Setiap Mursyid yang ada pada
thariqat dimanapun juga dapat
dijadikan sandaran untuk
berabithah, namun yang lebih
utama adalah mempunyai
kriteria atau ciri-ciri seperti yang
diisyaratkan Al-Quran dan Al-
Hadits, yakni:
1. Adanya istikhlaf,
pemandatan kekhalifahan
(kepemimpinan) secara
pemilihan melalui proses
Ilahiyah, bukan berdasarkan
proses demokrasi, yakni
pengangkatan dari seluruh
jama'ah. Tegasnya, kebijakan
dari Atas ke bawah, bukan dari
bawah ke atas. Prosesnya
menyerupai seorang Presiden
diangkat oleh Gabenor dengan
Timbalan Presiden.
Pengangkatan kepemimpinan
yang didasari kehendak manusia
mempunyai segudang
kelemahan, dan penggunaan
suara terbanyak dalam
menentukan suatu
kepemimpinan tidak boleh
menjamin datangnya rahmat
dan keridhaan Allah, sebab nilai-
nilai kebenaran bukanlah
ditentukan dengan jumlah yang
terbesar/terbanyak.
"Kemudian Kami wariskan
kitab itu kepada orang-orang
yang Kami pilih di antara
hamba-hamba Kami, lalu di
antara mereka ada yang
menganiaya diri mereka sendiri
dan di antara mereka ada yang
pertengahan dan di antara
mereka ada (pula) yang lebih
dahulu berbuat kebaikan
dengan izin Allah. Yang
demikian itu adalah karunia
yang amat besar". (QS. Fathir
[35]: 32)
Sabda Nabi SAW:
"Para Ulama itu adalah pewaris
para Nabi". Kalimat Ulama di sini
menunjukkan ketentuan (dengan
isyarat Alif Lam ma'rifah), bahwa
tidak semua Ulama itu adalah
Pewaris para Nabi As.
Ketentuannya diterangkan lebih
lanjut dalam uraian berikutnya.
2. Ada nasab. Sungguhpun
demikian tidak mutlak kepada
Nasab. Jejak kenasaban itu
sendiri dalam genggaman
kekuasaan Allah, tidak semua
mengetahui jaringan kenasaban
sehingga terkadang dirinya
sendiri tidak mengetahuinya.
Tidak tiap-tiap nasab (habaib)
diwarisi kemursyidan, yang
punya sidiq amalnya, lurus, teliti,
teguh amalnya. Ditonjolkan
perihal kenasaban ini memiliki
dua dampak (positif dan
negatif). Sehingga Allah-lah yang
mengetahui siapa yang berhak
memangku kemursyidan, dan
pada dasarnya setiap insan
mempunyai darah (nasab)
kenabian (Adam As).
Firman Allah dalam Surat Hud
[11]: 73:
"(Itu adalah) rahmat Allah dan
keberkahan-Nya, dicurahkan
atas kamu, wahai Ahlul bait!
Sesungguhnya Allah Teramat
Terpuji lagi Pemurah".
Keluarga Nabi oleh Allah SWT
diberikan limpahan keberkahan
dan keselamatan, kerana dalam
setiap selawat kita dianjurkan
mengucapkannya. Begitu pulalah
kita lantunkan dalam setiap solat
ketika tasyahud akhir:
"Yaa Allah berikan limpahan
selawat dan salam kepada Nabi
Muhammad SAW dan
keluarganya, sebagaimana
Engkau telah berikan itu semua
kepada Nabi Ibrahim beserta
keluarganya".
Catatan: Tidak mutlak
mengedepankan nilai kenasaban
sebagai jaminan ketaqwaan
kerana secara sejarahnya
kedudukan nasab tidak
menjamin ketaatan seseorang
kepada Allah & Rasul-Nya. Dalam
Al-Quran Allah mengingatkan
Nabi Nuh tentang anaknya:
‘Wahai Nuh! Mereka bukanlah
sebahagian keluargamu (Yaa
Nuuh, innahuu laysa min
Ahlik)'. (QS. Hud[11]: 46)
3. Kebijakan-kebijakannya
senantiasa berpijak kepada
Sunah Rasul dan para
sahabatnya, serta orang-orang
yang saleh lagi sidiq (benar). Dan
juga tidak mencampurkan yang
haq dengan yang batil. Sesuai
firman Allah:
"Dan janganlah engkau
mencampurkan yang haq
dengan yang batil, dan
janganlah engkau
menyembunyikan yang haq itu,
sedangkan engkau
mengetahuinya". (QS. Al-
Baqarah[2]: 42)
4. Landasan penentuan
hukum berpijak pada aturan
yang telah ditetapkan Allah &
Rasul-Nya. Ketegasan dalam
penyampaian hukum akan
memperjelas posisi haram dan
halal bagi umat.
