Artinya: ”Agama itu masalah akal, dan orang yang tidak berakal tidak memiliki agama”. Maksudnya, bahwa agama yang inti dan pokok ajarannya tentang Tuhan itu hanya dapat dimengerti oleh akal, dan orang yang tidak berakal atau rusak akalnya, tentu tidak akan mempunyai kenyakinan agama yang benar.
2. Sejarah Ilmu Tauhid Asal makna ”Tauhid” ialah keyakinan (mengi’tikadkan), bahwa Allah adalah ”satu” dan tidak ada syarikat bagi-Nya. Sebabnya dinamakan ”Ilmu Tauhid” ialah karena menetapkan sifat ”wahdah” (satu) bagi Allah dalam dzat-Nya pula dan dalam perbuatan-Nya menciptakan alam semesta dan bahwa kepada-Nya pula tempat kembali segala alam ini dan penghabisan segala tujuan.
a) Ilmu Tauhid Ilmu Tauhid kadang juga dinamakan ’’ilmu kalam’’, karena ada kalanya ilmu masalah yang paling masyhur dan banyak menimbulkan perbedaan pendapat diantara ulama’- ulama’ kurun pertama adalah ”apakah kalam Allah (wahyu) yang dibacakan itu baharu atau qadim?”. Disamping itu ada pula sebab lain yang menyebabkan ”Ilmu Tauhid” itu dinamakan ”Ilmu Kalam” karena dalam memberikan dalil tentang pokok (usul) agama. Ia lebih menyerupai logika (mantiq), sebagaimana yang biasa dilalui oleh para ahli fikir dalam menjelaskan seluk beluk hujjah tentang pendirinya.
b) Aqidah Islam sesuai dengan dalil Aqli dan Naqli Aqidah secara science of theology adalah ilmu yang menetapkan keyakinan (aqidah) dan menjelaskan tentang ajaran yang menetapkan keyakinan dan menjelaskan tentang ajaran yang dibawa oleh para nabi. Ini telah dikenal juga oleh bangsa- bangsa sebelum islam, karena tiap-tiap bangsa mempunyai pemimpin-pemimpinnya sendiri yang berusaha menegakkan urusan agama, menjaga dan mengokohkannya.
Maka datanglah Al-Qur’an yang menggariskan suatu agama diatas jalan yang terang, yang belum pernah dilalui kitab-kitab suci sebelumnya. Hingga dalam mengisahkan kejadian-kejadian pada bangsa-bangsa yang telah silampun ia menunjukkan bukti- bukti yang nyata. Sehingga nyata pula suatu kaidah, bahwa mahluk segala itu adalah suatu lingkungan hukum alam (sunnah) yang tidak berubah- ubah dan tidak bertukar-tukar. Allah berfirman ﺳُﻨَّﺔَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺍﻟَّﺘِﻲ ﻗَﺪْ ﺧَﻠَﺖْ ﻣِﻦْ ﻗَﺒْﻞُ ﻭَﻟَﻦْ ﺗَﺠِﺪَ ﻟِﺴُﻨَّﺔِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺗَﺒْﺪِﻳﻠًﺎ Artinya: ”Sebagai suatu sunnatullah yang telah Berlaku sejak dahulu, kamu sekali-kali tiada akan menemukan peubahan bagi sunnatullah itu”. (QS. Al-Fath: 23) ﻟَﻪُ ﻣُﻌَﻘِّﺒَﺎﺕٌ ﻣِﻦْ ﺑَﻴْﻦِ ﻳَﺪَﻳْﻪِ ﻭَﻣِﻦْ ﺧَﻠْﻔِﻪِ ﻳَﺤْﻔَﻈُﻮﻧَﻪُ ﻣِﻦْ ﺃَﻣْﺮِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻟَﺎ ﻳُﻐَﻴِّﺮُ ﻣَﺎ ﺑِﻘَﻮْﻡٍ ﺣَﺘَّﻰ ﻳُﻐَﻴِّﺮُﻭﺍ ﻣَﺎ ﺑِﺄَﻧْﻔُﺴِﻬِﻢْ ﻭَﺇِﺫَﺍ ﺃَﺭَﺍﺩَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺑِﻘَﻮْﻡٍ ﺳُﻮﺀًﺍ ﻓَﻠَﺎ ﻣَﺮَﺩَّ ﻟَﻪُ ﻭَﻣَﺎ ﻟَﻬُﻢْ ﻣِﻦْ ﺩُﻭﻧِﻪِ ﻣِﻦْ ﻭَﺍﻝٍ Artinya: ”bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan[768] yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia”. (QS. Ar-Ra’d: 11) ﻓَﺄَﻗِﻢْ ﻭَﺟْﻬَﻚَ ﻟِﻠﺪِّﻳﻦِ ﺣَﻨِﻴﻔًﺎ ﻓِﻄْﺮَﺓَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺍﻟَّﺘِﻲ ﻓَﻄَﺮَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱَ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ ﻟَﺎ ﺗَﺒْﺪِﻳﻞَ ﻟِﺨَﻠْﻖِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺫَﻟِﻚَ ﺍﻟﺪِّﻳﻦُ ﺍﻟْﻘَﻴِّﻢُ ﻭَﻟَﻜِﻦَّ ﺃَﻛْﺜَﺮَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﻟَﺎ ﻳَﻌْﻠَﻤُﻮﻥَ Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS. Ar-Rumm: 30) Al-Qur’an dating menunjukkan sifat-sifat Allah, sekalipun ia lebih dekat untuk mensucikan sifat-sifat yang pernah diletakkan oleh bangsa-bangsa yang dulu. Namun diantara sifat-sifat manusia ada yang mempunyai kesamaan sifat dengan Allah dalam hal penamaan, seperti kudrat, ikhtiar, mendengar dan melihat, dan masih banyak lagi.
Dengan adanya ketentuan Allah dalam ayat-ayat Al-Qur’an mengenai hukum akal merupakan jalan peluang bagi mereka yang sukar berfikir terutama karena panggilan agama, untuk memikirkan semua mahluk Tuhan, tidak terbatas oleh suatu pembatasan dan tidak pula dengan syarat apapun, karena mengerti bahwa segala pemikiran yang benar akan membawa kepercayaan terhadap Allah, menurut sifat-sifat yang telah ditetapkan oleh-Nya dengan tidak terlalu menganggap sepi dan tidak pula membatasi pikiran itu.
c) Nama lain Ilmu Tauhid
1. Ilmu Tauhid Arti tauhid disini adalah percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa (mengesakan Tuhan) dan tidak menyekutukan-Nya. Dinamakan ilmu Tauhid karena tujuannya menetapkan ke- Esaan Allah dalam dzat dan perbuatan-Nya dalam menjadikan alam semesta dan hanya Allah-lah yang menjadi tempat tujuan terahir dari kehidupan ini, prinsip inilah yang menjadi tujuan utama dari ajaran nabi Muhammad saw.
2. Ilmu Aqo’id atau Aqo’idul Iman Aqo’id artinya ilmu ikatan kepercayaan, karena dalam panutan ini ada pasal yang harus diikat erat-erat dalam hati kita yang harus menjadi sebuah kepercayaan yang teguh.
3. Ilmu Kalam Ilmu kalam artinya ilmu pembicaraan, karena dengan membicarakan pengetahuan- pengatahuan akan menjadi sebuah kejelasan, dan dengan pembicaraan yang tepat berarti membicarakan kepercayaan yang benar dan dapat ditanamkan kebalam hati manusia.
4. Ilmu Ushuluddin Ilmu uhsuluddin adalah ilmu yang membahas pokok-pokok agama , dinamakan demikian karena mamang soal kepercayaan memang betul0betul menjadi dasar pokok dari persoalan yang lain dalam agama.
5. Ilmu Hakikat Ilmu hakikat ialah ilmu sejati, karena ilmu ini menjelaskan hakikat segala sesuatu sehingga dapat meyakini akan kepercayaan yang benar (hakiki).
6. Ilmu Ma’rifat Disebut ilmu ma’rifat karena dengan pengetahuan ini dapat mengetahui benar akan Allah dan segala sifat-sifat-Nya dengan keyakinan yang teguh.
d) Tujuan Ilmu Tauhid Dalam mengarungi samudra dan gelombang kehidupan secara kobrati manusia diciptakan oleh Allah di dunia ini dengan kekuatan yang berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Tidak sedikit manusia didalam mengarungi samudra yang luas itu kehilangan arah dan pedoman sehingga menjadi sesat. Disitulah ilmu tauhid berperan untuk memberi pedoman dan arah agar manusia tetap sadar akan kewajibannya sebagai mahluk terhadap kholiknya. Karena itulah tujuan ilmu tauhid dapat dirumuskan sebagai berikut:
1) Agar kita memperoleh kepuasan batin, keselamatan dan kebahagiaan hidup didunia dan akhirat sebagaimana yang dicita-citakan. Kalau hanya mengandalkan kemampuan akal saja, belum dan tidak akan pernah mencapai kepuasan dan kebahagiaan. Oleh karena itu, manusia memerlukan penghidupan batin dengan iman dan tauhid, agar mampu mengikuti petunjuk Allah yang tidak mungkin salah, sehingga tujuan mencari kepuasab dab kebahagiaan itu benar-benar terjadi. Firman Allah SWT (QS. Al- Baqarah: 189) ﻳَﺴْﺄَﻟُﻮﻧَﻚَ ﻋَﻦِ ﺍﻟْﺄَﻫِﻠَّﺔِ ﻗُﻞْ ﻫِﻲَ ﻣَﻮَﺍﻗِﻴﺖُ ﻟِﻠﻨَّﺎﺱِ ﻭَﺍﻟْﺤَﺞِّ ﻭَﻟَﻴْﺲَ ﺍﻟْﺒِﺮُّ ﺑِﺄَﻥْ ﺗَﺄْﺗُﻮﺍ ﺍﻟْﺒُﻴُﻮﺕَ ﻣِﻦْ ﻇُﻬُﻮﺭِﻫَﺎ ﻭَﻟَﻜِﻦَّ ﺍﻟْﺒِﺮَّ ﻣَﻦِ ﺍﺗَّﻘَﻰ ﻭَﺃْﺗُﻮﺍ ﺍﻟْﺒُﻴُﻮﺕَ ﻣِﻦْ ﺃَﺑْﻮَﺍﺑِﻬَﺎ ﻭَﺍﺗَّﻘُﻮﺍ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻟَﻌَﻠَّﻜُﻢْ ﺗُﻔْﻠِﺤُﻮﻥَ Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.”
2) Agar kita terhindar dari pengaruh-pengaruh aqidah- aqidah yang menyesatkan, yang sebanarnya hanya hasil pemikiran atau kebudayaan semata, ataupun hasil perubahan yang dilakukan terhadap ajaran seorang nabi dan rasul yang sebanarnya. Allah berfirman (QS. Al-Baqarah: 213) : ﻛَﺎﻥَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﺃُﻣَّﺔً ﻭَﺍﺣِﺪَﺓً ﻓَﺒَﻌَﺚَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺍﻟﻨَّﺒِﻴِّﻴﻦَ ﻣُﺒَﺸِّﺮِﻳﻦَ ﻭَﻣُﻨْﺬِﺭِﻳﻦَ ﻭَﺃَﻧْﺰَﻝَ ﻣَﻌَﻬُﻢُ ﺍﻟْﻜِﺘَﺎﺏَ ﺑِﺎﻟْﺤَﻖِّ ﻟِﻴَﺤْﻜُﻢَ ﺑَﻴْﻦَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﻓِﻴﻤَﺎ ﺍﺧْﺘَﻠَﻔُﻮﺍ ﻓِﻴﻪِ ﻭَﻣَﺎ ﺍﺧْﺘَﻠَﻒَ ﻓِﻴﻪِ ﺇِﻟَّﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺃُﻭﺗُﻮﻩُ ﻣِﻦْ ﺑَﻌْﺪِ ﻣَﺎ ﺟَﺎﺀَﺗْﻬُﻢُ ﺍﻟْﺒَﻴِّﻨَﺎﺕُ ﺑَﻐْﻴًﺎ ﺑَﻴْﻨَﻬُﻢْ ﻓَﻬَﺪَﻯ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁَﻣَﻨُﻮﺍ ﻟِﻤَﺎ ﺍﺧْﺘَﻠَﻔُﻮﺍ ﻓِﻴﻪِ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺤَﻖِّ ﺑِﺈِﺫْﻧِﻪِ ﻭَﺍﻟﻠَّﻪُ ﻳَﻬْﺪِﻱ ﻣَﻦْ ﻳَﺸَﺎﺀُ ﺇِﻟَﻰ ﺻِﺮَﺍﻁٍ ﻣُﺴْﺘَﻘِﻴﻢٍ Artinya: ”Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), Maka Allah mengutus Para Nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. tidaklah berselisih tentang kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, Yaitu setelah datang kepada mereka keterangan- keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.”
3) Agar terhindar dari faham- faham yang dasarnya hanya teori kebendaan (materi) semata, seperti: kapitalisme, komunisme, sosialisme, matrealisme, kolonialisme, dan sebagainya. Sehingga dengan berpegangan kepada iman yang benar dan tauhid kita akan terhindar dari pengaruh ajaran yang menyesatkan, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah surat Al-Baqarah: 213 di atas.
e) Hukum dan Hikmah mempelajari Ilmu Tauhid 1) Hukum Mempelajari Ilmu Tauhid Mempelajari ilmu tauhid itu hukumnya wajib, sebab dengan mempelajari ilmu tauhid akan mengtahui hal yang baik dan yang buruk yang menjadi pokok dalam agama islam. Setelah manusia memeluk berbagai macam dasar dan menganut bermacam-macan (isme), kemudia mereka terpecah-pecah dan saling bermusuhan, maka Allah yang maha mengetahui keselamatan para hamba-Nya menurunkan perintah kepada nabi Muhammad SAW. Perintah suci tersebut telah disampaikan kepada seluruh ummat manusia diseluruh bumi ini, baik kepada bangsa arab ataupun bangsa lain dengan segala kebijaksanaan. Allah memerintahkan kepada seluruh hamba-Nya untuk memeluk islam dan bertauhid kepada- Nya. Firman Allah (QS. Muhammad: 19) ﻓَﺎﻋْﻠَﻢْ ﺃَﻧَّﻪُ ﻟَﺎ ﺇِﻟَﻪَ ﺇِﻟَّﺎ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻭَﺍﺳْﺘَﻐْﻔِﺮْ ﻟِﺬَﻧْﺒِﻚَ ﻭَﻟِﻠْﻤُﺆْﻣِﻨِﻴﻦَ ﻭَﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨَﺎﺕِ ﻭَﺍﻟﻠَّﻪُ ﻳَﻌْﻠَﻢُ ﻣُﺘَﻘَﻠَّﺒَﻜُﻢْ ﻭَﻣَﺜْﻮَﺍﻛُﻢْ Artinya: ”Maka ketahuilah, bahwa Sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, Tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal.” 2) Hikmah Mempelajari Ilmu Tauhid Mempelajari ilmu tauhid biasanya didorong oleh keinginan untuk mempelajari lebih banyak dan lebih dalam pengertian tentang Tuhan
. Kalau tauhid sudah masuk dan meresap kedalam jiwa seseorang maka didalam jiwanya akan tumbuh perasaan:
a) Rela atas pemberian Allah atas dirinya mengenai rizki, kedudukan, dan lain-lain. Dengan demikian maka hidupnya menjadi tertib sebab dia yakin atas pengawasan Allah terhadap segala perilakunya. Firman Allah SWT ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻳَﺒْﺴُﻂُ ﺍﻟﺮِّﺯْﻕَ ﻟِﻤَﻦْ ﻳَﺸَﺎﺀُ ﻭَﻳَﻘْﺪِﺭُ ﻭَﻓَﺮِﺣُﻮﺍ ﺑِﺎﻟْﺤَﻴَﺎﺓِ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻭَﻣَﺎ ﺍﻟْﺤَﻴَﺎﺓُ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺂَﺧِﺮَﺓِ ﺇِﻟَّﺎ ﻣَﺘَﺎﻉٌ Artinya: ”Allah meluaskan rezki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki. mereka bergembira dengan kehidupan di dunia, Padahal kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan (yang sedikit).” (QS. Ar-Ra’du: 26) ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁَﻣَﻨُﻮﺍ ﻭَﺗَﻄْﻤَﺌِﻦُّ ﻗُﻠُﻮﺑُﻬُﻢْ ﺑِﺬِﻛْﺮِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺃَﻟَﺎ ﺑِﺬِﻛْﺮِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺗَﻄْﻤَﺌِﻦُّ ﺍﻟْﻘُﻠُﻮﺏُ Artinya: ”(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’du: 28)
b) Rasa saling menghargai, swbab orang yang bertauhid memandang semua manusia sama derajatnya, berasal dari satu keturunan dan tidak ada yang berhak diperhamba. Semua manusia hanya didikuti amal kebijakannya disisi Allah SWT, dan bertanggung jawab kepada-Nya. Allah berfirman (QS. Al-Hujurat: 13) ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﺇِﻧَّﺎ ﺧَﻠَﻘْﻨَﺎﻛُﻢْ ﻣِﻦْ ﺫَﻛَﺮٍ ﻭَﺃُﻧْﺜَﻰ ﻭَﺟَﻌَﻠْﻨَﺎﻛُﻢْ ﺷُﻌُﻮﺑًﺎ ﻭَﻗَﺒَﺎﺋِﻞَ ﻟِﺘَﻌَﺎﺭَﻓُﻮﺍ ﺇِﻥَّ ﺃَﻛْﺮَﻣَﻜُﻢْ ﻋِﻨْﺪَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺃَﺗْﻘَﺎﻛُﻢْ ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻋَﻠِﻴﻢٌ ﺧَﺒِﻴﺮٌ Artinya: ”Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” Dengan dimikian maka orang yang bertauhid itu merasa bahwa dirinya sama dengan orang atau bangsa lain, dia tidak berhak mempertuhankan diri atau orang lain. Tinggi rendahnya derajat manusia hanya diukur dari kebajikan yang telah dibuat.
