Rabu, 22 Februari 2012

DEFINISI TAWAKAL

Para ulama semoga Allah membalas mereka dengan sebaik-baik balasan? telah menjelaskan makna tawakal. Di antaranya adalah Imam al- Ghazali, beliau berkata, "Tawakkal adalah penyandaran hati hanya kepada wakil (yang di-tawakali) semata." Al-Allamah al-Manawi berkata, "Tawakal adalah menampakkan kelemahan serta penyandaran (diri) kepada yang di tawakali." Menjelaskan makna tawakkal kepada Allah dengan sebenar- benar tawakkal, al-Mulla Ali al- Qori berkata, "Hendaknya kalian ketahui secara yakin bahwa tidak ada yang berbuat dalam alam wujud ini kecuali Allah, dan bahwa setiap yang ada, baik makhluk maupun rezeki, pemberian atau pelarangan, bahaya atau manfaat, kemiskinan atau kekayaan, sakit atau sehat, hidup atau mati, dan segala hal yang disebut sebagai sesuatu yang maujud (ada) semuanya itu adalah dari Allah."

Dalil Syar'i bahwa Bertawakkal kepada Allah Termasuk Kunci Rizki Imam Ahmad, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu al-Mubarak, Ibnu Hibban, al-Hakim, al-Qhudha'i dan al-Baghawi meriwayatkan dari Umar bin Khaththab bahwa Rasulullah bersabda, "Sungguh, seandainya kalian bertawakal kepada Allah sebenar-benar tawakal, niscaya kalian akan diberi rezeki sebagaimana rezeki burung-burung. Mereka berangkat pagi-pagi dalam keadaan lapar, dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang." Dalam hadis yang mulia ini, Rasulullah yang berbicara dengan wahyu menjelaskan orang yang bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, niscaya dia akan diberi rezeki oleh Allah sebagaimana burung-burung diberi-Nya rizki.

Betapa tidak demikian, karena dia telah bertawakal kepada Dzat Yang Maha Hidup, yang tidak pernah mati. Karena itu, barangsiapa bertawakal kepada- Nya, niscaya Allah akan mencukupinya. "Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu." (Ath-Thalaq: 3).

Menafsirkan ayat tersebut, ar- Rabi' bin Khutsaim mengatakan, "(Mencukupkan) diri setiap yang membuat sempit manusia." Apakah Tawakkal itu Berarti Meninggalkan Usaha? Sebagian orang mukmin ada yang berkata, "Jika orang yang bertawakal kepada Allah itu akan diberi rezeki, mengapa kita harus lelah, berusaha, dan mencari penghidupan. Bukankah kita cukup duduk-duduk dan bermalasan-malasan, lalu rezeki kita datang dari langit?" Perkataan ini sungguh menunjukkan kebodohan orang yang mengucapkan tentang hakikat tawakkal. Nabi kita yang mulia telah menyerupakan orang yang bertawakal dan diberi rezeki itu dengan burung yang pergi di pagi hari dan pulang pada sore hari, padahal burung itu tidak memiliki sandaran apa pun, baik perdagangan, pertanian, pabrik, atau pekerjaan tertentu.

Ia keluar berbekal tawakal kepada Allah Yang Maha Esa dan yang kepadanya tempat bergantung. Para ulama ?semoga Allah membalas mereka dengan sebaik-baik kebaikan? telah memperingatkan masalah ini. Di antaranya adalah Imam Ahmad, beliau berkata, "Dalam hadis tersebut tidak ada isyarat yang membolehkan untuk meninggalkan usaha, sebaliknya justru di dalamnya ada isyarat yang menunjukkan perlunya mencari rizki. Jadi maksud hadits tersebut, bahwa seandainya mereka bertawakal kepada Allah dalam kepergian, kedatangan, dan usaha mereka, dan mereka mengetahui kebaikan (rezeki) itu di tangan-Nya, tentu mereka tidak akan pulang, kecuali dalam keadaan mendapatkan harta dengan selamat, sebagaimana burung-burung tersebut." Imam Ahmad pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang hanya duduk di rumah atau masjid seraya berkata, "Aku tidak mau bekerja sedikit pun, sampai rezekiku datang sendiri." Maka beliau berkata, Ia adalah laki-laki yang tidak mengenal ilmu.

Sungguh Nabi bersabda, "Sesungguhnya Allah telah menjadikan rizkiku melalui panahku." Dan beliau bersabda, "Sekiranya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakal, niscaya Allah memberimu rezeki sebagaimana yang diberikan- Nya kepada burung-burung berangkat pagi-pagi dalam keadaan lapar dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang." Dalam hadis tersebut dikatakan bahwa burung-burung itu berangkat pagi-pagi dan pulang sore hari dalam rangka mencari rezeki. Selanjutnya, Imam Ahmad berkata, "Para Sahabat berdagang dan bekerja dengan pohon kurmanya. Dan mereka itulah teladan kita." Syekh Abu Hamid berkata, "Barangkali ada yang mengira bahwa makna tawakal adalah meninggalkan pekerjaan secara fisik, meninggalkan perencanaan dengan akal, serta menjatuhkan diri di atas tanah seperti sobekan kain yang dilemparkan, atau seperti daging di atas landasan tempat memotong daging. Ini adalah sangkaan orang-orang bodoh. Semua itu adalah haram menurut hukum syariat. Sedangkan syariat memuji orang yang bertawakkal.

Lalu, bagaimana mungkin sesuatu derajat ketinggian dalam agama dapat diperoleh dengan hal-hal yang dilarang oleh agama pula?" Hakikat yang sesungguhnya dalam hal ini dapat kita katakan, "Sesungguhnya pengaruh bertawakal itu tampak dalam gerak dan usaha hamba ketika bekerja untuk mencapai tujuan- tujuannya." Imam Abul Qosim al-Qusyairi berkata, "Ketahuilah, sesungguhnya tawakkal itu letaknya di dalam hati. Adapun gerak secara lahiriah hal itu tidak bertentangan dengan tawakal yang ada di dalam hati, setelah seorang hamba meyakini bahwa rezeki itu datangnya dari Allah. Jika terdapat kesulitan, maka hal itu adalah karena takdir-Nya, dan jika terdapat kemudahan maka hal itu karena kemudahan dari- Nya." Di antara yang menunjukkan bahwa tawakal kepada Allah tidaklah berarti meninggalkan usaha adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban dan Imam al-Hakim dari Ja'far bin Amr bin Umayah dari ayahnya, ia berkata, "Seseorang berkata kepada Nabi, Aku lepaskan untaku dan (lalu) aku bertawakal?' Nabi bersabda: 'Ikatlah kemudian bertawakallah'." Dalam riwayat al-Qudha'i disebutkan, "Amr bin Umayah berkata, 'Aku bertanya,'Wahai Rasulullah, apakah aku ikat dahulu (tunggangan)ku lalu aku bertawakal kepada Allah, atau aku lepaskan begitu saja lalu aku bertawakal?' Beliau menjawab, 'Ikatlah kendaran (unta)mu lalu bertawakallah'.

" Kesimpulan dari pembahasan ini adalah bahwa tawakal tidaklah berarti meninggalkan usaha. Setiap muslim harus berikhtiar secara lahir dengan bersungguh- sungguh mendapatkan penghidupan, akan tetapi ia tidak boleh menyandarkan diri pada kerja keras dan usahanya, tetapi ia harus meyakini bahwa rezeki itu hanyalah dari Dia semata dengan segala pengaturan-Nya.

Sumber: Diadaptasi dari Kunci- Kunci Rizki Menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, Dr.Fadhl Ilahi

Template by:
Free Blog Templates