Seorang Mursyid dapat
menunjukkan di mana posisi
hukum suatu permasalahan
sesuai perkembangan masa
berdasarkan ruh perintah dan
larangan Allah SWT. Sebagai
contoh keberadaan rokok, bunga
bank, jual beli uang, jual beli air,
dsb. yang pada masa dahulu
belum ada.
Watak kebijakan seorang
Mursyid harus bersifat
menyeluruh dalam menentukan
suatu hukum. Kerangka berfikir
dan tindakannya selaras dengan
Kehendak Allah, serta tidak
berdiri pada (baca:
mengutamakan) suatu pihak/
golongan tertentu, meskipun ia
ada di pihaknya.
5. Harus memiliki rasa
keberpihakan terhadap sifat-
sifat Ilahiyah, di antarnya: Arif
dan bijaksana. Pengertian Arif di
sini memiliki wawasan/
pandangan yang luas dan jauh
ke depan dalam memahami
berbagai makna kehidupan, baik
orang-orang terdahulu maupun
yang kemudian. Tidak ubahnya
mendekati sifat-sifat kenabian.
Adapun sifat-sifat bijaksana itu
selalu memahami kemajmukan
(heterogen)nya tingkat
keberadaan manusia. Di
antaranya terhadap orang-orang
yang berada dalam kekafiran
dan kefasikan serta orang-orang
yang berdosa. Ia harus betul-
betul memahami sebab musabab
mereka bersikap/berperilaku
seperti yang demikian itu,
sehingga tidak ada sikap
kebencian yang muncul dalam
hati Mursyid tersebut terhadap
mereka.
6. Mencerminkan pribadi-
pribadi yang bersikap pema'af
dan bersabar menerima fitnah/
ujian dari orang-orang yang
memfitnah atau merendahkan
dirinya. Hal demikian telah
diajarkan oleh para Nabi/Rasul
terdahulu, yang banyak
mengalami tantangan dan ujian
dalam melaksanakan tugas
dakwahnya.
7. Dalam setiap memberikan
bimbingan, pengajaran atau
fatwa-fatwa perintah, senantiasa
kebijakannya itu tidak pernah
memaksakan kepada siapapun.
Kerana pada dasarnya setiap
manusia dijadikan oleh Allah
sebagai Khalifah atau dalam
pengertian lain adalah sebagai
pemimpin atas dirinya masing-
masing. Di mana seorang
pemimpin itu mempunyai hak
kemerdekaan/kebebasan atau
hak veto untuk menyatakan ‘ya'
atau ‘tidak', ‘iman' atau ‘kafir',
‘tunduk' atau ‘menentang/
menolak'. Kesifatan-kesifatan ini
begitu kental ditetapkan oleh
Allah kepada manusia, yakni
tidak ada paksaan dalam agama
sehingga hal itu merupakan
bagian hak-hak asasi setiap
manusia. Maka sesuai dengan
firman-Nya:
"Katakanlah: "Kebenaran itu
datangnya dari Tuhanmu; maka
barang siapa yang ingin
(beriman) hendaklah ia
beriman, dan barangsiapa yang
ingin (kafir) biarlah ia kafir".
(QS. Al-Kahfi[18]: 29)
Inilah kebijakan Ilahiyah yang
tertuang di dalam Al-Quran yang
dipedomani sebagai karakteristik
sebagai sifat-sifat kenabian.
8. Tidak merasakan takut
dalam menyampaikan yang hak
kepada orang lain, meskipun
pahit bagi dirinya dan yang
mendengarkannya.ٍ Sebagaimana
yang disabdakan oleh Rasulullah
SAW:
"Katakanlah yang benar
walaupun pahit".
"Dan janganlah engkau
mencampuradukkan yang haq
dan batil serta
menyembunyikan yang haq itu,
sedangkan engkau
mengetahuinya". (QS. Al-
Baqarah[2]: 42)
Itulah ciri-ciri kemursyidan/
kewalian yang disifatkan Allah
dalam Al-Quran:
"Ketahuilah, sesungguhnya para
Wali (kekasih) Allah itu tiada
sedih dan berduka cita
(terhadap selain Allah). (Yaitu)
orang-orang yang beriman dan
mereka yang selalu bertaqwa.
Mereka mendapatkan kabar
baik di kehidupan dunia
maupun di akhirat. Tiadalah
ketetapan Allah itu berubah".
(QS. Yunus[10]: 62-63)
9. Terjaga dalam sikap kehati-
hatian (wara') tentang manfaat
dan mudharatnya dunia, sebab
firman-Nya mengatakan:
"Kehidupan dunia itu tidak lain
hanyalah kesenangan yang
memperdayakan". (QS. Ali
Imran[3]: 185)
Dikatakan dunia itu menipu
kerana kebaikan dan keburukan
dunia itu tidak tampak untuk
membezakannya:
"Katakanlah, Tidak tampak
perbezaan antara keburukan
dan kebaikan". (QS. Al-Maidah
[3]: 100)
10. Menata kesinambungan
keseimbangan (tawazun) dunia
dan ukhrawi. Keduanya memiliki
kepentingan masing-masing
yang saling terkait. Menjalani
keduanya sesuai dengan sistem
yang berlaku. Maka jika terjadi
ketidaksinambungan/
ketidakseimbangan pada
seorang murid dalam satu sisi
kehidupan, maka akan diarahkan
pada posisi yang lebih sesuai
dengan kemampuannya.