c) Rasa kasih saying terhadap sesame manusia. Orang bertauhid memandang semua manusia saudara, tidak bertindak aniaya terhadap semua mahluk Tuhan. Ummat bertauhid hidup berdasar peri kemanusiaan dan persaudaraan, selalu bersikap terbuka, kerja sama, dan bergotong royong. Sabda rasul saw: ﺧﺎﺏ ﻋﺒﺪ ﻭﺧﺴﺮ ﻟﻢ ﻳﺠﻌﻞ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﻰ ﻗﻠﺒﻪ ﺭﺣﻤﺔ ﻟﻠﺒﺸﺮ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﺑﻮ ﻧﻌﻴﻢ ﺍﻻ ﺑﻬﺎﻧﻰ ) Artinya: “Gagal dan rugilah kehidupan seseorang yang hatinya tidak ditanamkan Allah, rasa kasih saying kepada sesame manusia.” (HR. Abu Na’im Al-Abhani) Jadi jelas, kalau kita mempelajari Tauhid dan kemudian tumbuh dalam jiwa kita, maka akan keluarlah dari benih-benih tauhid itu pohon yang rindang yang dapat digunakan untuk berlindung diwaktu panas dan hujan, serta buahnya juga sedap dimakan. Diantara buah yang lezat itu adalah: a) Kesungguhan orang yang tetap dijalan Allah b) Kegemaran yang menghasilkan manfaat untuk umum c) Akan selalu membelanjakan hartanya dijalan Allah
3. Objek Kajia Ilmu Tauhid
a) Sifat-sifat Allah • Sifat-sifat wajib dan sifat-sifat mustahil Allah SWT No Sifat Wajib Allah Sifat Mustahil Allah 1 Wujud: Ada Mustahil Allah tidak ada 2 Qidam: sedia Mustahil Allah didahului oleh adam 3 Baqa: kekal Mustahil Allah dikatakan (fana) binasa 4 Mukhalafatul lilhawadisi: tidak sama dengan mahluk ciptaan- Nya Mustahil Allah sama dengan mahluk yang baharu. 5 Qiyamuhu binafsih: berdiri dengan diri-Nya sendiri Mustahil Allah tidak berdiri dengan diri-Nya sendiri 6 Wahdaniyat: Esa Mustahil Allah mempunyai dzat, sifat dan perangai yang berbilang-bilang 7 Qodrat: kuasa Mustahil Allah lemah dan tidak berkuasa 8 Iradat: menentukan Mustahil Allah terpaksa dan dipaksa 9 Ilmu: mengetahui Mustahil Allah tidak mengetahui 10 Hayat: hidup Mustahil Allah tiada atau mati 11 Sama’: mendengar Mustahil Allah tuli 12 Basar: melihat Mustahil Allah buta 13 Kalam: berkata-kata Mustahil Allah bisu 14 Qoodirun: maha kuasa Mustahil Allah lemah 15 Mudirun: menentukan Mustahil Allah terpaksa atau dipaksa 16 Alimun: maha mengetahui Mustahil Allah jahil • Sifat jaiz Allah ﻓﻌﻞ ﻛﻞ ﻣﻤﻜﻦ ﺃﻭﺗﺮﻛﻪ Dari keterangan diatas Allah itu bebas melakukan hal yang mungkin tidak mungkin. b) Sifat-sifat Rasul • Sifat-sifat wajib rasul 1) Siddiq: benar didalam tutur kata dan tingkah laku 2) Amanah: dapat dipercaya 3) Tabligh: menyampaikan wahyu yang diterima dari Allah 4) Fatonah: kecerdikan, kepintaran dan kebijaksanaan • Sifat-sifat mustahil rasul 1) Kazib: dosa 2) Khianat : curang 3) Khitman: menyembunyikan 4) Kafih: bodoh 4. Materi Ilmu Tauhid Adalah dapat dipastikan bahwa esensi peradaban islam adalah islam itu sendiri dan esensi islam adalah tauhid. Dua premis dasar ini berswa-bukti, tidak bisa diragukan oleh orang- orang yang termasuk dalam peradaban islam atau yang termasuk didalamnya bahwa kebudataan islam dan peradaban islam mempunyai suatu esesnsi pengetahuan yaitu tauhid.
a) Ta’rif Tauhid Rububiyyah Tauhid rububiyyah berarti mentauhidkan segala apa yang dikerjakan Allah swt baik mencipta, memberi rizki menghidupkan dan mematikan serta bahwasanya dia adalah raja, penguasa dan yang mengatur segala sesuatu. Firman Allah swt ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﺍﻋْﺒُﺪُﻭﺍ ﺭَﺑَّﻜُﻢُ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﺧَﻠَﻘَﻜُﻢْ ﻭَﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻣِﻦْ ﻗَﺒْﻠِﻜُﻢْ ﻟَﻌَﻠَّﻜُﻢْ ﺗَﺘَّﻘُﻮﻥ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﺟَﻌَﻞَ ﻟَﻜُﻢُ ﺍﻟْﺄَﺭْﺽَ ﻓِﺮَﺍﺷًﺎ ﻭَﺍﻟﺴَّﻤَﺎﺀَ ﺑِﻨَﺎﺀً ﻭَﺃَﻧْﺰَﻝَ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﺀِ ﻣَﺎﺀً ﻓَﺄَﺧْﺮَﺝَ ﺑِﻪِ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺜَّﻤَﺮَﺍﺕِ ﺭِﺯْﻗًﺎ ﻟَﻜُﻢْ ﻓَﻠَﺎ ﺗَﺠْﻌَﻠُﻮﺍ ﻟِﻠَّﻪِ ﺃَﻧْﺪَﺍﺩًﺍ ﻭَﺃَﻧْﺘُﻢْ ﺗَﻌْﻠَﻤُﻮﻥَ Artinya: ”Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang- orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa, Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah- buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu Mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, Padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 21-22) Orang musyrikin juga mengakui tentang sifat rububiyyah Allah. mereka mengakui bahwasanya hanya allah semata pencipta segala sesuatu, pemberi rezeki, yang memiliki langit dan bumi, dan yang mengatur alam semesta, namun mereka juga menetapkan berhala-berhala yang mereka anggap sebagai penolong, yang mereka bertawasul dengannya (berhala tersebut) dan menjadikan mereka pemberi syafa’at. Firman Allah swt ﻭَﻣِﻦَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﻣَﻦْ ﻳَﻘُﻮﻝُ ﺁَﻣَﻨَّﺎ ﺑِﺎﻟﻠَّﻪِ ﻓَﺈِﺫَﺍ ﺃُﻭﺫِﻱَ ﻓِﻲ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺟَﻌَﻞَ ﻓِﺘْﻨَﺔَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﻛَﻌَﺬَﺍﺏِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻭَﻟَﺌِﻦْ ﺟَﺎﺀَ ﻧَﺼْﺮٌ ﻣِﻦْ ﺭَﺑِّﻚَ ﻟَﻴَﻘُﻮﻟُﻦَّ ﺇِﻧَّﺎ ﻛُﻨَّﺎ ﻣَﻌَﻜُﻢْ ﺃَﻭَﻟَﻴْﺲَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺑِﺄَﻋْﻠَﻢَ ﺑِﻤَﺎ ﻓِﻲ ﺻُﺪُﻭﺭِ ﺍﻟْﻌَﺎﻟَﻤِﻴﻦَ Artinya: ”dan di antara manusia ada orang yang berkata: "Kami beriman kepada Allah", Maka apabila ia disakiti (karena ia beriman) kepada Allah, ia menganggap fitnah manusia itu sebagai azab Allah. dan sungguh jika datang pertolongan dari Tuhanmu, mereka pasti akan berkata: "Sesungguhnya Kami adalah besertamu". Bukankah Allah lebih mengetahui apa yang ada dalam dada semua manusia?” (QS.Al-Ankabut :10) Sebagian ulama salaf berkata: “jika kalian tanya pada mereka: siapa yang menciptakan langit dan bumi ?’ mereka pasti menjawab: ‘allah.’ walaupun demikian mereka tetap saja menyembah kepada selain- Nya.”
b) Tauhid uluhiyyah Tauhid uluhiyah, yaitu tauhid ibadah, karena itulah maknanya adalah ma'bud (yang disembah). Maka tidak ada yang diseru dalam do'a kecuali allah, tidak ada yang dimintai pertolongan kecuali Dia, tidak ada yang boleh dijadikan tempat bergantung kecuali Dia, tidak boleh menyembelih kurban atau bernadzar kecuali untuk-Nya, dan tidak boleh mengarahkan seluruh ibadah kecuali untuk-Nya dan karena- Nya semata. Firman Allah swt (QS. Ali-Imron: 18) ﺷَﻬِﺪَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺃَﻧَّﻪُ ﻟَﺎ ﺇِﻟَﻪَ ﺇِﻟَّﺎ ﻫُﻮَ ﻭَﺍﻟْﻤَﻠَﺎﺋِﻜَﺔُ ﻭَﺃُﻭﻟُﻮ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢِ ﻗَﺎﺋِﻤًﺎ ﺑِﺎﻟْﻘِﺴْﻂِ ﻟَﺎ ﺇِﻟَﻪَ ﺇِﻟَّﺎ ﻫُﻮَ ﺍﻟْﻌَﺰِﻳﺰُ ﺍﻟْﺤَﻜِﻴﻢُ Artinya: ”Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” Berkata syaikh al-‘allamah ‘abdurrahman bin nashir as- sa’di rahimahullah (wafat th. 1376 h): “bahwasanya Allah itu tunggal dzat-nya, nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan-Nya. tidak ada sekutu bagi-Nya, baik dalam dzat-Nya, nama-nama, sifat-sifat-Nya. tidak ada yang sama dengan-Nya, tidak ada yang sebanding, tidak ada yang setara dan tidak ada sekutu bagi-Nya. tidak ada yang mencipta dan mengatur alam semesta ini kecuali hanya Allah. apabila demikian, maka Dia adalah satu-satunya yang berhak untuk diibadahi. tidak boleh dia disekutukan dengan seorang pun dari makhluk- Nya”.
c) Tauhid Mulkiyyah / Hakimiyyah Tauhid Mulkiyyah yaitu mentauhidkan Allah dalam mulkiyahnya bermakna kita mengesakan Allah terhadap pemilikan, pemerintahan dan penguasaannya terhadap alam ini. Dialah pemimpin, pembuat hukum dan pemerintah kepada alam ini. hanya landasan kepemimpinan yang dituntut oleh Allah saja yang menjadi ikutan kita. hanya hukuman yang diturunkan oleh Allah saja menjadi pakaian kita dan hanya perintah dari allah saja menjadi junjungan kita. Firman Allah swt (QS. Ali-Imron: 26) ﻗُﻞِ ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﻣَﺎﻟِﻚَ ﺍﻟْﻤُﻠْﻚِ ﺗُﺆْﺗِﻲ ﺍﻟْﻤُﻠْﻚَ ﻣَﻦْ ﺗَﺸَﺎﺀُ ﻭَﺗَﻨْﺰِﻉُ ﺍﻟْﻤُﻠْﻚَ ﻣِﻤَّﻦْ ﺗَﺸَﺎﺀُ ﻭَﺗُﻌِﺰُّ ﻣَﻦْ ﺗَﺸَﺎﺀُ ﻭَﺗُﺬِﻝُّ ﻣَﻦْ ﺗَﺸَﺎﺀُ ﺑِﻴَﺪِﻙَ ﺍﻟْﺨَﻴْﺮُ ﺇِﻧَّﻚَ ﻋَﻠَﻰ ﻛُﻞِّ ﺷَﻲْﺀٍ ﻗَﺪِﻳﺮٌ Artinya: “Katakanlah: "Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” Tauhid Mulkiyah menuntut adanya ke-wala-an secara totalitas kepada allah, rasul dan amirul mukmin (selama tidak bermaksiat kepada Allah swt).
d) Integrasi Ketiganya Melihat pada ta’rif yang ada, siapa yang mengakui tauhid rububiyah untuk Allah, dengan mengimani tidak ada pencipta, pemberi rizki dan pengatur alam kecuali Allah, maka ia harus mengakui bahwa tidak ada yang berhak menerima ibadah dengan segala macamnya kecuali Allah swt, dan itulah tauhid uluhiyah. Maka dengan sendirinya seseorang yang mengakui dan mengamalkan tauhid rububiyyah dan uluhiyyah, telah menjalankan pula tauhid mulkiyyah, sebab tauhid mulkiyyah esensinya sudah terkandung didalam tauhid rububiyyah, uluhiyyah maupun tauhid asma wa shifah. Namun di saat syirik merajalela di kalangan ummat dalam bentuk memutuskan hukum tidak sesuai dengan apa yang allah turunkan, tetapi memutuskan hukum menggunakan undang- undang kufur dan uu thaghut. kondisi ini mengisyaratkan agar istilah tauhid mulkiyyah/ hakimiyyah ini disebutkan tersendiri agar orang-orang melihat urgensi tauhid ini. tanpa adanya tauhid ini maka sesunggunya mereka belum memenuhi tuntutan tauhid uluhiyah sebagaimana mestinya.
IV. KESIMPULAN Ilmu Tauhid adalah ilmu yang membahas tentang Allah SWT, baik sifat-sifat yang wajib pada-Nya, sifat-sifat yang boleh disifatkan kepada-Nya, dan sifat yang sama sekali harus ditiadakan dari pada-Nya, serta tentang rasul-rasul-Nya untuk menentukan kerasulan mereka, hal-hal yang wajib ada dalam diri mereka, hal-hal yang boleh dikaitkan (dinisbahkan) kepada mereka, dan hal-hal yang terlarang untuk mengaitkannya kepada mereka. Adapun pokok pembahasannya yang paling penting adalah menetapkan keesaan (wahdah) Allah SWT dalam dzat-Nya. Dalam menerima peribadatan dari mahluk-Nya, dan meyakini bahwa Dia-lah tempat kembali, satu-satunya tujuan. Kemudian mengenai materi yang terkandung dalam tauhid ada tiga macam, yaitu tauhid rububiyyah, uluhiyyah, dan mulkiyyah dimana ketiganya saling terkait antara satu sama lain.
V. PENUTUP Demikianlah makalah tentang Ilmu Tauhid (Materi dan Obyek Kajiannya) yang kami buat. Semoga sedikit uraian kami ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Penulis sangat menyadari, bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu penulis sangat mengharapkan adanya kritikan yang konstruktif dan sistematis dari pembaca yang budiman, guna melahirkan sebuah perbaikan dalam penyusulan makalah selanjutnya yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA Hanifah Ahmad, MA, Theologi Islam (Ilmu Kalam), 1990, Jakarta: PT. Bulan Bintang Syekh Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, 1963, Jakarta: Bulan Bintang Syukur Amin, MA, Pengantar Studi Islam, 2000, Semarang: CV. Bima Sejati Zainuddin, Ilmu Tauhid Lengkap, 1996, Jakarta: Rineka Cipta. Isma’il Raji Al-Faruqi. ”Tauhid”. 1995. Bandung: Pustaka. Wihadi Admojo, dkk. Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka; 1990. Muhammad Hasby Ash Ashiddieqy. “Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam”. PT. Pustaka Rizki Putra. Semarang. 1999. http://one.indoskripsi.com/ judul-skripsi-makalah-tentang/ tauhid-uluhiyah-rububiyah- dan-mulkiyah-serta-integrasi- ketiganya
Kamis, 27 Oktober 2011
Minggu, 23 Oktober 2011
Hakikat Basmallah
Dalam suatu hadits Nabi saw. Beliau bersabda : "Setiap kandungan dalam seluruh kitab-kitab Allah diturunkan, semuanya ada di dalam Al-Qur'an. Dan seluruh kandungan Al-Qur'an ada di dalam Al-Fatihah. "
"Dan semua yang ada dalam Al-Fatihah ada di dalam "Bismillahirrahmaanirrahiim." Bahkan disebutkan dalam hadits lain,"setiap kandungan yang ada dalam Bismillahirrahmaanirrahiim ada di dalam huruf Baa', dan setiap yang terkandung di dalam Baa’ ada di dalam titik yang berada dibawah Baa'".
Sebagian para Arifin menegaskan, "Dalam perspektif orang yang ma'rifat kepada Allah, "Bismillaahirrahmaanirrahim" itu kedudukannya sama dengan "kun" dari Allah”.
Perlu diketahui bahwa pembahasan mengenai "Bismillahirrahmaanirrahiim" banyak ditinjau dari berbagai segi, baik dari segi gramatikal (Nahwu dan sharaf) ataupun segi bahasa (etimologis), disamping tinjuan dari materi huruf, bentuk, karakteristik, kedudukan, susunannya serta keistemewaanya atas huruf-huruf lainnya yang ada dalam Surat Pembuka Al-Qur'an, kristalisasi dan spesifikasi huruf-huruf yang ada dalam huruf Baa', manfaat dan rahasianya.
Tujuan kami bukan mengupas semua itu, tetapi lebih pada esensi atau hakikat makna terdalam yang relevan dengan segala hal di sisi Allah swt, pembahasannya akan saling berkelindan satu sama lainnya, karena seluruh tujuannya adalah Ma’rifat kepada Allah swt.
Kita memang berada di gerbangNya, dan setiap ada limpahan baru di dalam jiwa maka ar-Ruhul Amin turun di dalam kalbunya kertas.
Ketahuilah bahwa Titik yang berada dibawah huruf Baa' adalah awal mula setiap surat dan Kitab Allah Ta’ala. Sebab huruf itu sendiri tersusun dari titik, dan sudah semestinya setiap Surat ada huruf yang menjadi awalnya, sedangkan setiap huruf itu ada titik yang menjadi awalnya huruf. Karena itu menjadi keniscayaan bahwa titik itu sendiri adalah awal dan pada setiap surat dan Kitab Allah Ta’ala.
Kerangka hubungan antara huruf Baa' dengan Titiknya secara komprehensif akan dijelaskan berikut nanti. Bahwa Baa' dalam setiap surat itu sendiri sebagai keharusan adanya dalam Basmalah bagi setiap surat, bahkan di dalam surat Al-Taubah. Huruf Baa' itu sendiri mengawali ayat dalam surat tersebut. Tak terkecuali Surat At-Taubah yang tidak di awali dengan basmalalah tetapi dengan “Baroatum minal Allohi” (pemutusan hubungan dengan Alloh) Karena itu dalam konteks inilah setiap surat dalam Al-Qur'an mesti diawali dengan Baa' sebagaimana dalam hadits di atas, bahwa seluruh kandungan Al-Qur'an itu ada dalam surah Al-Fatihah, tersimpul lagi di dalam Basmalah, dan tersimpul lagi dalam Huruf Baa', akhirnya pada titik.
Hal yang sama , Allah SWT dengan seluruh yang ada secara paripurna sama sekali tidak terbagi-bagi dan terpisah-pisah. Titik sendiri merupakan syarat-syarat dzat Allah Ta'ala yang tersembunyi dibalik khasanahnya ketika dalam penampakkan-Nya terhadap mahlukNya.
Amboi, titik itu tidak tampak dan tidak Layak lagi bagi anda untuk dibaca selamanya mengingat kediaman dan kesuciannya dari segala batasan, dari satu makhraj ke makhraj lainya. Sebab ia adalah jiwa dari seluruh huruf yang keluar dari seluruh tempat keluarnya huruf.
Misalnya anda membaca titik menurut persekutuan, seperti huruf Taa' dengan dua tik, lalu Anda menambah satu titik lagi menjadi huruf Tsaa’, maka yang Anda baca tidak lain kecuali Titik itu sendiri. Sebab Taa' bertitik dua, dan Tsaa' bertitik tiga tidak terbaca,karena bentuknya satu, yang tidak terbaca kecuali titiknya belaka. Seandainya Anda membaca di dalam diri titik itu niscaya bentuk masing-masing berbeda dengan lainnya. Karena itu dengan titik itulah masing-masing dibedakan, sehingga setiap huruf sebenarnya tidak terbaca kecuali titiknya saja. Hal yang sama dalam perspektif makhluk, bahwa makhluk itu tidak dikenal kecuali Allah. Bahwa Anda mengenal-Nya dari makhluk sesungguhnya Anda mengenal-Nya dari Allah swt.
Hanya saja Titik pada sebagian huruf lebih jelas satu sama lainnya, sehingga sebagian menambah yang lainnya untuk menyempurnakannya, seperti dalam huruf-huruf yang bertitik, kelengkapannya pada titik tersebut. Ada sebagian yang tampak pada kenyataannya seperti huruf Alif dan huruf-huruf tanpa Titik. Karena huruf tersebut juga tersusun dari titik-titik. Oleh sebab itulah, Alif lebih mulia dibanding Baa',karena Titiknya justru menampakkan diri dalam wujudnya, sementara dalam Baa' itu sendiri tidak tampak (Titik berdiri sendiri). Titik di dalam huruf Baa' tidak akan tampak, kecuali dalam rangka kelengkapannya menurut perspektif penyatuan. Karena Titik suatu huruf Merupakan kesempurnaan huruf itu sendiri dan dengan sendirinya menyatu dengan huruf tersebut. Sementara penyatuan itu sendiri mengindikasikan adanya faktor lain, yaitu faktor yang memisahkan antara huruf dengan titiknya.
Huruf Alif itu sendiri posisinya menempati posisi tunggal dengan sendirinya dalam setiap huruf. Misalnya Anda bisa mengatakan bahwa Baa' itu adalah Alif yang di datarkan Sedang Jiim, misalnya, adalah Alif dibengkokkan' dua ujungnya. Daal adalah Alif yang yang ditekuk tengahnya.
Sedangkan Alif dalam kedudukan titik, sebagai penyusun struktur setiap huruf ibarat Masing-masing huruf tersusun dari Titik. Sementara Titik bagi setiap huruf ibarat Neucleus yang terhamparan. Huruf itu sendiri seperti tubuh yang terstruktur. Kedudukan Alif dengan kerangkanya seperti kedudukan Titik. Lalu huruf-huruf itu tersusun dari Alif sebagimana kita sebutkan, bahwa Baa’ adalah Alif yang terdatarkan.
Demikian pula Hakikat Muhammadiyyah merupakan inti dimana seluruh jagad raya ini diciptakan dari Hakikat Muhammadiyah itu. Sebagaimana hadits riwayat Jabir, yang intinya Allah swt, menciptakan Ruh Nabi saw dari Dzat-Nya, dan menciptakan seluruh alam dari Ruh Muhammad saw. Sedangkan Muhammad saw adalah Sifat Dzahirnya Allah dalam makhluk melalui Nama-Nya dengan wahana penampakan Ilahiyah. (Anda masih ingat ketika Nabi saw. diisra'kan dengan jasadnya ke Arasy yang merupakan Singgasana Ar-Rahman) Sedangkan huruf Alif, walaupun huruf-huruf lain yang tanpa titik sepadan dengannya, dan Alif merupakan manifestasi Titik yang tampak di dalamnya dengan substansinya Alif memiliki nilai tambah dibanding yang lain. Sebab yang tertera setelah Titik tidak lain kecuali berada satu derajat. Karena dua Titik manakala disusun dua bentuk alif, maka Alif menjadi sesuatu yang memanjang. Karena dimensi itu terdiri dari tiga: Panjang, Lebar dan Kedalaman.
Sedangkan huruf-huruf lainnya menyatu di dalam Alif, seperti huruf Jiim. Pada kepala huruf Jiim ada yang memanjang, lalu pada pangkal juga memanjang, tengahnya juga memanjang. Pada huruf Kaaf misalnya, ujungnya memanjang, tengahnya juga memanjang namun pada pangkalnya yang pertama lebar. Masing-masing ada tiga dimensi. Setiap huruf selain Alif memiliki dua atau tiga jangkauan yang membentang. Sementara Alif sendiri lebih mendekati titik. Sedangkan titik , tidak punya bentangan. Hubungan Alif diantara huruf-huruf yang Tidak bertitik, ibarat hubungan antara Nabi Muhammad saw, dengan para Nabi dan para pewarisnya yang paripurna. Karenanya Alif mendahului semua huruf.
Diantara huruf-huruf itu ada yang punya Titik di atasnya, ada pula yang punya Titik dibawahnya,Yang pertama (titik di atas) menempati posisi "Aku tidak melihat sesuatu sebelumnya, kecuali melihat Allah di sana".
Diantara huruf itu ada yang mempunyai Titik di tengah, seperti Titik putih dalam lobang seperti : Huruf Mim dan Wawu serta sejenisnya, maka posisinya pada tahap, "Aku tidak melihat sesuatu kecuali Allah didalamnya."
Karenanya titik itu berlobang, sebab dalam lobang itu tampak sesuatu selain titik itu sendiri Lingkaran kepada kepala Miim menempati tahap, "Aku tidak melihat sesuatu"
sementara Titik putih menempati "Kecuali aku melihat Allah di dalamnya."
Alif menempati posisi "Sesungguhnya orang-orang yang berbaiat kepadamu sesungguhnya mereka itu berbaiat kepada Allah." Kalimat "sesungguhnya" menempati posisi arti "Tidak", dengan uraian "Sesungguhnya orang-orang berbaiat" kepadamu tidaklah berbaiat kepadamu tidaklah berbaiat kepadamu, kecuali berbaiat kepada Allah."
Dimaklumi bahwa Nabi Muhammad saw. dibai'at (oleh Jibril As), lalu dia bersyahadat dengan bersyahadat kepada Allah pada dirinya sendiri, sesungguhnya tidaklah dia itu berbai'at kecuali berbai'at kepada Allah. Artinya juga : kamu sebenarnya tidak berbai'at kepada Muhammad saw. tetapi hakikat-nya berbaiat kepada Allah swt. Itulah arti sebenarnya dari makna Khilafah.
HAKIKAT BASMALLAH
Menurut Ibnu Araby dalam Kitab Tafsir Tasawufnya, “Tafsirul Qur’anil Karim” menegaskan, bahwa dengan (menyebut) Asma Allah, berarti Asma-asma Allah Ta’ala diproyeksikan yang menunjukkan keistimewaan-nya, yang berada di atas Sifat-sifat dan Dzat Allah Ta’ala. Sedangkan wujud Asma itu sendiri menunjukkan arah-Nya, sementara kenyataan Asma itu menunjukkan Ketunggalan-Nya.Allah itu sendiri merupakan Nama bagi Dzat (Ismu Dzat) Ketuhanan. dari segi Kemutlakan Nama itu sendiri. Bukan dari konotasi atau pengertian penyifatan bagi Sifat-sifat-Nya, begitu pula bukan bagi pengertian “Tidak membuat penyifatan”.“Ar- Rahman” adalah predikat yang melimpah terhadap wujud dan keparipurnaan secara universal. menurut relevansi hikmah. dan relevan dengan penerimaan di permulaan pertama.
“Ar-Rahiim” adalah yang melimpah bagi keparipurnaan maknawi yang ditentukan bagi manusia jika dilihat dari segi pangkal akhirnya. Karena itu sering. disebutkan, “Wahai Yang Muha Rahman bagi Dunia dan akhirat, dan Maha Rahim bagi akhirat”.
Artinya, adalah proyeksi kemanusiaan yang sempuma, dan rahmat menyeluruh, baik secara umum maupun khusus, yang merupakan manifestasi dari Dzat Ilahi. Dalam konteks, inilah Nabi Muhammad saw. Bersabda, “Aku diberi anugerah globalitas Kalam, dan aku diutus untuk menyempurnakan akhlak (menuju) paripurna akhlak”.
Karena. kalimat-kalimat merupakan hakikat-hakilkat wujud dan kenyataannya. Sebagaimana Isa as, disebut sebagai Kalimah dari Allah, sedangkan keparipurnaan akhlak adalah predikat dan keistimewaannya. Predikat itulah yang menjadi sumber perbuatan-perbuatan yang terkristal dalam jagad kemanusiaan. Memahaminya sangat halus. Di sanalah para Nabi – alaihimus salam – meletakkan huruf-huruf hijaiyah dengan menggunakan tirai struktur wujud. Kenyataan ini bisa djtemukan dalam periode! Isa as, periode Amirul Mukminin Sayyidina Ali Karromallahu Wajhah, dan sebagian masa sahabat, yang secara keseluruhan menunjukkan kenyataan tersebut.
Disebutkan, bahwa Wujud ini muncul dari huruf Baa’ dari Basmalah. Karena Baa’ tersebut mengiringi huruf Alif yang tersembunyi, yang sesungguhnya adalah Dzat Allah. Disini ada indikasi terhadap akal pertama, yang merupakan makhluk awal dari Ciptaan Allah, yang disebutkan melalui firman-Nya, “Aku tidak menciptakan makhluk yang lebih Kucintai dan lebih Kumuliakan ketimbang dirimu, dan denganmu Aku memberi. denganmu Aku mengambil, denganmu Aku memberi pahala dan denganmu Aku menyiksa”. (Al-hadits).
Huruf-huruf yang terucapkan dalam Basmalah ada 18 huruf. Sedangkan yang tertera dalam tulisan berjumlah 19 huruf. Apabila kalimat-kalimat menjadi terpisah. maka jumlah huruf yang terpisah menjadi 22.
Delapan belas huruf mengisyaratkan adanya alam-alam yang dikonotasikannya dengan jumlahnya. 18 ribu alam. Karena huruf Alif merupakan hitungan sempurna yang memuat seluruh struktur jumlah. Alif merupakan induk dari seluruh strata yang tidak lagi ada hitungan setelah Alif. Karena itu dimengerti sebagai induk dari segala induk alam yang disebut sebagai Alam Jabarut, Alam Malakut, Arasy, Kursi, Tujuh Langit., dan empat anasir, serta tiga kelahiran yang masing masing terpisah dalam bagian-bagian tersendiri.
Sedangkan makna sembilan belas, menunjukkan penyertaan Alam Kemanusiaan. Walau pun masuk kategori alam hewani, namun alam insani itu menurut konotasi kemuliaan dan universalitasnya atas seluruh alam dalam bingkai wujud, toh ada alam lain yang memiliki ragam jenis yang prinsip. Ia mempunyai bukti seperti posisi Jibril diantara para Malaikat.
Tiga Alif yang tersembunyi yang merupakan pelengkap terhadap dua puluh dua huruf ketika dipisah-pisah, merupakan perunjuk pada Alam Ilahi Yang Haq, menurut pengertian Dzat. Sifat dan Af ‘aal. Yaitu tiga Alam ketika dipisah-pisah, dan Satu Alam ketika dinilai dari hakikatnya.
Sementara tiga huruf yang tertulis menunjukkan adanya manifestasi alam-alam tersebut pada tempat penampilannya yang bersifat agung dan manusiawi.
Dan dalam rangka menutupi Alam Ilahi, ketika Rasulullah saw, ditanya soal Alif yang melekat pada Baa’, “dari mana hilangnya Alif itu?” Maka Rasulullah saw, menjawab, “Dicuri oleh Syetan”.
Diharuskannya memanjangkan huruf Baa’nya Bismillah pada penulisan, sebagai ganti dari Alifnya, menunjukkan penyembunyian Ketuhanannya predikat Ketuhanan dalam gambaran Rahmat yang tersebar. Sedangkan penampakannya dalam potret manusia, tak akan bisa dikenal kecuali oleh ahlinya. Karenanya, dalam hadist disebutkan, “Manusia diciptakan menurut gambaran Nya”.
Dzat sendiri tersembunyikan oleh Sifat, dan Sifat tersembunyikan oleh Af’aal. Af’aal tersembunyikan oleh jagad-jagad dan makhluk.
Oleh sebab itu, siapa pun yang meraih Tajallinya Af’aal Allah dengan sirnanya tirai jagad raya, maka ia akan tawakkal. Sedangkan siapa yang meraih Tajallinya Sifat dengan sirnanya tirai Af’aal, ia akan Ridha dan Pasrah. Dan siapa yang meraih Tajallinya Dzat dengan terbukanya tirai Sifat, ia akan fana dalam kesatuan. Maka ia pun akan meraih Penyatuan Mutlak. Ia berbuat, tapi tidak berbuat. Ia membaca tapi tidak membaca “Bismillahirrahmaanirrahiim”.
Tauhidnya af’aal mendahului tauhidnya Sifat, dan ia berada di atas Tauhidnya Dzat. Dalam trilogi inilah Nabi saw, bermunajat dalam sujudnya, “Tuhan, Aku berlindung dengan ampunanmu dari siksaMu, Aku berlindung dengan RidhaMu dari amarah dendamMu, Aku berlindung denganMu dari diriMu”.
Penjelmaan duniawi dari pola dasar ilahi, yang disebut didalam Al-Qur'an dengan penulisan pena dan tempat tinta, memiliki suatu pokok signifikasi spiritual. Dapat dikatakan, bahwa Al-Qur'an merupakan suara dari firman Tuhan yang diembuskan ke hati Nabi dan kemudian kepada para sahabat dan generasi-generasi selanjutnya.
Sayyidina Ali Karamallahu Wadz'hahu mengatakan : “ Bahwa seluruh Al-Qur'an itu terkandung didalam surat Al-Fatihah”, sedangkan surat Al-Fatihah itu sendiri terkandung di dalam Bismillah (basmallah).
Karena adanya suatu kehadiran ilahi dalam teks Al-Qur'an , yakni Bismillah (Basmallah), maka kalimat Bismillah inipun merupakan pengejawantahan yang dapat dilihat dari firman ilahi itu, untuk membantu kaum muslim menembus kedalam dan ditembusi oleh kehadiran ilahi yang sesuai dengan kapasitas spiritual setiap orang Islam.
Bismillah membantu manusia untuk menembus selubung eksistensi material, sehingga memperoleh jalan masuk ke barakah yang terletak didalam firman ilahi dan untuk mengenyam hakikat alam spiritual, karena Bismillah itupun adalah suatu pengejawantahan visual dari kristalisasi realitas-realitas spiritual (Al-Haqa'iq) yang terkandung didalam wahyu Islam pertama :
“Iqraa bismirabbikaal ladzii khalaq” : Dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan (Q.S. : 96 : 1)
Kalimat “Bismillah” merupakan hasil dari pengejawantahan ke-Esaan pada bidang keanekaragaman. Kalimat suci ini merefleksikan kandungan prinsip keEsaan ilahi, kebergantungan seluruh keanekaragaman kepada Yang Esa, kesementaraan dunia dan kualitas-kualitas positif dari eksistensi kosmos atau makhluk, sebagaimana difirmankan oleh Allah Swt didalam Al-Qur'an: “Yaa Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia” (Q.S. 3 : 191)
Allah Swt menurunkan kalimat suci “Bismillah” dalam wujud fisik (yang tersurat) pada sebuah kitab suci Al-Qur'anul Kariim yang secara langsung dapat dipahami oleh pikiran yang sehat. Karena kalimat suci “Bismillah” itu sendiri, memiliki realitas-realitas dasar dan perbuatan-perbuatan sebagai tangga bagi pendakian jiwa dari tingkat yang dapat dilihat dan di dengar menuju ke Yang Gaib, yang juga merupakan keheningan diatas setiap bunyi. Wujud fisik (Bismillah) inipun didasarkan pada ilmu pengetahuan tentang dunia batin yang tidak hanya berkaitan dengan penampakan lahir semata, tetapi juga dengan realitas-realitas batin “Bismillah” itu sendiri (yang tersirat)
Bismillah diilhami oleh spiritualitas Islam secara langsung yang diwahyukan oleh Allah Swt kepada Nabi, sedangkan wujudnya tentu saja dibentuk oleh karakteristik-karakteristik tertentu dari tempat penerima wahyu Al-Qur'an, yaitu : “Qalbu” (hati), yang nilai-nilai positifnya diuniversalkan Islam. Bentuk wahyu Islam yang pertama ini (Bismillah) tidaklah mengurangi kebenaran, bahwa sumber religius dari “Bismillah” ini berasal dari kandungan batin dan dimensi spiritual Islam pula.
Hanya bagi orang yang mampu melihat relitas-realitas tersebut ataupun orang yang telah dilatih untuk memperoleh penglihatan “Al'Bashirah” (penglihatan batin) atas sesuatu yang tersembunyi dibalik rahasia “Bismillah”, dan dikarenakan “Bismillah” ini merupakan pula pesan dari ruang inti perbendaharaan yang gaib (khaza'in al-ghoybi), maka siapapun yang menerima pesan kalimat suci ini didalam hatinya ia seakan menikmati alunan nyanyian alam rahim yang membawa jiwanya sebelum episode perjalanan duniawinya yang singkat. Agama Islam tidak berdasarkan ketegangan dramatis antara langit dan bumi, atau pengorbanan heroik dan penyelamatan melalui campur tangan Tuhan, akan tetapi Agama Islam bertindak untuk mengembalikan kesadaran manusia, bahwa alam semesta adalah kalam ilahi dan pelengkap ayat-ayat suci tertulis yang diwahyukan dalam bahasa Arab.
Kesadaran ini diperkuat dengan tata cara “shalat” yang secara naluriah mengembalikan manusia pada keadaan primordialnya dengan menjadikan seluruh alam sebagai tempat ibadah. Begitu pula halnya kalimat “Bismillah” yang terucap saat bersujud menyentuh bumi (shalat), adalah ; untuk mengembalikan manusia ke-kesucian primordial (al-fithrah) saat Yang Maha Esa menghadirkan dirinya secara langsung didalam hati manusia dan “mengumandangkan sebuah simfoni abadi dalam keselarasan yang ada pada alam yang suci”.
Kalimat suci “Bismillah” yang terucap saat berdzikir, berarti sang pendzikir telah kembali kepusat alam, bukan secara eksternal melainkan melalui hubungan batin yang menghubungkan dirinya dengan prinsip-prinsip dan irama-irama alam primordial yang sakral dan teramat luas sekaligus merupakan suatu perumpamaan dialog suci antara seorang Hamba dengan Khaliqnya, yang menenangkan dan sekaligus mensucikan jiwanya, begitupun “Bismillah” yang terucap disaat manusia hendak melakukan suatu pekerjaan-pekerjaan yang halal, maka kesadaran dirinya akan terbangkit dari keterlenaan, dalam dirinya melalui kesadaran akan realitas Yang Maha Esa.
“Sebuah kesadaran yang sesungguhnya merupakan substansi dari manusia primordial dan sebab terbentuknya eksistensi manusia “.
Hati serta jiwa seluruh muslim disegarkan oleh “keagungan, keselarasan dan kesucian” kalimat “Bismillah” dalam pada bentuk-bentuk huruf Al-Hijaiyyah yang terdiri dari tujuh huruf (Ba Sin Mim Alif Lam Lam Ha), yang mengelilingi kaum muslim yang hidup didalam masyarakat Islam tradisional dan yang mengungkapkan keindahannya pada setiap lembaran-lembaran suci Al-Qur'an. Oleh karenanya “Bismillah” sebagai induk suci Islam yang merupakan karunia dari “Haqiqah” yang terletak dalam hati wahyu Islam.
Kalimat suci ini akan tetap demikian bagi seluruh muslim, tak peduli apakah diri mereka sadar akan haqiqah ataukah mereka yang sudah puas dengan bentuk-bentuk luarnya saja (kalimat Bismillah yang tersurat).
Bagi mereka yang mengikuti jalan menuju “haqiqah”, kalimat suci ini merupakan pembantu pertama yang sangat diutamakan untuk merenungkan ke-Esaan Ilahi Rabbi, karena huruf “Ba” yang dilambangkan oleh titik pengenal kesucian horizontal “Sin” dengan wujud lengkungan vertikal yang menghadap langit dan “Mim” yang berporos pada suatu tiang kepasrahan.
Tiga huruf-huruf suci ini secara keseluruhan melambangkan eksistensi universal untuk menuntun manusia dalam pembauran kualitas, kekuatan, dan aliran berbagai elemen agar setiap muslim mengingatkan ajaran Tuhan, yaitu dalam bentuk alam semesta, yang benar-benar muslim atau tunduk kepada kehendak Tuhan dengan mematuhi sifat dan hukum alamnya sendiri-sendiri.
Kesucian “Bismillah” membantu manusia untuk menembus selubung eksistensi material sehingga memperoleh jalan masuk ke “Barakah” yang terletak didalam firman illahi dan untuk mengenyam suatu “rasa”, bahwa setiap jiwa akan mengenyam sesuai dengan kapasitas, keterbatasan, dan keabadiannya.***
Huruf “Alif” didalam kalimat “Bismillah” dengan vertikalitasnya melambangkan kekuatan Tuhan dan prinsip transenden yang darinya segala sesuatu itu berasal, sedangkan dua huruf “Lam” dalam bentuk kail (mata kail), yang melambangkan suatu peringatan agar hamba Allah berhati-hati dalam pancingan Iblis atau setan dan sekaligus merupakan pengejawantahan yang dapat dilihat dari firman ilahi, untuk membantu kaum muslim menembus kedalam dan ditembusi oleh kehadiran ilahi yang sesuai dengan kapasitas spiritual setiap orang Islam
Hal ini pernah disinggung dalam salah satu Hadits Rasul Saw, yang menyebutkan, bahwa “Barang siapa yang melakukan sesuatu pekerjaan dengan tanpa diawali “Bismillah”, maka tidak akan ada keberkahan didalam pekerjaannya itu”. Karena didalam makan dan minumnya manusia, Iblis akan turut andil didalamnya, jika tidak diawali dengan ucapan “Bismillah”.
Sedangkan mengenai huruf “Ha” (Ha, marbutoh), yang melambangkan realitas lingkaran kosmos sebagai wahyu primordial Tuhan yang merupakan hasil dari pengejawantahan keEsaan pada bidang keanekaragaman. Keempat buah huruf suci ini merefleksikan kandungan prinsip keEsaan ilahi, kebergantungan seluruh keanekaragaman kepada Yang Esa, kesementaraan dunia dan kualitas-kualitas positif dari eksistensi kosmos atau makhluk, sebagaimana difirmankan oleh Allah Swt didalam Al-Qur'an: Yaa Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia”
Keempat huruf ini jika digabungkan menjadi kalimat “Allah”. Itulah alasan mengapa “Alif” menjadi sumber abjad dan huruf pertama dari nama “Tuhan Yang Maha Kekal” ini, Allah, yang bentuk visualnya benar-benar menyampaikan seluruh doktrin metafisik Islam mengenai alam realitas.