11. Tidak bersikap komersil
atau menentukan bayaran dalam
menjalankan dakwahnya, yakni
bersikap Zuhud. Firman Allah
SWT:
"Ikutilah orang yang tiada
minta balasan kepadamu; dan
mereka adalah orang-orang
yang mendapat petunjuk". (QS.
Yaasin[36] :21)
12. Bersikap peduli menjaga
hubungan baik kepada orang-
orang yang berbeda agama/
kepercayaan. Firman Allah SWT
mengatakan:
"Tolaklah dengan cara yang
lebih baik akan kejahatan itu,
maka mendadaklah orang yang
mempunyai permusuhan
denganmu menjadi dekat
denganmu sebagai sahabat
karib. Dan tidaklah dapat
melakukannya kecuali orang
yang sabar dan tidak dapat
mencapainya kecuali orang
yang mempunyai nasib yang
baik (keuntungan yang besar)".
(QS. Fushshilat[41]: 34)
13. Bersifat Murobbi Ruh.
Seorang Mursyid membimbing
muridnya di manapun mereka
berada, walaupun ia telah
dipisahkan dengan alam yang
berbeza. Kerana Allah
menyatakan:
"Dan janganlah engkau katakan
bahwa hamba-hamba yang
terbunuh di jalan Allah itu mati,
bahkan mereka itu hidup.
Tetapi tidaklah engkau
menyedarinya". (QS. Al-Baqarah
[2]: 153)
Dalam ayat lain dikatakan:
"Bahkan mereka itu hidup, di
sisi Tuhannya mereka diberi
rezeki". (QS. Ali Imran[3]: 169)
Predikat Murobbi Ruh ini
biasanya melahirkan bukti-bukti
yang kuat, dan dialami oleh
setiap muridnya, baik disedari
maupun tidak.
14. Keberhasilan lahiriyyah
bukanlah merupakan tujuan
pokok, di antaranya banyak
ataupun sedikit yang menjadi
pengikutnya bahkan mungkin
tidak dipercaya oleh umatnya/
kaumnya, maka tidak gugur
kemursyidannya, menang atau
berjaya tidaknya dari
kesewenangan pihak musuh/
kafir dan yang fasik. Tak
ubahnya dengan kenyataan
dialami para Nabi terlebih
dahulu, seperti Nabi Ayub, Nabi
Yunus, Nabi Yahya, Nabi Isa, Nabi
Ibrahim, dsb. Dan yang berhasil
di antaranya adalah: Nabi Daud,
Nabi Sulaiman, Nabi Muhammad.
Demikianlah sepak terjang para
Nabi dan para Rasul, dan begitu
pula para Mursyid yang jika tidak
diikuti oleh kaumnya, tidak
gugur kemursyidannya, yang
gugur adalah tugasnya dalam
menyampaikan. Itulah tanda-
tanda kenabian dan
kemursyidan, yang memiliki ciri
khas yang serupa, yang
kedudukannya hanya sebagai
pemberi kabar.
"Dan kewajiban kami tidak lain
hanyalah sekedar
menyampaikan (perintah Allah)
dengan jelas". (QS. Yasin[36]:
17)
Seorang Mursyid tidak lain
hanyalah sebagai gembala-
gembala dan pembimbing ke
jalan yang lurus.
Sesungguhnya kedudukan
seorang Mursyid yang dimaksud
dalam Al-Quran & Al-Hadits di
samping sebagai pemberi
petunjuk adalah mempunyai
posisi sebagai pembaharu
(Mujaddid), yakni sebagai
pemberi solusi terhadap
berbagai persoalan umat di
setiap masa.
Sabda Nabi SAW:
"Sesungguhnya Allah ‘Azza wa
Jalla akan membangkitkan
seseorang bagi umat Islam ini
pada setiap 100 tahun yang
memperbaharui agama". (HR.
Abu Daud & Hakim, dari Abu
Hurairah).
"Hendaklah engkau berpijak atas
Sunnahku dan sunnah Khalifah-
khalifah yang mendapat
petunjuk dan hidayah
(setelahku), peganglah kuat-kuat
atasnya dan gigitlah dengan gigi
gerahammu (biar tidak lepas)".
(HR. Tarmidzi)
"Allah menganugerahkan Al-
Hikmah (kefahaman yang
dalam tentang Al-Quran dan As-
Sunnah) kepada siapa-siapa
yang Dia kehendaki". (QS. Al-
Baqarah[2]: 269)
Seorang Mujaddid diberikan
hikmah (ilmu laduni) oleh Allah
SWT melalui pengajaran-Nya (At-
Ta'allumur Robbaniyyah).
Wallaahu A'lam.