Karena dalam bentuk tulisan dari nama “Allah” dalam bahasa Arab, kita melihat dengan jelas suatu garis horizontal, yakni gerak penulisannya, kemudian garis tegak lurus dari “Alif” dan “Lam” semacam garis melingkar, yang secara simbolis dapat disamakan dengan suatu lingkaran “Tauhid” yang mengelilingi jiwa orang Islam, “ dan sekaligus merupakan suatu teofani dan refleksi dari ketakterbatasan kekayaan khazanah Tuhan yang tercipta setiap saat tanpa pernah kehabisan kemungkinan-kemungkinannya”. Hal ini pula yang menegaskan peran kitab suci Al-Qur'an sebagai petunjuk (Al-Huda), jalan menuju Tuhan.
“Al'Qur'an bagaikan sepercik cahaya yang menyinari kegelapan eksistensi manusia di dunia ini”.
Misteri Zat yang menyatakan identitas, yang sekaligus merupakan sifat Tuhan yang mutlak dan juga transendensi, mencakup seluruh aspek ketuhanan yang mungkin termasuk dunia dengan pembiasan pembiasan dari-Nya yang mengindividualisasi tak terkira banyaknya. Maka dari itu orang yang mencintai Tuhan akan selalu “mengosongkan hatinya dari segala sesuatu selain-Nya” (ini terapi yang sangat ampuh untuk mencapai puncak kekhusyuan didalam shalat); karena “ Alif Lam Lam Ha” akan menyerbu hatinya dan tidak menyisakan ruang sedikitpun untuk sesuatu yang lain, karena seseorang hanya perlu mengetahui dan menyelami hakikat “Bismillah” ini untuk mengetahui semua yang dapat diketahui.
Nama “Allah” adalah kunci khazanah misteri Tuhan dan pintu gerbang menuju Yang Gaib dan Yang Nyata. Itulah realitas yang berdasarkan identitas esensial Tuhan dan kesucian nama-Nya. Itulah alasan mengapa para Ahlul Hukama selalu merenungi dan menyebutkan bahwa ; “Huruf-huruf didalam “Bismillah” turun dari dunia spiritual ke dunia fisikal dan memiliki substansi spiritual batin ketika mengenakan selubung dunia gaib yang mampu menembus kedalam makna batinnya, dan dapat merenungkan simbol prinsip-prinsip realitas maupun pedoman yang terwujud”
Sebenarnya seluruh manifestasi berasal dari ketujuh huruf ini (Ba Sin Mim Alif Lam Lam Ha), karena bagaimana mungkin Yang “Esa” melambangkan sesuatu yang lain dari huruf-huruf yang akan mengakui keEsaan-Nya, apalagi penggabungan dari ketujuh huruf-huruf ini jika berbentuk huruf Arab yang memanjang dari kanan ke kiri, akan merupakan lambang penerimaan prinsip material dan pasif, dalam arti kata “ketaqwaan mutlak” serta dimensi keindahan yang menyempurnakan ke-Agungan diri-Nya, dan sekaligus melambangkan pusat teragung yang dari-Nya segala sesuatu itu berasal dan kemana segala sesuatu itu kembali.
“Manusia harus percaya kepada yang suci dan terlibat didalamnya, kalau tidak, maka Yang Suci akan menyembunyikan dirinya dibelakang selubung yang tidak dapat diraba dan dilalui, yang pada hakikatnya adalah, selubung jiwa rendah manusia “.
Kesucian “Bismillah” mampu menciptakan sesuatu yang bersifat spiritual sekaligus sensual, menyingkap keindahan dunia ini beserta sifat fananya, dan menjelma dalam bentuk alam transendental yang indah melalui teofani Tuhan, karena hakikat Bismillah masih suci dan dicari oleh sebagian masyarakat Islam, dan menjadi nilai universal bagi seluruh dunia pada saat kebodohan mengancam untuk mencekik “spirit Bismillah” itu sendiri.
AWAL PENCIPTAAN BISMILLAH
Sebutir debu serta kesekejapan hidup diubah melalui tradisi menjadi sebuah bintang di cakrawala, yang diberkahi dengan kemapanan dan merefleksikan keabadian Tuhan. Menurut doktrin tradisional, realitas batin alam semesta mengungkapkan dirinya melalui mata batin atau penglihatan intelektual, “karena mata batin merupakan alat persepsi yang berdasarkan keselarasan, sekalipun diatas bidang korporeal”.
Dalam makrokosmos, keselarasan alam semesta terwujud pada taraf realitas yang lebih tinggi dan menjadi suram serta semakin samar dalam tingkat kosmos yang semakin rendah, karena jauh sebelum Tuhan menciptakan manusia pertama, yakni Adam As (Abul Basyar) Tuhan yang Maha Agung lebih dulu menciptakan suatu alam yang disebut “Alam Jabbarut Malaakut”, dan dihuni oleh para malaikat-malaikat Allah yang tak terbilang banyaknya.
Sebagian dari kelompok para Malaikat-Malaikat Allah tersebut adalah kelompok Malaikat Muqarrabin, Malaikat Kurubiyyin, Malaikat Kiraman Katibin, Malaikat Arsyi, Malaikat Hafadzah dan Malaikat Aran Jabaniyyah, Malaikat Arsyi. Dan masih banyak lagi golongan Malaikat-malaikat lainnya yang tidak dapat disebutkan disini.
Para malaikat-malaikat ini masing-masingnya mempunyai sayap, yang sayapnya saja secara langsung melambangkan “Hakikat realitas penerbangan dan pendakian melawan seluruh hal yang merendahkan derajat serta menurunkan kekuatan atas dunia ini, yang akhirnya mengantar pada kebebasan dari kungkungan duniawi yang serba terbatas”. Seperti tersebut didalam Firman-Nya : “ Segala puji bagi Allah pencipta langit dan bumi yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai urusan) yang mempunyai sayap masing-masing (ada yang) dua, tiga empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya, sesungguhnya Allah Maha Kuasa Atas Segala Sesuatu”. (Q.S. 35 : 1).
Menurut doktrin tradisional, “Alam Jabbarut Malakut” terdiri dari tujuh lembah pegunungan kosmik “Qaf” yang pada puncaknya terdapat singgasana Tuhan (Al-Arsy). Tuhan yang menciptakan singgasana (Al-Arsy) dari jambrud hijau dan keempat tiangnya terbuat dari batu merah delima, yang dibawa oleh delapan Malaikatul Arsy, yang selalu bertasbih memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya. Ketujuh lembah “Qaf” itu sendiri, adalah Lembah Thalab (pencarian), Lembah Isyq (cinta), Lembah Istighna (kepuasan), Lembah Hayrat (kekaguman), Lembah Faqr (kemiskinan), Lembah Ma'rifah (gnosis), dan Lembah Fana (lebur).
Dimasing-masing ketujuh lembah pegunungan kosmik “Qaf” ini terdapat (tersimpan) tujuh buah huruf Al-Hijaiyyah, yakni huruf-huruf yang ada pada kalimah suci “Bismillah”. Pegunungan kosmik “Qaf” merupakan pesona spiritual dari keindahan dan keAgungan Tuhan, yang selalu menjadi pintu gerbang untuk masuk kedalam lautan rahasia Tuhan, yang dimulai dengan kerinduan kepada-Nya, dan bergerak secara perlahan menuju penyingkapan “hakikat Bismillah” yang suci dan mensucikan, dan akhirnya mencapai peleburan (Fana) dengan melintasi horizon esoterisme “Qaf” yang sangat luas dan tanpa batas. “Qaf, demi Al-Qur'an yang sangat mulia” (Q.S. : 50 : 1)
Ekspresi universal kehidupan “Alam Jabbarut Malaakut” dan jalan inisiatik, dimungkinkan oleh tingginya tingkatan spiritual (maqam) yang sekaligus menjadi awal cikal bakal penciptaan langit dan bumi yang pada waktu itu (di alam jabbarut malakut), langit masih berupa asap, asap yang keluar dari ketujuh lembah “Qaf”, kemudian Allah satukan dan dari asap tersebut dijadikannya tujuh lapis langit. Seperti tersebut dalam firman-Nya: “ Yang menciptakan tujuh lapis langit “ (Q.S. : 67 : 3). Dan firman-Nya lagi : “Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit yang kala itu masih berupa asap” (Q.S. : 41 : 11). Setelah tujuh lapis langit terbentuk, kemudian Allah Swt menciptakan tujuh lapis bumi yang diambil dari pegunungan kosmik “Qaf” pula. “ Allah-lah yang mnciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi” (Q.S. : 65 : 12)
Catatan : Pengertian mengenai penciptaan langit dan bumi ini adalah “langit akhirat dan bumi akhirat”, karena setelah penciptaan langit dan bumi akhirat ini, Allah Swt menciptakan tujuh surga dan tujuh neraka, barulah langit dan bumi dunia Allah ciptakan dalam masa yang pada saat itu bumi masih dalam keadaan gelap gulita.
Seperti yang Allah Swt firmankan didalam Al-Qur'an : “Dan sesungguhnya telah Kami ciptakan langit dan bumi, dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa, dan kami sedikitpun tidak ditimpa kelelahan “ (Q.S. : 50 : 38)
Tuhan Yang Maha Esa menciptakan dunia setelah DIA (Allah) menciptakan surga dan neraka berikut wildan dan bidadari. Dunia saat itu masih dalam keadaan gelap gulita, dan setelah Nabi Adam As dan Siti Hawa terusir dari surga, kemudian turun ke dunia, barulah Allah Swt menciptakan cahaya yang menerangi dunia (matahari-bulan-dan bintang), walau sebenarnya penciptaan cahaya (cahaya Muhammad) ini lebih dulu dari pada penciptaan Alam Jabbarut Malaakut, yakni “Nur Muhammad”
Tuhan adalah “cahaya langit dan bumi”. Demikian penegasan Al-Qur'an yang kemudian dimensi kosmogonis dan kosmologisnya diperkuat oleh Rasul Saw. Dengan sabdanya : “Yang pertamakali diciptakan oleh Tuhan adalah cahaya”.
“Cahaya bagaikan kutub-kutub spiritual yang menyala, laksana norma dan teladan-teladan yang hidup dan menjadi perhatian para pencari kebenaran dimana dan kapanpun yang sekaligus merupakan realitas surgawi dibalik bentuk keduniawian”.
Rabu, 19 Oktober 2011
Hikmah Dari Kisah Waliyullah
Dunia tasawuf mengenal banyak cerita sufi. Sebahagian dari cerita itu termuat dalam kitab Tadzkiratul Awliya, Kenangan Para Wali, yang ditulis oleh Fariduddin Attar. Buku ini ditulis dalam bahasa Persia, meskipun judulnya ditulis dalam bahasa Arab. Selain bererti kenangan atau ingatan, kata tadzkirah dalam bahasa Arab juga bererti pelajaran. Sehingga Tadzkiratul Awliya bererti pelajaran yang diberikan oleh para wali. Attar mengumpulkan kisah para wali; mulai dari Hasan Al-Bashri, sufi pertama, sampai Bayazid Al- Busthami. Dari Rabiah Al- Adawiah sampai Dzunnun Al- Mishri. Selain buku ini, Attar juga menulis buku cerita sufi berjudul Manthiquth Thayr, Musyawarah Para Burung. Berbeza dengan kitab pertama yang berisi cerita para tokoh sufi, kitab ini berbentuk novel dan puisi sufi. Sebahagian besar ceritanya bersifat metaforis. Fariduddin dijuluki Attar (penjual wewangian), kerana sebelum menjadi sufi ia memiliki hampir semua toko ubat di Mashhad, Iran.
Dahulu, orang yang menjadi ahli farmasi juga sekaligus menjadi penjual wewangian. Sebagai pemilik toko farmasi, Attar terkenal kaya raya. Sampai suatu hari, datanglah seorang lelaki tua. Lelaki itu bertanya, "Dapatkah kau tentukan bila kau meninggal dunia?" "Tidak," jawab Attar kebingungan. "Aku dapat," ucap lelaki tua itu, "saksikan di hadapanmu bahawa aku akan mati sekarang juga." Saat itu juga lelaki renta itu terjatuh dan menghembuskan nafasnya yang terakhir. Attar terkejut. Ia berpikir tentang seluruh kekayaan dan maut yang mengancamnya. Ia ingin sampai pada kedudukan seperti lelaki tua itu; mengetahui bila ajal akan menjemput. Attar lalu meninggalkan seluruh pekerjaannya dan belajar kepada guru-guru yang tidak diketahui. Menurut shahibul hikayat, ia pernah belajar di salah satu pesantren di samping makam Imam Ridha as, di Khurasan, Iran.
Setelah pengembaraannya, Attar kembali ke tempat asalnya untuk menyusun sebuah kitab yang ia isi dengan cerita-cerita menarik. Tradisi mengajar melalui cerita telah ada dalam kebudayaan Persia. Jalaluddin Rumi mengajarkan tasawuf melalui cerita dalam kitabnya Matsnawi- e Ma'nawi. Penyair sufi Persia yang lain, Sa'di, juga menulis Gulistan, Taman Mawar, yang berisi cerita-cerita penuh pelajaran. Demikian pula Hafizh dan beberapa penyair lain. Tradisi bertutur menjadi salah satu pokok kebudayaan Persia. Kebudayaan Islam Indonesia juga mengenal tradisi bercerita. Islam yang pertama datang ke nusantara adalah Islam yang dibawa oleh orang-orang Persia lewat jalur perdagangan sehingga metode penyebaran Islam juga dilakukan dengan bercerita. Mereka menggunakan wayang sebagai media pengajaran Islam. Dalam pengantar Tadzkiratul Awliya, Attar menjelaskan mengapa ia menulis buku yang berisi cerita kehidupan para wali. Alasan pertama, tulis Attar, kerana Al-Quran pun mengajar dengan cerita.
Surat Yusuf, misalnya, lebih dari sembilan puluh peratus isinya, merupakan cerita. Terkadang Al-Quran membangkitkan keingintahuan kita dengan cerita: Tentang apakah mereka saling bertanya? Tentang cerita yang dahsyat, yang mereka perselisihkan. (QS. An-Naba; 1-3). Bagian awal dari surat Al-Kahfi bercerita tentang para pemuda yang mempertahankan imannya: Ingatlah ketika pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua lalu mereka berdoa: Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami ini. (QS. Al-Kahfi; 10) Surat ini dilanjutkan dengan kisah pertemuan Nabi Musa dan Nabi Khidhir, diteruskan dengan riwayat Zulkarnain, dan diakhiri oleh cerita Rasulullah saw. Demikian pula surat sesudah Al- Kahfi, yaitu surat Maryam, yang penuh berisi cerita; Dan kenanglah kisah Maryam dalam Al-Quran. Ketika ia menjauhkan diri dari keluarganya ke satu tempat di sebelah timur. (QS. Maryam; 16) Al-Quran memakai kata udzkur yang selain bererti "ingatlah" atau "kenanglah" juga bererti "ambillah pelajaran." Attar mengikuti contoh Al-Quran dengan menamakan kitabnya Tadzkiratul Awliya. Alasan kedua mengapa cerita para wali itu dikumpulkan, tulis Attar, adalah kerana Attar ingin mendapat keberkahan dari mereka. Dengan menghadirkan para wali, kita memberkahi diri dan tempat sekeliling kita.
Sebuah hadis menyebutkan bahawa di dunia ini ada sekelompok orang yang amat dekat dengan Allah swt. Bila mereka tiba di suatu tempat, kerana kehadiran mereka, Allah selamatkan tempat itu dari tujuh puluh macam bencana. Para sahabat bertanya, "Ya Rasulallah, siapakah mereka itu dan bagaimana mereka mencapai derajat itu?" Nabi yang mulia menjawab, "Mereka sampai ke tingkat yang tinggi itu bukan kerana rajinnya mereka ibadat. Mereka memperoleh kedudukan itu kerana dua hal; ketulusan hati mereka dan kedermawanan mereka pada sesama manusia." Itulah karakteristik para wali. Mereka adalah orang yang berhati bersih dan senang berkhidmat pada sesamanya. Wali adalah makhluk yang hidup dalam paradigma cinta. Dan mereka ingin menyebarkan cinta itu pada seluruh makhluk di alam semesta. Attar yakin bahawa kehadiran para wali akan memberkahi kehidupan kita, baik kehadiran mereka secara jasmaniah maupun kehadiran secara rohaniah. Dalam Syarah Sahih Muslim, Imam Nawawi menjelaskan dalil dianjurkannya menghadirkan orang-orang soleh untuk memberkati tempat tinggal kita. Ia meriwayatkan kisah Anas bin Malik yang mengundang Rasulullah saw untuk jamuan makan.
Tiba di rumah Anas, Rasulullah meminta keluarga itu untuk menyediakan semangkuk air. Beliau memasukkan jari jemarinya ke air lalu mencipratkannya ke sudut-sudut rumah. Nabi kemudian solat dua rakaat di rumah itu meskipun bukan pada waktu solat. Menurut Imam Nawawi, solat Nabi itu adalah solat untuk memberkati rumah Anas bin Malik. Imam Nawawi menulis, "Inilah keterangan tentang mengambil berkah dari atsar-nya orang-orang soleh." Sayangnya, tulis Attar dalam pengantar Tadzkiratul Awliya, sekarang ini kita sulit berjumpa dengan orang-orang soleh secara jasmaniah. Kita sukar menemukan wali Allah di tengah kita, untuk kita ambil pelajaran dari mereka. Oleh kerana itu, Attar menuliskan kisah-kisah para wali yang telah meninggal dunia. Attar memperkenalkan mereka agar kita dapat mengambil hikmah dari mereka. "Saya hanya pengantar hidangan," lanjut Attar, "dan saya ingin ikut menikmati hidangan ini bersama Anda.
Inilah hidangan para awliya." Attar lalu menulis belasan alasan lain mengapa ia mengumpulkan cerita para wali. Yang paling menarik untuk saya adalah alasan bahawa dengan menceritakan kehidupan para wali, kita akan memperoleh berkah dan pelajaran yang berharga dari mereka. Seakan- akan kita menemui para wali itu di alam rohani, kerana di alam jasmani kita sukar menjumpai mereka. Seringkali kita juga lebih mudah untuk mendapatkan pelajaran dari cerita-cerita sederhana ketimbang uraian-uraian panjang yang ilmiah. Berikut ini sebuah cerita dari Bayazid Al- Busthami, yang insya Allah, dapat kita ambil pelajaran daripadanya; Di samping seorang sufi, Bayazid juga adalah pengajar tasawuf.
Di antara jamaahnya, ada seorang santri yang juga memiliki murid yang banyak. Santri itu juga menjadi kyai bagi jamaahnya sendiri. Kerana telah memiliki murid, santri ini selalu memakai pakaian yang menunjukkan kesolehannya, seperti baju putih, serban, dan wewangian tertentu. Suatu saat, muridnya itu mengadu kepada Bayazid, "Tuan Guru, saya sudah beribadat tiga puluh tahun lamanya. Saya solat setiap malam dan puasa setiap hari, tapi anehnya, saya belum mengalami pengalaman rohani yang Tuan Guru ceritakan. Saya tak pernah saksikan apa pun yang Tuan gambarkan." Bayazid menjawab, "Sekiranya kau beribadat selama tiga ratus tahun pun, kau takkan mencapai satu butir pun debu mukasyafah dalam hidupmu." Murid itu hairan, "Mengapa, ya Tuan Guru?" "Kerana kau tertutup oleh dirimu," jawab Bayazid. "Bisakah kau ubati aku agar hijab itu tersingkap?" pinta sang murid. "Bisa," ucap Bayazid, "tapi kau takkan melakukannya." "Tentu saja akan aku lakukan," sanggah murid itu. "Baiklah kalau begitu," kata Bayazid, "sekarang tanggalkan pakaianmu. Sebagai gantinya, pakailah baju yang lusuh, sobek, dan compang-camping. Gantungkan di lehermu kantung berisi kacang. Pergilah kau ke pasar, kumpulkan sebanyak mungkin anak-anak kecil di sana. Katakan pada mereka, "Hai anak- anak, barangsiapa di antara kalian yang mau menampar aku satu kali, aku beri satu kantung kacang." Lalu datangilah tempat di mana jamaah kamu sering mengagumimu. Katakan juga pada mereka, "Siapa yang mau menampar mukaku, aku beri satu kantung kacang!" "Subhanallah, masya Allah, lailahailallah," kata murid itu terkejut.
Bayazid berkata, "Jika kalimat- kalimat suci itu diucapkan oleh orang kafir, ia berubah menjadi mukmin. Tapi kalau kalimat itu diucapkan oleh seorang sepertimu, kau berubah dari mukmin menjadi kafir." Murid itu kehairanan, "Mengapa bisa begitu?" Bayazid menjawab, "Kerana kelihatannya kau sedang memuji Allah, padahal sebenarnya kau sedang memuji dirimu. Ketika kau katakan: Tuhan mahasuci, seakan-akan kau mensucikan Tuhan padahal kau menonjolkan kesucian dirimu." "Kalau begitu," murid itu kembali meminta, "berilah saya nasihat lain." Bayazid menjawab, "Bukankah aku sudah bilang, kau takkan mampu melakukannya!" Cerita ini mengandung pelajaran yang amat berharga. Bayazid mengajarkan bahawa orang yang sering beribadat mudah terkena penyakit ujub dan takabur. "Hati-hatilah kalian dengan ujub," pesan Iblis. Dahulu, Iblis beribadat ribuan tahun kepada Allah. Tetapi kerana takaburnya terhadap Adam, Tuhan menjatuhkan Iblis ke derajat yang serendah- rendahnya. Takabur dapat terjadi kerana amal atau kedudukan kita. Kita sering merasa menjadi orang yang penting dan mulia. Bayazid menyuruh kita menjadi orang hina agar ego dan keinginan kita untuk menonjol dan dihormati segera hancur, yang tersisa adalah perasaan tawadhu dan kerendah-hatian. Hanya dengan itu kita bisa mencapai hadirat Allah swt. Orang-orang yang suka mengaji juga dapat jatuh kepada ujub.
Mereka merasa telah memiliki ilmu yang banyak. Suatu hari, seseorang datang kepada Nabi saw, "Ya Rasulallah, aku rasa aku telah banyak mengetahui syariat Islam. Apakah ada hal lain yang dapat kupegang teguh?" Nabi menjawab, :"Katakanlah: Tuhanku Allah, kemudian ber- istiqamah-lah kamu." Ujub seringkali terjadi di kalangan orang yang banyak beribadat. Orang sering merasa ibadat yang ia lakukan sudah lebih dari cukup sehingga ia menuntut Tuhan agar membayar pahala amal yang ia lakukan. Ia menganggap ibadat sebagai investasi. Orang yang gemar beribadat cenderung jatuh pada perasaan tinggi diri. Ibadat dijadikan cara untuk meningkatkan statusnya di tengah masyarakat. Orang itu akan amat tersinggung bila tidak diberikan tempat yang memadai statusnya. Sebagai seorang ahli ibadat, ia ingin disambut dalam setiap majlis dan diberi tempat duduk yang paling utama. Tulisan ini saya tutup dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnad-nya; Suatu hari, di depan Rasulullah saw Abu Bakar menceritakan seorang sahabat yang amat rajin ibadatnya. Ketekunannya menakjubkan semua orang. Tapi Rasulullah tak memberikan komentar apa-apa. Para sahabat kehairanan. Mereka bertanya-tanya, mengapa Nabi tak menyuruh sahabat yang lain agar mengikuti sahabat ahli ibadat itu. Tiba-tiba orang yang dibicarakan itu lewat di hadapan majlis Nabi.
Ia kemudian duduk di tempat itu tanpa mengucapkan salam. Abu Bakar berkata kepada Nabi, "Itulah orang yang tadi kita bicarakan, ya Rasulallah." Nabi hanya berkata, "Aku lihat ada bekas sentuhan setan di wajahnya." Nabi lalu mendekati orang itu dan bertanya, "Bukankah kalau kamu datang di satu majlis kamu merasa bahawa kamulah orang yang paling soleh di majlis itu?" Sahabat yang ditanya menjawab, "Allahumma, na'am. Ya Allah, memang begitulah aku." Orang itu lalu pergi meninggalkan majlis Nabi. Setelah itu Rasulullah saw bertanya kepada para sahabat, "Siapa di antara kalian yang mau membunuh orang itu?" "Aku," jawab Abu Bakar. Abu Bakar lalu pergi tapi tak berapa lama ia kembali lagi, "Ya Rasulallah, bagaimana mungkin aku membunuhnya? Ia sedang ruku'." Nabi tetap bertanya, "Siapa yang mau membunuh orang itu?" Umar bin Khaththab menjawab, "Aku." Tapi seperti juga Abu Bakar, ia kembali tanpa membunuh orang itu, "Bagaimana mungkin aku bunuh orang yang sedang bersujud dan meratakan dahinya di atas tanah?" Nabi masih bertanya, "Siapa yang akan membunuh orang itu?" Imam Ali bangkit, "Aku." Ia lalu keluar dengan membawa pedang dan kembali dengan pedang yang masih bersih, tidak berlumuran darah, "Ia telah pergi, ya Rasulullah." Nabi kemudian bersabda, "Sekiranya engkau bunuh dia.
Umatku takkan pecah sepeninggalku...." Dari kisah ini pun kita dapat mengambil hikmah: Selama di tengah- tengah kita masih terdapat orang yang merasa dirinya paling soleh, paling berilmu, dan paling benar dalam pendapatnya, pastilah terjadi perpecahan di kalangan kaum muslimin. Nabi memberikan pelajaran bagi umatnya bahawa perasaan ujub akan amal soleh yang dimiliki adalah penyebab perpecahan di tengah orang Islam. Ujub menjadi penghalang naiknya manusia ke tingkat yang lebih tinggi. Penawarnya hanya satu, belajarlah menghinakan diri kita. Seperti yang dinasihatkan Bayazid Al-Busthami kepada santrinya
Dahulu, orang yang menjadi ahli farmasi juga sekaligus menjadi penjual wewangian. Sebagai pemilik toko farmasi, Attar terkenal kaya raya. Sampai suatu hari, datanglah seorang lelaki tua. Lelaki itu bertanya, "Dapatkah kau tentukan bila kau meninggal dunia?" "Tidak," jawab Attar kebingungan. "Aku dapat," ucap lelaki tua itu, "saksikan di hadapanmu bahawa aku akan mati sekarang juga." Saat itu juga lelaki renta itu terjatuh dan menghembuskan nafasnya yang terakhir. Attar terkejut. Ia berpikir tentang seluruh kekayaan dan maut yang mengancamnya. Ia ingin sampai pada kedudukan seperti lelaki tua itu; mengetahui bila ajal akan menjemput. Attar lalu meninggalkan seluruh pekerjaannya dan belajar kepada guru-guru yang tidak diketahui. Menurut shahibul hikayat, ia pernah belajar di salah satu pesantren di samping makam Imam Ridha as, di Khurasan, Iran.
Setelah pengembaraannya, Attar kembali ke tempat asalnya untuk menyusun sebuah kitab yang ia isi dengan cerita-cerita menarik. Tradisi mengajar melalui cerita telah ada dalam kebudayaan Persia. Jalaluddin Rumi mengajarkan tasawuf melalui cerita dalam kitabnya Matsnawi- e Ma'nawi. Penyair sufi Persia yang lain, Sa'di, juga menulis Gulistan, Taman Mawar, yang berisi cerita-cerita penuh pelajaran. Demikian pula Hafizh dan beberapa penyair lain. Tradisi bertutur menjadi salah satu pokok kebudayaan Persia. Kebudayaan Islam Indonesia juga mengenal tradisi bercerita. Islam yang pertama datang ke nusantara adalah Islam yang dibawa oleh orang-orang Persia lewat jalur perdagangan sehingga metode penyebaran Islam juga dilakukan dengan bercerita. Mereka menggunakan wayang sebagai media pengajaran Islam. Dalam pengantar Tadzkiratul Awliya, Attar menjelaskan mengapa ia menulis buku yang berisi cerita kehidupan para wali. Alasan pertama, tulis Attar, kerana Al-Quran pun mengajar dengan cerita.
Surat Yusuf, misalnya, lebih dari sembilan puluh peratus isinya, merupakan cerita. Terkadang Al-Quran membangkitkan keingintahuan kita dengan cerita: Tentang apakah mereka saling bertanya? Tentang cerita yang dahsyat, yang mereka perselisihkan. (QS. An-Naba; 1-3). Bagian awal dari surat Al-Kahfi bercerita tentang para pemuda yang mempertahankan imannya: Ingatlah ketika pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua lalu mereka berdoa: Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami ini. (QS. Al-Kahfi; 10) Surat ini dilanjutkan dengan kisah pertemuan Nabi Musa dan Nabi Khidhir, diteruskan dengan riwayat Zulkarnain, dan diakhiri oleh cerita Rasulullah saw. Demikian pula surat sesudah Al- Kahfi, yaitu surat Maryam, yang penuh berisi cerita; Dan kenanglah kisah Maryam dalam Al-Quran. Ketika ia menjauhkan diri dari keluarganya ke satu tempat di sebelah timur. (QS. Maryam; 16) Al-Quran memakai kata udzkur yang selain bererti "ingatlah" atau "kenanglah" juga bererti "ambillah pelajaran." Attar mengikuti contoh Al-Quran dengan menamakan kitabnya Tadzkiratul Awliya. Alasan kedua mengapa cerita para wali itu dikumpulkan, tulis Attar, adalah kerana Attar ingin mendapat keberkahan dari mereka. Dengan menghadirkan para wali, kita memberkahi diri dan tempat sekeliling kita.
Sebuah hadis menyebutkan bahawa di dunia ini ada sekelompok orang yang amat dekat dengan Allah swt. Bila mereka tiba di suatu tempat, kerana kehadiran mereka, Allah selamatkan tempat itu dari tujuh puluh macam bencana. Para sahabat bertanya, "Ya Rasulallah, siapakah mereka itu dan bagaimana mereka mencapai derajat itu?" Nabi yang mulia menjawab, "Mereka sampai ke tingkat yang tinggi itu bukan kerana rajinnya mereka ibadat. Mereka memperoleh kedudukan itu kerana dua hal; ketulusan hati mereka dan kedermawanan mereka pada sesama manusia." Itulah karakteristik para wali. Mereka adalah orang yang berhati bersih dan senang berkhidmat pada sesamanya. Wali adalah makhluk yang hidup dalam paradigma cinta. Dan mereka ingin menyebarkan cinta itu pada seluruh makhluk di alam semesta. Attar yakin bahawa kehadiran para wali akan memberkahi kehidupan kita, baik kehadiran mereka secara jasmaniah maupun kehadiran secara rohaniah. Dalam Syarah Sahih Muslim, Imam Nawawi menjelaskan dalil dianjurkannya menghadirkan orang-orang soleh untuk memberkati tempat tinggal kita. Ia meriwayatkan kisah Anas bin Malik yang mengundang Rasulullah saw untuk jamuan makan.
Tiba di rumah Anas, Rasulullah meminta keluarga itu untuk menyediakan semangkuk air. Beliau memasukkan jari jemarinya ke air lalu mencipratkannya ke sudut-sudut rumah. Nabi kemudian solat dua rakaat di rumah itu meskipun bukan pada waktu solat. Menurut Imam Nawawi, solat Nabi itu adalah solat untuk memberkati rumah Anas bin Malik. Imam Nawawi menulis, "Inilah keterangan tentang mengambil berkah dari atsar-nya orang-orang soleh." Sayangnya, tulis Attar dalam pengantar Tadzkiratul Awliya, sekarang ini kita sulit berjumpa dengan orang-orang soleh secara jasmaniah. Kita sukar menemukan wali Allah di tengah kita, untuk kita ambil pelajaran dari mereka. Oleh kerana itu, Attar menuliskan kisah-kisah para wali yang telah meninggal dunia. Attar memperkenalkan mereka agar kita dapat mengambil hikmah dari mereka. "Saya hanya pengantar hidangan," lanjut Attar, "dan saya ingin ikut menikmati hidangan ini bersama Anda.
Inilah hidangan para awliya." Attar lalu menulis belasan alasan lain mengapa ia mengumpulkan cerita para wali. Yang paling menarik untuk saya adalah alasan bahawa dengan menceritakan kehidupan para wali, kita akan memperoleh berkah dan pelajaran yang berharga dari mereka. Seakan- akan kita menemui para wali itu di alam rohani, kerana di alam jasmani kita sukar menjumpai mereka. Seringkali kita juga lebih mudah untuk mendapatkan pelajaran dari cerita-cerita sederhana ketimbang uraian-uraian panjang yang ilmiah. Berikut ini sebuah cerita dari Bayazid Al- Busthami, yang insya Allah, dapat kita ambil pelajaran daripadanya; Di samping seorang sufi, Bayazid juga adalah pengajar tasawuf.
Di antara jamaahnya, ada seorang santri yang juga memiliki murid yang banyak. Santri itu juga menjadi kyai bagi jamaahnya sendiri. Kerana telah memiliki murid, santri ini selalu memakai pakaian yang menunjukkan kesolehannya, seperti baju putih, serban, dan wewangian tertentu. Suatu saat, muridnya itu mengadu kepada Bayazid, "Tuan Guru, saya sudah beribadat tiga puluh tahun lamanya. Saya solat setiap malam dan puasa setiap hari, tapi anehnya, saya belum mengalami pengalaman rohani yang Tuan Guru ceritakan. Saya tak pernah saksikan apa pun yang Tuan gambarkan." Bayazid menjawab, "Sekiranya kau beribadat selama tiga ratus tahun pun, kau takkan mencapai satu butir pun debu mukasyafah dalam hidupmu." Murid itu hairan, "Mengapa, ya Tuan Guru?" "Kerana kau tertutup oleh dirimu," jawab Bayazid. "Bisakah kau ubati aku agar hijab itu tersingkap?" pinta sang murid. "Bisa," ucap Bayazid, "tapi kau takkan melakukannya." "Tentu saja akan aku lakukan," sanggah murid itu. "Baiklah kalau begitu," kata Bayazid, "sekarang tanggalkan pakaianmu. Sebagai gantinya, pakailah baju yang lusuh, sobek, dan compang-camping. Gantungkan di lehermu kantung berisi kacang. Pergilah kau ke pasar, kumpulkan sebanyak mungkin anak-anak kecil di sana. Katakan pada mereka, "Hai anak- anak, barangsiapa di antara kalian yang mau menampar aku satu kali, aku beri satu kantung kacang." Lalu datangilah tempat di mana jamaah kamu sering mengagumimu. Katakan juga pada mereka, "Siapa yang mau menampar mukaku, aku beri satu kantung kacang!" "Subhanallah, masya Allah, lailahailallah," kata murid itu terkejut.
Bayazid berkata, "Jika kalimat- kalimat suci itu diucapkan oleh orang kafir, ia berubah menjadi mukmin. Tapi kalau kalimat itu diucapkan oleh seorang sepertimu, kau berubah dari mukmin menjadi kafir." Murid itu kehairanan, "Mengapa bisa begitu?" Bayazid menjawab, "Kerana kelihatannya kau sedang memuji Allah, padahal sebenarnya kau sedang memuji dirimu. Ketika kau katakan: Tuhan mahasuci, seakan-akan kau mensucikan Tuhan padahal kau menonjolkan kesucian dirimu." "Kalau begitu," murid itu kembali meminta, "berilah saya nasihat lain." Bayazid menjawab, "Bukankah aku sudah bilang, kau takkan mampu melakukannya!" Cerita ini mengandung pelajaran yang amat berharga. Bayazid mengajarkan bahawa orang yang sering beribadat mudah terkena penyakit ujub dan takabur. "Hati-hatilah kalian dengan ujub," pesan Iblis. Dahulu, Iblis beribadat ribuan tahun kepada Allah. Tetapi kerana takaburnya terhadap Adam, Tuhan menjatuhkan Iblis ke derajat yang serendah- rendahnya. Takabur dapat terjadi kerana amal atau kedudukan kita. Kita sering merasa menjadi orang yang penting dan mulia. Bayazid menyuruh kita menjadi orang hina agar ego dan keinginan kita untuk menonjol dan dihormati segera hancur, yang tersisa adalah perasaan tawadhu dan kerendah-hatian. Hanya dengan itu kita bisa mencapai hadirat Allah swt. Orang-orang yang suka mengaji juga dapat jatuh kepada ujub.
Mereka merasa telah memiliki ilmu yang banyak. Suatu hari, seseorang datang kepada Nabi saw, "Ya Rasulallah, aku rasa aku telah banyak mengetahui syariat Islam. Apakah ada hal lain yang dapat kupegang teguh?" Nabi menjawab, :"Katakanlah: Tuhanku Allah, kemudian ber- istiqamah-lah kamu." Ujub seringkali terjadi di kalangan orang yang banyak beribadat. Orang sering merasa ibadat yang ia lakukan sudah lebih dari cukup sehingga ia menuntut Tuhan agar membayar pahala amal yang ia lakukan. Ia menganggap ibadat sebagai investasi. Orang yang gemar beribadat cenderung jatuh pada perasaan tinggi diri. Ibadat dijadikan cara untuk meningkatkan statusnya di tengah masyarakat. Orang itu akan amat tersinggung bila tidak diberikan tempat yang memadai statusnya. Sebagai seorang ahli ibadat, ia ingin disambut dalam setiap majlis dan diberi tempat duduk yang paling utama. Tulisan ini saya tutup dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnad-nya; Suatu hari, di depan Rasulullah saw Abu Bakar menceritakan seorang sahabat yang amat rajin ibadatnya. Ketekunannya menakjubkan semua orang. Tapi Rasulullah tak memberikan komentar apa-apa. Para sahabat kehairanan. Mereka bertanya-tanya, mengapa Nabi tak menyuruh sahabat yang lain agar mengikuti sahabat ahli ibadat itu. Tiba-tiba orang yang dibicarakan itu lewat di hadapan majlis Nabi.
Ia kemudian duduk di tempat itu tanpa mengucapkan salam. Abu Bakar berkata kepada Nabi, "Itulah orang yang tadi kita bicarakan, ya Rasulallah." Nabi hanya berkata, "Aku lihat ada bekas sentuhan setan di wajahnya." Nabi lalu mendekati orang itu dan bertanya, "Bukankah kalau kamu datang di satu majlis kamu merasa bahawa kamulah orang yang paling soleh di majlis itu?" Sahabat yang ditanya menjawab, "Allahumma, na'am. Ya Allah, memang begitulah aku." Orang itu lalu pergi meninggalkan majlis Nabi. Setelah itu Rasulullah saw bertanya kepada para sahabat, "Siapa di antara kalian yang mau membunuh orang itu?" "Aku," jawab Abu Bakar. Abu Bakar lalu pergi tapi tak berapa lama ia kembali lagi, "Ya Rasulallah, bagaimana mungkin aku membunuhnya? Ia sedang ruku'." Nabi tetap bertanya, "Siapa yang mau membunuh orang itu?" Umar bin Khaththab menjawab, "Aku." Tapi seperti juga Abu Bakar, ia kembali tanpa membunuh orang itu, "Bagaimana mungkin aku bunuh orang yang sedang bersujud dan meratakan dahinya di atas tanah?" Nabi masih bertanya, "Siapa yang akan membunuh orang itu?" Imam Ali bangkit, "Aku." Ia lalu keluar dengan membawa pedang dan kembali dengan pedang yang masih bersih, tidak berlumuran darah, "Ia telah pergi, ya Rasulullah." Nabi kemudian bersabda, "Sekiranya engkau bunuh dia.
Umatku takkan pecah sepeninggalku...." Dari kisah ini pun kita dapat mengambil hikmah: Selama di tengah- tengah kita masih terdapat orang yang merasa dirinya paling soleh, paling berilmu, dan paling benar dalam pendapatnya, pastilah terjadi perpecahan di kalangan kaum muslimin. Nabi memberikan pelajaran bagi umatnya bahawa perasaan ujub akan amal soleh yang dimiliki adalah penyebab perpecahan di tengah orang Islam. Ujub menjadi penghalang naiknya manusia ke tingkat yang lebih tinggi. Penawarnya hanya satu, belajarlah menghinakan diri kita. Seperti yang dinasihatkan Bayazid Al-Busthami kepada santrinya
KISAH NABI KHIDIR AS
Salah satu kisah Al-Qur’an yang sangat mengagumkan dan dipenuhi dengan misteri adalah, kisah seseorang hamba yang Allah SWT memberinya rahmat dari sisi-Nya dan mengajarinya ilmu. Kisah tersebut terdapat dalam surah al-Kahfi di mana ayat-ayatnya dimulai dengan cerita Nabi Musa, yaitu: “Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya: ‘Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan-jalan sampai bertahun-tahun.” (QS. al- Kahfi: 60) Kalimat yang samar menunjukkan bahwa Musa telah bertekad untuk meneruskan perjalanan selama waktu yang cukup lama kecuali jika beliau mampu mencapai majma’ al- Bahrain (pertemuan dua buah lautan).
Di sana terdapat suatu perjanjian penting yang dinanti-nanti oleh Musa ketika beliau sampai di majma‘ al-Bahrain. Anda dapat merenungkan betapa tempat itu sangat misterius dan samar. Para musafir telah merasakan keletihan dalam waktu yang lama untuk mengetahui hakikat tempat ini. Ada yang mengatakan bahwa tempat itu adalah laut Persia dan Romawi. Ada yang mengatakan lagi bahwa itu adalah laut Jordania atau Kulzum. Ada yang mengatakan juga bahwa itu berada di Thanjah. Ada yang berpendapat, itu terletak di Afrika. Ada lagi yang mengatakan bahwa itu adalah laut Andalus. Tetapi mereka tidak dapat menunjukkan bukti yang kuat dari tempat-tempat itu. Seandainya tempat itu harus disebutkan niscaya Allah SWT akan rnenyebutkannya. Namun Al-Qur’an al-Karim sengaja menyembunyikan tempat itu, sebagaimana Al- Qur’an tidak menyebutkan kapan itu terjadi. Begitu juga, Al-Qur’an tidak menyebutkan nama-nama orang-orang yang terdapat dalam kisah itu karena adanya hikmah yang tinggi yang kita tidak mengetahuinya.
Kisah tersebut berhubungan dengan suatu ilmu yang tidak kita miliki, karena biasanya ilmu yang kita kuasai berkaitan dengan sebab-sebab tertentu. Dan tidak juga ia berkaitan dengan ilmu para nabi karena biasanya ilmu para nabi berdasarkan wahyu. Kita sekarang berhadapan dengan suatu ilmu dari suatu hakikat yang samar; ilmu yang berkaitan dengan takdir yang sangat tinggi; ilmu yang dipenuhi dengan rangkaian tabir yang tebal. Di samping itu, tempat pertemuan dan waktunya antara hamba yang mulia ini dan Musa juga tidak kita ketahui. Demikianlah kisah itu terjadi tanpa memberitahumu kapan terjadi dan di tempat mana. Al-Qur’an sengaja menyembunyikan hal itu, bahkan Al-Qur’an sengaja menyembunyikan pahlawan dari kisah ini. Allah SWT mengisyaratkan hal tersebut dalam firman-Nya: “Seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (QS. al-Kahfi: 65) Al-Qur’an al-Karim tidak menyebutkan siapa nama hamba yang dimaksud, yaitu seorang hamba yang dicari oleh Musa agar ia dapat belajar darinya.
Nabi Musa adalah seseorang yang diajak bebicara langsung oleh Allah SWT dan ia salah seorang ulul azmi dari para rasul. Beliau adalah pemilik mukjizat tongkat dan tangan yang bercahaya dan seorang Nabi yang Taurat diturunkan kepadanya tanpa melalui perantara. Namun dalam kisah ini, beliau menjadi seorang pencari ilmu yang sederhana yang harus belajar kepada gurunya dan menahan penderitaan di tengah-tengah belajarnya itu. Lalu, siapakah gurunya atau pengajarnya? Pengajarnya adalah seorang hamba yang tidak disebutkan namanya dalam Al-Qur’an meskipun dalam hadis yang suci disebutkan bahwa ia adalah Khidir as. Musa berjalan bersama hamba yang menerima ilmunya dari Allah SWT tanpa sebab-sebab penerimaan ilmu yang biasa kita ketahui. Mula-mula Khidir menolak ditemani oleh Musa. Khidir memberitahu Musa bahwa ia tidak akan mampu bersabar bersamanya. Akhirnya, Khidir mau ditemani oleh Musa tapi dengan syarat, hendaklah ia tidak bertanya tentang apa yang dilakukan Khidir sehingga Khidir menceritakan kepadanya.
Khidir merupakan simbol ketenangan dan diam; ia tidak berbicara dan gerak- geriknya menimbulkan kegelisahan dan kebingungan dalam diri Musa. Sebagian tindakan yang dilakukan oleh Khidir jelas-jelas dianggap sebagai kejahatan di mata Musa; sebagian tindakan Khidir yang lain dianggap Musa sebagai hal yang tidak memiliki arti apa pun; dan tindakan yang lain justru membuat Musa bingung dan membuatnya menentang. Meskipun Musa memiliki ilmu yang tinggi dan kedudukan yang luar biasa namun beliau mendapati dirinya dalam keadaan kebingungan melihat perilaku hamba yang mendapatkan karunia ilmunya dari sisi Allah SWT. Ilmu Musa yang berlandaskan syariat menjadi bingung ketika menghadapi ilmu hamba ini yang berlandaskan hakikat. Syariat merupakan bagian dari hakikat. Terkadang hakikat menjadi hal yang sangat samar sehingga para nabi pun sulit memahaminya. Awan tebal yang menyelimuti kisah ini dalam Al-Qur’an telah menurunkan hujan lebat yang darinya mazhab- mazhab sufi di dalam Islam menjadi segar dan tumbuh. Bahkan terdapat keyakinan yang menyatakan adanya hamba-hamba Allah SWT yang bukan termasuk nabi dan syuhada namun para nabi dan para syuhada “cemburu” dengan ilmu mereka. Keyakinan demikian ini timbul karena pengaruh kisah ini.
Para ulama berbeda pendapat berkenaan dengan Khidir. Sebagian mereka mengatakan bahwa ia seorang wali dari wali-wali Allah SWT. Sebagian lagi mengatakan bahwa ia seorang nabi. Terdapat banyak cerita bohong tentang kehidupan Khidir dan bagaimana keadaannya. Ada yang mengatakan bahwa ia akan hidup sampai hari kiamat. Yang jelas, kisah Khidir tidak dapat dijabarkan melalui nas-nas atau hadis- hadis yang dapat dipegang (otentik). Tetapi kami sendiri berpendapat bahwa beliau meninggal sebagaimana meninggalnya hamba- hamba Allah SWT yang lain. Sekarang, kita tinggal membahas kewaliannya dan kenabiannya. Tentu termasuk problem yang sangat rumit atau membingungkan. Kami akan menyampaikan kisahnya dari awal sebagaimana yang dikemukakan dalam Al- Qur’an.
Nabi Musa as berbicara di tengah-tengah Bani Israil. Ia mengajak mereka untuk menyembah Allah SWT dan menceritakan kepada mereka tentang kebenaran. Pembicaraan Nabi Musa sangat komprehensif dan tepat. Setelah beliau menyampaikan pembicaraannya, salah seorang Bani Israil bertanya: “Apakah ada di muka bumi seseorang yang lebih alim darimu wahai Nabi Allah?” Dengan nada emosi, Musa menjawab: “Tidak ada.” Allah SWT tidak setuju dengan jawaban Musa. Lalu Allah SWT mengutus Jibril untuk bertanya kepadanya: “Wahai Musa, tidakkah engkau mengetahui di mana Allah SWT meletakkan ilmu- Nya?” Musa mengetahui bahwa ia terburu-buru mengambil suatu keputusan. Jibril kembali berkata kepadanya: “Sesungguhnya Allah SWT mempunyai seorang hamba yang berada di majma’ al-Bahrain yang ia lebih alim daripada kamu.” Jiwa Nabi Musa yang mulia rindu untuk menambah ilmu, lalu timbullah keinginan dalam dirinya untuk pergi dan menemui hamba yang alim ini.
Musa bertanya bagaimana ia dapat menemui orang alim itu. Kemudian ia mendapatkan perintah untuk pergi dan membawa ikan di keranjang. Ketika ikan itu hidup dan melompat ke lautan maka di tempat itulah Musa akan menemui hamba yang alim. Akhirnya, Musa pergi guna mencari ilmu dan beliau ditemani oleh seorang pembantunya yang masih muda. Pemuda itu membawa ikan di keranjang. Kemudian mereka berdua pergi untuk mencari hamba yang alim dan saleh. Tempat yang mereka cari adalah tempat yang sangat samar dan masalah ini berkaitan dengan hidupnya ikan di keranjang dan kemudian ikan itu akan melompat ke laut. Namun Musa berkeinginan kuat untuk menemukan hamba yang alim ini walaupun beliau harus berjalan sangat jauh dan menempuh waktu yang lama. Musa berkata kepada pembantunya: “Aku tidak memberimu tugas apa pun kecuali engkau memberitahuku di mana ikan itu akan berpisah denganmu.” Pemuda atau pembantunya berkata: “Sungguh engkau hanya memberi aku tugas yang tidak terlalu berat.” Kedua orang itu sampai di suatu batu di sisi laut. Musa tidak kuat lagi menahan rasa kantuk sedangkan pembantunya masih bergadang. Angin bergerak ke tepi lautan sehingga ikan itu bergerak dan hidup lalu melompat ke laut. Melompatnya ikan itu ke laut sebagai tanda yang diberitahukan Allah SWT kepada Musa tentang tempat pertamuannya dengan seseorang yang bijaksana yang mana Musa datang untuk belajar kepadanya. Musa bangkit dari tidurnya dan tidak mengetahui bahwa ikan yang dibawanya telah melompat ke laut sedangkan pembantunya lupa untuk menceritakan peristiwa yang terjadi. Lalu Musa bersama pemuda itu melanjutkan perjalanan dan mereka lupa terhadap ikan yang dibawanya. Kemudian Musa ingat pada makanannya dan ia telah merasakan keletihan. Ia berkata kepada pembantunya: “Coba bawalah kepada kami makanan siang kami, sungguh kami telah merasakan keletihan akibat dari perjalanan ini.” Pembantunya mulai ingat tentang apa yang terjadi. Ia pun mengingat bagaimana ikan itu melompat ke lautan.
Ia segera menceritakan hal itu kepada Nabi Musa. Ia meminta maaf kepada Nabi Musa karena lupa menceritakan hal itu. Setan telah melupakannya. Keanehan apa pun yang menyertai peristiwa itu, yang jelas ikan itu memang benar-benar berjalan dan bergerak di lautan dengan suatu cara yang mengagumkan. Nabi Musa merasa gembira melihat ikan itu hidup kembali di lautan dan ia berkata: “Demikianlah yang kita inginkan.” Melompatnya ikan itu ke lautan adalah sebagai tanda bahwa di tempat itulah mereka akan bertemu dengan seseorang lelaki yang alim. Nabi Musa dan pembantunya kembali dan menelusuri tempat yang dilaluinya sampai ke tempat yang di situ ikan yang dibawanya bergerak dan menuju ke lautan. Perhatikanlah permulaan kisah: bagaimana Anda berhadapan dengan suatu kesamaran dan tabir yang tebal di mana ketika Anda menjumpai suatu tabir di depan Anda terpampang maka sebelum tabir itu tersingkap Anda harus berhadapan dengan tabir- tabir yang lain. Akhirnya, Musa sampai di tempat di mana ikan itu melompat. Mereka berdua sampai di batu di mana keduanya tidur di dekat situ, lalu ikan yang mereka bawa keluar menuju laut. Di sanalah mereka mendapatkan seorang lelaki.
Kami tidak mengetahui namanya, dan bagaimana bentuknya, dan bagaimana bajunya; kami pun tidak mengetahui usianya. Yang kita ketahui hanyalah gambaran dalam yang dijelaskan oleh Al- Qur’an: “Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba- hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahrnat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. “ Inilah aspek yang penting dalam kisah itu. Kisah itu terfokus pada sesuatu yang ada di dalam jiwa, bukan tertuju pada hal-hal yang bersifat fisik atau lahiriah. Allah SWT berfirman: “Maka tatkala mereka berjalan sampai ke pertemuan dua buah laut itu, maka mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu. Tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya: ‘Bawalah ke rnari makanan kita; sesungguhnya kita merasa letih karena perjalanan hita ini.’ Muridnya menjawab: ‘Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali setan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali.’ Musa berkata: ‘Itulah (tempat) yang kita cari; lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula. Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba- hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. ” (QS. al-Kahfi: 61-65) Bukhari mengatakan bahwa Musa dan pembantunya menemukan Khidir di atas sajadah hijau di tengah- tengah lautan.
Ketika Musa melihatnya, ia menyampaikan salam kepadanya. Khidir berkata: “Apakah di bumimu ada salam? Siapa kamu?” Musa menjawab: “Aku adalah Musa.” Khidir berkata: “Bukankah engkau Musa dari Bani Israil. Bagimu salam wahai Nabi dari Bani Israil.” Musa berkata: “Dari mana kamu mengenal saya?” Khidir menjawab: “Sesungguhnya yang mengenalkan kamu kepadaku adalah juga yang memberitahu aku siapa kamu. Lalu, apa yang engkau inginkan wahai Musa?” Musa berkata dengan penuh kelembutan dan kesopanan: “Apakah aku dapat mengikutimu agar engkau dapat mengajariku sesuatu yang engkau telah memperoleh karunia dari- Nya.” Khidir berkata: “Tidakkah cukup di tanganmu Taurat dan bukankah engkau telah mendapatkan wahyu. Sungguh wahai Musa, jika engkau ingin mengikutiku engkau tidak akan mampu bersabar bersamaku.” Kita ingin memperhatikan sejenak perbedaan antara pertanyaan Musa yang penuh dengan kesopanan dan kelembutan dan jawaban Khidir yang tegas di mana ia memberitahu Musa bahwa ilmunya tidak harus diketahui oleh Musa, sebagaimana ilmu Musa tidak diketahui oleh Khidir. Para ahli tafsir mengemukakan bahwa Khidir berkata kepada Musa: “Ilmuku tidak akan engkau ketahui dan engkau tidak akan mampu sabar untuk menanggung derita dalam memperoleh ilmu itu.
Aspek- aspek lahiriah yang engkau kuasai tidak dapat menjadi landasan dan ukuran untuk menilai ilmuku. Barangklali engkau akan melihat dalam tindakan-tindakanku yang tidak engkau pahami sebab- sebabnya. Oleh karena itu, wahai Musa, engkau tidak akan mampu bersabar ketika ingin mendapatkan ilmuku.” Musa mendapatkan suatu pernyataan yang tegas dari Khidir namun beliau kembali mengharapnya untuk mengizinkannya menyertainya untuk belajar darinya. Musa berkata kepadanya bahwa insya Allah ia akan mendapatinya sebagai orang yang sabar dan tidak akan menentang sedikit pun. Perhatikanlah bagaimana Musa, seorang Nabi yang berdialog dengan Allah SWT, merendah di hadapan hamba ini dan ia menegaskan bahwa ia tidak akan menentang perintahnya. Hamba Allah SWT yang namanya tidak disebutkan dalam Al-Qur’an menyatakan bahwa di sana terdapat syarat yang harus dipenuhi Musa jika ia bersikeras ingin menyertainya dan belajar darinya. Musa bertanya tentang syarat ini, lalu hamba yang saleh ini menentukan agar Musa tidak bertanya sesuatu pun sehingga pada saatnya nanti ia akan mengetahuinya atau hamba yang saleh itu akan memberitahunya. Musa sepakat atas syarat tersebut dan kemudian mereka pun pergi.
Perhatikanlah firman Allah SWT dalam surah al- Kahfi: “Musa berkata kepadanya: ‘Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu ?’ Dia menjawab: ‘Sesungguhnya kamu sekali- kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?’ Musa berkata: ‘Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun.’ Dia berkata: ‘Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu pun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu.’” (QS. al-Kahfi: 66-70) Musa pergi bersama Khidir. Mereka berjalan di tepi laut. Kemudian terdapat perahu yang berlayar lalu mereka berbicara dengan orang- orang yang ada di sana agar mau mengangkut mereka. Para pemilik perahu mengenal Khidir. Lalu mereka pun membawanya beserta Musa, tanpa meminta upah sedikit pun kepadanya. Ini sebagai bentuk penghormatan kepada Khidir. Namun Musa dibuat terkejut ketika perahu itu berlabuh dan ditinggalkan oleh para pemiliknya, Khidir melobangi perahu itu.
Ia mencabut papan demi papan dari perahu itu, lalu ia melemparkannya ke laut sehingga papan-papan itu dibawa ombak ke tempat yang jauh. Musa menyertai Khidir dan melihat tindakannya dan kemudian ia berpikir. Musa berkata kepada dirinya sendiri: “Apa yang aku lakukan di sini, mengapa aku berada di tempat ini dan menemani laki-laki ini? Mengapa aku tidak tinggal bersama Bani Israil dan membacakan Kitab Allah SWT sehingga mereka taat kepadaku? Sungguh Para pemilik perahu ini telah mengangkut kami tanpa meminta upah. Mereka pun memuliakan kami tetapi guruku justru merusak perahu itu dan melobanginya.” Tindakan Khidir di mata Musa adalah tindakan yang tercela. Kemudian bangkitlah emosi Musa sebagai bentuk kecemburuannya kepada kebenaran. Ia terdorong untuk bertanya kepada gurunya dan ia lupa tentang syarat yang telah diajukannya, agar ia tidak bertanya apa pun yang terjadi. Musa berkata: “Apakah engkau melobanginya agar para penumpangnya tenggelam? Sungguh engkau telah melakukan sesuatu yang tercela.” Mendengar pertanyaan lugas Musa, hamba Allah SWT itu menoleh kepadanya dan menunjukkan bahwa usaha Musa untuk belajar darinya menjadi sia-sia karena Musa tidak mampu lagi bersabar.
Musa meminta maaf kepada Khidir karena ia lupa dan mengharap kepadanya agar tidak menghukumnya. Kemudian mereka berdua berjalan melewati suatu kebun yang dijadikan tempat bermain oleh anak- anak kecil. Ketika anak-anak kecil itu sudah letih bermain, salah seorang mereka tampak bersandar di suatu pohon dan rasa kantuk telah menguasainya. Tiba-tiba, Musa dibuat terkejut ketika melihat hamba Allah SWT ini membunuh anak kacil itu. Musa dengan lantang bertanya kepadanya tentang kejahatan yang baru saja dilakukannya, yaitu membunuh anak laki- laki yang tidak berdosa. Hamba Allah SWT itu kembali mengingatkan Musa bahwa ia tidak akan mampu bersabar bersamanya. Musa meminta maaf kepadanya karena lagi-lagi ia lupa. Musa berjanji tidak akan bertanya lagi. Musa berkata ini adalah kesempatan terakhirku untuk menemanimu. Mereka pun pergi dan meneruskan perjalanan. Mereka memasuki suatu desa yang sangat bakhil. Musa tidak mengetahui mengapa mereka berdua pergi ke desa itu dan mengapa tinggal dan bermalam di sana. Makanan yang mereka bawa habis, lalu mereka meminta makanan kepada penduduk desa itu, tetapi penduduk itu tidak mau memberi dan tidak mau menjamu mereka.
Kemudian datanglah waktu sore. Kedua orang itu ingin beristirahat di sebelah dinding yang hampir roboh. Musa dibuat terkejut ketika melihat hamba itu berusaha membangun dinding yang nyaris roboh itu. Bahkan ia menghabiskan waktu malam untuk memperbaiki dinding itu dan membangunnya seperti baru. Musa sangat heran melihat tindakan gurunya. Bagi Musa, desa yang bakhil itu seharusnya tidak layak untuk mendapatkan pekerjaan yang gratis ini. Musa berkata: “Seandainya engkau mau, engkau bisa mendapat upah atas pembangunan tembok itu.” Mendengar perkataan Musa itu, hamba Allah SWT itu berkata kepadanya: “Ini adalah batas perpisahan antara dirimu dan diriku.” Hamba Allah SWT itu mengingatkan Musa tentang pertanyaan yang seharusnya tidak dilontarkan dan ia mengingatkannya bahwa pertanyaan yang ketiga adalah akhir dari pertemuan. Kemudian hamba Allah SWT itu menceritakan kepada Musa dan membongkar kesamaran dan kebingungan yang dihadapi Musa. Setiap tindakan hamba yang saleh itu—yang membuat Musa bingung— bukanlah hasil dari rekayasanya atau dari inisiatifnya sendiri, ia hanya sekadar menjadi jembatan yang digerakkan oleh kehendak Yang Maha Tingi di mana kehendak yang tinggi ini menyiratkan suatu hikmah yang tersembunyi. Tindakan-tindakan yang secara lahiriah tampak keras namun pada hakikatnya justru menyembunyikan rahmat dan kasih sayang. Demikianlah bahwa aspek lahiriah bertentangan dengan aspek batiniah. Hal inilah yang tidak diketahui oleh Musa. Meskipun Musa memiliki ilmu yang sangat luas tetapi ilmunya tidak sebanding dengan hamba ini.
Ilmu Musa laksana setetes air dibandingkan dengan ilmu hamba itu, sedangkan hamba Allah SWT itu hanya memperoleh ilmu dari Allah SWT sedikit, sebesar air yang terdapat pada paruh burung yang mengambil dari lautan. Allah SWT berfirman: “Maka berjalanlah heduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidir melobanginya. Musa berkata: ‘Mengapa kamu melobangi perahu itu yang akibatnya hamu menenggelamkan penumpangnya? Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar.’ Dia (Khidir) berkata: ‘Bukankah aku telah berkata: ‘Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku.’ Musa berkata: ‘Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku.’ Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka Khidir membunuhnya. Musa berkata: ‘Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih itu, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar.’ Khidir berkata: ‘Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan sabar bersamaku?’ Musa berkata: ‘Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah engkau memperbolehkan aku menyertairnu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur kepadaku.’ Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidir menegakkan dinding itu. Musa berkata: ‘Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu.’ Khidir berkata: ‘Inilah perpisahan antara aku dengan kamu. Aku akan memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.
Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera. Dan adapun anak itu maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin dan kami khawatir bahwa dia ahan mendorong orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan kami menghendaki supaya Tuhan mereha mengganti bagi mereka dengan anak yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam dari hasih sayangnya (kepada ibu dan bapaknya). Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya seseorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakuhannya itu menurut kemauanku sendvri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.’” (QS. al-Kahfi: 71-82) Hamba saleh itu menyingkapkan dua hal pada Musa: ia memberitahunya bahwa ilmunya, yakni ilmu Musa sangat terbatas, kemudian ia memberitahunya bahwa banyak dari musibah yang terjadi di bumi justru di balik itu terdapat rahmat yang besar. Pemilik perahu itu akan menganggap bahwa usaha melobangi perahu mereka merupakan suatu bencana bagi mereka tetapi sebenarnya di balik itu terdapat kenikmatan, yaitu kenikmatan yang tidak dapat diketahui kecuali setelah terjadinya peperangan di mana raja akan memerintahkan untuk merampas perahu-perahu yang ada.
Lalu raja itu akan membiarkan perahu-perahu yang rusak. Dengan demikian, sumber rezeki keluarga-keluarga mereka akan tetap terjaga dan mereka tidak akan mati kelaparan. Demikian juga orang tua anak kecil yang terbunuh itu akan menganggap bahwa terbunuhnya anak kecil itu sebagai musibah, namun kematiannya justru membawa rahmat yang besar bagi mereka karena Allah SWT akan memberi mereka—sebagai ganti darinya—anak yang baik yang dapat menjaga mereka dan melindungi mereka pada saat mereka menginjak masa tua dan mereka tidak akan menampakkan kelaliman dan kekufuran seperti anak yang terbunuh. Demikianlah bahwa nikmat terkadang membawa sesuatu bencana dan sebaliknya, suatu bencana terkadang membawa nikmat. Banyak hal yang lahirnya baik temyata justru di balik itu terdapat keburukan. Mula-mula Nabi Allah SWT Musa menentang dan mempersoalkan tindakan hamba Allah SWT tersebut, kemudian ia menjadi mengerti ketika hamba Allah SWT itu menyingkapkan kepadanya maksud dari tindakannya dan rahmat Allah SWT yang besar yang tersembunyi dari peristiwa- peristiwa yang terjadi.
Selanjutnya, Musa kembali menemui pembatunya dan menemaninya untuk kembali ke Bani Israil. Sekarang, Musa mendapatkan keyakinan yang luar biasa. Musa telah belajar dari mereka dua hal: yaitu ia tidak merasa bangga dengan ilmunya dalam syariat karena di sana terdapat ilmu hakikat, dan ia tidak mempersoalkan musibah-musibah yang dialami oleh manusia karena di balik itu terdapat rahmat Allah SWT yang tersembunyi yang berupa kelembutan- Nya dan kasih sayang-Nya. Itulah pelajaran yang diperoleh Nabi Musa as dari hamba ini. Nabi Musa mengetahui bahwa ia berhadapan dengan lautan ilmu yang baru di mana ia bukanlah lautan syariat yang diminum oleh para nabi. Kita berhadapan dengan lautan hakikat, di hadapan ilmu takdir yang tertinggi; ilmu yang tidak dapat kita jangkau dengan akal kita sebagai manusia biasa atau dapat kita cerna dengan logika biasa. Ini bukanlah ilmu eksperimental yang kita ketahui atau yang biasa terjadi di atas bumi, dan ia pun bukan ilmu para nabi yang Allah SWT wahyukan kepada mereka. Kita sekarang sedang membahas ilmu yang baru. Lalu siapakah pemilik ilmu ini? Apakah ia seorang wali atau seorang nabi? Mayoritas kaum sufi berpendapat bahwa hamba Allah SWT ini dari wali-wali Allah SWT. Allah SWT telah memberinya sebagian ilmu laduni kepadanya tanpa sebab-sebab tertentu. Sebagian ulama berpendapat bahwa hamba saleh ini adalah seorang nabi.
Untuk mendukung pernyataannya ulama-ulama tersebut menyampaikan beberapa argumentasi melalui ayat Al-Qur’an yang menunjukkan kenabiannya. Pertama, firman-Nya: “Lalu mereka bertemu dengan searang hamba di antara hamba-ham-ba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” Kedua, perkataan Musa kepadanya: “Musa berkata kepadanya: ‘Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?’ Dia menjawab: ‘Sesungguhnya kamu sekali- kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu ?’ Musa berkata: ‘lnsya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orangyang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun.’ Dia berkata: ‘Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu rmnanyakan kepadaku tentang sesuatu pun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu,’” (QS. al-Kahfi: 66-70) Seandainya ia seorang wali dan bukan seorang nabi maka Musa tidak akan berdiaog atau berbicara dengannya dengan cara yang demikian dan ia tidak akan menjawab kepada Musa dengan jawaban yang demikian.
Bila ia bukan seorang nabi maka berarti ia tidak maksum sehingga Musa tidak harus memperoleh ilmu dari seseorang wali yang tidak maksum. Ketiga, Khidir menunjukkan keberaniannya untuk membunuh anak kecil itu melalui wahyu dari Allah SWT dan perintah dari-Nya. Ini adalah dalil tersendiri yang menunjukkan kenabiannya dan bukti kuat yang menunjukkan kemaksumannya. Sebab, seorang wali tidak boleh membunuh jiwa yang tidak berdosa dengan hanya berdasarkan kepada keyakinannya dan hatinya. Boleh jadi apa yang terlintas dalam hatinya tidak selalu maksum karena terkadang ia membuat kesalahan. Jadi, keberanian Khidir untuk membunuh anak kacil itu sebagai bukti kenabiannya. Keempat, perkataan Khidir kepada Musa: “Sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. ” (QS. al- Kahfi: 82) Yakni, apa yang aku lakukan bukan dari doronganku sendiri namun ia merupakan perintah dari Allah SWT dan wahyu dari-Nya. Demikianlah pendapat para ulama dan para ahli zuhud. Para ulama berpendapat bahwa Khidir adalah seorang Nabi sedangkan para ahli zuhud dan para tokoh sufi berpendapat bahwa Khidir adalah seorang wali dari wali-wali Allah SWT. Salah satu pernyataan Kliidir yang sering dikemukakan oleh tokoh sufi adalah perkataan Wahab bin Munabeh, Khidir berkata: “Wahai Musa, manusia akan disiksa di dunia sesuai dengan kadar kecintaan mereka atau kecenderungan mereka terhadapnya (dunia).” Sedangkan Bisyir bin Harits al-Hafi berkata: “Musa berkata kepada Khidir: “Berilah aku nasihat.” Khidir menjawab: “Mudah- mudahan Allah SWT memudahkan kamu untuk taat kepada-Nya.” Para ulama dan para ahli zuhud berselisih pendapat tentang Khidir dan setiap mereka mengklaim kebenaran pendapatnya.
Perbedaan pendapat ini berujung pangkal kepada anggapan para ulama bahwa mereka adalah sebagai pewaris para nabi, sedangkan kaum sufi menganggap diri mereka sebagai ahli hakikat yang mana salah satu tokoh terkemuka dari ahli hakikat itu adalah Khidir. Kami sendiri cenderung untuk menganggap Khidir sebagai seorang nabi karena beliau menerima ilmu laduni. Yang jelas, kita tidak mendapati nas yang jelas dalam konteks Al-Qur’an yang menunjukkan kenabiannya dan kita juga tidak menemukan nas yang gamblang yang dapat kita jadikan sandaran untuk menganggapnya sebagai seorang wali yang diberi oleh Allah SWT sebagian ilmu laduni. Barangkali kesamaran seputar pribadi yang mulia ini memang disengaja agar orang yang mengikuti kisah tersebut mendapatkan tujuan utama dari inti cerita. Hendaklah kita berada di batas yang benar dan tidak terlalu jauh mempersoalkan kenabiannya atau kewaliannya. Yang jelas, ketika kami memasukkannya dalam jajaran para nabi karena ia adalah seorang guru dari Musa dan seorang ustadz baginya untuk beberapa waktu.♦
Di sana terdapat suatu perjanjian penting yang dinanti-nanti oleh Musa ketika beliau sampai di majma‘ al-Bahrain. Anda dapat merenungkan betapa tempat itu sangat misterius dan samar. Para musafir telah merasakan keletihan dalam waktu yang lama untuk mengetahui hakikat tempat ini. Ada yang mengatakan bahwa tempat itu adalah laut Persia dan Romawi. Ada yang mengatakan lagi bahwa itu adalah laut Jordania atau Kulzum. Ada yang mengatakan juga bahwa itu berada di Thanjah. Ada yang berpendapat, itu terletak di Afrika. Ada lagi yang mengatakan bahwa itu adalah laut Andalus. Tetapi mereka tidak dapat menunjukkan bukti yang kuat dari tempat-tempat itu. Seandainya tempat itu harus disebutkan niscaya Allah SWT akan rnenyebutkannya. Namun Al-Qur’an al-Karim sengaja menyembunyikan tempat itu, sebagaimana Al- Qur’an tidak menyebutkan kapan itu terjadi. Begitu juga, Al-Qur’an tidak menyebutkan nama-nama orang-orang yang terdapat dalam kisah itu karena adanya hikmah yang tinggi yang kita tidak mengetahuinya.
Kisah tersebut berhubungan dengan suatu ilmu yang tidak kita miliki, karena biasanya ilmu yang kita kuasai berkaitan dengan sebab-sebab tertentu. Dan tidak juga ia berkaitan dengan ilmu para nabi karena biasanya ilmu para nabi berdasarkan wahyu. Kita sekarang berhadapan dengan suatu ilmu dari suatu hakikat yang samar; ilmu yang berkaitan dengan takdir yang sangat tinggi; ilmu yang dipenuhi dengan rangkaian tabir yang tebal. Di samping itu, tempat pertemuan dan waktunya antara hamba yang mulia ini dan Musa juga tidak kita ketahui. Demikianlah kisah itu terjadi tanpa memberitahumu kapan terjadi dan di tempat mana. Al-Qur’an sengaja menyembunyikan hal itu, bahkan Al-Qur’an sengaja menyembunyikan pahlawan dari kisah ini. Allah SWT mengisyaratkan hal tersebut dalam firman-Nya: “Seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (QS. al-Kahfi: 65) Al-Qur’an al-Karim tidak menyebutkan siapa nama hamba yang dimaksud, yaitu seorang hamba yang dicari oleh Musa agar ia dapat belajar darinya.
Nabi Musa adalah seseorang yang diajak bebicara langsung oleh Allah SWT dan ia salah seorang ulul azmi dari para rasul. Beliau adalah pemilik mukjizat tongkat dan tangan yang bercahaya dan seorang Nabi yang Taurat diturunkan kepadanya tanpa melalui perantara. Namun dalam kisah ini, beliau menjadi seorang pencari ilmu yang sederhana yang harus belajar kepada gurunya dan menahan penderitaan di tengah-tengah belajarnya itu. Lalu, siapakah gurunya atau pengajarnya? Pengajarnya adalah seorang hamba yang tidak disebutkan namanya dalam Al-Qur’an meskipun dalam hadis yang suci disebutkan bahwa ia adalah Khidir as. Musa berjalan bersama hamba yang menerima ilmunya dari Allah SWT tanpa sebab-sebab penerimaan ilmu yang biasa kita ketahui. Mula-mula Khidir menolak ditemani oleh Musa. Khidir memberitahu Musa bahwa ia tidak akan mampu bersabar bersamanya. Akhirnya, Khidir mau ditemani oleh Musa tapi dengan syarat, hendaklah ia tidak bertanya tentang apa yang dilakukan Khidir sehingga Khidir menceritakan kepadanya.
Khidir merupakan simbol ketenangan dan diam; ia tidak berbicara dan gerak- geriknya menimbulkan kegelisahan dan kebingungan dalam diri Musa. Sebagian tindakan yang dilakukan oleh Khidir jelas-jelas dianggap sebagai kejahatan di mata Musa; sebagian tindakan Khidir yang lain dianggap Musa sebagai hal yang tidak memiliki arti apa pun; dan tindakan yang lain justru membuat Musa bingung dan membuatnya menentang. Meskipun Musa memiliki ilmu yang tinggi dan kedudukan yang luar biasa namun beliau mendapati dirinya dalam keadaan kebingungan melihat perilaku hamba yang mendapatkan karunia ilmunya dari sisi Allah SWT. Ilmu Musa yang berlandaskan syariat menjadi bingung ketika menghadapi ilmu hamba ini yang berlandaskan hakikat. Syariat merupakan bagian dari hakikat. Terkadang hakikat menjadi hal yang sangat samar sehingga para nabi pun sulit memahaminya. Awan tebal yang menyelimuti kisah ini dalam Al-Qur’an telah menurunkan hujan lebat yang darinya mazhab- mazhab sufi di dalam Islam menjadi segar dan tumbuh. Bahkan terdapat keyakinan yang menyatakan adanya hamba-hamba Allah SWT yang bukan termasuk nabi dan syuhada namun para nabi dan para syuhada “cemburu” dengan ilmu mereka. Keyakinan demikian ini timbul karena pengaruh kisah ini.
Para ulama berbeda pendapat berkenaan dengan Khidir. Sebagian mereka mengatakan bahwa ia seorang wali dari wali-wali Allah SWT. Sebagian lagi mengatakan bahwa ia seorang nabi. Terdapat banyak cerita bohong tentang kehidupan Khidir dan bagaimana keadaannya. Ada yang mengatakan bahwa ia akan hidup sampai hari kiamat. Yang jelas, kisah Khidir tidak dapat dijabarkan melalui nas-nas atau hadis- hadis yang dapat dipegang (otentik). Tetapi kami sendiri berpendapat bahwa beliau meninggal sebagaimana meninggalnya hamba- hamba Allah SWT yang lain. Sekarang, kita tinggal membahas kewaliannya dan kenabiannya. Tentu termasuk problem yang sangat rumit atau membingungkan. Kami akan menyampaikan kisahnya dari awal sebagaimana yang dikemukakan dalam Al- Qur’an.
Nabi Musa as berbicara di tengah-tengah Bani Israil. Ia mengajak mereka untuk menyembah Allah SWT dan menceritakan kepada mereka tentang kebenaran. Pembicaraan Nabi Musa sangat komprehensif dan tepat. Setelah beliau menyampaikan pembicaraannya, salah seorang Bani Israil bertanya: “Apakah ada di muka bumi seseorang yang lebih alim darimu wahai Nabi Allah?” Dengan nada emosi, Musa menjawab: “Tidak ada.” Allah SWT tidak setuju dengan jawaban Musa. Lalu Allah SWT mengutus Jibril untuk bertanya kepadanya: “Wahai Musa, tidakkah engkau mengetahui di mana Allah SWT meletakkan ilmu- Nya?” Musa mengetahui bahwa ia terburu-buru mengambil suatu keputusan. Jibril kembali berkata kepadanya: “Sesungguhnya Allah SWT mempunyai seorang hamba yang berada di majma’ al-Bahrain yang ia lebih alim daripada kamu.” Jiwa Nabi Musa yang mulia rindu untuk menambah ilmu, lalu timbullah keinginan dalam dirinya untuk pergi dan menemui hamba yang alim ini.
Musa bertanya bagaimana ia dapat menemui orang alim itu. Kemudian ia mendapatkan perintah untuk pergi dan membawa ikan di keranjang. Ketika ikan itu hidup dan melompat ke lautan maka di tempat itulah Musa akan menemui hamba yang alim. Akhirnya, Musa pergi guna mencari ilmu dan beliau ditemani oleh seorang pembantunya yang masih muda. Pemuda itu membawa ikan di keranjang. Kemudian mereka berdua pergi untuk mencari hamba yang alim dan saleh. Tempat yang mereka cari adalah tempat yang sangat samar dan masalah ini berkaitan dengan hidupnya ikan di keranjang dan kemudian ikan itu akan melompat ke laut. Namun Musa berkeinginan kuat untuk menemukan hamba yang alim ini walaupun beliau harus berjalan sangat jauh dan menempuh waktu yang lama. Musa berkata kepada pembantunya: “Aku tidak memberimu tugas apa pun kecuali engkau memberitahuku di mana ikan itu akan berpisah denganmu.” Pemuda atau pembantunya berkata: “Sungguh engkau hanya memberi aku tugas yang tidak terlalu berat.” Kedua orang itu sampai di suatu batu di sisi laut. Musa tidak kuat lagi menahan rasa kantuk sedangkan pembantunya masih bergadang. Angin bergerak ke tepi lautan sehingga ikan itu bergerak dan hidup lalu melompat ke laut. Melompatnya ikan itu ke laut sebagai tanda yang diberitahukan Allah SWT kepada Musa tentang tempat pertamuannya dengan seseorang yang bijaksana yang mana Musa datang untuk belajar kepadanya. Musa bangkit dari tidurnya dan tidak mengetahui bahwa ikan yang dibawanya telah melompat ke laut sedangkan pembantunya lupa untuk menceritakan peristiwa yang terjadi. Lalu Musa bersama pemuda itu melanjutkan perjalanan dan mereka lupa terhadap ikan yang dibawanya. Kemudian Musa ingat pada makanannya dan ia telah merasakan keletihan. Ia berkata kepada pembantunya: “Coba bawalah kepada kami makanan siang kami, sungguh kami telah merasakan keletihan akibat dari perjalanan ini.” Pembantunya mulai ingat tentang apa yang terjadi. Ia pun mengingat bagaimana ikan itu melompat ke lautan.
Ia segera menceritakan hal itu kepada Nabi Musa. Ia meminta maaf kepada Nabi Musa karena lupa menceritakan hal itu. Setan telah melupakannya. Keanehan apa pun yang menyertai peristiwa itu, yang jelas ikan itu memang benar-benar berjalan dan bergerak di lautan dengan suatu cara yang mengagumkan. Nabi Musa merasa gembira melihat ikan itu hidup kembali di lautan dan ia berkata: “Demikianlah yang kita inginkan.” Melompatnya ikan itu ke lautan adalah sebagai tanda bahwa di tempat itulah mereka akan bertemu dengan seseorang lelaki yang alim. Nabi Musa dan pembantunya kembali dan menelusuri tempat yang dilaluinya sampai ke tempat yang di situ ikan yang dibawanya bergerak dan menuju ke lautan. Perhatikanlah permulaan kisah: bagaimana Anda berhadapan dengan suatu kesamaran dan tabir yang tebal di mana ketika Anda menjumpai suatu tabir di depan Anda terpampang maka sebelum tabir itu tersingkap Anda harus berhadapan dengan tabir- tabir yang lain. Akhirnya, Musa sampai di tempat di mana ikan itu melompat. Mereka berdua sampai di batu di mana keduanya tidur di dekat situ, lalu ikan yang mereka bawa keluar menuju laut. Di sanalah mereka mendapatkan seorang lelaki.
Kami tidak mengetahui namanya, dan bagaimana bentuknya, dan bagaimana bajunya; kami pun tidak mengetahui usianya. Yang kita ketahui hanyalah gambaran dalam yang dijelaskan oleh Al- Qur’an: “Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba- hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahrnat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. “ Inilah aspek yang penting dalam kisah itu. Kisah itu terfokus pada sesuatu yang ada di dalam jiwa, bukan tertuju pada hal-hal yang bersifat fisik atau lahiriah. Allah SWT berfirman: “Maka tatkala mereka berjalan sampai ke pertemuan dua buah laut itu, maka mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu. Tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya: ‘Bawalah ke rnari makanan kita; sesungguhnya kita merasa letih karena perjalanan hita ini.’ Muridnya menjawab: ‘Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali setan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali.’ Musa berkata: ‘Itulah (tempat) yang kita cari; lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula. Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba- hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. ” (QS. al-Kahfi: 61-65) Bukhari mengatakan bahwa Musa dan pembantunya menemukan Khidir di atas sajadah hijau di tengah- tengah lautan.
Ketika Musa melihatnya, ia menyampaikan salam kepadanya. Khidir berkata: “Apakah di bumimu ada salam? Siapa kamu?” Musa menjawab: “Aku adalah Musa.” Khidir berkata: “Bukankah engkau Musa dari Bani Israil. Bagimu salam wahai Nabi dari Bani Israil.” Musa berkata: “Dari mana kamu mengenal saya?” Khidir menjawab: “Sesungguhnya yang mengenalkan kamu kepadaku adalah juga yang memberitahu aku siapa kamu. Lalu, apa yang engkau inginkan wahai Musa?” Musa berkata dengan penuh kelembutan dan kesopanan: “Apakah aku dapat mengikutimu agar engkau dapat mengajariku sesuatu yang engkau telah memperoleh karunia dari- Nya.” Khidir berkata: “Tidakkah cukup di tanganmu Taurat dan bukankah engkau telah mendapatkan wahyu. Sungguh wahai Musa, jika engkau ingin mengikutiku engkau tidak akan mampu bersabar bersamaku.” Kita ingin memperhatikan sejenak perbedaan antara pertanyaan Musa yang penuh dengan kesopanan dan kelembutan dan jawaban Khidir yang tegas di mana ia memberitahu Musa bahwa ilmunya tidak harus diketahui oleh Musa, sebagaimana ilmu Musa tidak diketahui oleh Khidir. Para ahli tafsir mengemukakan bahwa Khidir berkata kepada Musa: “Ilmuku tidak akan engkau ketahui dan engkau tidak akan mampu sabar untuk menanggung derita dalam memperoleh ilmu itu.
Aspek- aspek lahiriah yang engkau kuasai tidak dapat menjadi landasan dan ukuran untuk menilai ilmuku. Barangklali engkau akan melihat dalam tindakan-tindakanku yang tidak engkau pahami sebab- sebabnya. Oleh karena itu, wahai Musa, engkau tidak akan mampu bersabar ketika ingin mendapatkan ilmuku.” Musa mendapatkan suatu pernyataan yang tegas dari Khidir namun beliau kembali mengharapnya untuk mengizinkannya menyertainya untuk belajar darinya. Musa berkata kepadanya bahwa insya Allah ia akan mendapatinya sebagai orang yang sabar dan tidak akan menentang sedikit pun. Perhatikanlah bagaimana Musa, seorang Nabi yang berdialog dengan Allah SWT, merendah di hadapan hamba ini dan ia menegaskan bahwa ia tidak akan menentang perintahnya. Hamba Allah SWT yang namanya tidak disebutkan dalam Al-Qur’an menyatakan bahwa di sana terdapat syarat yang harus dipenuhi Musa jika ia bersikeras ingin menyertainya dan belajar darinya. Musa bertanya tentang syarat ini, lalu hamba yang saleh ini menentukan agar Musa tidak bertanya sesuatu pun sehingga pada saatnya nanti ia akan mengetahuinya atau hamba yang saleh itu akan memberitahunya. Musa sepakat atas syarat tersebut dan kemudian mereka pun pergi.
Perhatikanlah firman Allah SWT dalam surah al- Kahfi: “Musa berkata kepadanya: ‘Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu ?’ Dia menjawab: ‘Sesungguhnya kamu sekali- kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?’ Musa berkata: ‘Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun.’ Dia berkata: ‘Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu pun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu.’” (QS. al-Kahfi: 66-70) Musa pergi bersama Khidir. Mereka berjalan di tepi laut. Kemudian terdapat perahu yang berlayar lalu mereka berbicara dengan orang- orang yang ada di sana agar mau mengangkut mereka. Para pemilik perahu mengenal Khidir. Lalu mereka pun membawanya beserta Musa, tanpa meminta upah sedikit pun kepadanya. Ini sebagai bentuk penghormatan kepada Khidir. Namun Musa dibuat terkejut ketika perahu itu berlabuh dan ditinggalkan oleh para pemiliknya, Khidir melobangi perahu itu.
Ia mencabut papan demi papan dari perahu itu, lalu ia melemparkannya ke laut sehingga papan-papan itu dibawa ombak ke tempat yang jauh. Musa menyertai Khidir dan melihat tindakannya dan kemudian ia berpikir. Musa berkata kepada dirinya sendiri: “Apa yang aku lakukan di sini, mengapa aku berada di tempat ini dan menemani laki-laki ini? Mengapa aku tidak tinggal bersama Bani Israil dan membacakan Kitab Allah SWT sehingga mereka taat kepadaku? Sungguh Para pemilik perahu ini telah mengangkut kami tanpa meminta upah. Mereka pun memuliakan kami tetapi guruku justru merusak perahu itu dan melobanginya.” Tindakan Khidir di mata Musa adalah tindakan yang tercela. Kemudian bangkitlah emosi Musa sebagai bentuk kecemburuannya kepada kebenaran. Ia terdorong untuk bertanya kepada gurunya dan ia lupa tentang syarat yang telah diajukannya, agar ia tidak bertanya apa pun yang terjadi. Musa berkata: “Apakah engkau melobanginya agar para penumpangnya tenggelam? Sungguh engkau telah melakukan sesuatu yang tercela.” Mendengar pertanyaan lugas Musa, hamba Allah SWT itu menoleh kepadanya dan menunjukkan bahwa usaha Musa untuk belajar darinya menjadi sia-sia karena Musa tidak mampu lagi bersabar.
Musa meminta maaf kepada Khidir karena ia lupa dan mengharap kepadanya agar tidak menghukumnya. Kemudian mereka berdua berjalan melewati suatu kebun yang dijadikan tempat bermain oleh anak- anak kecil. Ketika anak-anak kecil itu sudah letih bermain, salah seorang mereka tampak bersandar di suatu pohon dan rasa kantuk telah menguasainya. Tiba-tiba, Musa dibuat terkejut ketika melihat hamba Allah SWT ini membunuh anak kacil itu. Musa dengan lantang bertanya kepadanya tentang kejahatan yang baru saja dilakukannya, yaitu membunuh anak laki- laki yang tidak berdosa. Hamba Allah SWT itu kembali mengingatkan Musa bahwa ia tidak akan mampu bersabar bersamanya. Musa meminta maaf kepadanya karena lagi-lagi ia lupa. Musa berjanji tidak akan bertanya lagi. Musa berkata ini adalah kesempatan terakhirku untuk menemanimu. Mereka pun pergi dan meneruskan perjalanan. Mereka memasuki suatu desa yang sangat bakhil. Musa tidak mengetahui mengapa mereka berdua pergi ke desa itu dan mengapa tinggal dan bermalam di sana. Makanan yang mereka bawa habis, lalu mereka meminta makanan kepada penduduk desa itu, tetapi penduduk itu tidak mau memberi dan tidak mau menjamu mereka.
Kemudian datanglah waktu sore. Kedua orang itu ingin beristirahat di sebelah dinding yang hampir roboh. Musa dibuat terkejut ketika melihat hamba itu berusaha membangun dinding yang nyaris roboh itu. Bahkan ia menghabiskan waktu malam untuk memperbaiki dinding itu dan membangunnya seperti baru. Musa sangat heran melihat tindakan gurunya. Bagi Musa, desa yang bakhil itu seharusnya tidak layak untuk mendapatkan pekerjaan yang gratis ini. Musa berkata: “Seandainya engkau mau, engkau bisa mendapat upah atas pembangunan tembok itu.” Mendengar perkataan Musa itu, hamba Allah SWT itu berkata kepadanya: “Ini adalah batas perpisahan antara dirimu dan diriku.” Hamba Allah SWT itu mengingatkan Musa tentang pertanyaan yang seharusnya tidak dilontarkan dan ia mengingatkannya bahwa pertanyaan yang ketiga adalah akhir dari pertemuan. Kemudian hamba Allah SWT itu menceritakan kepada Musa dan membongkar kesamaran dan kebingungan yang dihadapi Musa. Setiap tindakan hamba yang saleh itu—yang membuat Musa bingung— bukanlah hasil dari rekayasanya atau dari inisiatifnya sendiri, ia hanya sekadar menjadi jembatan yang digerakkan oleh kehendak Yang Maha Tingi di mana kehendak yang tinggi ini menyiratkan suatu hikmah yang tersembunyi. Tindakan-tindakan yang secara lahiriah tampak keras namun pada hakikatnya justru menyembunyikan rahmat dan kasih sayang. Demikianlah bahwa aspek lahiriah bertentangan dengan aspek batiniah. Hal inilah yang tidak diketahui oleh Musa. Meskipun Musa memiliki ilmu yang sangat luas tetapi ilmunya tidak sebanding dengan hamba ini.
Ilmu Musa laksana setetes air dibandingkan dengan ilmu hamba itu, sedangkan hamba Allah SWT itu hanya memperoleh ilmu dari Allah SWT sedikit, sebesar air yang terdapat pada paruh burung yang mengambil dari lautan. Allah SWT berfirman: “Maka berjalanlah heduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidir melobanginya. Musa berkata: ‘Mengapa kamu melobangi perahu itu yang akibatnya hamu menenggelamkan penumpangnya? Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar.’ Dia (Khidir) berkata: ‘Bukankah aku telah berkata: ‘Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku.’ Musa berkata: ‘Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku.’ Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka Khidir membunuhnya. Musa berkata: ‘Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih itu, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar.’ Khidir berkata: ‘Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan sabar bersamaku?’ Musa berkata: ‘Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah engkau memperbolehkan aku menyertairnu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur kepadaku.’ Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidir menegakkan dinding itu. Musa berkata: ‘Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu.’ Khidir berkata: ‘Inilah perpisahan antara aku dengan kamu. Aku akan memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.
Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera. Dan adapun anak itu maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin dan kami khawatir bahwa dia ahan mendorong orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan kami menghendaki supaya Tuhan mereha mengganti bagi mereka dengan anak yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam dari hasih sayangnya (kepada ibu dan bapaknya). Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya seseorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakuhannya itu menurut kemauanku sendvri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.’” (QS. al-Kahfi: 71-82) Hamba saleh itu menyingkapkan dua hal pada Musa: ia memberitahunya bahwa ilmunya, yakni ilmu Musa sangat terbatas, kemudian ia memberitahunya bahwa banyak dari musibah yang terjadi di bumi justru di balik itu terdapat rahmat yang besar. Pemilik perahu itu akan menganggap bahwa usaha melobangi perahu mereka merupakan suatu bencana bagi mereka tetapi sebenarnya di balik itu terdapat kenikmatan, yaitu kenikmatan yang tidak dapat diketahui kecuali setelah terjadinya peperangan di mana raja akan memerintahkan untuk merampas perahu-perahu yang ada.
Lalu raja itu akan membiarkan perahu-perahu yang rusak. Dengan demikian, sumber rezeki keluarga-keluarga mereka akan tetap terjaga dan mereka tidak akan mati kelaparan. Demikian juga orang tua anak kecil yang terbunuh itu akan menganggap bahwa terbunuhnya anak kecil itu sebagai musibah, namun kematiannya justru membawa rahmat yang besar bagi mereka karena Allah SWT akan memberi mereka—sebagai ganti darinya—anak yang baik yang dapat menjaga mereka dan melindungi mereka pada saat mereka menginjak masa tua dan mereka tidak akan menampakkan kelaliman dan kekufuran seperti anak yang terbunuh. Demikianlah bahwa nikmat terkadang membawa sesuatu bencana dan sebaliknya, suatu bencana terkadang membawa nikmat. Banyak hal yang lahirnya baik temyata justru di balik itu terdapat keburukan. Mula-mula Nabi Allah SWT Musa menentang dan mempersoalkan tindakan hamba Allah SWT tersebut, kemudian ia menjadi mengerti ketika hamba Allah SWT itu menyingkapkan kepadanya maksud dari tindakannya dan rahmat Allah SWT yang besar yang tersembunyi dari peristiwa- peristiwa yang terjadi.
Selanjutnya, Musa kembali menemui pembatunya dan menemaninya untuk kembali ke Bani Israil. Sekarang, Musa mendapatkan keyakinan yang luar biasa. Musa telah belajar dari mereka dua hal: yaitu ia tidak merasa bangga dengan ilmunya dalam syariat karena di sana terdapat ilmu hakikat, dan ia tidak mempersoalkan musibah-musibah yang dialami oleh manusia karena di balik itu terdapat rahmat Allah SWT yang tersembunyi yang berupa kelembutan- Nya dan kasih sayang-Nya. Itulah pelajaran yang diperoleh Nabi Musa as dari hamba ini. Nabi Musa mengetahui bahwa ia berhadapan dengan lautan ilmu yang baru di mana ia bukanlah lautan syariat yang diminum oleh para nabi. Kita berhadapan dengan lautan hakikat, di hadapan ilmu takdir yang tertinggi; ilmu yang tidak dapat kita jangkau dengan akal kita sebagai manusia biasa atau dapat kita cerna dengan logika biasa. Ini bukanlah ilmu eksperimental yang kita ketahui atau yang biasa terjadi di atas bumi, dan ia pun bukan ilmu para nabi yang Allah SWT wahyukan kepada mereka. Kita sekarang sedang membahas ilmu yang baru. Lalu siapakah pemilik ilmu ini? Apakah ia seorang wali atau seorang nabi? Mayoritas kaum sufi berpendapat bahwa hamba Allah SWT ini dari wali-wali Allah SWT. Allah SWT telah memberinya sebagian ilmu laduni kepadanya tanpa sebab-sebab tertentu. Sebagian ulama berpendapat bahwa hamba saleh ini adalah seorang nabi.
Untuk mendukung pernyataannya ulama-ulama tersebut menyampaikan beberapa argumentasi melalui ayat Al-Qur’an yang menunjukkan kenabiannya. Pertama, firman-Nya: “Lalu mereka bertemu dengan searang hamba di antara hamba-ham-ba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” Kedua, perkataan Musa kepadanya: “Musa berkata kepadanya: ‘Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?’ Dia menjawab: ‘Sesungguhnya kamu sekali- kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu ?’ Musa berkata: ‘lnsya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orangyang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun.’ Dia berkata: ‘Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu rmnanyakan kepadaku tentang sesuatu pun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu,’” (QS. al-Kahfi: 66-70) Seandainya ia seorang wali dan bukan seorang nabi maka Musa tidak akan berdiaog atau berbicara dengannya dengan cara yang demikian dan ia tidak akan menjawab kepada Musa dengan jawaban yang demikian.
Bila ia bukan seorang nabi maka berarti ia tidak maksum sehingga Musa tidak harus memperoleh ilmu dari seseorang wali yang tidak maksum. Ketiga, Khidir menunjukkan keberaniannya untuk membunuh anak kecil itu melalui wahyu dari Allah SWT dan perintah dari-Nya. Ini adalah dalil tersendiri yang menunjukkan kenabiannya dan bukti kuat yang menunjukkan kemaksumannya. Sebab, seorang wali tidak boleh membunuh jiwa yang tidak berdosa dengan hanya berdasarkan kepada keyakinannya dan hatinya. Boleh jadi apa yang terlintas dalam hatinya tidak selalu maksum karena terkadang ia membuat kesalahan. Jadi, keberanian Khidir untuk membunuh anak kacil itu sebagai bukti kenabiannya. Keempat, perkataan Khidir kepada Musa: “Sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. ” (QS. al- Kahfi: 82) Yakni, apa yang aku lakukan bukan dari doronganku sendiri namun ia merupakan perintah dari Allah SWT dan wahyu dari-Nya. Demikianlah pendapat para ulama dan para ahli zuhud. Para ulama berpendapat bahwa Khidir adalah seorang Nabi sedangkan para ahli zuhud dan para tokoh sufi berpendapat bahwa Khidir adalah seorang wali dari wali-wali Allah SWT. Salah satu pernyataan Kliidir yang sering dikemukakan oleh tokoh sufi adalah perkataan Wahab bin Munabeh, Khidir berkata: “Wahai Musa, manusia akan disiksa di dunia sesuai dengan kadar kecintaan mereka atau kecenderungan mereka terhadapnya (dunia).” Sedangkan Bisyir bin Harits al-Hafi berkata: “Musa berkata kepada Khidir: “Berilah aku nasihat.” Khidir menjawab: “Mudah- mudahan Allah SWT memudahkan kamu untuk taat kepada-Nya.” Para ulama dan para ahli zuhud berselisih pendapat tentang Khidir dan setiap mereka mengklaim kebenaran pendapatnya.
Perbedaan pendapat ini berujung pangkal kepada anggapan para ulama bahwa mereka adalah sebagai pewaris para nabi, sedangkan kaum sufi menganggap diri mereka sebagai ahli hakikat yang mana salah satu tokoh terkemuka dari ahli hakikat itu adalah Khidir. Kami sendiri cenderung untuk menganggap Khidir sebagai seorang nabi karena beliau menerima ilmu laduni. Yang jelas, kita tidak mendapati nas yang jelas dalam konteks Al-Qur’an yang menunjukkan kenabiannya dan kita juga tidak menemukan nas yang gamblang yang dapat kita jadikan sandaran untuk menganggapnya sebagai seorang wali yang diberi oleh Allah SWT sebagian ilmu laduni. Barangkali kesamaran seputar pribadi yang mulia ini memang disengaja agar orang yang mengikuti kisah tersebut mendapatkan tujuan utama dari inti cerita. Hendaklah kita berada di batas yang benar dan tidak terlalu jauh mempersoalkan kenabiannya atau kewaliannya. Yang jelas, ketika kami memasukkannya dalam jajaran para nabi karena ia adalah seorang guru dari Musa dan seorang ustadz baginya untuk beberapa waktu.♦
Langganan:
Postingan (Atom)